Cerita Pendek Jawa Yogyakarta
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 danPeraturanPemerintah No. 57 Tahun 2014 dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra (Indonesia dan daerah) agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam rangka memenuhi kewajiban itulah, Balai Bahasa Provinsi DIY pada tahun 2014 melakukan serangkaian kegiatan, di antaranya, ialah penerbitan buku kebahasaan dan kesastraan.
Kegiatan penerbitan buku ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari kegiatan pengembangan dengan tujuan agar apa yang telah dihasilkan dapat diketahui dan/atau dimanfaatkan oleh khalayak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbud No. 21 Tahun 2012 bahwa Balai Bahasa memiliki kewajiban memasyarakatkan hasil-hasil pengembangan (pengkajian, penelitian, dan kodifikasi) kepada masyarakat. Diharapkan penerbitan hasil-hasil pengembangan kebahasaan dan kesastraan ini dapat menjadi sarana bagi peningkatan keterampilan dan kemampuan masyarakat dalam berbahasa dan bersastra.
Buku berjudul Cerita Pendek Jawa di Yogyakarta Tahun 2000—2010susunan Dhanu Priyo Prabowo, Sri Haryatmo, dan Rijanto berisi cerita-cerita pendek Jawa terbitan media massa berbahasa Jawa tahun 2000-an—2100-an yang Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku ini layak dibaca oleh khalayak (masyarakat). Kami yakin bahwa tak ada satu pun kerja yang sempurna, dan oleh karenanya, kehadiran buku ini terbuka bagi kritik dan saran. Kami hanya ingin buku ini membuka cakrawala hidup dan pikiran kita.
Yogyakarta, November 2014
Drs. TirtoSuwondo, M. Hum.
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
iii
Penyusunan “Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010” akhirnya dapat kami selesaikan. Terwujudnya hasil penyusunan ini berkat kerja sama yang amat baik antaranggota dan berkat sumbang saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh anggota tim yang telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan penyusunan ini.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada narasumber dan rekan-rekan yang telah memberikan sumbang saran yang sangat berharga demi terwujudnya hasil penyusunan ini. Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepeda penerbit yang telah mereproduksi hasil penyusunan tersebut menjadi buku ini.
Akhirnya, diharapkan bahwa hasil penyusunan ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Kritik dan Masukan sangat diharapkan untuk penyempurnaan buku ini.Yogyakarta, 30 Juli 2012
Tim Penyusun
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
v
- PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY
iii - KATA PENGANTAR
v - DAFTAR ISI
vii - BAB I PENDAHULUAN
1 - BAB IICERITA PENDEK JAWA DI YOGYAKARTA PERIODE 2000-2010
9 - NAPAK TILAS Supandi
11 - GUMBLIS! Ardini Pangastuti
18 - BANGKRUT Somdani
23 - NGINANG Trinil
27 - NALIKA DHEWEKE SIDA TEKA TENAN Mbah Brintik
32 - MANGGA, PAK GURU… Turiyo Ragilputra
36 - ROKOK Daniel Tito
40 - WATONI Mones
45 - BETHARA KALA Nyitno Munajat
48
- ARISAN Ismoe Rianto
54 - KEKEJERA KAYA BRANJANGAN Suparto Brata
59 - MBAKO Pake Angga
66 - NGISUP Elissa
70 - GURU Widayati
74 - SAWITRI Moch. Nursyahid P.
78 - CRITANE GENDRA LAN PENTHUL Dening Widodo Basuki
84 - PITAKONKU Hermeini
90 - NEPTU PITULIKUR Chol. Sdm
95 - MARATUWA Siti Aminah
102 - USUM MALING Imam H.
106 - LUGU Terry S.
111 - KEBOBOLAN Amro Djuhendi
114 - PAMBUKANING WARANA Imam H.
120 - DHE-EL OH DHE-EL A.Y. Suharyono
126 - KABEGJANE Sugeng Pujo D.H.R.
135 - WARUNG Andhika R.
139 - RIYAYA TAUN IKI Inar
143
- RIYAYA ATI KANG RENGKA Sri Sugiyanto
147 - RONGGENG DHUSUN MADUKARA BANJARNEGARA Prayoga, B.A.
151 - OMAH PINGGIR DALAN Wiasidi
155 - REMBULAN KANG NDHADHARI Gandhung Sunamo
159 - MENDHDUNG SUMILAK Hamdani MW.
162 - GENDHING NATAL PISAN Jl IKI E. Suharjendra
166 - ANTRI MATI Imam Hidayat
171 - SENGIT NDULIT Soegiyono M.S
176 - WARISAN Sudadi
180 - KATRESAN Nury Hastomo
184 - KEDHISIKAN Maryono N.T
187 - KEBABLASEN R. Hartoko
195 - DHASAR SIAL budi S.P
200 - MBALEKAKR SILIHAN Didik Sedyadi
206 - WESEL Atas Danusubroto
209 - BERKAH ING DINA KUPATAN Ki Ciptawan
214 - BENING BANYUNE SENDHANG Suwadi W.S
220 - BEO Ismoe Rianto
224
- JEM Yudhet
228 - KODRAT Suharmono K
232 - KONGKANG MANGUNGKUNG SAJERONING LENG Sunarkoba
237 - PASRAH Sutarmano
240 - SAKWISE ACARA TEMU WICARA Agus Kurniawan
245 - SOINAH Soekowijono
249 - ING TERMINAL Kus Tajianto
253 - KRITING Sugeng Wiyadi
257 - SADAWANING REL JAKARTA-MALANG titik Kartitiani
261 - SUPORTER ANYAR Harwimuka
266 - TEMBANG KATRESNAN KANG DURUNG RAMPUNG Maryono
271 - DHADAG Ismoe Rianto
276 - JAM SEWELAS ING TERMINAL LAWAS Sumono Sandy Asmoro
280 - JAM TEMBOK Mbah Putri
285 - SADRANANKU TAUN IKI Suryadi W.S
289 - BOJO PINDHAH Rini T. Sudewo
293 - GANG PACE MAUT Anonim
297 - KECENTHOK Mbah Putri
301
- KESEMPYOK OMBAK D.A. Sus
305 - KLELEP Trinil
309 - MERPATI SING KELANGAN SWIWI Ardini Pangastuti Bn
313 - NYOLONG PETHEK Ary Nurdiana
317 - SAUPAMA Ekapti Lenda Aneta
321 - SAWABE MBAH MARIDJAN J.F.X. Hoery'
325 - AKU, BAPAK, LAN DUREN Rini T. Sudewo
330 - BERKAH NATAL J.F.X Hoery
334 - ENDHOGE BLOROK Imam H.
339 - MBOKDHENE RIRIN Dewi Wara Sumbadra
343 - SUMPAHE AREK SURABAYA Suparto Brata
347 - TANGGA Dhiana Andriyanti
351 - BALI MULIH Dian D.
355 - DALAN PILIHAN Sumono Sandy Asmoro
360 - DHUWIT Sie Erlangga
364 - STASIUN Pakne Puri
368 - TRAGEDI ING BANJARJUMPUT Tiwiek S.A.
373 - TRIYONO Prasetyo D.
378
- DURNA-DURNA Sartono Kusumaningrat
383 - EMBAH GABUG Sutar Mayabudi
388 - KEKESING ANGIN TELUK VENESIA Sutrisna Hari
394 - KEWIRANGAN Is Sarjoko
398 - OMAH BLOK E, NOMER 13 Tiwiek S.A.
403 - PARANORMAL Sudarsono S.G.
408 - BAB III PENUTUP
413 - DAFTAR PUSTAKA
415
Pertumbuhan cerita pendek Jawa pada kurun waktu taun 2000-2010 terhitung produktif. Beberapa majalah berbahasa Jawa yang masih terbit pada dekade tersebut terus menerbitkan cerita pendek Jawa. Majalah-majalah berbahasa Jawa yang masih terbit pada dekade tersebut, misalnya Panjebar Semangat, Jaya Baya, dan Djaka Lodang. Tiga majalah tersebut dapat dikatakan sebagai majalah berbahasa Jawa yang melanjutkan tradisi cerita pendek Jawa. Cerita pendek Jawa atau biasa disebut dalam sebagai crita cekak (cerkak) merupakan salah satu genre (jenis) sastra Jawa ’Modern Gagrak Anyar’. Jenis sastra tersebut sampai sekarang terus hidup dan berkembang.
Cerita pendek Jawa telah hidup di dunia sastra Jawa sejak tahun 1930-an. Akan tetapi, secara historis tidak mudah menentukan secara pasti masa kelahiran jenis cerita pendek Jawa dalam sastra Jawa modern (Tjitrosubono, 1977:120). Di dalam majalah Kejawen terbitan tahun 1930, terdapat rubrik “Panglipur Manah” (Penghibur hati). Di dalam rubrik itu sering berisi cerita dengan ukuran mini, misalnya Jejodhowan Wurung “Pernikahan Batal”, Kejawen, No.18-19, Th V, 1 Maret 1930. Pada tahun 1936 di dalam Kejawen muncul satu bentuk karangan pendek yang berjudul Mitra Kapipe “Saudara Ipar”, Kejawen, No. 105, Th. XI, 30 Desember 1936. Tjitrasubono (1977:122) berksimpulan bahwa cerita pendek Jawa di dalam jagad sastra Jawa modern lahir untuk pertama kalinya lahir pada tahun 1930-an, tepatnya tahun 1936, dengan segala prototype-nya.
Cerita pendek Jawa terus berkembang dengan segala dinamikanya. Pada tahun terbut majalah Panjebar Semangat (1930). Cerita pendek tertua di dalam majalah Panjebar Semangat (PS) terbit pada taun 1939. Perkembangan melambat ketika memasuki Zaman Jepang di Indonesia. Ketika itu, semua kegiatan penulisan sastra hampir lumpuh, termasuk penerbitan majalah. Suasana yang tidak mendukung perkembangan sastra itu diperpanjang ketika bangsa Indonesia sibuk mengadakan revolusi dan memperbaiki nasib setelah dijajah oleh Barat. Baru ketika menjelang taun 1950 tersebut, dunia sastra Jawa modern menunjukkan adanya titik terang [ 2 ] untuk bangkit kembali setelah kurang lebih satu dekade kurang produktif[1]. Pada tahun 1950-an, cerita pendek Jawa mulai kembali ditulis melalui majalah berbahasa Jawa yang juga bermunculan seperti Waspada, Tjrita Tjekak, Djaja Baja, Mekar Sari, Praba, Kunthi, dsb.
Majalah Tjrita Tjekak adalah majalah khusus yang memuat cerita pendek Jawa bernama Trjita Tjekak, terbit di Surabaya (lihat Brata, 1983). Majalah bulanan tersebut khusus memuat cerita pendek Jawa, meskipun kadang-kadang di dalamnya dimuat guritan (puisi nodern) dan rubrik kritik yang diberi nama “Sorotan”. Majalah khusus cerita pendek Jawa berbahasa Jawa tersebut dipimpin oleh Soebagijo Ilham Notodidjojo, atau Soebagijo I.N. Setiap terbit, Tjrita Tjekak rata-rata memuat sepuluh buah cerita. Majalah Tjrita Tjekak tersebut diterbitkan dengan tujuan pokok untuk menghidupkan sastra dan bahasa Jawa. Cerpenis Jawa yang sering muncul dalam majalah Crita Cekak tersebut ialah Poerwadhie Atmodihardjo (juga kadang-kadang dengan nama samarannya: Sri Ningsih), Any Asmara (atau dengan nama samaran Aramsay), St. Iesmaniasita, Soebagijo I.N., Soekandar S.G., Tamsir A.S., Satim K., Ny. Nugroho, Esmiet, Isdito, Sudarmo K.D., Susilomurti, Senggono, dan beberapa pengarang lainnya. Soebagio Ilham Notodidjojo adalah pengarang yang paling sering muncul dengan nama samarannya antara lain Endang Werdiningsih, Setyawati, Anggadjali, Pak SIN, dan Adjisaka). Hal itu menunjukkan bahwa nasib majalah tersebut amat tergantung kepada Soebagijo I.N. (Prabowo dkk, 2010).
Majalah berbahasa Jawa kemudian melahirkan trend sastra majalah (Hutomo, 1975). Pengertian sastra majalah adalah sastra yang dimuat di media masa berupa majalah (dan surat kabar). Keadaan ini terjadi karena media massa berbentuk majalah dapat menjadi alternatif ajang ekspresi para pengarang sastra Jawa yang mulai kesulitan menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Setelah Indoensia merdeka, peranan Balai Pustaka (badan penerbitan ciptaan Belanda dan diteruskan oleh Pemerintah Republik Indonesia) mulai berkurang/surut. Keadaan itu dimungkinkan terjadi karena situasi ekonomi Pemerintah RI sedang dalam pembenahan setelah bebas dari penjajahan sekaligus ketika menjalani revolusi. Perhatian masyarakat (termasuk pengarang) tertuju kepada masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu, pada tahun-tahun tersebut, perkembangan satra Jawa (khususnya cerita pendek) kurang menggairahkan. Untuk mengantisipasi persoalan itu, kemudian majalah menjadi salah satu sarana yang efektif bagi penulisan sastra Jawa, baik itu yang berjenis novel (dimuat secara bersambung), puisi Jawa modern “geguritan”, esai, tembang macapat, maupun cerita pendek itu sendiri. Lebih-lebih setelah tahun 1950-an, yaitu pada dekade 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan 2000-an banyak [ 3 ]majalah berbahasa Jawa yang tumbuh, misalnya Djaka Lodang, Mekar Sari, Kembang Brayan, Parikesit, Dharma Nyata, Dharma Kanda, Kumandang, Gotong Royong. Namun, dalam perkembangannya, ternyata tidak semua majalah itu dapat bertahan hidup. Dari nama yang disebutkan itu, hanya tinggal majalah Djaka Lodang yang mampu bertahan hidup, sementara majalah Mekar Sarii tutup pada tahun 1992.
Majalah-majalah tersebut sangat berperan besar bagi pertumbuhan cerita pendek Jawa. Bahkan, lewat majalah/koran berbahasa Jawa, banyak pengarang baru bermunculan dalam sastra Jawa. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, majalah atau koran berbahasa Jawa sangat besar kontribusinya bagi penerusan cerita pendek Jawa. Majalah-majalah berbahasa Jawa tersebut terbit di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, dan Jakarta. Semangat para pengarang Jawa memperoleh jalan keluar positif dengan kehadiran media massa berbahasa Jawa. Bahkan, lewat media massa itu, pengarang Jawa bagaikan cendawan di musim hujan. Ada pengarang yang terus menulis, tetapi ada pula yang tidak melanjutkan menulis. Dapat dikatakan, media massa berbahasa Jawa menjadi semacam ‘laboratorium’ bagi pengarang pemula dalam menulis cerita pendek Jawa. Sebaliknya, bagi pengarang-pengarang tertentu seperti Any Asmara, Poerwadhie Atmodihardjo, Esmiet, Tamsir AS, Suparto Brata, Ts. Argarini, St. Iesmaniasita, N. Saksdani, Arswendo Atmowiloto, Jayus Pete, J.F.X. Hoery, Ay. Soeharyono, Turiyo Ragilputra, dsb. Keberadaan majalah-majalah berbahasa Jawa menjadi tempat untuk bereksperimen dan menegaskan keberadaannya sebagai penulis cerita pendek Jawa.
Menilik sejarah perkembangannya, cerita pendek Jawa merupakan jenis sastra Jawa yang banyak diminati oleh para pembaca Jawa. Para pembaca itu menaruh perhatian yang besar terhadap cerita pendek Jawa dimungkinkan oleh bentuknya yang relatif pendek (dibandingkan dengan novel) dan tema-tema yang diangkat kebanyakan merupakan gambaran yang tidak terlalu jauh dengan keberadaan para pembacanya, terutama para pembaca yang tinggal di kota-kota kecil di tanah Jawa. Selain itu, bahasa yang dipergunakannya pun cenderung bahasa yang sangat mudah (familiar) dipahami oleh pembaca Jawa.
Perkembangan cerita pendek Jawa sampai dengan tahun 2000-an merupakan fakta sejarah dalam dunia kesastraan Jawa. Dengan terus dituliskannya sastra Jawa jenis cerita pendek oleh para pengarang Jawa, banyak masalah yang harus diamati, baik dari segi pendokumentasiannya maupun eksistensinya sebagai karya seni. Oleh karena itu, cerita pendek Jawa perlu diteliti dan didokumentasikan, terutama yang terbit sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Pada kurun waktu tersebut, cerita pendek hadir menghiasi majalah berbahasa Jawa dengan segala dinamika[ 4 ] nya. Sebagai karya sastra yang terbit di media massa, keberadaannya sebagai karya sastra yang terdokumentasi menjadi sebuah persoalan, karena terbit lewat majalah/koran sangat rentan untuk tidak terselamatkan karena sifatnya yang sangat parsial (dibandingkan sebagai antologi dalam bentuk buku).
Pengertian cerita pendek Jawa di Yogyakarta tidak artikan secara geografis (yang dimuat oleh majalah terbitan Yogyakarta)2, tetapi termasuk di dalamnya adalah cerita-cerita pendek Jawa yang dimuat di majalah/koran berbahasa Jawa terbit dari tempat/daerah/provinsi lain. Pemahaman ini untuk menjembatani sebuah pengertian tentang keberadaan “cerita pendek Jawa di Yogyakarta”. Dengan kata lain, cerita pendek Jawa di Yogyakarta adalah semua data cerita pendek Jawa yang dapat ditemukan di Yogyakarta yang dimuat di media massa/koran berbahasa Jawa3. Oleh karena itu, timbul beberapa masalah cerita pendek Jawa di Yogyakarta, khususnya yang terbit sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2010, yaitu (1) Bagaimana sebenarnya keberadaan cerita pendek Jawa sebagai karya sastra? (2) Bagaimana pendokumentasian cerita pendek Jawa di Yogyakarta?
Cerita pendek Jawa tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 sebagai salah satu genre sastra Jawa perlu diungkapkan dalam sebuah penyusunan, karena sebagai karya seni tentu telah memberikan kontribusi baik bagi perkembangan kesusteraan Jawa secara khusus maupun bagi perkembangan kebahasaan secara umum. Oleh karena itu, penyusunan ini berusaha mengungkapkan cerita pendek Jawa dari segi keberadaannya sebagai karya sastra, sumbangannya bagi perkembangan kepengarangan Jawa, dan pendokumentasiannya demi kelestariannya. Diharapkan penyusunan ini akan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kesusastraan Jawa. Di samping itu, penyusunan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi masyarakat yang mem-
2 Sastra Jawa sebagai salah satu karya kebudayaan Jawa, keberadaannya tidak dapat dibatasi oleh batasan-batasan geografis. Sebaga hasil kebudayaan, sastra Jawa dapat dinikmati oleh siapa saja dan di mana saja. Demikian pula keberadaannya tidak dapat diklaim sebagai suatu karya yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat di suatu wilayah tertentu, karena kebudayaan itu pada dasarnya tidak bersifat fisik. Kebudayaan itu adalah suatu ruang yang dapat masuk ke mana saja asal dapat diterima dengan baik.
3 Yogyakarta sebagai suatu wilayah merupakan tempat bertumbuhnya kebudayaan Jawa dan di tempat itu pula beberapa majalah berbahasa Jawa terbit. Dari majalah-majalah yang terbit di Yogyakarta, misalnya, Djaka Lodang atau Mekar Sari menjadi tempat para pengarang cerita pendek menulis karyanya. Para pengarang itu datang dari berbagai wilayah di tanah Jawa (tidak hanya berasal dari Yogyakarta saja). Demikian pula, majalah-majalah lain berbahasa Jawa yang terbit dari luar Yogyakarta juga beredar (dibaca) dan diminati oleh masyarakat Yogyakarta. [ 5 ]butuhkan informasi ilmiah mengenai sastra Jawa (cerita pendek) yang terbit di media massa (majalah/koran).
Berdasarkan data-data yang dapat dikumpulkan dan dipergunakan sebagai penyusunan “Cerita Pendek Jawa di Yogyakarta Periode 2000-2012” terlihat bahwa dinamika penulisan cerita pendek Jawa terus berlangsung. Cerita pendek Jawa merupakan salah satu jenis karya sastra yang banyak ditulis oleh pengarang Jawa. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangannya memberikan sumbangan besar bagi hidupnya sastra Jawa. Bahkan, keberadaannya telah memberikan andil bagi lahirnya para pengarang baru. Di samping itu, para periode ini pengarang lama yang pernah eksis pada pada periode-periode sebelumnya ternyata masih juga menulis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa beberapa pengarang Jawa lama masih tetap bertahan pada dekade 2000-an. Kenyataan ini memberikan optimisme bagi sejarah sastra Jawa. Banyak kalangan yang menyangsikan tentang keberlangsungan sastra Jawa, tetapi melihat gairah dan terus lahirnya cerita pendek Jawa dari dekade ke dekade berikutnya kesangsian itu dapat ditepis. Kenyataan optimis itu tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan media massa berbahasa Jawa, baik itu majalah maupun koran. Media masaa, dalam hal ini majalah berbahasa Jawa, sangat besar peranannya dalam pertumbuhan cerita pendek Jawa dan munculnya pengarang-pengarang baru. Tanpa kehadiran majalah berbahasa Jawa, keberlangsungan pengarang cerita pendek Jawa (bisa jadi) akan berakhir. Pada dekade ini, seperti dekade-dekade sebelumnya, majalah berbahasa Jawa dengan nyata memberikan dukungan secara tidak langsung melalui rubrik-rubrik yang disediakannya.
Perkembangan sosial ekonomi yang berlangsung di tengah masyarakat, pada periode 2000-2010, ternyata tidak selamanya memberikan gambaran yang menyenangkan. Media berbahasa Jawa, pada dekade tersebut justru semakin berkurang karena banyak di antaranya yang gulung tikar atau salah urus. Dari majalah-majalan berbahasa Jawa yang masih hidup pada periode 2000-2010 tinggal Panjebar Semangat, Jaya Baya, dan Djaka Lodang. Majala-majalah tersebut merupakan acuan dan sumber dari pengambilan data penyusunan ini. Memang, pada kurun waktu itu, ada majalah yang terbit seperti Damar Jati, tetapi tidak bertahan lama. Bahkan, majalah itu hanya terbit selama satu tahun setengah. Dengan demikian kontribusinya bagi perkembangan sastra Jawa modern jenis cerita pendek sangat kurang. Oleh karena itu, majalah itu tidak dipergunakan sebagai sumber data.
Kepengarangan cerita pendek Jawa dekade 2000-2010 menunjukkan sebuah gambaran tentang pasang-surutnya keberadaan sastra Jawa. Sebagai salah satu jenis karya sastra, cerita pendek telah menjadi sebuah “saksi” bagi perjalanan kebudayaan dan kesastraan. Cerita pendek Jawa
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
5
Sebagai sebuah kenyataan kesastraan dan kebudayan, hal itu menunjukkan betapa sangat efektifnya karya sastra sebagai media propaganda politik. Akan tetapi, sesuai dengan keududukannya sebagai karya seni, kebanyakan cerita pendek Jawa berusaha menjauhkan diri dari masalah-masalah yang bersifat propaganda. Dengan kata lain, cerita pendek Jawa yang ditulis berdasarkan masalah-masalah keseharian (kelurga Jawa) atau masalah romantika cinta. Kenyataan seperti itulah yang menyebabkan cerita pendek Jawa menjadi salah satu bagian terpenting dalam media massa berbahasa Jawa.
Pengarang cerita pendek Jawa pada periode 2000-2010 antara lain A.Y. Suharyono, “Dhe-El Oh Dhe-El”, Djaka Lodang, No. 01/02, Th. XXXI, 2/9 Juni 2001; Agus Kurniawan, “Sakwise Acara Temu Wicara”, Jaya Baya, No. 46, Minggu III, Juli 2004; Amro Djuhendi, “Kebobolan”, Djaka Lodang, No. 49, Th. XXX, 5 Mei 2001; Andhika R., “Warung”, Djaka Lodang, No. 08, Th. XXXI, 21 Juli 2001; Anonim, “Gang Pace Maut”, Jaya Baya, No. 27, Minggu I, Maret 2007; Ardini Pangastuti Bn; “Merpati Sing Kelangan Swiwi”, Jaya Baya, No. 28, Minggu II, Maret 2007 dan “Gumblis!”, Jaya Baya, No. 24, Th. LIV, 13 Februari 2000; Ary Nurdiana, “Nyolong Pethek”, Jaya Baya, No.24, Minggu II, Februari 2007; Atas Danusubroto, “Wesel”, Djaka Lodang, No. 46, Th. XXXII, 12 April 2003; Budi S.P., “Dhasar Sial”, Djaka Lodang, No. 44, Th. XXXII, 29 Maret 2003; Chol. Sdm, “Neptu Pitulikur”, Jaya Baya, No. 48, Minggu Pahing, 30 Juli 2009; D.A. Sus, “Kesempyok Ombak”, Jaya Baya, No. 26, Minggu IV, Februari 2007; Daniel Tito, “Rokok”, Jaya Baya, No. 27, Th. LIV, 5 Maret 2000; “Rokok”, Jaya Baya, No. 27, Th. LIV, 5 Maret 2000; Dewi Wara Sumbadra, “Mbokdhene Ririn”, Jaya Baya, No. 12, Minggu IV, November 2008; Dhiana Andriyanti, “Tangga”, Jaya Baya No.16, Minggu III, Desember 2008 ; Dian D., “Bali Mulih”, Jaya Baya, No. 35, Minggu I, Mei 2009; Didik Sedyadi, “Mbalekake Silihan”, Djaka Lodang, No. 40, Th. XXXII, 1 Maret 2003; E. Suharjendra, “Gendhing Natal Pisan Ji Iki”, Djaka Lodang, No. 31, Th. XXXII, 28 Desember 2002; Ekapti Lenda Aneta, “Saupama”, Jaya Baya, No. 20, Minggu II, Januari 2007; Elissa, “Ngisup”, Panjebar Semangat, No. 21, 20 Mei 2000
Gandhung Sunarno, “Rembulan Kang Ndhadhari”, Djaka Lodang, No. 38, Th. XXXI, 16 Februari 2002; Hamdani M.W., “Mendhdung Sumilak”, Djaka Lodang, No. 27, Th. XXXII, 30 November 2002; Harwimuka, “Suporter Anyar”, Jaya Baya, No. 20, Minggu III, Januari 2005; Hermeini, “Pitakonku”, Jaya Baya, No. 46, Minggu Pon, 16 Juli 2000; Imam H., “Endhoge Blorok”, Jaya Baya, No. 15, Minggu II, Deseember 2008; Imam H., “Pambukaning Warana”, Djaka Lodang, No. 05, Th. XXXI, 30 Juni 2001; “Pambukaning Warana”, Djaka Lodang, No. 05, Th. XXXI, 30 Juni 2001; “Usum Maling”, Jaya Baya, No. 49, Minggu wage, 6 Agustus 2000; Imam Hidayat,
6
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
“Riyaya Taun Iki”, Djaka Lodang, No. 29, Th. XXXI, 15 Desember 2001; Is Sarjoko, “Kewirangan”, Djaka Lodang, No. 35, 30 Januari 2010; Ismoe Rianto, “Beo”, Jaya Baya, No. 50, Minggu III, Agtustus 2004; “Bethara Kala”, Jaya Baya, No. 34, Th. LIV, 23 April 2000; “Dhadhag”, Jaya Baya, No. 16, Minggu III, Desember 2006; J.F.X Hoery, “Berkah Natal”, Jaya Baya, No.17, Minggu IV, Desember 2008; “Sawabe Mbah Maridjan”, Jaya Baya, No.25, Minggu III, Februari 2007; Ki Ciptawara, “Berkah Ing Dina Kupatan”, Jaya Baya, No. 15, Minggu II, Desember 2004; Kus Tajianto, “Ing Terminal”, Jaya Baya, No. 21, Minggu IV, Januari 2005; Maryono N.T., “Kedhisikan”, Djaka Lodang, No. 42, Th. XXXII, 15 Maret 2003; Maryono, “Tembang Katresnan Kang Durung Rampung”, Jaya Baya, No. 18, Minggu I, Januari 2005; Mbah Brintik, “Nalika Dheweke Sida Teka Tenan”, Panjebar Semangat, No. 9, 26 Februari 2000; Mbah Putri, “Jam Tembok”, Jaya Baya, No. 12, Minggu III, November 2006; “Kecenthok”, Jaya Baya, No., 21, Minggu III, Januari 2007; Moch. Nursyahid P., “Sawitri”, Panjebar Semangat, No. 25, 17 Juni 2000; Mones, “Watoni”, Panyebar Semangat, No. 12, 18 Maret 2000; Nury Hastomo, “Katresnan”, Djaka Lodang, No. 41, Th. XXXII, 8 Maret 2003; Nyitno Munajat, “Bethara Kala”, Panjebar Semangat, No. 17, 22 April 2000; Pake Angga, “Mbako”, Panjebar Semangat, No. 16, 25 April 2000; Pakne Puri, “Stasiun”, Jaya Baya, No. 36, Minggu II, Mei 2009; Prasetyo D., “Triyono”, Jaya Baya, No. 31, Minggu I, Apr. 2009; Prayoga, B.A., “Ronggeng Dhusun Madukara Banjarnegara”, Djaka Lodang, No. 34, Th. XXXI, 19 Januari 2002; R. Hartoko, “Kebablasen”, Djaka Lodang, No. 43, Th. XXXII, 22 Maret 2003; Rini T. Sudewo, “Aku, Bapak, lan Duren”, Jaya Baya, No. 13, Minggu V, November 2008; “Bojoku Pindhah”, Jaya Baya, No. 22, Minggu IV, Januari 2007; Sartono Kusumaningrat, “Durna-Durna”, Djaka Lodang, No. 05, 3 Juli 2010; Sie Erlangga, “Dhuwit”, Jaya Baya, No. 37, Minggu III, Mei 2009; Siti Aminah, “Maratuwa”, Jaya Baya, No. 47 Minggu Kliwon, 23 Juli 2000; Soegiyono M.S., “Sengit Ndulit”, Djaka Lodang, No. 36, Th. XXXII, 1 Feb. 2003; Soekowijono, “Soinah”, Jaya Baya, No. 02, Minggu II, September 2004
Somdani, “Bangkrut”, Jaya Baya, No. 39, Th. LIV, 27 Februari 2000; Sri Sugiyanto, “Riyaya Ati Kang Rengka”, Djaka Lodang, No. 30, Th. XXXI, 22 Desember 2001; Sudadi, “Warisan”, Djaka Lodang, No. 38, Th. XXXII, 15 Feb. 2003; Sudarsono S.G., “Paranormal”, Djaka Lodang, No. 39, 27 Februari 2010; Sugeng Pujo D.H.R., “Kabegjane”, Djaka Lodang, No. 06, Th. XXXI, 7 Juli 2001; Sugeng Wiyadi, “Kriting”, Jaya Baya, No. 23, Minggu I, Februari 2005; Suharmono K., “Kodrat”, Jaya Baya, No. 01, Minggu I, September 2004; Sumono Sandy Asmoro, “Dalan Pilihan”, Jaya Baya, No. 18, Minggu I, Januari 2009; “Jam Sewelas Ing Terminal Lawas”, Jaya Baya, No. 19, Minggu I, Januari 2006; Sunarkoba, “Kongkang Mangungkung
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
7
“Napak Tilas”, Jaya Baya, No. 22, Th. LIV, 30 Januari 2000; Suparto Brata, “Kekejera Kaya Branjangan”, Panayebar Semangat, No. 14, 1 April 2000; “Sumpahe Arek Surabaya”, Jaya Baya, No. 10, Minggu II, November 2008; Suryadi W.S., “Sadrananku Taun Iki”, Jaya Baya, No. 11, Minggu II, November 2006; Sutar Mayabudi, “Embah Gabug”, Djaka Lodang, No. 52, 29 Mei 2010; Sutarmanto, “Pasrah”, Jaya Baya, No. 03, Minggu III, September 2004; Sutrisna Hari, “Kekesing Angin Teluk Venesia”, Djaka Lodang, No. 01, 5 Juni 2010; Suwadi W.S., “Bening Banyune Sendhang”, Jaya Baya, No. 48, Minggu I, Agustus 2004; Terry S., “Lugu”, Djaka Lodang, No. 44, Th. XXX, 31 Maret 2001; Titik Kartitiani, “Sadawaning Rel Jakarta-Malang”, Jaya Baya, No. 22, Minggu V, Januari 2005; Tiwiek S.A., “Omah Blok E, Nomer 13”, Djaka Lodang, No. 04, 26 Juni 2010; “Tragedi Ing Banjarjumput”, Jaya Baya, No. 38, Minggu IV, Mei 2009; Trinil, “Klelep”, Jaya Baya, No. 23, Minggu I, Februari 2007; “Nginang”, Jaya Baya, No. 23, 6 Februari 2000; Turiyo Ragilputra, “Mangga, Pak Guru…”, Jaya Baya, No. 28, Thn. LIV, 12 Maret 2000; Wasidi, “Omah Pinggir Dalan”, Djaka Lodang, No. 37, Th. XXXI, 9 Febriari 2002; Widayati, “Guru”, Jaya Baya, No. 40, Th. LIV, 4 Juni 2000; Widodo Basuki, “Critane Gendra lan Penthul”, Jaya Baya, No. 43, Minggu Pahing, 25 Juni 2000; Yudhet, “Jem”, Jaya Baya, No. 47, Minggu VI, Juli 2004.
Dari nama-nama yang muncul pada periode 2000-2010, tampak bahwa pengarang muda Jawa bermunculan seiring dengan lahirnya generasi baru. Di samping itu, pengarang-pengarang yang sudah muncul lebih dahulu muncul (ada yang sudah dikenal sejak tahun 1960-an sampai dengan tahun 1990-an), tetap menulis, misalnya Suparto Brata, Iesmu Rianto, Tiwiek SA, Daniel Tito, Suharmono Kasiyun. Hal ini menunjukkan bahwa surutnya seorang pengarang akan digantikan oleh pengarang baru, misalnya Siti Aminah, Sumono Sandy Asmoro, Sutarmanto, dsb. Pengarang itu menulis dengan tema yang bermacam-macam, sesuai dengan isu yang berkembang pada zamannya. Adanya saling mengisi yang menyambung keberlanjutan penulisan cerita pendek Jawa tentu saja sangat memberikan harapan keberlansungan sejarah sastra Jawa. Kehadiran penulis lama dan penulis baru pada dunia sastra Jawa modern juga disertai upaya untuk meninggalkan tema-tema atau masalah yang sudah ditulis pada periode sebelumnya, misalnya masalah percintaaan yang dangkal (tanpa pesan kesastraan). Namun, demikian dari data yang ada, ternyata halhal seperti itu masih juga belum sepenuhnya dapat dihilangkan dalam penulisan cerita pendek Jawa.
8
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
PERIODE 2000-2010
Supandi
Srengenge wis ngglewang mengulon, nalika aku diudhunake saka mobile anakku neng pinggir dalan cedhak wit asem iku.
Wektu iku kira-kira jam 3 sore tanggal 5 Agustus 1998. Sunare srengenge isih krasa sumelet.
Aku age-age lungguh cedhak wit asem—ya wit asem sing dhek 56 taun kapungkur dakpeneki lan dakplinthengi wohe—sing edhum lan eyub.
Caping bodhol silihan dakglethakake cedhak pathok kilometer sing ana angka petunjuk Kta. 6—Pwr. 6. Panggonan iki udakara 300 meteran tilas daleme Bapak/Mamak Suwargi, sing saiki wis dadi pekarangan suwung dadi duweke wong liya.
Aku wiwit tata-tata arep nlusuri “jalan kenangan” lan yen bisa kepengin sisan “menghayati” kedadeyan setengah abad luwih sing wis kliwat.
Kanthi sengaja “nyeker’ (ora nganggo srandhal utawa sepatu), nganggo klambi potang aring werna putih tuwa, kathok ireng lusuh kedhodhoran lan nganggo caping, bodhol, aku wiwit Bismillah …, gliyakgliyak mlaku ngetan ..., dhewekan ....
Aku karo Bapak lagi wae dhog mulih saka sawah, macul, ndadak krungu swarane Mamak (ngono aku ngundang ibuku), grenengan nesunesu. Sing dinesoni ketoke kok simbah putri sing lagi wae seminggu andhok neng omahe Mamak neng ndesa.
“Nek Mamak—ngono uga ibuku yen nyeluk simbah putri—ora kersa urip sakanane kaya ngene, ya mulih wae kana neng nggone Jaeni. Ngerti wong jaman gek werik ngene, penginane kok rupa-rupa! Apa sing kepengin ngombe teh legi, kepengin ngombe kopi! Takkandhani ya Mak, bisa mangan sedina sepisan wae wis pira-pira.”
“Ya wis, aku ora arep njaluk rupa-rupa. Ora arep kepengin ngombe wedang legi, wis,” wangsulane simbah karo gurawalan ngusapi luhe nganggo slendhange.
“Lha kok wis nggawa slendhang barang, arep purik maneh ta? Arep mulih nang ngomahe Jaeni maneh ta? Ya kana, nek ora gelem nrima [ 12 ]sakanane!” panyentake Mamak nyedhaki simbah karo arep narik slendhange.
Simbah putrid takrangkul lan tak geret metu nyang latar. Karo nangis ngglolo simbah njaluk supaya aku ngeterna neng omahe Paklik Jaeni ing kutha.
“Nang, ayo mulih wae Nang, Simbah terna! Aku ora kuwat nek dioso-oso karo Mamakmu!”
Krungu ngendikane Simbah putri kaya ngono mau, Mamak sangsaya mubal nesune. Aku nyamber klambi potang aring lan caping nuntun Simbah menyang ndalan, mulih mlaku menyang kutha.
Capet-capek aku isih krungu pambengoke Mamak, “Sisan nggawe Nang, kowe aja mulih mrene maneh!” Aku karo mlaku ngudarasa, “O, alah kok kaningaya temen lelakon iki....”
Rikala semana aku wis tamat saka Dai Ichi Gakko wulan Juli 1942, lan wis bisa ketampa neng Chu Gakko (SMP-ne Jepang). Nanging amarga kahanan sing amburadhul, aku kepeksa njaluk metu saka Chu Gakko.
Jan-jane ya eman banget, sebab saringan mlebu neng Chu Gakko kuwi angel banget. Murid sing pethingan thok sing bisa lolos saka saringan. Sebab saka murid 125 (telung kelas) saka Di Ichi Gakko “Sampoerna I” (Sekolah Rakyat gabungan saka sekolah-sekolah sing nganggo pengantar basa Landa), mung bocah 30 sing ditampa. Pancen eman-eman banget.
Sakwise metu sekolah, ya, nganggur. Paling melu bantu-bantu Bapak neng tegalan apa sawah.
Kahanan jaman Jepang wektu iku banget sengsarane. Klambi sasetel gantung kepuh. Yen dhong dikumbah, kepara kungkum utawa njerum kaya kebo neng kali karo ngenteni klambi garing.
Mangan mung sakanane. Kuwi wae arang-arang nemu sega. Paling sega jagung, thiwul, utawa mung trima mangan ongol-ongol. Dipangan lawuh kuluban utawa jangan lompong. Mangan dadi mung asal wetenge kisenan, embuh apa isine. Pokoke ora mati kaliren.
Mula aku ya ora maido yen Mamak cepak banget dukane, yen simbah putrid njaluk sing ora-ora.
Kosok baline, simbah putri sing wis biasa urip kepenak nalika jaman Landa—maklum simbah kakung pensiunan sersan KNIL lan entuk pensiun f.87,50/sewulan—ketoke angel banget anggone “menyesuaikan dhiri” karo kahanan sing sarwa kesrakat iki. Mangan enak wus rumasuk ing balung sungsum.
Simbah taktuntun alon-alon, karo isih ngelapi iluhe nganggo slendhang. Melas banget simbah iki. Dikira srengenge panggah tetap mencorong nganti surup, ora ngerti Jepang nyerbu Pulau Jawa. Gantungan panguripan siji-sijine, dicumpet karo bala tentara Dai Nippon. Pensiune simbah distop…, top! [ 13 ]“Wis, ah, Mbah menenga, isin! Galo diingeti wong liwat,” pangeriherihku.
Ngarepake surup wis tekan pinggir kutha. Ketoke simbah kesel banget sebab wis mlaku dohe 5 km. Terus ndheprok sangisore wit kenari. Omahe Lik Jaeni udakara isih 500 meteran maneh.
Sawise rada aring napase, simbah takjak mlaku maneh, nanging simbah emoh, malah karo memelas ngendika, “Nang, nek Likmu Jaeni ora gelem nampa, njur gek kepiye?”
“Lho, kok ngono ta, Mbah?” pitakonku.
“Aku wedi nek Likmu Jaeni karo bojone nesu maneh.”
“Sebabe..?”
“Awit seminggu kliwat, aku lunga neng nggone mamakmu, jalaran aku tas padu karo Likmu wedok.”
“We …, lha blaik nek ngono,” selathuku putus asa.
Kanggo nlesihake kedadeyan iki, ana becike aku luwih dhisik nemoni Lik Jaeni, karo ndelok sikap lan reaksine.
Simbah sawetara daktitipake nggone Siwa Sarip, sing omahe ora pati adoh saka kono.
Bedhug Maghrib wis muni saka mesjide Kyai Ngaluwi. Kahanan kampung wis peteng repet-repet. Racake omah-omah mung pasang lampu teplok utawa senthir, ming siji. Malah akeh omah sing petengan wae. Jaman Jepang golek lenga patra angele nauzubillah. Paling yen entuk pambageyan sakliter. Ning ya kuwi mau…, antrine dawa ngaluk-aluk meh nganti sakkilo meter.
Langsung aku marani omahe Paklik. Omahe ketok peteng. Mung ana lampu senthir siji neng tengah omah. Urube mendlap-mendlip. Padhange dipangan peteng sing leliwengan.
Ndilalah Paklik lagi tindakan. Sing ana mung Bulik Jasmi thengukthenguk jagong kursi neng petengan.
Bareng ngerti aku sing teka, langsung Bulik pasang ulat. Raine sih pancen ora ketok, ning suarane.
“Ana apa, nang, bengi-bengi kok teka?” suarane jelas ora semanak.
“Kula Bulik, kalih Mbah putri.”
“Lha endi wonge?”
“Kekeselen, kula titipke nggene siwa Sarip.”
“Ngene Nang…, aku arep terus terang karo kowe. Nek simbahmu isih ora bisa ngrubah adate, aku emoh kanggonan. Timbangane mung regejegan saben dina. Ben aku disengeni karo Likmu Jaeni ora apa-apa. Tap dhepanane.” Ngono ngendikane Bulik isih akeh-akeh maneh, sing suarane banget nyerikake.
Sakala sirahku sremrepet mumet lan rasa lenglengan. Setengah eling aku isih bisa ngrungokake “krama inggile” Bulik sing natokake ati. Amarga nyenggol-nyenggol bab sing gegandhengan karo harga dhirine simbah. [ 14 ]Awakku krasa mubeng lan entheng banget, kaya kemleyang. Kontrol enderaku macet total. Sakbanjure aku ora kelingan apa-apa maneh.
Sepisan maneh takiling-ilingi “kostum kebesaranku”. Kanthi penyamaran kaya ngene, aku yakin mesthi ara ana wong ndesa kono sing ngenali aku. Nanging ana wae wong kang takon lan ngaruh-aruh, “Ajeng teng pundi Mbah? Kok mlampah mawon?” Aku kaget. Bareng tak tamatake, aku ora kenal. Dakwangsuli sakkepenake, “Ajeng teng kitha, Nak.”
Karo mlaku alon-alonan, pikiranku takputer sakkuwatku, bali menyang jaman Jepang dhek taun 1942, 56 taun kepungkur.
Nanging meksa tetep angel banget. Lalu lintas kendharaan sing jaman semana sepi mamring, saiki kebak mence. Sepedhah montor sing mbengung, pating craeke kenek angkot lang angdes uga gemrebege truk lan bus antarkota sing padha balapan, nganggu konsentrasiku.
Stanplat bus antarkota wis takliwati. Saiki aku mandheg ing sangarepe patung Jendral A. Yani sing ngadeg kukuh ing tengah kompleks monumen.
Jam papat sore aku wis tekan pasar Kentheng, pasar sing biyen rame yen pinuju pasaran, gemrenggeng tumawon, saiki wis ilang. Bekase didegi gedhung kantoran, sekolah lan warung-warung wedang.
Aku mlebu neng salah jinine warung wedang, lungguh mepet rada memburi lan adoh saka wong-wong liyane sing lagi medang. Aku ngrumangsani jer panganggoku kaya kere. Wedi yen kacenthok lan disawiyah liyan. Aku pesen teh tubruk karo gorengan tempe mendhowan.
Wong-wong padha ngingeti, mengkono uga sing duwe warung. Pesenanku ora enggal diladeni. Aku ngerti. Aku dikira wong ngemis sing arep njejaluk.
Aku kapeksa kudu gawe gerakan kanggo mbukak mripate wongwong kuwi. Aku rogoh-rogoh sak klambi potang aring, njupuk rokok Dji Sam Soe, sisan karo ngatutake dhuwit lembaran rong puluh ewonan. Dhuwit mau sengaja dakiling-ilingi sabanjure daksaki maneh. Wong-wong sing padha jajan ndhingkluk karo klincutan. Sing duwe warung klepat lunga memburi. Ora let suwe pesenanku wis cumepak neng meja.
Aku ora nyalahake sapa-sapa, aku dhewe sing salah. Panganggoku wer-ewer caping bodhol, nuwuhake panyangka liyan, yen aku mesthi wong ngemis sing arep pepriman.
“Nuwun sewu, Pak…,” mengkono pangucape sing duwe warung karo nampani dhuwit bayaran tempe lan wedang sing tak ombe.
“Mboten napa-napa, Nak, malah bapak ingkang nyuwun pangapunten,” wangsulanku karo metu saka warung.
Thimik-thimik …, lakuku takterusake.
Tekan sangisore wit kenari sing dhek biyen kanggo ndheprok simbah putri, aku mandheg lan ngiling-ilingi wit mau. Pranyata wit mau isih
14
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
Sacedhake wit kenari mau, kok ya isih panggah ngadeg pathok kilometer. Tulisane: Kta. 11—Pwr. 1. O…, lha kok isih padha dhek biyen.
Kalen iki kok ya isih ana, ning saiki pinggire wis ditembok. Saklore dalan ketok sawah amba ngilak-ilak. Parine lagi padha mlencuti. Sesawangan katon ijo royo-royo nengsemake. Ing galengane ketok pating crongot pring lanjaran kacang panjang kang lagi padha kembang. Kembange pating prenik werna ungu, ngayemake ati yen dinulu.
Rada adoh sakburine grumbulan wit turi, katon ngegla pendhapa Kelurahan Doplang. Ya ing pendhapa iki biyen sing sok kanggo nganakake pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pagelaran wayang kulit mau dianakake ing wulan Rejeb sisan karo nganakake slametan bersih diesa.
Dene kalen iki, sing misahake dalan gedhe lan sawah, arupa kalen irigasi kanggo ngoncori sawah sing banyune mili saka kali Kedhungputri lan kali Bogowonto.
Ing kali kuwi biyen akeh iwake. Lele, wader, lan urang. Kalen iki wis tau melu nguripi aku lan simbah nalika dhek jaman Jepang, nalika pensiune simbah dicures karo Jepang. Saben rong dina sepisan aku mesthi golek iwak ing kalen iki. Oleh-olehane lumayan kena kanggo nyambung urip.
Karo ngelapi kringet sing dleweran, aku mesem dhewe ngelingi sengsara lan nelangsane uripku biyen. Kenangan mau saiki dakrasakake maneh. Kenangan mau alon-alon nlusup mlebu ing dhadhaku …, cles, anyes! Kenangan pait kuwi malih, malik dadi endah ngelam-elami. Dhadhaku dadi kebak rasa kabegjan lan kanugrahan kang ora kinira-kira. Ora krasa luhku melu dleweran.
Dhuh, Gusti, matur nuwun! Aku isih diparingi umur, isih menangi “masa laluku” sing wis suwe banget. Allahu Akbar.
Napak tilas tak terusake. Mongkoging ati ndeleng sesawangan kang endah mau dakkipatake. Liwat ngarep omahe Wa Sarip aku mandheg sedhela. Bocah cilik sing ngingeti aku nalika daktakoni, kandha yen simbah Sarip wis suwe mati. Omahe wis didol. Saiki didegi bangunan anyar, Balai Pengobatan.
Omah-omah racake kabeh wis direnovasi. Ndhuwur payon pating prentul antene TV, malah ana sing masang parabola. Wah, wis padha makmur saiki ….
Lakuku tak terusake ngalor, marani omage Lik Jaeni. Omahe wis dibongkar. Saiki dadi kebonan suwung. Pak Lik lan Bu Lik Jasmi yaw is padha seda.
Cengkelak aku bali nyang dalan gedhe. Sebab wis semayan karo anakku supaya jam setengah nenem sore dijemput. Ancer-ancere cedhak
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
15
Akeh wong kampung kono lan bocah-bocah sing padha ndelok saka kadohan. Untung wae wis ora ana sing kenal. Jalaran aku wis dadi bocah kampung kono lan umure wis tambah 56 taun. Wis dadi kakek-kakek….
Nalika tekan ngisor wit kenari, ana sawetara bocah sing melu ngetutake. Ning padha mandheg lan ngawasi saka kadohan. Sajake padha mikir, are papa maneh kere tuwa iku. Kok nyalawadi.
Aku lungguh slonjoran. Pikiranku kang isih terbius, nyoba nlusuri lan nggathuk-nggathukake kasengsaran siji lan sijine. Ajen kesengsaran kang wis kapisahake karo dawaning wektu.
Geneya aku kok nganti keraya-raya mengkono? Direwangi ora idhep isin nganggo klambi kaya wong ngemis? Dikira arep njejaluk karo wong sing duwe warung? Dikinthil bocah-bocah sing mbok menawa nyangka aku wong gemblung lan wong tuwa sing wis ora ganep pikire?
Embuh, aku dhewe ora ngerti. Sakbenere aku nganggo penganggo sing kaya wong ngemis mau ora duwe karep apa-apa. Sebab ya panganggo sing kaya ngono iki sing dakenggo rikala dek jaman semana. Dhek rikala seket nem taun kepungkur. Rikala jaman Jepang sing wis nguras lan mblejeti ajine dhiri ajine bangsa Indonesia nganti pating sranthil. Ora luwih lan ora kurang.
Nanging, embuh kepiye, sakwise aku klakon ngleksanani napak tilas mau, ing atiku duwe rasa marem, dhadhaku dadi kebak mencep. Ing ati iki kebak rasa kang mongkok, nganti luber dleweran.
Aku rumangsa wis nglakoni barang lair sing tak anggep duwe aji kang gedhe. Aji ngleluri, aji pangeling-eling karo wong-wong sing wis tau cedhak karo dalaning uripku, cedhak karo batinku, lan wong-wong mau kabeh arupa figur-figur kang banget daktresnani. Embuh, ben na kaya ngapa kelakuane lan adate sing apik lan sing ala dhek rikala semana. Ning kabeh mau duwekku. Kabeh mau aku rumangsa handarbeni lan perlu angrungkebi.
Alam pikiranku kang lagi nganglang kaya abure manuk branjangan, lan adoh ngulandara, dumadakan: pyyyaaar, ilang lan cunthel.
Sebab kasaru gumerite rem mobil Mazda Capella abang kang mandheg ngeget cedhak lungguhku. O…, jebule anakku wis teka mapag. Aku age-age mlebu neng mobil lan brusat-brusut ganti kathok lan klambiku.
Nalika mobil ngliwati bocah-bocah sing padha ngetutake mau, padha ndomblong semlengeren ndelokake kedadean mau. “Apa wong tuwa kere mau diculik ya?” mbok menawa mengkono pangirane.
16
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
karo sisan mulih neng Bandung, aku sengaja merlokake menggok menyang Magelang, perlu nyekar pasareane Simbah Putri ing makam Potrobangsan, terus menggok ngidul maneh liwat Purworejo, nyekar ing pasareane Simbah Kakung, Lik Jaeni lan Bulik Jasmi neng Doplang, lan kang pungkasan neng pasareane Ibu lan Bapak ing Grantung.
Muga-muga wae arwah-arwahe suwargi ditampa Iman-Islame lan diapura dosa-dosane dening Allah. Amin ya Rabbal Alamin.
Jaya Baya, No. 22, Th. LIV, 30 Januari 2000
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
17
Ardini Pangastuti
Lukisan iku durung rampung. Isih setengah dadi. Nanging senengku
wis ora kinira. Anggrek ungu kang endah. Wis suwe aku kepengin lukisan
anggrek ungu kaya iku. Lagi saiki bisa katekan. Rasane ora bosen-bosen
anggonku nyawang.
“Iki mengko yen wis dadi bakal luwih endah maneh.” Mas Dony, bojoku sajake ngerti apa kang lagi takpikirake.
“Lha kapan dadine?”
“Aku ora bisa nemtokake wektune kanthi pas. Nanging tak jamin, wayahe ulang taunmu mengko lukisan iki mesthi wis dadi.”
Aku ngetung-etung. Saiki tanggal 9. Ulang taunku tanggal 16. Ateges kurang seminggu maneh.
“Kok suwi, Mas. Adate njenengan nek nglukis rak gelis.”
“Wow …, iki beda. Lukisan iki rada spesifik. Carane nggores ora waton. Kudu alon-alon. Dimatke tenan. Dilaras. Aku kudu mahami tenan karaktere lukisan iki, ora beda aku mahami perasaanku dhewe. Kowe ngerti?” Mas Dony nyawang aku.
Aku gedhek. Senajan bojoku kuwi pelukis, nanging kawruhku bab lukisan ora akeh. Yen mung wujud bleger, aku bisa ngarani, lukisan kuwi apik apa ora. Nanging yen suwalike gambar, sing dakbiji apik utawa suwalike, apa maknane aku ora ngerti. Sebab (iki jarene Mas Dony), lukisan iku ora beda karya sastra. Pengarange anggone nyampekake pesen ana sing thok leh, ana sing nganggo pralambang utawa bahasa simbol. Yen thok leh, wis genah, wong maca langsung ngerti marang apa sing dikarepake dening pengarang mau. Nanging yen nganggo pralambang utawa symbol, wong maca ora langsung ngerti. Kudu dipikir dhisik lan dionceki, apa ta satemene sing dikarepake dening pengarang iku. Mangkono uga lukisan. Wah, urusan karo seniman pancen repot!
“Lukisan iki mujudake ekspresi saka ensesi rasa asih kang paling jero,” swarane Mas Dony keprungu kedher.
“Lan kuwi kanggo aku?”
18
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
Anyes!
Atiku dadi kemrenyes. Sanajan ora diucapake, aku ngerti apa tegese panyawang kuwi.
Ana geter-geter endah ing njero dhahaku. Perasaan kaya mangkene iki saelingku biyen tau tak alami nalika jaman pacaran lan penganten anyar. Sawise sawetara dadi bojone, saben dina adu arep, turu amor lan runtang-runtung wong loro, rasane kok malih biasa-biasa wae. Wis ora greng maneh lan ya ora nganggo dheg-dhegan dhisik yen ketemu. Nanging saiki … ah, upama ora kelingan ana arisan RT, aku luwih seneng neng ngomah. Nunggoni dheweke nglukis sinambi nglaras endahe rasa sing gumonthang ing njero dhadha.
Kanthi abot aku menyat ninggalake bojoku. Witikna, arep ora menyat ya kepriye. Wong aku dadi bendhahara lan buku arisan sing nggawa aku. Ya wagu yen ora teka tanpa alasan sing jelas.
Temenan, tekan daleme Bu Prapto sing pancen oleh giliran tampa arisan, Ibu-ibu wis padha ngumpul.
“Wah, iki mau meh wae disusul, Bu. Dingaren, adate rak gasik. Kok telat rada suwe,” cluluke Bu RT durung aku nganti kober ngentebake bokong.
“Ana tamu.” Aku kapeksa goroh.
Buku langsung takbukak. Horotoyoh sing padha arep mbayar langsung kemrubut. Pating cruwet swarane.
“Aku …, Bu … aku ….”
“Iki dhobel karo sing sasi wingi.”
“Iki aku karo Bu Bariyah.”
Wadhuh, aku bingung. Lha kabeh padha njaluk dhisik. Sing njelehi, sing jenenge durung nganti dicathet dhuwite wis diselehake banjur ditinggal ngalih. Rak ngisruh-ngisruhi. Wah, urusan karo ibu-ibu kampung pancen ngewuhake. Yen diaturi antri lan tertib ngono angele ora jamak. Isih kepenak ngandhani cah cilik.
“Lho, Bu Warid, iki kok dhobel papat. Priyayine rawuh ora?” aku ngiling-ilingi ibu-ibu sing padha teka arisan sawise rampung olehku nyathet lan ngetung dhuwite.
“Ora, Bu.”
“Ora titip.”
“Mau tak ampiri lawange tutupan.”
“Lha yen ngene iki rak mesakake liyane. Sing oleh giliran mothel ora genep.” Aku bali ngetung dhuwit maneh. Kurang sewidak ewu. Bu Warid dhobel papat, liyane ana sing ora menyang loro lan ora titip. Aku saiki wegah nomboki. Mbiyen soale wis tau ketatalan. Yen ana sing kurang ngono njur ndaktomboki. Daktutup. Nanging suwe-suwe kok njur dha
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
19
maneh.
“Bu, soal Bu Warid, mengko wae dakkandhani,” Bu Barjo sing lungguhe jejerku njawil aku.
Aku manthuk.
Sawise arisan rampung, aku langsung njawil Bu Barjo.
“Ngendikane mau aren ngandhani aku?”
“Bu Warid ki rak lagi ana masalah ta, Bu. Sing lanang edan karo wedokan liya. Wow …, rame, Bu. Njenengan apa ora mireng saestu, Bu Warid rak dipala karo sing lanang njur saiki purik nyang nggone wong tuwane.” Bu Barjo olehe kandha karo klesak-klesik.
“Kok njenengan ngerti, Bu?”
“Lha wong omahku karo Bu Warid rak mung adu arep. Ana apaapa aku rak ya mesthi wae ngerti.”
Omahe pancen ana gang mburi, rada adoh karo omahku. Mesthine kampung iki ora mung sa-RT. Wong wargane akeh banget. Meh seket. Nanging wong-wong wegah nek dipisah. Akeh ya ben, malah katon guyub, ngono alasane.
Satemene, kaya padatan bubar acara arisan isih ana acara maneh. Yen ora masak ya ketrampilan liyane. Sing ngisi gentenan. Kadhang saka warga dhewe, saka kelurahan utawa sawenehing sponsor. Pokoke kumpulan PKK ing RT-ku mesthi gayeng.
Aku pamit bali dhisik. Ora ngenteni dhemo masakan saka sawenehing sponsor sing mrodhuksi alat masak serba guna. Aku kepengin nunggoni bojoku nglukis. Yen daktunggoni mengko rak luwih semangat, saengga cepet rampung. Aku selak kepengin weruh anggreke kae kaya ngapa mengko dadine.
Karo mlaku tumuju ngomah sing dohe saka daleme Bu Prapto watara 500-an meter iku, pikiranku dikebaki wewayangane Mas Dony. Terus terang, aku mongkog dadi bojone. Dheweke ora mung apik rupane, nanging uga apik sak njeronane. Kebak pangerten, ora kakehan polah lan sing paling penting dheweke gemati karo aku. Ora kaya Pak Warid sing gelem milara bojone mung merga kedanan wedokan liya. Mas Dony uga ora kaya bapak-bapak liyane ing kampungku sing racake padha doyan main kertu.
Lakuku rada dakgelak amrih cepet tekan ngomah. Aku kepengin ngandhakake apa sing dakrasakake iki manawa aku tresna marang dheweke lan tansah sesandhingan kanggo salawase. Ora ana kang bakal misahake kajaba pati. Malah upama reinkarnasi iku ana, mbesuk upama dilairake bali ing ngarcapada aku tetep kepengin urip bebarengan karo dheweke. Gusti, matur nuwun dhumateng sedaya kamurahan Paduka ingkang sampun paring kamulyan dhumateng kawula, batinku trenyuh.
20
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
sepedha montor abang kang diparkir rada ing pojokan, kaling-kalingan wit kemuning. Aku apal, sapa sing duwe sepedha montor kuwi. Nanik, pegawai apotik langgananku. Aku karo dheweke dadi kenal apik merga saben aku njupuk resep kok ndilalah dheweke sing ngladeni. Ngomongngomong njur suwe-suwe dadi akrab. Malah yen ana resep sawayahwayah upama aku ora bisa njupuk dhewe kena dititipake dheweke. Wong omahe sakjalur, saben dina dheweke ngliwati omahku. Dadi aku cukup tilpun, kabeh bakal beres.
Temenan. Apa pakone Nanik dakturut. Kaya mau bengi, oleh resep saka Dhokter Han, dhokter langganane Mas Dony, aku cukup tilpun marang Nanik. Esuke arep kerja Nanik mampir menyang omahku saperlu njupuk resep, mengko baline diampirake (Mas Dony pancen duwe kelainan karo pencernaane, saengga saben rong minggu sepisan mbutuhake kontrol dhokter).
Aku mlebu ruwang tamu sing bukakan. Sepi. Nanik ora katon irunge. Semono uga Mas Dony. O …, mbomanawa ana studio. Nanik rak seneng karo lukisan. Dheweke uga asring nonton Mas Dony nglukis. Yen ngepasi ngampirake obat, upama ngerti Mas Dony nglukis ngono biasane Nanik nyempatake nonton olehe nglukis Mas Dony ora ketang sedhela.
Jegagik, jangkahku kandheg ing ngarep lawang studio. Sikilku rasane kaya kepaku ing bumi. Gusti…, apa mripatku ora salah deleng? Sing lagi kekepan ing ngarep lukisan anggrek sing durung dadi kuwi Mas Dony lan Nanik. Edan! Rasane aku kepengin njerit. Nanging lamabeku kaya kekunci. Dadine aku mung bisa mlorok nyawang adhegan romantis kaya sing kerep daktonton ing sinetron. Aja takon kepriye rasane atiku.
Alon-alon sikilku dakpeksa ngedohi ruwang studio. Mumpung aku isih duwe kekuwatan kanggo oncat. Gengsi rek yen aku nganti ambruk ana ngarepe Mas Dony. Aku gela, ngapa mau kok ndadak kesusu mulih barang. Upama aku mau ora kesusu bali, jathuka rak ora perlu weruh sesawangan sing nglarakake ati iku.
Aku mlebu kamarku dhewe. Sirahku puyeng. Pikiranku kuwur. Aku perlu nata atiku sing morat-marit dadakan iki sadurunge gawe keputusan. Eh, apa bener sing dikandhakake kanca-kancane Mas Dony Manawa seniman kuwi putuh petualangan-petualangan, mbutuhake sensasi-sensasi kanggo ngasilake karya agung, karya sing spektakuler, embuh, ah! Kanggoku kuwi kabeh embel gedhes, tai kucing, gumblis!
“Katresnan kuwi aneh. Ngurmati. Kadhang sok angel dipahami. Nanging senajan dikaya ngapa, tetep wajib disyukuri minangka berkah saka Hyang Widhi. Sebab tresna bisa nuwuhake rasa tentrem, rasa ayem, lan mulya ing ati,” ujare Mas Dony sawijine wektu.
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
21
Apa iya kanthi pawadan tresna aku kudu ngapura tumindake sing mentas dakkonangi kuwi? Gumblis!
Jaya Baya, No. 24, Th. LIV, 13 Februari 2000
22
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
Somdani
Sastro Lentho mrekitik atine bareng meruhi dhayohe Yu Gini ora
mekakat akehe. Atase Yu Gini iku randha, ewadene kok gawe pengerameram kaya mangkono. Anggone duwe gawe mantu gedhen, nanggap
klenengan “Merdika Laras” sing taripe klebu larang. Gek sindhene wae
ora trima loro, nanging malah papat. Ayu-ayu tur larang tanggapane.
Sastro Lentho grenengan, kaya wadul nyang bojone, “Ha, iya, atase Gini
kuwi randha, kok wani duwe gawe gedhen kaya ngono. Apa padune
golek wah, pa piye?”
“Ya gak ngono, Pak! Gini kuwi anake rak mung loro glitho. Sing siji lanang, mula mumpung mantu anak wadon, terus digawe gedhen ngono kuwi….”
“Ha, ning rak ya kudu nganggo dietung. Atase randha ora duwe wong lanang, kok nanggap klenengan sindhene jagatan. Mengko nek nandhang utang, sapa sing nambeli?”
“Kuwi yaw is dipetung, Pak! Anane wani kaya ngono, lha wong nyatane tamune ora umum akehe.”
“Halah, aku ngono gak sulap karo akehe tamu. Akeha kae, wong sumbangan cilik, mangsa bisa nutup ragat?”
“Aja ngemengke karo Gini lho, Pak! Dheweke ki akeh srawunge, wong bakul jamu. Tur Gini kuwi sregep nyumbang lan saben nyumbang mesthi nggawa gawan, gula teh, beras, lan liya-liyane.”
Sastro Lentho rada kalah rembug karo sing wadon. Awadene meksa ngetokake aji pengeyelan, “Haiyah, wong ora ngerti saben dinane, kok crita! Sing mesthi, bubar duwe gawe ya tangisan kuwi thik, apa? Sing arep kanggo tambel apane? Ayune…?”
“Lho, lho …, kok tekan ngendi-endi, Pak omonganmu! Ora tambel lho awake dhewe iki! Kok semune ngenyek sampeyan kuwi karo Gini! Mbok wis bene, bathi-rugi rak disangga dhewe, ta?”
“Ya wis …, rewangana kana dulurmu kae…!”
Sastro Lentho nglungani. Runtiking atine iku sejatine ana sejarahe. Merga dheweke wis taou diwirang-wirangake dening Yu Gini.
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
23
sapi sing kondhang jeneng Sastro Lentho iku melu-melu nggodha randha umur patang puluh taun iku. Pawitan dhuwit sakgebung pepayone sapi siji, dheweke wani dolan nyang omahe Yu Gini. Dheweke duwe panemu yen wong wadon kuwi akeh-akehe mata dhuwiten.
Mara sepisan durung wani nembung. Dheweke mung mamerake dhuwite sing sakgebung iku. Mangka sejatine dhuwit kuwi dhuwit dagangan padolane sapi sing kudune ditukokake sapi maneh. Kok kanggo pameran? Padune duwe pamrih arep ngesir randha sing wektu iku diparani. Omongane nggedebus, jare dhuwit semono akehe iku dhuwit mrungga. Malah banjur dionyok-onyokake marang sing duwe omah.
“Kowe kuwi pa gak butuh tambahan pawitan ta, Ni?” pitakone karo ngyeyeki dhuwite sing sak gebung iku. Ana eketan ewon, ana rong puluhane, lan sing akeh puluhan ewon.
Yu Gini nyawang dhuwite Sastro Lentho karo mesam-mesem. Batine, kadingaren wong lanang ing ngarepe iku tawa dhuwit. Mangka dheweke kuwi kondhang cethile. Aneh. Iki mesthi ana pamrihe. Pol-pole mengko rak dikon nganaki. Sing sudi sapa? Bakul gendhong kaya dheweke iku ora mbutuhake pawitan kang akeh. Pawitan selawe ewu wis mubramubru. Yen bangsane jamu pegel-linu, kuku bima, keling, kenis, bisa njaluk dhisik ing toko, mbayare keri. Mula randha anak-anak loro kuwi banjur wangsulan.
“Mboten kok Dhe, dodol jamu ideran kados kula niki mboten betah modhal kathah. Kekirangane saged bon riyin teng toko.”
“Lho, lha timbang ban-bon, rak penak mbayar kontan, gak dadi pikiran. Pira butuhmu, gilo …” kandhane Sastro Lentho karo mamerake dhuwite. “Iki dhuwit nganggur kok.”
“Mboten kok Dhe, matur nuwun. Bon-na nika, nek pendhak enjinge kula bayar, terus mendhet malih.”
Sastro Lentho gela. Pranyata anggone mancing randha kanthi nawakake dhuwit sakgebung ora ditampa. Dheweke trima bali mulih. Nanging dudu Sastro Lentho yen liya wektu ora golek cara kanggo nelukake randha ayu sing digandrungi kuwi.
Dheweke mara maneh nyang omahe Yu Gini. Nyedhak-nyedhak karo bisak-bisik, sajak ana prakara wigati sing perlu dibisikake. Dheweke tawa-tawa nukokake gelang-kalung marang Yu Gini, watone wong wadon iku gelem nuruti karepe. Sastro Lentho yakin yen kanthi cara mengkono Yu Gini mesthi keglewang atine. Jebul pandugane iku mleset. Bakul jamu iku malah nesu.
Gelang-kalung sing diseleh ing meja sangarepe iku dicandhak, banjur dibalekake marang sing menehi. Ulate mbesengut, mripate mencereng kaya macan mandeng calon mangsane. Kandhane santak. [ 25 ]“Nyoh Dhe, gelang-kalungmu gawanen bali! Aku gak butuh! Aku iki randha, takakoni! Nanging sanajan kahananku iki mepet lemah paribasane, aku ora arep adol awak! Ambak-ambak aku iki mung dodol jamu, isih dhasi tuku gelang-kalung! Gak percaya?” Pitakone Yu Gini karo nggeret laci meja ing ngarepe. Laci iku dibrukake ing sandhuwuring meja. Suwarane gemlondhang binarung suwara kemrincinging gelang, kalung, ali-ali, simpenani Yu Gini.
Sastro Lentho njomblak kaget, sumlengeren weruh mas-masane Yu Gini sing semono akehe iku. Dheweke kisinan. Pangirane Yu Gini iku ora duwe anggon-anggon, wong saben dinane ora tau dianggo, jebul duwe simpenan.
Kanthi gugup Sastro Lentho mundur kamikisinen. Kandhane groyok.
“Ya, anu Ni, ya wis nek anu …, jebule kowe wis duwe ta? Ya wis …, aku … aku … tak bali …, takkira durung duwe …!”
“Durunga duwe kae, aku ora kere! Ora melik donyamu, ora arep nglonthe. Kowe aja semangkeyan dupeh sugih dhuwit! Aku ora butuh! Huh, anggepe apa? Arep kurang ajaran karo aku?”
Akeh-akeh panguman-umane Yu Gini marang Sastro Lentho. Sing diuneni mulih nggenjrit nggawa kuciwaning ati. Pandugane kleru, pangirane mleset. Ngira yen Yu Gini iku randha gampang digodha, jebul angel. Malah dheweke sing kewirangan diunek-unekake wong wadon. Sastro Lentho rumangsa diina sakpol-pole.
Ya perkara iku sing njalari dheweke gething mburu sengit marang Yu Gini. Mula bareng Yu Gini nduwe gawe gedhen, dhadhane kaya ditampeg, rasane ampeg. Rumangsa dheweke sing dikilani dhadhane, dipameri donyane. Sastro Lentho rumangsa diina kaping pindho. Batine, gila-gila temen Gini kuwi, pameran donya marang aku. Apa dikira aku ora bisa duwe gawe ngungkuli dheweke?
Bareng mantu anak mbarep, Sastro Lentho genti gawe pangerameram. Nanggap klenengan, sindhene saka RRI, malah nganggo fragmen wayang wong barang, isih nganggo pelawak telu. Mbelih sapi, ora ketang sapi dagangan. Pokoke gedhen, ngungkuli nggone Yu Gini. Tamune uga akeh. Malah katon jenak. Tamu-tamu iku padha mesam-mesem sinambi rasan-rasan karo kancane.
“Pokoke diremuk, Kang” kandhane bisik-bisik.
“Ha …, ha … ha …, cocog aku! Aku ya mathuk. Kapoke kapan Sastro Lentho kuwi. Kabeh wis dho ngerti kok kelakuwane …, ha …, ha … ha ….”
Karo grenang-greneng tamu-tamu iku ngebut ngentekake pasugatan nganti padha kewaregen.
Semono uga para nom-noman sing padha laden. Malah diprentah karo ketuane. [ 26 ]“Wis kana, dha ndhobela nek enek kene! Rasah sungkan-sungkan! Persediaan masih banyak!”
Kaya diuja nom-noman iku padha ngebut anggone mangan. Ana sing rong piring. Malah ana sing pirang-pirang piring nanging mung dijupuk daginge sapi thok. Karo padha pating cekikik nom-noman iku terus mangan sawarege kaya lagi ngluwari ujare.
Ibu-ibu sing padha nyumbang uga pating klesik karo telap-telep ngrahapi pasugatan.
“Nyumbang kuwi rak kari dokokane ya, Yu. Lha yen kedokokan amplop thok, apa ya kon mbalekke dhuwit? Donyane sapa?”
“Sssst …, aja seru-seru, yen krungu sing duwe omah …!”
“Halaaah, krungu mbok bene! Wong nyatane ana kok! Nek sing wedok kuwi ya gelem nyumbang, ning ora memper. Lha, nek sing lanang kae malah amplop kothong, kabeh wis dho niteni …!”
Bareng kothak sumbangan dibukak, wong loro iku njomblak. Sumbangane ora memper, malah akeh amplop sing isine mung kertas koran. Sastro Lentho njegreg karo nyawang sing wadon. Kosok baline bojone uga nyawang sing lanang semu nyalahake. Wong loro iku banjur padha tutuh-tutuhan.
“Mulane, dadi wong kuwi sing sregep njagong. Kowe kuwi lho Pak sing kebangeten, kesed jagong, mula ya kaya ngene iki undhuh-undhuhane…!”
Diwelehake kaya mengkono Sastro Lentho meksa isih wangsulan.
“Ha wong ya dina-dina saba pasar, awak kesel kok ya dikonkon njagong. Lha kowe kuwi kepriye olehmu nandur seprana-seprene, undhuh-undhuhane kok ora memper.”
“Dudu perkara kuwi Pak! Sing salah ki kowe! Ndadak nanggap sindhen RRI barang, saiki nek kelipetan ngene iki priye …?”
“Kuwi mono wis takniyati. Sapiku isih papat kae mengko dakdadekake dhuwit kanggo mberesi utang. Wis ra sah kuwatir …!”
“Duwe gawe wae ndadak ungkul-ungkulan. Wong Gini kae sregep, akeh srawunge, kok arep diungkuli …, ya gak isa!”
“His …! Crigis wae kowe kuwi mbokne! Pokoke utang-utang kuwi aku sing nyauri, aja crewet wae kowe!”
Sidane sapi dagangan cacah papat dibudhalake kanggo nyaur utang. Bubar kuwi Sastro Lentho prei wis ora mblantik, merga pawitane cures kanggo mantu. Yu Gini mung nggleges wae bareng krungu Sastro Lentho bangkrut. Donyane klakon mawut kanggo wragad duwe gawe ….
Jaya Baya, No. 39, Th. LIV, 27 Februari 2000
Trinil
Pitik-pitik jago wis padha kruruk rame rikala Sri ketekan impen. Wong adan Subuh ya lagi wae rampung. Ing impene Sri weruh ibune lagi nginang, nanging wong ibune Sri iku adate ora nginang, mula Sri gumun banget nyawang ibune ngemah-emah godhong suruh lan injet kruwes kaya wis kulina ngana kae, gek astane ibune ya katon ana jambe, mbako lan gambir. Anggone nginang nganti muncrat-muncrat saka tutuke, idu abang dleweran nganti njibrati agemane sing putih polos kuwi. Sri nganti mengkorog nyekseni ibune sing lagi nganeh-anehi, nginang nganti mendelik-mendelik kesereden, lekoh banget kaya-kaya bakal diulu-ulua kabeh sing diasta.
Sri geragapan saka bantere jabang bayi sing nyundhuli wetenge sajak ngerti yen ibune lagi ngimpi medeni mula kudu digugah. Nyawang anginangin ndhuwur cendhela sambi ngelus-elus wetenge, Sri rumangsa wis kerinan. Adate jam setengah lima wis sembahyang banjur mlaku-mlaku ngubengi omahe, nanging merga ngimpi mau marahi Sri aras-arasen medhun.
Lagi bar sembahyang keprungu Wasis nothok lawang. Sri wis apal yen bojone kuwi angger sakwulan pisan mesthi oleh tugas saka kantor ngladeni wong wayangan ing pendhapa kantore.
“Kok wis rampung ta Mas?” Sri takon karo ngengakake lawang.
“Iki mau wis kawanen kok, mbokmanawa malah sampeyan sing kerinan? Biasane yah mene sampeyan lak wis mlaku-mlaku?” Wasis takon.
“Iya, ngimpi nganti gragapan kok,” Sri crita sithik.
“Ngimpi apa se?” Wasis takon sambi nyopoti sepatune. Sri nyemayani mengko wae yen Wasis wis ilang kesele.
Wis rada surup srengenge nalika Sri lan Wasis tekan daleme ibune Sri. Sri wis ora bisa disemayani maneh jarene Wasis mau yen ibu diimpekake nginang kuwi ateges ibu lagi nandhang susah, mula Sri banjur bak-buk ngaturi ibune karo clingukan nggoleki. [ 28 ]Jebul ibune lagi muwun. Lha, rak tenan ta, batine Sri. Wasis mesem banjur metu saka kamare ibu mara tuwane saperlu milih acara tivi neng mbale. Sri banjur nyedhaki ibune sing lagi sesenggrukan kuwi ing kamar.
“Menapa ta Bu, sing marahi susah niku?” Sri takon sakbisane merga wis kudu melu mewek wae yen weruh wong nangis.
“Aku wis gak kuwat Sri ngempet sakmana suwene. Kowe kathik nelpon barang ngarani aku kaya kesudhet terus mbledhos ae. Saiki bakal dakbledhosna kabeh isine atiku nang kowe Sri, tapi gak usah ngandhani masmu Jakarta, soale iki masalahe wong wedok.”
Sri manthuk-manthuk banjur ngematake ibune sing crita karo ngelapi luhe.
Genahe ibune Sri kesinggung marang pasrawungane Bulik Camat marang bapake Sri, Angger sambaing Sidoarjo mesthi ora karo Pak camat. Mengko yen kondur ben diterke bapake Sri. Yen ngaturi ora Pak maneh, nanging ganti Mas. Angger kirim apa-apa mesthi saka “Ibu Blitar! Saka Ibumu Blitar!” Gek mengko yen bapake Sri dhines Blitar mesthi nelpon Sidoarjo, “Mbakyu, Mas sampun diaturi nyare hotel saestu lho, nyare griya Blitar mawon, kula masakaken karemenanipun Mas!” Ibune Sri yen nirokake Bulik Camat karo diendhel-endhelake merga ibune Sri pancen ora endhel. Nanging sing paling gawe gemese ibune Sri ya mung siji kuwi, yakuwi saben tindak Sidoarjo, ibune Sri dipenging tandang gawe kanthi alus dening Bulik Camat. Jare mesakake mengko yen kesel mengko gerah, banjur Bulik camat ngasta dhewe dhaharan, unjukan utawa camilan. Nglithuk ana pawon, mengko yen wis rampung ibune Sri diaturi, “Mbak, menika unjukanipun Mas, menika penjenengan, menika dhaharanipun Mas,” kaya-kaya Bulik Camat kuwi wis resmi dadi anggota keluwargani ibune Sri.
“Rumangsane aku iki apane, gek dhekne kuwi apane bapakmu?” ibune Sri munggel critane merga luhe wis ora kena dibendung maneh.
“Inggih sampun Buk, panjenengan tetagaken muwunipun. Kula tak mendhet toya rumiyin nggih?” Bubar kandha ngono Sri mlebu banjur njupukake unjukan kanggo ibune merga kelingan jare wong-wong kae yen nangis ora bisa meneng kuwi warase diwenehi ngombe. Dheweke uga kelingan rikala tingkeban dhek wingi kae Bulik Camat uga rawuh, uga ngeyel melu nggrujugi Sri lan Wasis nganti glagepan merga setengahe Sri ora gelem, wong ora ana sambungan getih kok. Lan anehe kabeh dulur misanan utawa mindhowane Sri sing uga karyawane bapake Sri ing CV sing dipimpin bapake Sri kuwi kok ya kerep dikirimi oleh-oleh dening Bulik Camat kanthi pesen sing padha yakuwi “Saka Ibumu Blitar” kamangka kabeh misanan lan mindhowane Sri kuwi yen ngaturi bapake Sri uga Bapak, merga sing mimpin CV lan pancen mbapaki. [ 29 ]Sawise Sri ngaturi ibune unjukan, krungu swarane wasis mbagekake mara tuwane lanang, “Biyuh, angsal berkatan king pundi niku, Pak?”
Banjur sinusul swrane bapakne, “Saka Anwar, kidul kana kae lho, kirim donga sesuk arep nekakne buwuhan, nyunatke anake sing ontanganting karo ngruwat sisan yake, wong nanggap wayang barang ki?” karo kresak-kresek mbukaki tas kresek sing mbuntel wakul isi berkat kuwi.
“Lha endi Sri mau, jak nanjak berkat kene rak enak ta?” bapake Sri ketara nakokake dheweke merga tekane mau pas bapake berangkat kendhuren. Wasis sing ditakoni bab Sri nyauri klesak-klesik.
Sri ngaturi ibune supaya sare wae, murih tenang, gek Sri wae sing metu melu nanjak berkat.
“Ayo kene mangan barengan kene, lha ibumu endi?”
Sri matur bapake menawa ibune rada ngelu, nanging bapake ora percaya, “Ngelu apa ta. Ora, wong mau ora apa-apa kok! Coba nek aku sing ngejak ya?” Sri monga-mangu nanging banjur mborong kersa merga kawigatene wis ngalih marang pupune pitik sing gemol dibumbu abang kuwi. Wasis ngerti yen bojone sakploke nyidham kae senenge mangan pancen ora mekakat, ngebo! Mula pupune pitik mau langsung diulungake marang bojone.
Lagi sedhiluk bapake Sri mlebu kamare ibu kok wis metu maneh karo rada kisinan. “Wong ibumu ora kersa kok, aku ya wegah. Wis kana panganen wong loro kono!”
Tanpa ditakoki bapake Sri kandha dhewe minangka kompensasine wae merga biasane sing paling jitu ngrayu ibu kuwi ya mung bapak. Nanging embuh wektu kuwi kok jan wangkal banget.
Batine Sri rada kudu ngguyu. “Enggih Pak, badhe kula telasaken tiyang tiga, niku kalih sing teng njero weteng!” Wasis njawab karo molomolo. Bapake ngguyu banjur metu.
Terase Pak Parto waloya pancen isih jember, isih bisa ditanduri pelem lan jambu nganti ngrembuyung dhuwur, wohe ketel nyenengake, gawe krasane sapa wae sing lungguhan ana kono. Sri lungguh kursi plastik karo nyekeli wetenge sing mbetotong saka warege, gek ya wis sangang wulan leh ngandhut. Bapake lagi ngedhunake manuk-manuk ing kurungan-kurungan kuwi saperlu dipindhahi mlebu omah. Liyane ben aman saka maling, uga ben ora wedi karo kucing, asu utawa lawa sing yen bengi pating bleber golek woh-wohan.
“Kejaba larang, manuk-manuk iki kalebu golongan sing ringkih lan aleman, dadi kudu diopeni kanthi ati-ati,” dhawuhe bapake Sri rikala ditakoni Sri nyapa kok dipindhahi.
Sing keri dhewe manuk perkutut, ora ndang diasta mlebu nanging ndadak dicelukake Sri dhisik, “Ssst!, Iki regane sak yuta lho, Sri, lagi [ 30 ]tuku dhek wingi. Ya iki sing marahi ibumu nesu wae kuwi. Rong dina aku dinengke. La piye wong wis kadhung petung dadi he.”
Sri ngleremake atine dhisik, nata tembung alon-alon kanggo nggenahke wong tuwane sing lagi salah faham kuwi.
Sawise perkutut digantung, bapake Sri banjur lungguh neng jejere Sri. Ketepakan banget kanggone Sri. Mula ora kesuwen maneh, Sri langsung matur kanthi bebas, runtut, lan ngati-ati, alus nanging ngenani. Sri matur menawa runtike atine ibune kuwi dudu jalaran manuk, nanging wanita. Sri uga matur bab pasrawungan sing keladuk antarane liya jenis kuwi nadyan ora adhedhasar rasa tresna antarane priya lan wanita nanging tetep gawe kapitunane liyan. Anggone matur tharik-tharik, trawaca, lan tleser-tleser, bisa rumesep ing atine bapake nganti banyu wening tleniktlenik mili saka mripat tuwa, mripat kakung sing lagi trenyuh marang tembunge anake wadon gegantilaning atine, kuwi. Sri uga melu ketut nangis, trenyuh marang kapribadene bapake sing dingunguni wiwit cilik nganti tekaning pati besuke. Mung siji kuwi manungsa sing dibiji dhuwur dening Sri ing selawase uripe, yakuwi bapake, merga liyane sabar, Pak Parto Waloya uga wicaksana, ora grusah-grusuh nampa atur. Ora nate munggel atur. Angger ana wong matur marang bapake Sri mesthi oleh kawigaten. Dipidhangetake nganti entek ature banjur lagi diparingi iguh.
Jam sanga pas Wasis ngajak mulih bojone. Cecaturan ing teras uga pas rampung. Kekarone diuntabake bapake. Sri ngethapel nyang boncengane Wasis.
Sakpungkure anak lan mantune, Pak Parto Waloya ngancing pager alon-alon banjur nyelehake kunci gembok. Ora ndang ngunci lawang ngarep nanging ndadak bali lenggahan maneh neng kursi plastik sing mau dilungguhi Sri. Pikirane tumlawung adoh, panyawange ngetutake ibere lawa lan kalong sing lagi bingung milih woh-wohan, jambu apa pelem. Tangane tengen ngelus-elus dhadhane dhewe banjur manthukmanthuk karo setengahe ana esem lega ing lathine sajak nemu rancangan apik sing bakal ditindakake ….
Laire Lindhu Aji Wasis gawe mongkoge Pak Parto Waloya nganti suzuki caretane diparingake kanggo hadhiah putu lanang. Durung selapan Sri wis diutus bapake sowan Sidoarjo saka kulawarga merga kabeh kerabat CV kudu mlumpuk saperlu nyengkuyung rancangan anyar. Janjane Sri rada wedi nanging jalaran ditelpon bapake jare ora apa-apa waton numpak caretane Lindhu wae wis cukup aman, mula Sri ya manut wae. Sapa ngerti Sri bisa gawe panglipur kanggo ibune sing lagi ora rena.
Jebul CV-ne bapake Sri gawe acara anyar yakuwi arisan kulawarga CV. Ing acara inti bapake Sri minangka pimpinan tinggi ngaturake biwara sing ngemu weling supaya ing pelaksanaan arisan bulanan mau bisa dadi ajang pasrawungan positif lan bisoa nambah rumakete sanak kadang CV. [ 31 ]Keplok rame saka hadhirin, keprungu rikala Pak Parto Waloya wantiwanti supaya ing saben pertemuan anggota kudu ngejak hadhir kulawargane kabeh, sing durung krama ya kudu nggawa tunangane, sing durung duwe pacar kudu nggawa ibune, yen teka ijen dikon bali wae, ora sah teka pisan.
Bulik Camat sing rikala kuwi rawuh ijen rada kedher atine. Sri weruh merga lungguhe jejer Sri, gayane nggawa popoke Lindhu karo mimikbotole kaya-kaya sing mbahe putri tenan wae. Apa maneh rikala ana sing takon, “Kenapa kok harus begitu, Pak?”
Pak Parto Waloya njawab, “Kanggo ngendhani kasujanan lan kapitunane liyan. Sing baku kanggo ngrembakane keluwarga CV kita….” Keplok rame bali keprungu maneh, malah luwih seru.
Kamangka Bulik Camat wektu kuwi rawuh ijen, mula polatane ketara ketranyak, rada gugup. Lindhu Aji Wasis meneng-meneng dijaluk saka pangkone Sri, “Kene, Ndhuk, dakpondhonge metu, neng kene sumuk, panas, mesakake anakmu, gek kana ibumu rewangana nyepakake prasmanan!”
Sri mung plenggang-plenggong banjur, “Inggih, Bulik,” terus mak nyat marani ibune. Neng ruwang tengah ibune Sri sajak wis rena penggalihe, wis padhang ulate.
Kabeh wis padha dhahar ngethapyah sinambi nyatur pintere sing masak. Bu Hasan, sing bojone wakil dhirektur kuwi nyedhaki ibune Sri karo takon, “Lha teng pundi Ibu Blitar wau Bu Parta?”
Sing ditakoni nuding menjaba karo mlerok nyauri, “Lha niku momong putune ….” Sri nyikut ibune alon kareben uwis olehe serik.
Bu Hasan njawil Sri pisan supaya jelas pisan masalah kulawarga kuwi karo kandha, “Pancen leres Bapak, Jeng Sri, kersane kapok. Kersane sami kraos, mboten wonten tiyang ngidu kok abang yen boten nginang, enggih ta?”
Sri lan ibune mung mesem karo manthuk, jero banget.
Jaya Baya, No. 23, 6 Februari 2000
Mbah Brintik
“Saka kang akon tetepungan karo dheweke, rak kowe dhewe ta?
Saiki bareng wis klakon tepung lan dheweke sida tekan ing omahmu,
kowe malah goreh pikirmu. Merga saka rumangsamu, dheweke kuwi
ngungkuli kowe sambungane. Apa maneh bareng kowe weruh blegere
lan sikepe kang merbawani, kowe rumangsa kasoran, rumangsa dudu
tandhinganmu.”
Mangkono mau kang rame ana ing njero dhadhane, kang tansah nggubet atine. Pancen ya wis ngrumangsani, wiwit tepung marang dheweke, rasane ora beda kaya wong kang wong lagi kesasar ing segara wedhi, terus nemu banyu satetes, kanggo nelesi gurunge kang wis garing banget. Sejatine mono, ora dipikir ya sapa kang maido, mung mandhak wong tepungan, memitran lumrah. Senajan ta diarani mitra raket pisan bae, apa ta gunane ndadak dipikir nganti ngganyang ati? Dipikira nganti nggrogoti jantunge, apa ya dheweke ngerti apa kang dirasakake. Jerone segara bisa dijajagi, atine menungsa sapa ngerti.
Nanging sanajan mangkono, ora kena diselaki. Tepungane pancen akeh, lanang wadon klebu kang wis lansia. Kabeh padha rumaket, wis padha dene sanjan-sinanjan. Nanging geneya tepung karo dheweke kuwi dirasa seje banget. Tepung isih pirang sasi wis kaya puluhan taun rasane. Apa maneh bareng mangerteni menawa dheweke kuwi mumpuni babagan basa lan budaya Jawa, tur banget kritis marang generasi mudha kang ora migatekake marang basa lan budayane dhewe. Mangerteni mangkono mau, banjur rumangsa oleh mitra kang tunggal gegayuhan. Nanging isih meksa tidha-tidha, apa iya bisa gaduk nggone ngranggeh gegayuhane, bebarengan karo dheweke, apa ora jeneng cebol nggayuh Lamdahur, utawa padha karo bocah umbelen arep nandhingi mahasiswa?
Lagi tekan kono anggone nggagas-nggagas, swara batine kang tansah ngobat-abitake jantunge kuwi muncul maneh….
“Lha iya, bareng kowe wis tepung, banjur kowe ngerti manawa dheweke kuwi mumpuni babagan basa lan budaya Jawa, ora nganggo mikir dawa, kowe nganggep dheweke mitra kang satuhu, mitra kang [ 33 ]sinarawedi tumrapmu. Kang aneh maneh, nalika dheweke ngabari menawa arep teka ing omahmu, polahmu ora beda kaya bocah cilik weruh simboke mulih saka pasar nggawa oleh-oleh jajan pasar, jingkrak-jingkrak mbungahi. Kang tansaya nggumunake maneh, persis bakul sate kelangan ilir, mbingungi. Kowe banjur mikir, kepengin sugih kang miturut pangiramu mesthi cocog kanggo dheweke. Kok seje menawa kowe ketekan mitramu liyane, senajan kowe suguh ya apa kono, sauger wis suguh wis beres. Nanging marang dheweke, sajak kowe migatekake banget, kayakaya dheweke kuwi mitra kang istimewa kanggomu. Aneh, aneh, pancen kowe kuwi.”
Tujune swara kang terus dumeling mau leren karepe dhewe. Pikirane banjur ditata, wusana banjur nggagas maneh…. Pancen diakoni, sanajan mentas bae tepung, dheweke dianggep ora kaya tepungane liyane. Nanging luwih saka iku, dianggep tansah tumemplek ing pojoking atine. Dheweke bakal bisa diajak ngedum rasa, ngudhar uneg-uneg. Pokoke bakal diajak bawarasa kang magepokan karo basa lan budaya Jawa. Kang basa lan budaya Jawa mau ing mangsa kang sarwa canggih kaya saiki, wis ora beda kaya ublik meh kentekan lenga, mbleret. Tepung dheweke rumangsane kaya wong kelangan jamrut kang larang regane, banjur ora kanyana bisa ditemokake, sapa ora mbungahi?
Tekan kono swara batine kang tansah ngisruh pikirane kuwi keprungu maneh. Pikirane banjur ora karuwan rasane, nanging meksa dirasa…. “Pikiren kang wening, aja grusa-grusu ngakoni menawa dheweke kuwi bisa dadi mitramu kang kena mbokjak bawarasa, ngudhar uneg-uneg kang ana gandheng cenenge karo basa lan budaya Jawa. Sapa ngerti apa kang nate diomongake marang kowe mau mung kanggo njajagi pribadimu.”
Merga ora setuju marang apa kang dirungu saka batine iku, banjur mbanggel …. “Ya, aku pancen wis kadhung kebacut mutusake menawa dheweke dakanggep mitra satuhu, kepara ora beda kaya sedulur sinarawedi. Mosok iya, pawongan kaya dheweke nduweni watak kang seje njaba, seje njerone ati. Aku malah percaya menawa dheweke kuwi luhur bebudene.”
Teka kono anggone adu rembug karo batine dhewe, swara batine mau terus meneng karepe dhewe. Wusana banjur nerusake nggone nglalar pikir. Ora ngerti, embuh ora ngerti, geneya tepungan kang sakawit mung kanggo kanca ngisi wektu lodhang, banjur kaya ngono dadine. Nganti ora dipikir jero, tepungane mau dianggep minangka mitra kang luwih sakabehane tinimbang tepungan kang sapirang-pirang mau.
Swara batine wiwit nggodha maneh, malah saya nandhes. “Pikiren kang jero, aja kesusu ngesok prasetyamu, menawa dhewke mbokanggep dudu mitra biasa, nanging mbokanggep sedulur sinarawedi. Kowe apa [ 34 ]ora ngerti menawa atine menungsa mono kebuntel daging. Sapa ngerti njerone mau ora padha karo kang diucapake. Lan sapa ngerti bareng wis adu-arep, weruh kahananmu kang sanyatane, dheweke bajur salin salaga, tundhone malah kepara ngedohi kowe. Menawa kedadeyan ngono tenan, apa kowe ora padha diblejedi?”
Krungu swara batine kang kaya mengkono mau, dadakan dhadhane kaya seseg. Pikiran dadi mobat-mabit ngalor-ngidul ora karu-karuwan rasane. Pancen nalika dheweke wis ana ngarepe, sikepe dheweke kang kebak suba-sita mau, njalari dadi rumangsa rikuh dhewe. Kang sedyane patemon mau arep digawe gayeng, bisa rembugan kanthi rumaket, malah ambyar sanalika. Tundhone ora kaya adhep-adhepan karo mitrane, kepara kaya adhep-adhepan karo priyagung kang kinurmat.
Swara iku ngithik-ithik maneh…. “Mangmula, kowe dhewe durungdurung wis nibakna rembug, wis prasetya menawa dheweke kuwi sedulur sinarawedi. Kowe rak wis gawe ancang-acang, arep ngesok apa kang ana njero dhadhamu. Malah kowe wis duwe karep, arep crita akeh-akeh bab apa bae kang koktindakake, kang ana gandhenge karo basa lan budya Jawa. Malah kowe wis siap pamer dhokumentasi nalika kowe pinuju nindakake pakaryan adicara kang ngenani basal an budaya Jawa. Kabeh potretmu arep mbokpamerake marang dheweke.”
“Kowe uga arep pamer menawa kowe pinter nembang, pinter karawitan. Kowe wis nyiapake Sekar Sinom Jabung Jawa Timuran, arep mboktembangake ana ngarepe. Kowe arep pamer swaramu, iku kabeh merga saka nggonmu wis mangerteni menawa dheweke mau pancen tunggal banyu karo kowe. Yaiku padha dene seneng nguri-uri basa lan budaya Jawa. Nanging nyatane kowe saiki kaya kena aji-aji kemayan, nglimprek tanpa daya. Bisamu omong mung siji loro, malah sak muni-munine bae.”
Tujune swara batine kang gawe goreh iku terus meneng. Nanging menawa dipikir tenan, pancen ya sanyatane. Geneya kabeh kang wis diancang-ancang tharik-tharik, ora beda kaya wong kakehan mangan babal, banjur mampet. Olehe nggantha-nggantha, menawa wis sapatemon karo dheweke, kang wis munjung-munjung ora kamot, kabeh, kabeh ora ana kang kacicir, bakal dibeber ana ngarepe. Nanging kabeh mau badhar sanalika, lambene blangkemen. Mangka biasane menawa ketekan mitra karuhe sapa bae, lambene mesthi ngawir, ora leren-leren critane.
Tekan kono swara iku gumuruh maneh …. “Marga kowe ora bisa nyuntak kabeh kang mbokancang-angcang mau, bareng dheweke kesusu bali, atimu banjur goreh. Nggonmu goreh atimu mau, rak merga ana rasa, kang rasa mau mung kowe dhewe kang ngerti. Apa meneh bareng dheweke kesusu bali, kowe ngira menawa dheweke ora kelegan atine. Utawa merga sikepe kang kebak unggah-ungguh, sarta ngugemi subasita mau, rak ora mangkono ta?” [ 35 ]Swara batine mau wis ora keprungu, dheweke nerusake nggone nggagas. Pancen ora kena diselaki, nggone pikirane banjur goreh lan tidhatidha, pamitran iku kateruskake apa ora, iku mau bener, nanging uga ora mangkono. Gek dheweke wis ndhisiki teka, apa ya wong kang wis karaya-raya gelem mara mau, banjur perlu diadohi? Apa bab kang angel nggone nemtokake sikep. Angel diwedharake marang sapa bae, luwih-luwih marang dheweke, genah ora. Bakal diarani gawe-gawe golek kawigatan.
Meneh-meneh swara batine mau nyaruwe, malah sajak ngemutake…. “Iya… pancen, kang nyebabake kowe goreh pikirmu, rasane kaya ngalor-ngidul mau, yaiku nalika dheweke mencungul ana ngarepmu, mak “dheg”, jantungmu kaya ana kang mbateg, saking kagetmu. Blegere, sikepe, malah swarane, kang ana ngarepmu mau kaya-kaya dudu dheweke, nanging garwamu kang kinasih kang wis swargi. Sanajan ta ora pleg nemen, nanging meksa bae gawe gorehe atimu, dhadhamu krasa kaya ana ombak gumuruh. Nanging kabeh mau ora mbokkatonake, mung sikepmu kang banjur kaya ora jenak ….”
Tujune swara batine iku meneng, banjur nerusake nggone nglaras pikire. Nanging dikaya ngapa, dheweke tetep dianggep kaya dene sedulur sinarawedi. Embuh dheweke gelem ngimbangi anggone seduluran apa ora, apa jare. Lan meneh wong kaya dheweke genah ora perlu dikuwatirake bakal medhot paseduluran, merga saka bab kang sepele bae. Wong kaya dheweke genah nduweni pakarti lihur, kaya pangirane, dadi wis ora perlu tidha-tidha meneh.
Tekan kono nggone nglaras pikire, kesaru lamat-lamat ana swara gendhing Mijil layung-layung, kang bisa ngrerujit ati, lagune wong kang nandhang dhuhkita. Sapa kang nandhang dhuhkita, apa batine dhewe, kabeh ora ana kang ngerti, klebu kang ana njero dhadhane kang paling jero.
Panjebar Semangat, No. 9, 26 Februari 2000
Turiyo Ragilputra
Udan nggrejih wiwit mau bengi ndadekake hawa esuk rinasa atis. Subur, guru SD telung jaman (Orde Lama, Orde baru, Orde Reformasi) nyawang langit kanthi ati teles. Jam ing tangane nuduhake wektu 06.30.
“Yen seprapat jam meneh ora terang, sida klebus tenan klambi iki,” kandhane jroning batin.
Rikala jaman Orla biyen, dheweke kalebu banget sethithik saka wong-wong sing ora kajegur ing jagading politik. Mula, nalika akeh banget kanca guru sing ‘dicidhuk’ merga secara langsung utawa ora langsung kesangkut prastawa G 30 September, dheweke mbrojol selaning garu.
Jaman anyar banjur dilakoni. Kaya kanca-kancane sing ora kesangkut ing perkara politik, dheweke miwiti mbukak lembaran sejarah Orba. Kala semana kabeh jroning swasana prihatin. Jejere guru, bayare mung kena kanggo tuku kaos singlet salembar. Mula ora aneh yen ana guru bujang penyanyakan arep ngepek anake wadon wong tani, diiwi-iwi calon mara tuwane.
Kala semana jagading pamulangan pancen lagi komplang. Tenaga guru sing dhasare wis kurang, dadi sangsaya kurang awit akeh guru sing dilorod dadakan. Dheweke kelingan, wektu iku sasekolahan mung ana guru loro, tanpa kepala sekolah, awit kepalane katut dipecat. Kanggo ngisi lowongan kasebut, dheweke ditari dening kepalane ing kecamatan (saiki Cabang Dinas P dan K Kecamatan) supaya nglungguhi kursi kepala sing suwung.
“Napa kula saged, Pak?” tambuhe kala semana.
“Turah bisa.”
Dheweke monga-mangu.
“Yen iya, jenengmu arep tak usulake menyang kabupaten,” Kepalane ngangseg.
Mung kaya ngono.
Nanging sawulan candhake, pranyata dheweke ditimbali maneh. Sing dirembug ora liya ya mung pengangkatan kuwi. [ 37 ]“Beslite wis meh mudhun, Pak Subur,” ngendikane Kepala Dinase sumringah. “Nanging ya kuwi, gandheng panjenengan wis daktulung, saiki aku genti tulungana. Rak lumrah ta wong urip tulung-tinulung.”
Dheweke ngenggihi.
“Ngngng…, ngene, Pak Subur,” kandhane kepalane lirih. “Gandheng olehku nyambut gawe nyambangi esdhe-esdhe sakecamatan, Pak Subur daksuwuni tulung nukokake sepedha kanggo srana lakuku.”
Subur tumenga, nyawang ndhuwurane. Bareng mripate tempuk, dheweke tumungkul.
“Piye?”
“Anu, Pak,” Subur natag-natagake ati. “Menapa sepedha kagunganipun Bapak mboten saged pun agem?”
“Hiya bisa. Ning, angkahku rak ngene, kanthi anane sepedha loro, ibumu ora perlu ketharak-tharak yen blanja menyang pasar. Rak mesakke ta, wis tuwa menyang endi-endi mlaku.”
Subur ngrasa dhadhane gumuruh. Batine kroncalan, kelingan bayare mung kena kanggo tuku uyah, gereh, sarta sabun telung utawa patang potong. Kelingan anake sing lagi umur patang taun, kelingan bojone sing olehe nikahi direwangi dhepa-dhepe marang calon mara tuwa, kelingan ….
“Piye, saguh ora?”
Subur monga-mangu. Nanging dumadakan, embuh entuk daya saka ngendi, sirahe gedheg.
“Hiya uwis yen ngono,” kepalane mungkasi rembug.
Pancen mung kaya ngono? Yen pungkasane mung kaya ngono, Subur bisa nglenggana. Sing ndadekake atine anyel rak bareng karo yengah wulan candhake, mitrane sing luwih enom diangkat dadi Kepala Sekolah lan ditugasake ana papane dheweke mulang. Atine dadi saya mrongkol bareng ora suwe mitrane iku ngepalani dheweke, kepala dhinase rawuh kanthi numpak pit anyar!
Iku crita lawas. Saiki jamane wis beda. Bayare guru wis kena kanggo mangan, senajan panggah durung cucuk yen diukur nganggo abote tanggung jawab apa dene status profesionalisme. Apa maneh yen wis ketanggor enggak-enggoke dalan promosi jabatan. Wih, eri, krikil, apa dene kewan-kewan galak, isih panggah pating slagrak ….
Ing njaba udan wiwit mendha. Subur metokake sepedha untane. Merga jam ing tangane wis nuduhake angka 06.45, grimis diterjang wani. Kriyat-kriyet sikile wiwit mancal pedhal. Dalan tanpa sepal sing ing kanakene kembong banyu, diliwati kebak pangati-ati.
Sadawane dalan pikirane nggagas werna-werna. Patang taun maneh umure genep sewidak. Iku ateges dheweke kudu pensiun. Pitulung dene anake wis mentas kabeh. Sanajan miturut ukuran saiki anake ora ana [ 38 ]sing dadi ‘wong’, atine banget syukur awit anak-anake ora ana sing tumindak menceng saka paugeran agama, kepara malah gondhelan kenceng karo angger-anggering agama.
Pensiun? Hihihi…, batine kekel. Kelingan pensiun, dheweke mbayangake wong tuwa klonthang-klanthung sinambi angon srengenge lan saben dina ingak-inguk penanggalan sing cumanthel ana ing gedheg.
Apa dheweke arep kaya ngono? Sepisan maneh batine kekel. Wongwong sing ngisi wektu pensiune mung kanthi angon wektu. Iku padha bae karo wong urip ning wis mati separo. Huh, dheweke ora sudi. Mula senajan olehe pensiun isih patang taun, dheweke wis gawe rancangan. Mengko, yen titi wanci iku teka, dheweke arep dadi guru ngaji lan mulang bocah-bocah cilik anake tangga-tanggane. Bocah-bocah sing isih lugu lan durung ngerti abang ijone urip, arep diwulang sholat, diwulang dongane nyuwun keslametan donya akherat, dongane wong arep lan tangi turu, donga kareben dadi wong jujur, donga kanggo nyuwargakake wong tuwa, donga kanggo ….
Crat crat crat crat! Ana sedhan nglancangi tanpa ngurangi cepete. Subur wis meh misuh. Nanging bareng wis kulina ketanggor, batine banjur mupus. Lha piye maneh, jer mangsa udan. Apa maneh dalan iku duweke wong akeh.
Nanging bareng sedhan iku malah mandheg ing ngarepe olehe nyepedha, atine dadi ketar-ketir. Gek are papa?
Sadurunge pikirane nemokakae wangsulan, wong ing njero sedhan metu. Priyayine gedhe dhuwur, gagah pideksa. Jroning panyawang rada singunen merga mripat tuwa, wong bregas iku ngajak mesem.
“Pak Subur, adhuh …, nyuwun pangapunten, Pak,” kandhane karo nyalami.
Subur nampani kanthi kebak pitakonan.
“Pak Subur kesupen dhateng kula?”
“Sinten nggih?”
“Kula rak Paing, Pak.”
“Paing? Paing sinten?”
“Muridipun Pak Subur ten es-de riyen.”
“Ya Allaaaah …, Paing, Paing. Bocah kok olehe gawe kaget wong tuwa,” tangane Subur ngelus-elus lengene bekas muride.
Sawise takon-takonan sawetara, Subur munggel guneme.
“Wis, ya. Iki wis awan. Mengko ndhak dadi pangarep-arepe bocabocah.”
“Mangga, mangga, mangga, Pak Guru. Ning nyuwun pangapunten nggih, Pak. Mergi kula kirang ngatos-atos, agemanipun Bapak dados kotor.” [ 39 ]“Ora apa-apa. Mengko dilap nganggo banyu rak wis resik maneh.”
Subur bali maneh katut kabur klambrange pikiran. Ah, Paing kae, biyen, sanajan putrane Lurah, utege dhedhel. Saiki bareng wis gedhe dadi wong bregas. Nyambut gawene ana ing bank pemerintah, tumpakane sedhan. Kelingan nasibe Paing, dheweke dadi kelingan bekas muridmurid liyane sing padha dadi ‘wong’. Ana sing dadi lurah, pegawe negeri, ning bisa tuku mobil, dadi pegawe BUMN, lan isish akeh maneh.
Bareng pikirane diumbar saya dhuwur lan adoh, dheweke kemutan kanca-kancane guru, sing saiki wis ana sing dadi Kakancam, Kadhinas, Pengawas, lan Kasie ing Kabupaten. Dene sing dadi Kepala Sekolah wis puluhan.
Sauntara iku, dheweke panggah isih tetep dadi guru kanthi tumpakan sepedha wungkuk, lan sragam PSH kucel kaya kolohan kirik. Dheweke ngrasa kaya wis ora duwe barang pengaji, hiya regane, apa maneh bandhane.
Ora duwe barang pengaji? Ah, ora. Aku isih duwe barang siji sing banget pengaji saengga ora ana wong sing kasil nggadhe apa maneh nuku, kandhane jroning batin—cadhas, wijang, lan tegas—. Barang iku ora liya… ati!
Jaya Baya, No. 28, Thn. LIV, 12 Maret 2000
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
39
Daniel Tito
Biyen aku isih bisa ngeyel nalika nyonyahku protes bab rokok. Ngrokok kuwi padha karo ngobong dhuwit, ujare karo pecuca-pecucu.
“Coba, sampeyan pikir, sedina sampeyan entek sebungkus. Sesasi telung puluh bungkus. Ateges, setaun entek telung atus sewidak bungkus. Yen sabungkus digawe rega rong ewu rupiah ngono wae, wis pirang atus ewu dhuwit sing kobong. Kamangka wiwit awake dhewe kawin pitung taun kapungkur sampeyan wis nglecis ngono. Dadi wis pirang yuta dhuwit sing kobong?”
“Ora ana!” wangsulanku nalika kuwi.
“Ora ana piye?”
“Ora ana dhuwit sing kobong. Jalaran aku pancen ora nate ngobong dhuwit. Sejene eman-eman uga wediyen konangan polisi. Kowe rak ya ngerti ta, yen ngobong dhuwit mono kalebu larangane negara. He …, he …, he ….”
Kuwi biyen. Nalika aku isih cekel gawe. Saiki, sawise aku kena rasionalisasi alias PHK saka perusahaanku rong sasi kepungkur, aku ora wani guyon klejingan ngono kuwi maneh. Anane mung nurut. Elingeling saiki sing dadi saka gurune ekonomi keluwarga nyonyahku, sarana menehi les privat menyang anak-anake wong sugih. Ala-ala nyonyahku rak potholan IKIP.
Mula nalika nyonyahku ngajak jagongan maneh bab rokok sing kanggo ping semenene iki mau, aku mung manthuk, nglegani. Malah rokok sing dakudud oleh separo agahan dakceceg ing asbak. Nyonyahku enggal nyegah, “Ora usah dipateni. Eman-eman isih separo. Isih satus repis kuwi.” (Aneh! Sawise aku nganggur malah dijatah rokok).
Tanganku batal mbuwang tegesan. Malah tegesan sing pucuke wis pethat-pethot daksumet maneh.
“Aku mung kepengin ngandhakake berita ing koran iki,” ujare karo mbiyaki lembar koran. Awan mau aku meling supaya ditukokake koran eceran (aku wis ora kuwat abunemen maneh). [ 41 ]“Jebul rokok kuwi ora mung njalari lelara kanker paru-paru nanging uga marakake nandhang impotensi tumrap perokok pria. Ing Amerika Serikat, siji saka antarane telulas perokok pria umur-umuran 20—39 taun nandhang impotensi.”
Aku ora nyauri. Rokokku daksedhot luwih jero. Nyonyahku ora migatekake. Isih katrem njingglengi ukara ing koran.
“Lha, iki malah ana sing luwih nggegirisi maneh. Sawijining LSM ing Inggris mratelakake, dinane iki ana wong satus rong puluh ewu pendherita impotensi akibat saka ngrokok. Yen ngono ngrokok kuwi bahaya banget ya, Mas?” ujare karo nyawang aku.
“Ya jelas,” sumaurku karo isih nglecis.
“Bahasa endi antarane kanker karo impotensi?” pitakone.
“Isih bahaya kanker, nanging luwih nyusahake impotensi.”
“Alasane?”
“Yen kanker genah cedhak karo pati. Nanging yen impotensi ora marakake mati. Nanging sing nandhang mesthi susah, jalaran rumangsa cotho. Luwih-luwih tumrap bebrayan sing uripe pas-pasan kaya awake dhewe. Lha nek upamane aku sampek nandhang impotensi harak gawe repotku lan repotmu. Awit wong kaya awake dhewe iki hiburane ora akeh.”
Nyonyahku menceb.
“Mas, iki aku usul ya. Syukur yen sampeyan mathuk, yen ora ya ora apa-apa. Piye yen sampeyan bukak kios rokok?”
Aku meneng. Mikir. Gagasan sing apik. Jalaran sasuwene nganggur rong sasi iki aku ora duwe pilihan saliyane ngenteni kapan perusahaanku nyeluk maneh kaya janjine.
“Njur arep bukak kios menyang endi?”
“Ya ngendi wae, pokok neng panggonan sing rame.”
Bener. Yen panggonan sepi kaya ta: kuburan, mesthine ya ora ana sing bakal nukoni, batinku.
Nanging aku setuju banget karo gagasane bojoku.
Temenaan, aku sida bukak kios ing pinggir jalan protokol ing kuthaku. Modhale kabeh saka bojoku embuh saka ngendi olehe usaha. Aku ora takon. Lan percaya wae. Wiwit kuwi aku duwe profesi anyar, bakul rokok. Wiwit kuwi uga aku malah leren anggonku ngrokok. Yen cangkem kecut tak ganti ngemut premen. Embuh ya, sawise ngrasakake jebule bakulan rokok kuwi bebathene sethithik, aku njur eman yen arep udat-udut. Nyonyahku mesthi wae seneng.
“Nanging aku ora menging sampeyan ngrokok, lho. Kuwi kesadharan sampeyan dhewe,” ujare.
Bener ujare simbah-simbah kae, pegaweyan apa wae yen ditandangi kanthi tememen, ditlateni, mesthi bakal mikolehi. Durung genep setaun aku wis bisa keklumpuk. Malah aku njur rasanan karo nyonyahku arep [ 42 ]mbalekake dhuwit sing dinggo pawitan dodol biyen. Nanging nyonyahku kandha ora usah.
“Wis lunas, kok,” ujare.
Sepisan maneh aku ora ngurus, bentuk lunase kuwi kepriye. Apa disaur nganggo honor les sarana nyicil, apa kepriye, aku ora takon.
Bareng katon laris, aku njur bukak tekan wengi. Yen biyen mung tekan jam wolu banjur dakundur tekan jam sewelas, sok-sok nganti jam rolas barang. Nyatane isih ana wae sing tuku. Bojoku ora kabotan. Malah katone seneng. Jer asile saya kena disawang. Mas-masan penganggone jangkep pakeyane katon modern. Lan rumangsaku, bojoku kok malah tambah ayu lan tambah enom (sing ngelem sapa yen ora bojone dhewe).
Cekake aku wis bisa nampa pegaweyan dodolan rokok iki. Aku wis ora ngeling-eling maneh kapan ana panggilan saka perusahaanku. Saupama ana panggilan kanthi gaji kaya kang sing uwis, aku genah pilih pakaryan sing saiki.
Lan ya tenan. Ing sawijining sore, Bakri, kancaku mergawe dhek emben mara ing kiosku, ngabari yen perusahaan wis bisa mlaku maneh. Prioritas diwenehake marang pegawe sing ‘dirumahkan’, kalebu aku.
“Piye, Mas? Ora kerja maneh?” tawane kanthi praupan binger. Rumangsane aweh kabar gembira. Pancen ya kabar gembira. Sapa ta sing ora seneng entuk panggilan kerja.
“Piye ya, Kri. Jane aku ya kepengin mbalik kerja maneh. Nanging piye, aku kok rumangsa eman yen kudu nutup kiosku.”
“Ya ben ditunggoni bojomu wae, ta.”
“Bojoku kon urip neng ndalan saben bengi?”
“Ya nganti sore wae, yen bengi tutup.”
“Lha wong larise ki malah yen wengi jare.”
“Lha piye? Mosok arep mbok tolak.”
Aku thenger-thenger sedhela mikir. Tepate ngetung. Pira asile kerja yen katandhingake karo dodolan iki. Ah, kalah adoh ….
“Ya wislah, Kri. Kowe wae baliya kerja. Aku pilih nunggoni kios iki wae,” sumaurku manteb. Bakri ninggalake kiosku sajak cuwa. Aku ngerti. Nanging aku wis manteb karo pilihanku. Karo maneh idhep-idhep menehi kesempatan kanggo wong liya. Idhep-idhep ngamal.
Wiwit sore langit wis katon mendhung nggameng. Februari pungkasan, sing kudune udane wis suda kok ya padha wae karo wulan Desember utawa Januari. Sedhela-sedhela banyu tumiba kaya bocah cilik anyang-anyangen.
Aku agahan tata-tata plastik kanggo nutupi kios. Nanging nyatane isih tetep cepet tekane udan. Lan ora dakduga udan sore iki luwih deres tinimbang biasane (rumangsaku). Ora ana cara liya kanggo nylametake kios kejaba ditutup krekeb. Kebeneran wektu kuwi awakku rasane rada [ 43 ]ora kepenak, pating krekes. Mula aku pilih mulih wae. Kadhangkala prei ya oleh, ora perlu lapur atasan, wong pancen dudu pegawe.
Lagi wae mblusuk gang sing tumuju nyang ngomahku, lha kok sepedha montorku macet. Trembelane! Kepeksa pit montorku taktuntun alonalon jalaran dalan gang wis akeh sing rusak. Rada ewuh, nuntun pit karo krukuban mantel.
Pit montor taklebokake emper ngiringan omah. Sepi banget. Mesthine bojoku enak-enak turu karo ngeloni si Thole, wong dina iki ngepasi ora menehi les. Nanging nalika tanganku mbukak grendhel lawang ngarep kok kancingan. Njur bojoku lunga menyang ngendi. Apa menyang nggone mbahe Karangdawa? Ah, ora! Selawase yen arep lunga bojoku mesthi pamit. Apa menyang nggone Bu Wadi, tangga sebelah? Nanging mesthine ya ora. Mongsok udan-udan ngene perlu nangga.
Lawang dakdhodhogi bola-bali. Ora ana wangsulan. Klithih-klithih aku mlaku menyang mburi, menyang pawon. Ya mung nuruti naluri wae. Ndilalah ora kancingan. Aku mlebu. Bojoku mesthi keturon, batinku. Aku mbukak lawang kamar. Ora kancingan. Aku mlebu.
Jebul bojoku ora turu. Nanging kaya tangi turu.
“Lha endi Thole?”
“Dijak Wiwin mau, nyang kos-kosane. Jare kanca-kancane padha takon, kangen,” ujare bojoku semu wedi.
Aku percaya wae. Wiwin mono adhine bojoku sing wuragil. Isih kuliah ing ASMI.
Aku enggal copot klambi. Salin. Nyawang cendhela. Udan isih riwisriwis.
“Lha kok ora mboktutup jendhelane ta, Ning, udan ngene?”
“Nggg …. Anu …. Lha mau sumuk banget.”
Bojoku metu saka kamar. Aku ngerti, mesthi arep nggawekake wedang. Awak dakselehake ing dhipan. Isih krasa krekes-krekes. Aku lagi mbatin ngakon bojoku ngeriki nalika dumadakan aku nyawang rokok sabungkus ing gang-gangan antarane bantal. Dakjupuk. Lagi kalong rong ler. Rokoke sapa? Aku dhewe wis suwe pegatan karo rokok nadyan panggautanku dodolan rokok. Apa bojoku saiki ngrokok?
Ah, ora! Aku ora nate weruh dheweke ngrokok. Nyoba-nyoba wae ora. Ndeleng mereke genah iki rokok filter sing larang regane. Mripatku langsir menyang meja riase bojoku. Lha kok ana asbake (aku eling asbak kuwi asbak ing ruwang tamu), lan tegesan loro. Wis diceceg. Kayane nyecege durung suwe. Dakcekel pucuke, isih panas.
Bojoku mlebu. Langsung daktakoni.
“Sing ngrokok iki mau sapa, Ning?”
“Sapa? Ora ana sing ngrokok ki?”
“Lha iki ana tegesane ki?”
Bojoku nampani asbak sing dakwenehake. Ngiling-ilingi. [ 44 ]“Lha iki apa ora tegesan sampeyan biyen, ta?”
“Tegesan biyen? Tegesan taun pira? Lha kok isih mboksimpen? Kathik elok temen?”
Bojoku ora sumaur. Rasa curigaku saya gedhe.
Aku njur kelingan Feroza warna abang jambon sing diparkir ing ngarep omahe Bu Ratnanto, tangga kulon omah let siji. Kuwi rak Feroza duweke kenalane bojoku sing anake dilesi. Yen ora kleru aku malah nate dijak bojoku menyang omahe wong kuwi. Terus, embuh kaping pisan apa kaping pindho uwong kuwi nate tuku rokok menyang kiosku. Nomer plate bisa aku ora kelingan, nanging warna abang jambon kuwi aku genah ora pangling. Soale arang ana Feroza cete mengkono yen pancen ora dicet dhewe.
Pikiranku banjur munyer seser. Wis ora kelingan awak rada masuk angin. Aku agahan metu menjaba. Dakinguk. Ferosa wis ora ana. Aku njur gawe analisa dhewe. Apa wong kuwi mau metu liwat jendhela nalikane aku mlipir menyang pawon. Ndilalah olehku mlipir kok ya metu wetan omah, ora kulon omah sing jendhelane bukakan kuwi.
Balik menyang kamar, bojoku dakdhedhes maneh. Bareng bojoku tetep ora gelem sumaur, dumadakan atiku muntab. ‘Barang bukti’ rokok sing mau daksaki saiki dakbanting ing ngarepe.
“Iki rokoke sapa, he!”
Bojoku kaget. Langsung nangis, nubruk aku. Nanging aku ngendhani nganti dheweke tiba. Meh wae tanganku kemlawe nampeg raine. Bruwalaku kaya angel kapenggak. Kaya-kaya aku wis bisa mbuktekake kesalahane. Tujune aku isih bisa ngendhaleni dhiri. Kanthi ukara pedhot-pedhot bojoku crita. Kandha blaka yen dheweke wis atindak slingkuh karo wong sing duwe Feroza kuwi. Alesane wis kakehan kepotangan budi. Kekerepen dheweke nampa paweweh, wujud barang utawa dhuwit. Malah,, kandhane, modhal kios biyen kae ya saka wong kuwi lan ora gelem dibalekake.
Aku slemengeren. Lan uga kanteb nyang ati. Bojoku ngaku ya lagi sepisan kuwi dheweke nindakake slingkuh. Nanging sapa sing percaya? Lan saupama aku percaya, apa bedane lagi sepisan karo wis kaping satus? Slingkuh ya tetep slingkuh wae. Tetep gawe lara ati tumrap sing nampa pangina. Malah adakan bisa gawe memala utawa rajapati. Pikiran bruwet nggeret jangkahku tumuju kreteg sing misahake kampungku lan kampung sebelah. Aku nyawang mangisor. Banyu butheg kuwi nggambarake buthege atiku.
Ana pilihan-pilihan sing ngusik pikiranku, sing kudu dakputusake. Pegatan apa ngapura kesalahane bojo? Muga-muga aku isih eling. Ora milih rajapati.
Jaya Baya, No. 27, Th. LIV, 5 Maret 2000
Mones
Nyambut gawe banda otot. Dadi tukang mebel melu Cina akeh rekasane. Bayaran saya suwe tambah mungkret. Urip ana kutha kaya Surabaya,
bayaran seminggu sewidak dipangan apane. Entek kanggo mbayar kontrakan lan pakane weteng. Ijir-ijir, dina Selasa isine dhompet mung kari
sepuluh ewu.
Watoni mendelik, “Cik! Garapan kursi modhel terpedho sampeyan undhakna!”
Nanging Cina wedok kuwi mung mecucu. Dhasar juragan cethil senajan sugih mblegedhu yen mbayari anak buahe saenake wudele. Mula Watoni wis ora kuwat melu juragan Cina kuwi. Tinimbang mulih nglenthung, neng nggudhang ana lim limang umplung dicangking pisan.
“Aku nggak nyolong, Cik. Iki minangka tempuhe bayaranku sing kok kenthiti saben minggu!” ujare.
Didol payu seket ewu. Lumayan wis kena kanggo cekelan tambah sangu mulih menyang ndesane, Winongan kana.
Nata ambegan dhisik. Mengko ngadhepi nak-dulure yen ditakoni werna-werna, geneya kok mulih. Wis, wangsulane pokoke embuh. Kabeh kanca sakpantaran esuk iki mesthi ngobahake bahu ngolah sawah. Nanging dheweke wegah yen arep dadi buruh tani maneh. Rasane wis mblenger gluprut endhut.
Oh, wong bara saka kutha. Oleh-olehane ora tambah nggantheng nanging tambah ngeyeyet kaya balungan tengkorak. Nalika sore padha sapejagong, kancane moyoki. “Ton, mbok ditraktir neng warunge Wak Sukur kana. Kopi sak gelas, tah!”
“Bathukmu!”
Wengi sawise sembahyang ngisak ana langgar, Watoni kemul-kemul sarung njujug menyang tegalan. Kangen karo nangkane. Ing mburine omahe kono wite nggrembuyung wohe ketel mbriyut. Ora krasa sikili nyaruk pathokan kayu kuburan pundhen. Watoni mgringis kelaran. Na[ 46 ]nging tambane mung mayar. Nangka sagenthong kuwi mung nyisa seprapat. Kewaregen ambegane menggeh-menggeh.
Regane triplek selembar nyandhak selawe ewu. Wik! Merga mung mbutuhake ukuran setengah mungsuh semester, bisa nempil marang Kang Rori. Pasang cagak pring, terus golek turahan ana gudhang. Ana sisa cet setengah umplung bisa dilaburake. Wiwit esuk Watoni wis nyempud anggone tandang gawe. Cag-ceg. Dhag-dhog. Rampung banjur dipasang ana ndalan persis ngisore cagak listrik kanthi tulisan nyolok: PATILASAN MBAH YONIWILANGAN.
Golek jeneng salumrah nganut pakulinane wong Jawa. Apa anane. Wong takon-takon marang tetuwane kampung kono kabeh ora ana sing mangerteni, sapa sejatine pawongan sing dipetak neng pekuburan kuna kuwi. Anggite jeneng awuran kuwi bakal nggawa hoki. Bakal ngrejekeni. Mikolehi. Muga-muga.
Temen. Seminggu sawise pasang papan nama, omahe ndadak katekan wong pepriman, gembel ledhis ora tau adus. Begjane awak. Tamu kuwi ditampa apa anane. Ditakoni jare ngaku-ngaku wong saka Banyuwangi. Keplayu merga kesangkut raja pati nalika rame-ramene isu dhukun santhet. Lan kepengin nenepi ing kuburan pepundhen kono kanggo golek sarana nemtremke ati.
Minggu dadi sasi. Reka dayane Watoni wiwit ngatonake kasil. Saiki panggonan mburine omah kuwi saya reja. Lunga teka wong saka liya kutha mrono saperlu ngalap berkah marang Mbah Yoniwilangan. Lan mbeseli dhuwit marang dheweke.
Rejeki sapa sing nyana. Nyambut gawe ngrumat “ide” pancen asile ngedab-edabi.
“Nuwun sewu!”
Pundhake krasa kaya ana sing njawil. Ditoleh. Sagrembyangan dheweke wis bisa mbadhe. Pawongan kanthi setel ngono kuwi mesthi wartawan. Nggawa tustel nggenteyong ana dhadhane. Takone ngalor-ngidul jarene golek referensi.
“Oh, njenengan mesthine penulis?”
“Leres. Samenika kantun nggathukaken patilasan ingkang wonten Mancilan mrika. Saking kateranganipun juru kunci, Untung Suropati nate meguru dhateng Mbah Yoni mriki?”
“Aaa… anu…, inggih ceceg…, eh cocog.”
Watoni kaya nemu dalan amba. Dheweke terus ngethuprus menehi katrangan marang si penulis kuwi. Dibumboni kaya micin sing kerep ditayangake neng iklan tivi kae. Supaya nges, supaya temen-temen urip lan nyata. Jare petilasan Mabh Yoniwilangan kuwi isih ana gandheng cenenge karo adage kutha-kutha ing tanah Jawa wetanan. Klop.
sesuk isih ana srengenge muntup ing wetan kana?”
Krik, krik, krikkk…!
Eh, nyatane swara jangkrik sing semaur ing kuburan kuwi. Tumaruntun nggebyah solah mbedhah tintrime wengi. Wong-wong sing padha ngaji Yasinan wis ora keprungu maneh. Langgar cilik kuwi wis sepi saka puja-puji. Pandom jam wis nuduhake angka loro. Jago kluruk wiwit nyigar aclume wengi. Sing turu isih nglepus padha andom playon karo donyaning impen. Mlarah munggah menyang langit sap telu nemoni malaikat sing njaga lawang Tahlili. Sing wiwit mbiyen mula ing alam sonya wis padha sujud nganti tekan dinane iki.
Slup! Kongsi tekane cahya cumlorot. Sulak rupa kemuning semu jingga. Lap netrane maspadakake.
Ilange cahya kesaput pajar. Modin Juma ngalukake tarkim. Nggugah sing padha angler turu. Ngongkon padha sembahyang jamaah.
“Gusti, dalem nyuwun sepura!” Lambene Watoni ndremimil. Kringet nggobyos nelesi bathuke.
Watoni ngucek-ucek netrane. Kelom-kelom kehebatan pikir. Ngluntrung mudhun saka dhipan. Mlaku njujug menyang jedhing arep nyawuk wudlu.
Mbarenge anggunge adzan, pawongan sing lungguh sila ngisore wit nangka kuwi ngadeg nyat ninggalake papan kono. Terus lunga nuju papan liya, karo ora lali nyangking tustele sing pancen dadi sobat kenthele digawa ngalor-ngidul kulak warta.
Mudhun Subuh, Watoni banjur nggeblas njujug menyang kuburan pundhen mburi omahe. Lemah nggumuk kuwi kaya mentas kasiram banyu. Wangi ambune. Pathokan sisih lor ana kalungan kembang mawar abang saronce nalen mubeng. Iki mesthi pokal gawene wartawan kuwi.
Saka impene mau bengi, dheweke kaya ditekani pawongan tuwa jenggote ketel. Mlaku mbungkuk-mbungkuk nggawa teken kaya terus didudul-dudulake menyang irunge Watoni, karo cluluk seru.
“Le! Papan nama sing kok pasang neng ndalan kae ndang jabuten. Wis cukup semene wae nggonmu reka-reka golek rejeki!”
Ora nganti ngenteni njedhule srengenge, Watoni wis ngongkek-ongkek cagak pring kuwi. Saben ana sing liwat takon, dheweke mung mingkem mbisu ora menehi wangsulan.
Srettt. Srettt. Brulll!
Cagak sing wiwit dirambati rayap kuwi jebol. Lan bakal nyisakake legendha crita rakyat sing wis direka-reka dening penulis kaloka saka majalah sing terbit ana Surabaya. Kanthi irah-irahan “Jebole Benteng Kadipaten Pasuruhan”.
Panyebar Semangat, No. 12, 18 Maret 2000
Nyitno Munajat
Dinayan watek murkane, saparipolahe Bethara Kala ngurik-urik
katentremaning panguripan ing samodra, kang rama giris nyumurupi
tumindaking sang putra, mula sigra animbali sowan kahyangan.
“Kala, putraningsun, jatining samodra ibunira ya papan mijilira, mula nora prayoga yen ta sira gawe rusake. Wiwit wanci iki sawernaning titahing samodra dadi sirikanira.”
Keprungu dhawuhe Bethara Guru iku Si Kala gidro gereng-gereng banjur muwus kanthi netra kumilat ngalad-alad.
“Ghhhr… ingsun iki raseksa, Rama, kadunungan wenang memangsa! Lamun nora wenang memadhang ing samodra mula wus pinesthi salumahing bantala dadi lelirune mangsaku … ghhhr!”
“Hiya, atmaningsun, ala werna diyu wadhagira bebasane, wondene Bethara dadi aran lan drajadira. Mula aturira ya nunggal teges kadya Sabda Pinesthi Hyang Geneng kang kalis munggweng wurung. Nanging kawruhana, Ngger, kabeh kang gumelar ing madyapada sarwa lumaku winatesan dening paugeran lan pranatan, kalebu bakal memangsanira.”
Bethara Guru banjur mratelakake sapa wae manungsa sing bisa dadi mangsane, yaiku kabeh kang kepetung ingaranan sukerta kang during rinuwat,.
Pratelane Bethara Guru dadi cingake Bethara Narada. Merga yen dipiji cacahe manungsa sukerta mono ora kurang saka suwidakan. Pira manungsa sing bisa luwar saka pangincime Bethara Kala? Merga meh sebarang ayahane ngaurip gampang njlomprongake manungsa nyenggol jalaran sukertane, embuh krana garising urip embuh saka ilang prayitnane.
Pangudarasane Sang Narada ndudut rasa wajibe mejang Bethara Kala bab Kawruh Sejatining Ngaurip sing kudu diugemi, ing pangayun pranatane bebrayan gung tansah jinaga jejege.
Bethara Kala wus siyaga midhanget sabdane. Ananging dewa sing pasuryane pijer tumenga ngawiyat iku pijer nyebut jeneng “Kulup Kala Putraning Bathara …” lampu-lampu sing maune dadi pepadhange wengi mati dadakan. Mesthi wae aku kecipuhan. Klabakan. Merga pakeliran [ 49 ]wengi iku dudu tanggapan lumrah, nanging ruwatan. Tegese, sawijine upacara ritual sing wigati mula kudune rancag kalis rubeda nganti tancep kayon.
Hm, mau mula … saka wiwitan jane aku wis kurang sreg karo pakeliran iki. Jalarane ya mung siji, yaiku prekara titi wancine. Umume ruwatan iku rak wayah rina, lha kok Pak Pujorogo nyuwun wengi. Kamangka aku ya wis ngandhakake bab iku.
“Mpun ta, Ki, ruwatan rak mung upacara formalitas,” alesane nalika iku, “kajeng kula, ringgitane mesisan dados tontonan ngaten. Nek siyang rak mboten umum dados tingalan.”
“Wah, nuwun sewu, Pak. Tontonan niku rak dhapur angka kalih, bakune ruwatan niku rak tuntunan ngarah prana rahayune ngagesang si sukerta dalah keluwargane,” kandhaku ngelingake.
“Walah, Ki, tiyang ningali pakeliran kula kinten umume nggih betah tontonane. Mosok tlatena mendhet tuntunane … ngrekasa, Ki, tiyang njlimete eram!”
Aku trima ngalah. Wong sing nanggap luwih wenang tinimbang dhalang sing ditanggap, utamane tumrap rong prakara, utamane lakon lan wektu pagelarane.
Swarane penonton wiwit umek. Kringetku wiwit mrembes. Tanganku sing isih nyekele cempurite Bethara Narada sing siyaga mejang mau wiwit grinnggingen lan gemeter, wusana nggreweni niba sandhuwure gedebog.
“Ki, dibacutake mawon dospundi?” swarane cantrik mbisiki.
“Peteng kaya ngene iki?” penyautku karo ngusapi kringet ing bathuk. Aku ora weruh kepriye praupane cantrikku sing mesthine ya bingung.
“Nggih malah kleresan, Ki,” aloke ora mlebu pangiraku, “petengan niki kita reka kados pancen mpun kepetung ing rancangan pakeliran. Anggit kula, rak nggih trep sanget ta Narada ingkang wicaksana paring wejangan nalika kawontenan tanpa cahya ngaten!”
“Kok elok tenan gagasanmu iku, nanging kok abot cak-cakane. Tata swarane sing ora nyucuk. Pikiren, Narada ngendika bab kabecikan lan kaluhuran, tanpa pengeras suara, apa bakal kaprungu ing kahanan swaraswara wor suh ngene?”
Operator dhisel wis mbudidaya nguripake mesin iku, nanging karewelane sajak rada nemen. Lampu murub sadhela banjur mati maneh. Ngono iku bola-bali, malah pungkasan rada suwe matine.
Penonton mburi kelir malih pating brengok, kagelan, ngece.
“Dhisel rongsokan! Lampu rombengan! Wurung-wurung …, ruwatan wurung!” pambengoke sesautan.
Ana sing kurang ajar nggepuk lan mbalangi kelir. Malah ana sing ngogak-ogak sakane kelir barang. Remeng-remeng aku weruh wayangwayang sing simpingan tengen padha miring lan siji loro ceblok kaya kasoran perang. [ 50 ]“Awas, Ki, Bethara Kala-ne!” cluluke cantrik kaya mengku karep. Tingkahe wong-wong sing pating sliri sakiwa-tengene kelir katon wujud wewayangan nggrememeng ireng sing aneh. Ana uga sing nganguk-anguk nyang simpingan karo uthik-uthik wayang.
Embuh pirang menit kahanan peteng mau dumadi—kiraku cukup suwe—upama ana wong culika gelam ngumbar niyate. Nalika lampu byar padhang age-age arep mbacutake adhegan Narada mejang. Nanging kaya ngapa kagetku, Bethara Kala sing sekawit cedhak ramane ndadak ora tinemu ing kono. Gojag-gajege atiku dakrem-rem sauntara. Mbokmanawa pancen ceblok mengisor. Dakungak-ungak ora ana.
“Gus, endi Beethara Kalane?” takonku marang cantrik ngemu prentah nggoleki. Dheweke gage ngongkrah-ngongkrah tumpukan wayang ing ndhuwur eblek. Ora tinemu. Njeron kothak ganti diubak, ya ora ana. Panjak kendhang sing cedhak dhewe tanggap, cengkelak ngadeg tumuju nyang simpingan kiwa. Ngiyak-ngiyak bloke buta lha kok ora nemu uga. Sirahku nggliyeng kaya ketiban blencong. Lha iya, elingku wayang Kala iki serepe ana siji kok ya ora ana pisan.
Ilange Bethara Kala enggal disumurupi para yaga, mula banjur padha clilengan menyang ngisor gamelane dhewe-dhewe, kaya-kaya padha yakin yen Pengincime Sukerta iki bisa slinthutan manjing nyang papanpapan rupak lan rumpil. Ora trima dijinggleng gamelane padha dijunjung, diiringake, nganti wilahane padha coplok lan bonange ngglundhung. Swarane pating klonthang-klunthing, krompyang tanpa wirama. Pikiranku dadi bruwet semrawut.
Ilange Bethara Kala gawe githokku mrinding, siyak-siyak, lan waswas, amarga makna filosofine buta iki nunggal wingite karo Kyai Semar. Ing purnaning pakeliran wayang loro iki ajeg dakdupani ing njeron klambine, yaiku kanthong sutra ireng kanggo Bethara Kala lan putih kanggo Semar. Kawigaten mligi ngene iki kanggo ngantebi pangrehing budi sajroning mangerteni jejer lan wewatakan siji-sijine mungguhing bebrayan sanyatane.
Tanpa weruh sangkane Pak Pujorogo mencungul ing mburiku.
“Ki, anak kula kok mboten enten, nggih!” ngendikane mbebisik nanging cetha banget. “Kirangan pas lampu peteng wau pamit teng wingking. Pun, maklumlah lare sakniki mboten betah linggih …, napa malih ningali wayang.”
Kopi sing wis adhem jejer sajen dakcegluk tanpa dakrasakake. Wis jan kisruh tenan pakeliran nggone Pak Pujo iki. Mumet aku!
“Dhasar lare radi tingkah, Ki, saged mawon larene ngriwuk tiyangtiyang estri ewuh ten pawon. Cobi kula padosane malih. Lha sampeyan terusne mawon ndhalange!” kojahe nrocoh sinambi ngepuk-epuk pundhakku kaya-kaya njaluk aku supaya ora susah gupuh, kamangka dheweke ora bisa nyingitake sumelange. [ 51 ]“O…, anu, Ki, upami …, upami lho…, niki!” clathune sawise mungkur cengkelak bali. “Upami nganti adhegan Dewa Wisnu, si Dhalang Sejati niku, ngruwat sukerta mangke anak kula dereng kepanggih wayangane mpun dikendelake, sampeyan tutugake mawon tanpa ruwatan, kersane mboten mubadzir dados tingalan ngoten.”
Mung dadi tontonan. Mengkono tembung sing trep kanggo pakeliran wengi iku. Putra ontang-antinge Pak Pujo ndilalah ora ditemokake nganti tancep kayon. Oncade Bethara Kala dhewe pancen ora nganti gawe wurunge pakeliran, merga paragane dakganti Rasesksa Mudha. Ora jiblesa nanging dedeg piadege lan wewatake kekarone dakkira irip-iripan. Malah upama Bethara Kala diparagakake dening buta liyane penonton bakal nganggep padha, amarga bangsa raseksa kadung dimitosake minangka simbul kadurjanan, kadurakan, apadene angkara murka (sanajan ora kena digebyah uyah mengkono). Mula yen dakgagas-gagas bingungku sejatine dudu ilange Bethara Kala saka kelir, nanging aku banget nyumelangake kedadeyan sing bakal tumeka yen Tukang Mangsa sing lair saka kama salah Sang Hyang Pratingkah iku ucul. Maksudku, aran mokal wayang iku musna ngono wae tanpa ana manungsa sing njupuk. Embuh iseng, embuh dikoleksi, apa ta diedol, nanging sing mesthi rak bakal beda maknane, yaiku padha karo nggawa si Pengancam iku menyang madyaning bebrayan manungsa. Seje maneh yen sing dijupuk wayang-wayanag sing awatek, upamane, jujur, sinatriya, wicaksana apadene luhuring budi.
Pangajabku Putri Ayu, putrane Pak Pujorogo iku, enggala ketemu lha wong manungsa mongsok ilang. Amarga bocah iku kudu enggal diruwat (maksudku, dheweke iki isih jejer bocah sukerta). Nanging pangaraeparep iku badar, bareng ana Petugas Kepolisian menyanag omahku mratelakake yen bocah iku wis tinemokake tiwas ing tebu-tebu pesawahan mburi omahe. Sing luwih tragis maneh otopsi dhokter nyatakake yen dheweke wis dirusak kesuciane.
Ing rumah sakit layone dipitontonake marang aku. Ora ana tilas getih. Ora tinemu tatu mlewah sing bisa njalari wong ora mentala ndulu. Dheweke gumlethak kaya turu angler. Pasuryane sing siniwi, pakulitane sing resik putih, lan rambute sing dipopol cendhak isih ngatonake ayune. Ing gulune, ya mung ing gulu iku, tinemu lamat-lamat tatu cublek ngemu getih. Dene ing sikili isih tumemplek tilas lempung. Cekake, sing mretandhani yen dheweke wis “putus masa depane” (ngono olehku ngarani) ya mung jarit sing ngemuli lan sleyer ungu sing ngiket janggut lan sirahe.
“Dhokter taksih rangu-rangu bab tatu ing gulu niku, Ki,” ujare Polisi wadul aku. “Kados tilas tekekan utawi … cakotan siyung ageng. Kajeng kula, Ki Labdo Carita saged paring katrangan bab watek antune Bethara Kala niku. Napa piyambake nek mateni kurbane kanthi nyokot gulune kados Dracula?” [ 52 ]Aku wiwit rumangsa, polisi duwe pangira yen patine Putri Ayu ana gandhenge karo ilange wayang Bethara Kala mau bengi.
Bethara Kala pancen gadhah siyung, arane mawon buta,” kandhaku kumudu ngguyu. “Nanging yen nadhah talamangsa nggih diuntal tanpa sisa, boten dicucup kados dracula ngoten.”
“Maksude, boten mungkin Bethara Kala pelakune? Nanging piyambake rak gadhah kekiyatan magis, ta?” pitakone semu aweh dudutan.
“Genah, pelakune mesthi manungsa, sing kasusupan wateke Bethara Kala mesthine. Bethara Kala niku namung ringgit, sadrema jalma sinungging ing kulit. Yen wonten ringgit tinamtu kados dene Semar utawi Bethara Kala niku gadhah daya megis, utawi trepe diyakini dening ngakathah gadhah kekiyatan magis, sejatose sanes saking ringgite piyambak nanging kadayan dening keyakinan utawi kapitayan niku piyambak. Kanthi makaten wayang kadidene gesang, nyata ing pangentha.”
Katranganku sing ringkes iku dakkira cukup dadi dhasar panyelidhikan Polisi. Kanggone Polisi lan Pak Pujo sapa pelaku “perkosaan-pembunuhan” iku tamtu wigati banget kanggo njejegake ukum lan keadhilan. Tanpa karep ngremehake bab iku sing wigati kanggoku malah kepiye mungguhing mangerteni sebab-musababe kasus sing gawe wirang lan susahing liyan iku. Yaiku salah sijine alesan geneya aku asring aweh paninting lan penapsiran tumrap pawarta sing daktampa.
“Prawan Sukerta Diperkosa lan Diperjaya Bethara Kala”. Ngono irahirahan sawijine pawarta sing dakwaca saka Koran local ing watara dina candhake. Polisi sajake wis nyekel “terdakwa”. Wose pawarta kanthi cengkok metaphor iku nulis, sing didakwa dapi pelakune (banjur diarani “Bethara Kala” iku) ora liya ya tukang dhisel nalika wayangan wengi kae. Aku ora kaget, merga ya logis.
Niyat iblise iku, ngono istilahe koran, dilakoni nalika lampu mati. Mesin listrik iku rewel amarga pancen dhisel cadhangan, dadi arang dikanggokake. Dheweke ngaku judheg lan prustasi.
Sawise diutheg lan diuripake bola-bali ora ngenekake, dheweke njajal mbukak busine banjur dikureksi lan diresiki saakal-akale, sabisabisane merga pancen peteng. Nengah-nengahe utheg karo piranti “pengapian” iku Putri Ayu mencungul ngono wae saka sandhinge jedhing. Dhisel iku iku pancen dipapanake buri jedhing.
“Butuh bantuan, Mas?” panawane Putri ditirokake terdhakwa. Dheweke kaya entuk daya. “Oh, ya, ngurubake korek iki bisa ta?” panjaluke kebak pangarep. Kanthi legawa Putri banjur ngurubake penthol korek. Nyerpis “pembangkit listrik” wengi iku pancen nganyelake, jare si operator, mulane ora aneh Putri ngurubake korek jres iku bola-bali. Tukang dhisel iku uga ngaku kober ngresepi pasuryane Putri sumringah rinengga esem nalika kasunaran urube korek. Kala-kala ABG iku njelih ngalem [ 53 ]nalika geni ing penthol korek iku mrambat ngepok nylomot driji-drijine. (Yen nganti bab-bab cilik ngono wae diweruhi aku ngira tukang dhisel iku uga mbambu parfume Putri sing kegawa ngin wengi).
“Uhg… adhem ya, Mas!” jare Putri miturut si operator.
“He eh. Yen ngono becike ndang jajal diurubake,” grenenge tanpa ngenteni pasetujone Putri. “Kene, kene, rada cedhaka maneh, mengko kita rak krasa anget!”
Saka pambiyantune Putri, dhisel iku kasil diuripake. Lampu murub, napsune uga katut murub. Ngono ukara pungkasan pawarta iku. Ah, kenes banget!
Pawarta ringkes ing TV swasta bab kasus iku rada njangkepi larahlarahe. Reporter ngandhakake yen tukang dhisel iku pranyata wis tepung, malah “tertarik”, karo Putri Ayu.
“Apane sing paling narik kawigatenmu?” pangoreke reporter.
“Carane nyenyandhang nganggo.”
“Geneya?”
“Pakeyane ngepres awak lan kerep uga mini. Dadi, pawakan lan pakulitane …” tembunge ora dibacutake (dakkira wong lanang bisa ngira piye tutuge).
“Lho, pakeyan simple ngono rak wis dadi mode ta? Akeh wong wadon nganggo, apa aneh?” pitakone reporter gumun.
“Bener, aku kerep weruh dianggo para penyanyi, artis film ing sinetron apadene ing vidhio, uga wanita ing meh saben papan kaya jare sampeyan. Anehe kabeh mau nggodha pikiranku,” ukara pungkasan iku diucapake lirih, meh ora keprungu. Si reporter njenggerutake bathuk lan mesem kecut. Dheweke ora takon maneh. Mbokmanawa batine muni, “Njelehi, dhasar wong lanang!”
Wawancara ringkes iku wae sing wigati kanggoku. Jangkepe pawarta kurang luwih padha karo ing koran sing dakwaca.
Tukang dhisel iku wis kepara mesthi bakal dikunjara merga ukum ora mbenerake. Nanging aku ora yakin prakara perkosaan, pelecehan seksual utawa tumindak jail marang wanita mandheg merga dheweke, tukang dhesel wayanganku wengi iku, dilebokake kunjara. Aku, dhalang Ki Lebda Carita, ngrasa yen Bethara Kala wis ngejawantah ing madyaning bebrayan manungsa. Lan marga akeh sukerta sing ora diruwat, tegese mangsane Bethara Kala iku cumepak ing sabarang papan. Putri Ayu putrane Pak Pujorogo mung salah siji ing antarane para memangsane
Panjebar Semangat, No. 17, 22 April 2000
Ismoe Rianto
Klasa papat dijeber ngubengi jogan. Gunting. Kertas. Balpen. Lepek.
Kobokan. Sedhitan plastik dicawisake. Karepe Sarmun, kabeh kudu
ditandangi bebarengan. Ora dhedhemitan sing bisa nuwuhake kasujanan,
banjur dadi congkrah. Patang wulan kepungkur dheweke ketemu Darmin
nalika bebarengan njupuk pensiun. Banjur ketemu Ananto sing isih panggah klimis senajan katone saya tuwa. Uga ketemu Bogang sing nganggo
untu pasangan. Parno plonthosan, nanging brengose putih njlaprang, jenggote uga putih ngglawer tekan dhadha. Banjur Sugoto, banjur Parjiman.
Loro-lorone rambute rada gimbal. Sok ngono isih katon bregas-bregas.
Sandhang penganggone tumata. Resik. Kabeh nganggo sepatu. Lan sawise
nampa dhuwit ora enggal bubar mulih dhewe-dhewe, nanging runtangruntung tumuju kantin.
Karo nyamuk-nyamuk kecapan. Clegak-cleguk ngombe, uga sedhalsedhul udud, omong lan guyune ora ana pedhote. Ngeling-eling jaman kepungkur. Gojlog-gojlogan. Banjur ngrasani Sudiono, Kepala Urusan Pegawe sing mesakat. Tukang ngorat-arit personil. Sing ora nyocogi atine disingkirake. Dibuwang menyang panggonan sing mencil, adoh rejekine. Sing bisa asok glondhong pengareng-areng, nuwun inggih sendika dalem, bageyane kepenak. Kursine empuk. Keceh dhuwit.
Sarmun, Darmin, Ananto, uga Parjiman barang, maune nunggal kantor lan nunggal bagean. Ananto kumawani nakokake timbangane beras jatah sing ajeg kurang. Parjiman nakokake jluntrunge dhuwit koprasi sing pendhak taun bubrah, banjur bamban maneh. Motongi dhuwit maneh. Sarmun nulak nalika dijaluki urunan kanggo ngurusi undhak-undhakan Pokok Gaji. Wong pitu banjur diorat-arit menyang panggonan sing bedabeda. Watara limang taun sawise padha pensiun lagi ketemu maneh. Bogang crita, jarene Sudiono saiki dadi kembang amben. Lara taunan ora bisa mingket saka peturon.
Banjur genti ngrasani Bambang. Rada anggak jalaran ketengen. Seneng wadul, tukang metani lupute kanca. Keminter. Senenge crita jarene isih mambu wong gedhe, mula tansah digatekake Kepala kantor, Darmin [ 55 ]tau ketemu. Rupane kaya jrangkong. Lakune semper, tangan tengene keple. Omonge pelo. Bojone sambat jarene Bambang kena stroke.
Ngundhuh wohing pakarti. Sing nandur rawe mesthi awake gatelen, kojahe Sugono sing wiwit biyen pancen temuwa dhewe. Kabeh manthukmanthuk, lan bebarengan nyruput wedange. Sakbanjure semayan yen njupuk pensiun kudu tanggal sanga. Yen tanggale abang diundur candhake. Ing sapatemon pungkasan, Sarmun ada-ada, sakwulan sepisan kumpul-kumpul maneh.
Dina-dina ngadhepi pensiun, Sarmun rada miris. Kelingan nalika ngancani bapakne njupuk pensiun. Sarmun isih kelas loro SMA. Budhal jam nenem kanthi pangajab bisan antri ngarep dhewe. Nanging nyatane sing ngantri wis tekan njaba kantor. Ana sing nggloso ana emperan, ana sing sumendhe ngisor uwit. Jarene malah ana sing nginep barang. Jam wolu lokete bukak, nanging ora enggal ngladeni. Petugase isih maca koran. Sing liyane gojeg karo udud. Sing antri, sing nggloso, sing sumendhe grenengan. Nelangsa. Misuh-misuh. Setengah sepuluh wiwit ngladeni, polatane peteng. Sok ketrucut omonge sing manaske kuping. Motong dhuwit pensiun sakgelem-geleme. Wong pensiunan kaya-kaya ora ana ajine. Nanging sakwise nglakoni dhewe, rasane kosok balen banget. Gesehe wis adoh.
Njupuk pensiun bisa ing kantor-kantor tingkat kecamatan. Lokete ora mung siji. Ora perlu ngantri nganti sedina muput. Kejaba kuwi kancane saya tambah. Lan siji wae ora ana sing nguthik-uthik saka instansi ngendi sadurunge. Apa pangkat lan jabatane. Tumpakane apa. Sopire pira. Omahe pira. Saben wulan entuk cerepan saka ngendi wae. Malah sing sok keprungu anane swara-swara pasrah, pira-pira mangan-turu isih dibayar negara.
Sarmun ndengengek. Mesem. Mapag Ananto lan Parjiman sing bebarengana teka.
“Wis ana wong?” pitakone Ananto nalika salaman.
“Lagi kowe iki.”
Karo mapan lungguh, Ananto mbukak-bukak, ngiling-ilingi sapa wae sing wis dicathet. Ana sewelas. Parjiman dolanan sedhotana plastik.
“Yen patang puluh wae punjul, lho,” sepisan meneh Ananto kumecap.
“Akh….”
Lan Parjiman wurung kumecap jalaran krungu uluk salame Darmin sing ngerit wong lima. Banjur Bogang jumedhul karo wong papat. Sugoto nyangking wong nenem. Warno ora gelem kalah, runtung-runtung karo kanca wolu. Sarmun durung pati tepung karo wong-wong mau jalaran pancen ora nunggal instansi lan ora tau ketemu. Ada-ada ngajak kumpulkumpul iku pranyata akeh sing nyengkuyung sarana gethok tular.
“Pira?” pitakone Ananta. [ 56 ]“Patang puluh pitu,” wangsulane Parjiman sawise nonton cathetan. Ananto manggut-manggut. Sarmun mesam-mesem.
“Piye wujud lan aktivitase kumpul-kumpul iki mengko?” pitakone Bogang. Sarmun nyawang Ananto. Ananto nyawang Warno. Banjur nyawang sing padha lungguh kupeng.
“Kuwi mengko Mas Goto sing bakal njlentrehake, mangga, Mas Goto!” aloke Sarmun. Sugoto mlenggong, nanging mung sedhela.
“Wujud lan aktivitas iku gampang. Sing baku bisa ketemu saben wulan,” wuwuse miwiti.
“Nanging kudu ana sranane,” ana sing kumecap usul.
“Apa kira-kira?”
“Arisan!”
Sing lungguh kupeng manthuk-manthuk. Ana sing ngathungake jempolan. Ana sing bisik-bisik nang tanggane lungguh. Kabeh ngemu rasa sarujuk.
“Narike dhuwit apa barang?”
Krungu pitakon kuwi ora ana sing enggal bisa mangsuli. Sing siji nyawang sijine, banjur padha ndhingkluk meneng-menengan. Sing lungguh cedhak nglawang nglirik kanca karo tuding-tuding, karepe supaya melu-melu urun rembug. Sing ditudingi gedheg.
“Apa kaplingan? Apa mobil ngono lho!” bacute sing usul kawitan.
“Hahhh!” Swarane wong akeh, pating plenggong. Banjur pating pencereng nyawang sing usul sing dirasa nyleneh. Minangka srana mesthine ora kudu gedhen-gedhenan. Ora perlu oncor-oncoran. Banjur mlenceng saka ancas tujuwane arisan. Ora gawe rukun lan guyub, nanging malah gawe bubrah. Jroning batin ora padha sarujuk.
“Awake dhewe iki wong pensiunan Rek, aja mikir sing abot-abot!” ana sing nyoba golek dalan.
“Mesisan dirasakake. Bisa dicokot alot, disimpen primpen,” sing usul ngotot.
Sing lungguh kupeng bali pating pencereng. Ana sing mencep, ana sing gedheg-gedheg. Ana sing nggeget untu semu getem-getem. Jroning batin rumangsa cuwa, durung-durung wis kisruh. Udreg-udregan.
“Ngene,” cluluke Parno karo ngelusi janggut.
“Hami tabah” sing usul ngotot nyauti. Sing lungguh kupeng dadi kepingkel-pingkel.
“Srana kuwi ora kudu arisan!”
“Akh ….”
“Kosik ta. Sing baku wis padha sarujuk saben wulan kumpul-kumpul. Yen wis kumpul, urunan sakadhare. Blanja, diolah lan dipangan barengbareng, karo ngrungokake musik apa uyon-uyon. Mendah gayenge. Wong wis padha pensiunan, wis padha tuwa arep goleh apa maneh yen [ 57 ]dudu tentreme ati. Piye? Mathuk ora?” Parno mungkasi karo ora lali ngelusi jenggote.
“Gak tepak, Mas. Pokoke arisan kudu ana,” sing ngotot terus ngotot. Sing kupeng bali pating pencereng. Bali bisak-bisik. Bali pating pecucu apa dene mencap-mencep. Banjur ana sing wiwit ora krasan, kumudu metu. Sedhela-sedhela nginger bokong sing dirasa saya panas ….
“Arisan oke!” kumecape Sugoto. Sing lungguh kupeng padha meneng. Kala-kala nglirik karo megeng napas, ngenteni bacute.
“Nanging, ora perlu dhuwur-dhuwur. Eling awake dhewe iki wong pensiunan. Aja kepengin melu arisan, sing neng omah ora kumanan. Melu arisan mung golek wah …!”
“Lha nggih, pintenan, Mas?”
“Limang ewu. Kuwi wis dipotong kanggo konsumsi.”
“Entuk apa? Wis taun rong ewu, ijik arisan semono.”
“Entuke Mas?” pitakone Parno. Ora lali ngelus jenggot, banjur mlintirmlintir brengos.
“Entuke seduluran. Lan seduluran iku larang regane. Luwih larang tinimbang kaplingan, luwih larang tinimbang mobil. Aku sarujuk arisan limang ewu, sudah termasuk konsumsinya.”
Sing lungguh kupeng keplok-keplok. Ngathungake jempolan, adu dlamakan tangan.
“Ya, ndhak masalah!”
“Narike dhuwit apa barang?” ana sing ngambali pitakone.
“Bab kuwi dirembug sakwise disusun penguruse. Lan ora perlu dakik-dakik. Prasaja wae. Ketua, Sekretaris, lan Bendhahara.”
“Usul, Mas. Sarehne iki wong akeh, supaya dipantha dadi seksiseksi. Wong patang puluh bisa patang seksi. Sarana mengkono lakune kumpul-kumpul bisa lancer.”
“Asase. Piye, kanca-kanaca?”
Sing lungguh kupeng manthuk sarujuk.
“Dak usulke sing dadi ketua, Mas Goto dhewe. Sekretaris Mas Ananto, Bendhahara Mas Sarmun. Seksi-seksi ben dicekel kanca-kanca sing anyar iki mau,” aloke Bogang.
Lan ora nganti setengah jam, susunane pengurus wis maujud. Ora geseh karo panemune Bogang, wong patang puluh pitu dadi limang seksi. Saben seksi dumadi saka wong sepuluh, kejaba seksine Bogang mung wong pitu.
“Saiki kari ngrembug narike,” sepisan maneh Parno cemuwit.
“Alon dhisik,” Parjiman nyelani. “Dak jaluk kanca-kanca aja banjur melu eker ngurusi sing dudu urusane. Yen wis kumpul-kumpul ngene iki ora perlu ngrembug bab politik. Partemu apa. Agamamu apa. Ora perlu dirembug neng kene. Uga ora perlu gawe gerakan ngana, gerakan ngene. Sing ana mung kumpulan wong pensiunan sing golek tentreming ati.” [ 58 ]“Menikmati hari tua dengan penuh ketenangan!” wuwuse sing mau ngotot. Sing lungguh kupeng bali keplok-keplok.
“Narike arisan, yen bisa awujud barang,” bacute Parjiman.
“Tur, sing migunani tumrape para pensiunan,” Parno nambahi.
“Kaca mata, Mas,” sing ngotot bali usul.
“Sing gak butuh kaca mata. Tak kira butuh kabeh ….”
“Teken, Mas. Kejaba kaca mata, wong tuwa kuwi butuh teken. Ning dudu kruk lho. Nek kruk kuwi kanggo wong semper. Mlaku-mlaku nganggo kaca mata tekenan. Biyuh aku dadi kelingan Mandhor Onderneming! Apa maneh yen nganggo topi pulkah!” usule pawongan sing sakawit mung umak-umik.
“Kursi males! Esuk-esuk maca koran, nganggo kaca mata. Yen wis krasa sayah, mlaku-mlaku karo tekenan. Wow, ampuh! Sarana mangkono wong pensiunan isih katon bisa ngadeg dhewe.”
“Karo maneh sawise pensiun aja banjur dadi urip dhewe-dhewe. Siji lan sijine ora gelem aruh-aruh, ora sapan-sinapan …,” sing duwe penemu saya wani ngacung.
Swarane saur-manuk. Ancas tujuwane padha, ora congkrah, ora jorjoran. Panggonan arisan digilir ing omahe sing kebeneran narik. Sarana mangkono srawunge sansaya rumaket.
“Dak ambali, arisane limang ewu, dipotong konsumsi. Narike wujud kaca mata, teken, lan kursi males, ning ora bisa saktarikan. Panggonan digilir,” wuwuse Sarmun.
“Piye?” pitakone Sugoto.
“Mathuk tenan!” wangsulane sing lungguh kupeng.
Jenenge Ketty Ng Wong. Sing liya-liya mau ana Detty, Marsam, akeh sing ora dakapali, ana sing ora genah dakrungu. Nanging sing siji iki, menyok, nyebut jenenge jelas. Klambine kuning sumringah, rambute ireng ngrembyak sapundhak, raine lonjong, kulite resik, lambene nalika omong cetha umak-umike. Ayu. Ya merga kuwi bisa uga aku tengen lan dhamang ucapan jenenge. Kuwi ing dina wiwitan aku mlebu omah sewan iki. Omah sewan duweke Bu Yati, kamar-kamare cacah wolu, kena disewa saben kamar wong siji utawa loro, lanang utawa wadon.
Bisa uga merga tandhese tepungan kapisanan kuwi, srawungku karo Ketty sabanjure renyah kaya untu rangah mamah apel. Kremus-kremus kebak semangat, nganggo rasa legi-kecute, ana aromane arum wangi barang. Marang para mondhok liyane srawung biasa-biasa wae, ya sapa aruh, ya dhiskusi prekara keluwarga ing ngomah, ya nonton televise bareng-bareng ing ruwang lungguhan. Nanging uga kerep sanja menyang kamarku, njaluk ter nyang perpus, barengan nonton bioskop. Ora kaya srawungku karo Ketty. Aku ora keplok sisih. Sajake Ketty uga kepranan marang aku wiwit kenalan sepisanan kae.
“Wid, aku pengin krim sodha, karo fried chicken ing mall. Ayo, terna!”
“Nanging awan iki aku arep neng lab….”
“Alaaa, lab rak bisa mengko bengi, nganti bengi banget. Mangan awan rak ora bisa disemayani. Ayo!”
Muni ngono Ketty karo nggandheng tanganku. Lengene sing mulus nggubet lengenku, rambute kang ngrembyak ngithik-ithik pipiku, ambune dheodhoran kang ngambar, ndadekake aku lumpuh, ora bisa nolak ajakane. Geneya ditulak, wong sarwa nengsemake. Cedhak menyok ayu ing tanah manca, wong lanang endi ora rumangsa mbedhedheg atine?
Ketty nraktir aku ora mung sepisan-pindho. Dheweke ora tau kakehan etungan prekara nyenyeneng srawung karo aku. Dheweke ngreti panganan sing dakdoyani. Lan kerep wae dheweke mangsak ing ngomah, banjur ngladekake mangsakane mligi kanggo aku. Mesthi wae aku kumudu-kudu males kabecikane. Daktiteni apa kasenengane, lan aku ya [ 60 ]ora etungan yen kepengin nyenengake dheweke. Dakterake kapan wae lan menyang ngendi wae nganggo mobil sewanku angger dheweke butuh, angger dheweke ngajak. Malah kerep aku sing tawa, sing ngajak.
“Kena apa kok meneng wae Cah Ayu?” pitakonku nalika lagi ana ing gedhung bioskop, petengan. Aku ngerti, dheweke seneng ngajak aku nonton bioskop, ora merga lakone apik. Film lawas banget sing pemaine saiki wis padha mati, ya gelem wae dheweke nonton. Sing nonton prasasat ora ana. Sing penting kene bisa ngomong kebak asih, ora kaganggu liyan. Ngekep lengenku, nempelake pipine ing pipiku karo omong bisik-bisik, ora ana candhetane. Ora ana sing disungkani.
“Wid, aku karo Rita ayu sapa?”
“Kok, omong ngono?”
“Pokoke aku takon, ayu sapa?”
“Ya ayu kowe, Sayang.”
“Ning, kowe tansah akrab ngono karo cah anyar kuwi. Gek kuwi wong Indonesia, bangsamu. Aku gak seneng karo Rita. Rambute rak njeprik-jepris akeh ketombene. Hih! Kowe sesuk aja omong-omong karo Rita maneh, ah!”
“Lo, lha kepriye? Wong aku saiki wis dipasrahi ngurus sewane omah kana dening Bu Yati. Rak ya kudu srawung karo para tenant. Ya sing lawas, ya sing anyar, aku kudu srawung grapyak, ora bisa pilih-pilih, ora kena pilih kasih.”
“Iya, nanging ya aja kerep-kerep ngomong karo Rita. Kaya aku iki, karo Detty, karo Marsam, omong mung yen perlu, ya isa.”
Tugas blajar S3 iki daklakoni kanthi tekad waja. Bea siswa kang daktampa cumpen, mung cukup tumrap aku dhewe, ora bisa nggawa kulawarga. Nanging tetep daklakoni saking adrengku kepengin ngangsu kawruh nambah ilmu, disengkuyung dening Jeng Arum, sisihanku.
“Ya prihatin, pisah teluh puluh sasi ora papa, Mas. Malah yen kurang sangu mengko didolke omah Bendul Merisi, wong nyatane kene wis manggon omah cedhak kampus anyar kene,” pangatage Jeng Arum ngububi lakuku. Mula aku kudu nggethu sinau, ing pamrih supaya bea siswa kuwi ora muspra, lan piguna tenan tumrapku, kulawargaku, lan bangsaku. Aku ora oleh lirwa saka ngrigenake wektu. Yen wayah awan aku ora bisa nyisihake wektuku marga nuruti srawung bebrayan ing negara manca, wayah bengi daklabuhi jam-jaman riset ijen ing lab. Nggethu. Konsentrasi.
Kriiing…, kriiing …, kriiiing…. Telepon nyasar mesthine. Bengibengi ing lab kok ana telepon. Merga rumangsa kebrebegen, dakangkat, daktampa.
“Wid, kepriye risetmu? Iki wis bengi, lo, Wid. Kowe isih suwe?” Swarane Ketty. Cumengkling, bening, renyah, ngalem ngasih-asih. Swara kang dakbutuhake keprungu ing lab sepi kang samun iki. [ 61 ]“Iki mau aku mangsakake kowe ndhog ceplok karo saus tomat senenganmu. Saiki nganti adhem, kowe ora teka. Aku ya ora bisa turu, wong kowe durung mulih. Aja bengi-bengi, ya, Sayang. Enggal mulih. I need you so much!”
Krungu swara Ketty kuwi, atiku dadi goreh. Ing lab sing sakawit adreng kenceng, saiki goreh mikirake yen ing pondhokan aku dienteni menyok ayu. Tekaku dianti-anti. Wah, gage wae risetku perangan iki dakcunthel, dakrampungake cepetan. Sesuk rak isih ana wektu maneh.
Tenan. Tekan pondhokan, kamarku,, kamare Ketty, isih padhang kencar-kencar, Ketty nyetel VCD ing kamarku, bantere eram.
“Walah, walah, Ketty, Ketty! La kok lampu sapirang-pirang kokbyarake kabeh. Kuwi mengko tagihan listrike rak ndedel. Gek bengibengi kok nyetel VCD banter emen. Tangga-teparone rak ya kebrebegen! Ayo, dipateni lampune. Dilirihake VCD-ne. Wis, wis, wis!”
“Oh, I’m sorry, Darling. Ayo dhansah dhisik Wid. Lagune lagi senenganku, vokale Britney Spears sing anyar, Forgive me, Dear. Ben padhang sedhiluk, ta, Wid. Mosok kene saben-saben rerangkulan, saben-saben sun-sunan, ana ing petengan!” Muni ngono Ketty karo ngleksanani karepe.
Toblas setan, cah iki. Aku ora bisa srengen, marga tingkah Prawan Singapur sing ngalem kuwi. Nanging aku tetep wae nglakoni karepku, mateni lampu sing pating gebyar, lan nglirihake swara musik kang dhangdhing-dhung ora karuwan kuwi. Swasana dadi remeng-remeng. Britney Spears isih rengeng-rengen, Ketty nglendhot ing dhadhaku, cheek-to-cheek, esrek ngematake wirama lamat-lamat, romantis tenan. Ndhog ceplok karo saus tomat, adhem yaw is ben.
Bab lampu pating gebyar lan nyetel musik bantas nemen kuwi Ketty wis kulina. Nanging ing kamare dhewe. Pancen resikone mbayar listrik, lampu lima diuripake bareng, dipanjer kabeh, ditanggung sing nyewa kamar dhewe. Nanging bab swara banter ing kamare, gek papane sisih ndhuwur, bisa ngganggu tanggane. Sing nonton televisi ing ruang lungguhan, ora bisa krungu apa-apa saka televisine. Aku ya wis ngelikake. Sarana guyon. Sembranan parikena, ora thokleh, ing pamrih Ketty ben ora kecenthok, ora nesu, merga aku pancen ngrasa sayang marang Ketty. Ketty pancen ora nesu. Nanging sasaranku elik-elik ora mleset, ora digugu. Gunemku ditanggapi dening Ketty kanthi srekalan uga, jare kahanane kamar kuwi, apa padhange lampu, apa bantase swara, dadi hak azasine. Arep sedhil wong liya gupuh. Muni ngono karo mesem-mesem ngliling aku.
Ana maneh kedadeyan kang ora nyenengake liyan. Ketty, yen adus, suwi banget. Banyu anget sakolah lan liwat shower dienggo kungkum, dientekake. La kanca-kancane sing dha kesusu adus, padha ngenteni antri. Bareng dheweke mentas, rampung, kanggo ngangetake banyu sing antri [ 62 ]isih kudu ngenteni meneh, sakorane setengah jam engkas. Jan nganyelake. Uga wis dielokake cara alus, aku mung oleh eseme sing ngujiwat, ngundang aku kon ngetutake nyang kamare.
“Ketty, ngertia, ta. Neng ngomah kene kuwi kita urip bebarengan wong wolu. Dadi nganggo kamar mandi kuwi uga dienggo wong saomah kene kabeh, padha giliran. Yen wayahe padha kesusu lunga ngene iki, rak padha ora kanti ngenteni kosonge jedhing, angete banyu.”
Dheweke nglendhotake gegere ing dhadhaku, kaya tingkahe Maralyn Monroe ngrerepa partner maine ing film kuna kan mentas daktonton karo Ketty.
“Ya, wiiis…, aku mengko dakadus bengi wae, yen wong wis padha turu.”
Lan pendhak dina dheweke adus bengi tenan. Kungkum, banyune krucak-krucuk ngileni kuping. Ndilalah kamar mandi kuwi mepet karo kamarku. Dadi aku grisenen. Dakdhodhog lawange. Ngerti aku sing ndhodhog, dibukak. Astaghfirullah! Tanpa awer-awer apa-apa!
Satemene aku ya wis krasa, sing direrempek kuwi mung aku. Marang wong lanang liyane, marang kanca sapondhokan liyane, Ketty ora ngalem kaya mangkono. Malah kena diarani meh ora srawung. Kaya kandhane dheweke, ngomong mung yen perlu. Nanging, embuh ya, marang aku kok bloboh men, nraktir-nraktir ya gelem. Kok lengket men. Ngrangkul, ngambung dudu masalah. Pancen nganggep aku ucle. Paklik. Umure kurang saka separo umurku sing 45 taun iki. Lan ngreti yen aku ninggalake kulawarga ing Surabaya. Dadi ngrerepek paklik rak ora papa. Nanging wong lanang normal endi sak umurku yen disenggal-senggol awak wadon kaya ngono kuwi isih tetep ngakoni srawung karo keponakake? Dakkira ya mung aku, Widodo Kasiman. Aku niyat srawung karo Ketty daksengguh kadidene keponakan. Aku tansah eling yen anggonku tekan Melbourne iki merga sinau. Ora arep nyleweng. Mesthi wae dakajangi amba bakal urip ing Negara manca, Negara sing hak azasine jalu wanita padha. Srawung bebas, aborsi lan free sex wis dudu tindak kriminal kang nerak susila. Srawung kaya mengkono wis daksinau lawas sadurunge aku budhal menyang negara kene. Senajan dakajangi amba, nanging aku ora bakal lena kebobolan iman ing negara manca.
Sinauku ora kether. Sanajan srawung karo keponakan Singapur kuwi rada keladuk modhel wong bule, sing uga gampangg diprangguli ing sakutheke Kutha Melbourne iki, nanging aku ora nglirwakake wektu kanggo sinau. Saka semester menyang semester, ujianku tansah menang. Ora krasa wis ngancik semester telu. Anggonku sinau ing manca, anggonku mondhok ing omah sewane Bu Yati, anggonku srawung rumaket karo Ketty Ng Wong, wis setaun punjul. Slamet, ora ana kedadeyan sing nguciwani. [ 63 ]Ing sawijining dina, kaya adat saben, Bu Yati nemoni aku, nagih dhuwite pata tenant sing dakkumpulake. Wis ajeg-ajegan lumaku mangkono. Aku kapatah dadi ketua “Asrama”.
“Priye Kenya Singapur kuwi? Behave herself—ngurusi awake dhewe— apa isih seneng ngrusuhi urusan liyan? Yen isih panggah ngono wae, ditundhung wae.”
Aku kaget karo omonge Bu Yati. Ketoke kok sengit banget karo Menyok Singapur kuwi. Olehe ngrasani nganggo basa Jawa, dadi saupama krungu dening Ketty ora masalah.
“Apa Ketty sok ngrusuhi wong liya, ta, Bu?”
“Troublemaker!—Tukang gawe perkara—Marakake wong mondhok ing kene ora krasan. Saben semester ana wae sing metu gara-gara Si Lembeng kuwi. Detty wingi uga meh wae metu. Ya merga Cemeng Rembes kuwi. Nanging dakerih-erih supaya tetep neng kene, merga sinaune kurang semester iki thok.”
Aku ora ngira Bu Yati duwe crita sumengit kaya mengkono.
“Nanging nyang aku apik, lo, Bu. Gelem nraktir, gelem nunut mobilku, seneng mangsakake aku. Aku dianggep paklike.”
“Ya wis genah. Marga okeh untunge tumrap dheweke. Kena dinunuti, kena dikekencan ben dadi protectore—pelindhung—gek lanang saumurmu, wis keluwarga, ora berbahaya tumrap dheweke. Upama making love— andon katresnan—ya ora kanthi rudapeksa. Mesthi merga dheweke sing butuh, sing seneng, sing bathi.”
“Ah, ora nganti kaya ngono!” bantahku ngotot. “Sumpah.”
Sawise krungu critane Bu Yati kuwi, panduluku bab Ketty pancen liya. Dakwaspadakake srawunge Ketty karo wong liya pancen anggang. Malah Rita, Marsam, disatru nganti tekan saiki. Ora padha aruh-aruhan. Nanging sikepe marang aku tetep ngalem, tranyak-trunyuk, kenes, kekejer kaya manuk branjangan, nunut menyang kampusku, njaluk ter yang mall, ngajak mlaku-mlaku neng plaza, ngecipris crita bab keluwargane ing Singapur, sengite karo Marsam, regejegane karo Detty. Satemene biyen Ketty ya wis polah kaya mengkono kuwi marang aku, nanging ora dakrasa-rasa kanthi jeroning ati. Saiki bareng dipiyak dening Bu Yati polah lan tingkahe Ketty banjur daktampa beda. Aku kudu luwih waspada. Sanajan sangu iman kandel saka ngomah, nanging polah tingkahe menus Ketty kang ngadi-adi marang aku kuwi, kudu dianggep mbebayani. Ayune kang imut-imut, kulite kang mrusuh, umure kang remaja, lelewane kang aleman, payudarane kang … , ah, wong lanang endi kang kuwat ora jebol imane dingungrum wedok enom kaya kuwi. Setaun punjul slamet dadi paklik. Nanging sasuwene-suwe, apa ya ora gripis diesrek awak sumlohe mengkono? Aku kudu nyingkiri, kuwi laku kang paling aman. Ning, aku apa ya bisa, ora nuruti karepe Ketty Ayu sepisan wae? Wong [ 64 ]yen wis ngajak terus ngrangkul bangkekanku, mepetake awake, gandane parfume, gesrekan rambute…. Jan ora nguwati aku nampik dheweke! Nginggati dheweke!
“Wis, ta, tampiken sepisan wae. Goleka alasan sing maton, terus aja kokladeni. Padu ya dhadhagana. Sepisan wae. Mengko tutuge kowe rak krasa dhewe. Padu sepisan rame ora papa, bubar kuwi dheweke ora ngajak-ajak kowe maneh. Kapok.” Mengkono prenahe Marsam nalika dakcritani anggonku arep uwal saka lengketku karo Ketty.
Tenan, premane Marsam dakcakake. Daktegel-tegelake atiku.
“Wid. Aku perlu blanja kosmetik nyang mall. Terna, ya? Mengko dakopahi es krim, karo clup-nul!” pangajake Ketty kaya adat saben. Clupnul kuwi istilahku karo Ketty dhewe, tegese ambung.
“Lho, aku ana meeting ing student union.”
“Alaa, kok ora bosen-bosen, meetiiing wae. Tanpa kowe meetinge rak ya mlaku. Ayo mithing-mithing karo aku wae, neng mall kana!” Lengene wis nggubet lengenku. Gandane amrik wangi, nglumpuhake jantung lanang.
“Emoh, Ketty. Iki penting banget. Budhala dhewe wae.”
Padudon rame. Aku meh ora kuwat nangkis pangajake. Nanging omonge Marsam cumengkling ing kupingku. Dakkukuhi. Ketty sewot. Aku dijothak. Nganti rong ndina ora sapa aruh. Aman. Aku bisa nyoba eksperimen ing kamarku dhewe. Nganti bengi.
“Telepon, Mas Wid!” ujare Detty.
“Hallo?” “Wid, dear! Aku papagen. Neng perpus. Ya?” Suwarane Ketty melas asih. Lho! Wawuh!
Aku gojag-gajeg. Dakpapag apa ora. Yen ora dakpapag mesakake, lo. Perpuse adoh, gek bengi atis.
“Nganggo taksi rak bisa,” manut carane Marsam. Ning, sidane aku kalah. Ketty tak papag.
“Mapag kaya embel! Mongsok wong dipanjer ana tritisan. Genahe gelem apa ora, mapag. Yen ora gelem ya karuwane, aku numpak taksi ya bisa.”
Aku digremengi entek amek kurang golek. Munggah ing mobilku, emoh nganggo seat belt—sabuk pengaman—nganti tekan ngomah. Edan tenan, kok.
Nanging esuke, isih edhuk dheweke wis thimik-thimik menyang kamarku karo nggawa roti bakar diolesi sele strowberi. Doyananku.
“Wid, mengko terna nyang mall golek patron, ya?” Ujare karo nguriuri godhegku. [ 65 ]Dina kuwi dakkukuhi, aku emoh ngeterake. Dheweke nesu. Lunga klepat. Ben. Nesu, nesua! Cocog kandhane Marsam. Nanging awane dheweke nilpon.
“Wid, aku na kantin kampus. Papagen, ya. Engko mampir tuku fried chicken—ayam goreng—” swarane ngrerepa.
Dakpapag rada kasep. Ngamuk. Muring-muring. Nanging tetep mrentah mampir nyang McDonald. Metu nggawa hotdog, karo es krim, ulate sumeh. Nganti tekan ngomah lengene ora uwal saka rangkulanku. Lan mangan bareng ana ing kamarku, ngomong ngecipris nyritakake dhosene sing kaca matane kandel, diece-ece. Wah, repot ngladeni menyok siji iki. Ulate gampang owah kaya cuaca Kutha Melbourne, sedina bisa ana patang musim.
Nanging aja kuwatir, Jeng Arum. Kanthi ngukuhi premane Marsam, aku bakal bisa oncat saka sandhinge Ketty Ng Wong. Percoya-a. Sawise kerep daktampik pangrungunge kuwi, srawungku karo dheweke bisa luwih anggang. Malah nalika dheweke ngerepa supaya bayaran listrike disuda, marga dheweke ora mangsak nganggo listrik, aku kuwawa nampik. Aku kudu adil, ora oleh bot-sih marang kabeh para sing nyewa kamar. Sanajan ing negaraku tumindak adil kuwi isih angel dicakake, pilih-sih utawa pilih-pilih kanca dhewe wis dadi adat, nanging ing negara manca iki aku kudu bisa sinau tumindak adil lan ora pilih-sih. Taun ngarep, Ketty wis dudu menyok panggodha maneh tumrapku. Aku bakal mulih ing tanah air kanthi nggembol titelku.
Daktulis crita iki ing pamrih bisa kokwaos kahananku ing tanah manca. Kawaos kanthi terwaca. Marga yen mung liwat telepon, apa e-mail, suwasanane crita ora kaya yen kadhapuk ing crita cekak, Jeng Arum. Aku wis kangen banget karo sliramu. Karo Sabrina lan Diwangkara. Bocah-bocah rak padha munggah klas kanthi ranking ekan, ta?
Panyebar Semangat, No. 14, 1 April 2000
Pake Angga
Mbako yen dikramakake, sata. Dudu sembako sing ing pungkasane
abad ka-20, ing jagad Nuswantara ndadekake pangontran-ontran.
Lumengsere Mbah Harto, timbule pahlawan reformasi, njamure para panji
karipan, kesempatane bala kruweg njarah rayah lan isih dawa maneh
yen dijeber. Nganti keturunan Cina, tangisan Cina temenan.
“Nek kaya ngene ki”, Kamdi nebleki slepen ing ngarepe, mejane nganti horeg, “aku ki gampang buneg! Gak mangan, gak medang, gak pa-pa. Sing penting slepen iki! Aja ngantek kaya ngene ki.” Slepi—wadhah mbako semprol—sing wis rowak-rawek pinggire diathungake Dasih.
Dasih mung plirak-plirik karo mencap-mencep. Rambut sing kulinane digelung kruwel, dilukar. Tumuli dipocong lir buntut marmot.
“Piye Mas, iki. Biyen jare sampeyan trekenyeng-trekenyeng ambek aku merga modhel rambutku sing kaya ngene iki. Jajal saiki—ing jaman reformasi—kuncritanku, dhekike pipiku iki, gingsule untuku iki, mblalake mripatku iki, semoke bokongku iki. Apa maneh ya? Em … peseke irungku iki, apa wis kalah karo slepenmu sing kaya gombal kuwi. Sampeyan saiki abot slepen ketimbang aku. Mlebu-metu sing diuleg-uleg kok mung slepen wae. Bojone gak dijawil blas.”
“Ya, aja kaya ngono tah, Sih, awakmu iku,” guneme Kamdi sareh, “tuku rokok dadi, ya gak isa. Iku lho… mikirna barang-barang padha mundhak. Nek gak karo ngrokok ngono, prasaku kok kurang mak nyos, ngono.”
“Mikiena rega barang larang, kudune tambah ngirit se, Cak!”
“Apa rokok thing we ki gak ngirit?”
“Sampeyan kira …, mbako, cengkeh, papir, gak tuku, tah?”
“Lha wong jelas utang ngono kok,” mringis karo nyawatake esem sing rada wagu. Awit Kamdi eling, winginane dheweke wis diaba Koh Chin, supaya utange enggal dibayar yen pengin oleh utangan mbako maneh. Rada sepet rasane atine. Bejane kok dheweke sing ditembungi kaya ngono dening Koh Chin. Kok upama sisihane turunan Cina sing jare gagal [ 67 ]oleh borongan real estate jalaran ngepasi jaman reformasi iki, sida amoh mungsuh sisihane.
“Kokkira Koh Chin iku mbah buyut sampeyan, tah? Utang, terus gak nyaur ngono? Utang durung genep limang ewu wae, wis kecih nek nagih. Sampeyan iku mbok mbecak, apa tah melok proyek padhat karya, apa nyambut gawe ngamen. Wong saiki arek ngamen wis bebas merdheka nggawe syair kok!”
“Gak ngrasakna … awakmu iku mbecak, aku ki gak kuwat mancal. Apa maneh melok kerja proyek. Dengkek rek, peyok. Ngamen? Hi… hi… hi…, nggak usah yah!” lageyan lan swara pungkasan, Kamdi niruniru Dorce Gamalama.
Ndeleng tingkahe sing lanang kaya ngono, Dasih malah ora gumuyu apa dene mesem. Yen bojone lagi kaya sing mentas dideleng, mbok dikapak-kapakake ora bakal kampiran nesu. Ndableg. Malah kena diarani mbahne ndableg. Jajal kaya telung dina kepungkur. Beras wis kari wadahe, pragen aneng pawon, karo sisa ambune trasi. Kok ya bisa-bisane, ing ndhuwur meja ana sega salawuhe pisan. Dasih banjur nlesih Kamdi.
“Sega apa iki?” nuju meja.
“Sega saka beras, punel… rega larang. Sayure … ngerti awakmu? Iwak wedhus, bumbu pedhes tur dicampur godhong dhondhong, mesthi seger.”
“Wah, bikin surprise. Ayo dipangan,” Dasih cukat trengginas nyidhuki sega aneng piring, lan upleg-upleg jangan, nggoleki irisan iwak wedhus.
“Lha ngendi iwake, Cak?”
“Emak esuk maeng blanja neng pasar. Critane, iwake wedhus wis entek, kari iwak teri.”
“Abalabus! Gayane …. Iwak teri matane pating pecicil ngene kok, jare iwak wedhus.”
“Dipangan, nyoooh,” Kamdi ngadeg nuli tumuju meja, nyedhaki Dasih sing wis rampung anggone ladi mangan. Lageyane pindha paraga kethoprak yen gandrung kae.
Mangane Dasih telap-telep. Wis suwe dheweke disatru beras buket. Rasane kaya panganan swarga na’im, ngono gremenge ing batin. Enake mangane Dasih kuwi saliyane dhasare ngelih, ya merga ubarampene cap ratu. Sega aneng piring ngarepe, kira-kira kari telung pulukan. Mak nyut. Atine ngrasa ora kepenak. Nganti ceguken barang.
“Ewuh apa Mak sampeyan, Cak? Kok, ter-teran barang.”
“Apa wong tuwek ngirimi panganan anake, kudu ngenteni kajatan mantu? Aku sing rana maeng.”
Aso anggone mangan, Kamdi mangkat nuju amben. Lumah-lumah. Dene Dasih memburi, korah-korah. Karo ngenteni ngantuk, pikirane kamdi mblayang ora karuwan. Ora kok jalaran rega sembako muluk kaya [ 68 ]ibere montor mabure IPTN sing tau diurupake jagung cakul lan beras. Nanging sing njalari kisruhe atine, kawit esuk mau lambene Kamdi babar pisan durung dirokoki. Kecut.
Arep nglukari tegesan ing asbak, atine kok isin. Isin karo awake dhewe. Biyen nalika narayanane, kapama banget ing babagan dhuwit. Ning bareng wis omah-omah, utang mbako wae kaya wong wedi karo gendruwo. Suwe-suwe ngantuke Kamdi nutupi mripate, atine, pikirane. Lan mak les. Kamdi ngalih nyang alam liya. Turu.
Bubar isah-isah lan ngetus bala pecah ing rak, Dasih karep dolan menyang omahe Hartini.
“Lho, jare koen lara weteng, Rek?”
“Sapa sing ngomong?”
“Bojomu maeng pethuk nok omahe mara tuwamu. Dheweke njaluk sega, jare koen lara. Gak isa masak.”
Sidane wong loro ngguyu cekakakan, sawise Dasih menehi katrangan yen kabeh mau pokalgawene sing lanang. Awit kekarone wis apal banget karo kelakuwane Kamdi. Kadhang sok nganyelake ngono kuwi. Nanging kadhang-kadhang, rasa kamanungsane kena diarani aneh. Sak ora-orane, jare wong loro iku.
“Aku nek ngrasakna bojoku kuwi, heh ….”
“Ana apa?”
Hartini banjur crita. Critane nganti tekan kono-kene. Wong loro kuwi, atine tundhone getem-getem. Utamane Dasih. Wong lanang edan. Bojo kurang waras. Kangelan golek pangan, oleh kesempatan diwenehake liyan. Ngono pangundhamane.
“Apa maneh alesane bojomu nyang bojoku, jare ora isa dadi mandhor.”
“Wis-wis, Ni, aku tak mulih.”
“Aja tukaran lo, ya!”
Mak klepat, Dasih bali. Pengin nylathu lakine. Rasa-rasaane pindha kumedhut pandoning lathi. Ora kok dheweke wani karo wong lanang. Nanging guru lakine sing kebacut. Mak grobyak! Kamdi tangi cekekal. Kaget. Karo nguceg-uceg mripate. Kamdi ngudhunake sikile saka amben.
“Ana apa Rek? Gak ngenak-enaki wong turu!”
“Deloken saiki … bojone Hartini wis cekel gawe. Kepenak!”
“O… iku tah?!” Ora ngawaki karo kukur-kukur gundhul.
Rada sawatara suwe bale somahe kuwi amleng. Wong loro sajodho, padha keli ing angen-angene dhewe-dhewe. Kamdi nyedhaki sisihane, sing lambene mincuk. Mbethuthut. Dheweke lungguh, bokonge didhesegake bokonge Dasih. Dasih mbales rada seru. Kamdi meh wae kejengkang. Tundhone ngalah golek lungguh kursi liya.
“Takkandhani ya, wong kuwi kudu tepa-tepak slira awak. Nduwe rasa rumangsa ngono lho!” [ 69 ]Rumangsa, ya rumangsa, Cak! Tapi ya kudu ndelok. Kecuali nek awak dhewe ki wis sugih. Sak ora-orane, gak kecingkrangan kaya ngene iki. Tuku beras sakgegem ae gak isa. Oleh penggawean dikekna nguwong.”
“Saman iku kudune isa mbandhingna. Guk Rip iku yok apa. Anake akeh. Pitu. Sing SMU metu, merga gak isa mbayar sekolah. Adhine, Minah ika, nangis ndrenginging. Rok sragame wis suwek. Wong tuwane gak isa nukokna. Lan anake sing isih nok SD, embuh ika sragame ika. Rupane sruwale ae wis ora merah hati maneh. Angger anake njaluk dhuwit kanggo mbayar sekolah, jawabane piye? Awakmu ruh? Ngenteni dana JPS mudhun. Mangka kapan mudhune dana mau?”
Sepi mamring sawatara.
“Nek awak dhewe kekurangan iki, paling-paling lak mung lesu. Kurang mangan ngono ae. Gak krungu tangise bocah. Aku ae sing gak melok duwe anak, melok ngeres krungu anake Guk Sarip sing cilik dhewe ika nagis kepiyer. Dicethoti emake merga njaluk es.”
Dasih kawit mau mung meneng wae. Atine wiwit bisa nrima cara pamikire sing lanang. Saora-orane dheweke ngalah meneng. Awit ing pojoking atine isih kasisa rasa mangkel. Kok upama sing lanang sida dadi mandhor ing proyek padhat karya gawe dalan iku, oleh sawulan isa tuku pesawat teve, kaya guru lakine Hartini. Bisa mborong sandhangan, butuh pawoning Pasar Legi. Lan sing lanang ora bakal nglinthing rokok, sing kala-kala tanpa campuran cengkeh.
“Ning ya piye, aku biyen setengah mati mbela dheweke supaya bisa dadi sisihane merga wateke iku,” Dasih grenengan sajroning batin. Dheweke nemahi kadadeyan kaya ngene iki, ora pisan pindho. Nanging sing sepisan iki, pancen kebangeten temen. Wis krisis moneter ora waraswaras ngene, arep oleh rejeki diwenehake wong. Durung yen mikirake utang ing warung-warung lan toko-toko. Mumet … met.
“Wis ya, Sih rejeki kuwi sing ngedum Sing Kuwasa. Aku yakin, suksuk giliran awak dhewe sing oleh. Ikhlasna ae.”
Ora ana wangsulan. Kamdi nyedhaki Dasih sing ndhingkluk alum, tumuli ngipuk-ipuk pundhake bojone. Ora watara suwe dheweke lunga saperlu wudlu, bareng krungu adzan Lohor ing langgar kang ora adoh saka omahe.
Panjebar Semangat, No. 16, 25 April 2000
Elissa
Wis wiwit mbiyen mula, saben tangggal 17 Agustus, ana perusahaan
panggonane Martedja nyambut gawe mesthi dianakake tour, minangka
refreshing kanggo nyegerake pikirane para karyawan ngiras kanggo ngraketake hubungan antaraning atasan lan bawahan. Martedja mono sejatine
mung minangka buruh pabrik biasa, ning karana pengalaman kerjane
wis luwih suwe tinimbang kanca-kancane, mula dhek ana pemilihan pengurus SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dhek anu kae, dheweke iya
kapilih minangka pengurus. Adoh sadurunge rencana tour mau dirapatake, Martedja sing minangka pengurus SPSI mesthi wae wis golek-golek
informasi menyang karyawan dalah staf perusahaan, kira-kira tour dianakake menyang ngendi, pirang dina lan sateruse. Malah dheweke uga
kober takon-takon lan ngetung-etunbg prabeya yen tour mau dianakake
ana candhi Borobudur, Taman Safari, Taman Mini, Tangkuban Perahu,
utawa menyang Dufan wae.
Temenan …! Nalika rapat sing kapisan dianakake, Martedja klebu anggota rapat sing vokal, ngotot supaya tour dianakake ana panggonan wisata sing rada adoh, jarena supaya luwih berkesan, saora-orane menyang njaban propinsi utawa ing panggonan rekreasi sing kawentar. Nganti rapat wis rampung, isih durung entuk keputusan sing gumathok arep menyang endi tour mau dianakake, embuh menyang Borobudur, Taman Safari, Taman Mini, Kebon Binatang, utawa menyang Ancol, sebab bab mau isih dicundhukake klawan prabeya sing sumadya utawa kekuwataning perusahaan sing nyedhiyakake dana.
Nanging tumrap Martedja bab kuwi wis mujudake titik terang kanggone dheweke kanggo neruskake apa sing wis dirancangake. Niyate mono ora mung saperlu “sambil menyelam minum air” wae, ning uga gogoh iwake barang. Minangka anggota pengurus SPSI kudu dimanfaatake, ora mung diperes stenagane terus. Mula dheweke banjur age-age ngubungi tukang sablon, tukang gawe topi, lan tukang jahit jaket. Sawise dietung-etung, regane kaos mawa gulon sa-nyablone pisan Rp23.000,00. Topi sa-nyablone pisan Rp4.000,00. Lha nek jaket Rp35.000,00 wis sa-nyablone uga. Wah [ 71 ]lumayan, pikire Martedja, yen kaos bisa diedol Rp25.000,00, topi Rp5.000,00 lan jaket Rp37.500,00 mung kari ngetung wae bathine. Kamangka cacahe karyawan ana perusahaan kuwi 400, lan sing melu tour biasane watara separo dhewe, sebab ana karyawan sing trima ora melu tour sebab manfaatake liburan iki kanggo mulih kampung utawa kanggo keperluwana keluwarga liyane, lha priye maneh wong tour iki khusus kanggo karyawan wae, lire ora entuk nggawa anak utawa bojone. Angkahe Martedja, kanggone sing duwe dhuwit bisa tuku komplit, sing cupet dhuwite bisa mung tuku topi utawa kaose wae. Dheweke meneng-meneng mesem dhewe ngetung bebathen sing bakal dikeruk mengko.
Lagi esuke dheweke ngadhep marang Manager Personalia, karepe mono njaluk palilah kanggo nglakokake bisnise iki.
“Yen miturut aku, ya apik kuwi, Pak, ning becike ya diserahake marang para peserta, aja nganti bab iki dadi peksan,” jawabe Pak Margono sing minangka Manager Personalia menehi palilah ing bab iki.
“Nggih, Pak. Angkah kula rak nggih makaten, ingkang kagungan dana kathah saged tumbas komplit, ingkang cupet inggih saged tumbas kaos napa topinipun mawon, utawa mboten babar pisan nggih mboten napa-napa, lha wong namine mboten wajib utawa peksan,” jawabe Martedja manteb.
“Lha terus motif utawa rancangane kudu dilaporake dhisik, aja nganti ana tulisan utawa gambar sablonan sing nuwuhake gendra, kelire uga dipilih sing ora makili kelir sawijining parpol utawa organisasi liyane,” Pak Margana nerangake.
“Nggih Pak, mbenjing badhe kula beta mriki contonipun mbok bilih sampun rampung.”
Sawise Pak Margana menehi sasmita enggal wae Martedja ninggalake mejane. Atine surak-surak, jejogedan kaya ketiban emas sa-glugu. Minangka modhal, tabungane ana bank sing ora sepiroa cacahe dijupuk kabeh, isih adol TV lan nglorod kalunge bojone. Saka kesengsem motif sablonan lan kelir sing ditawakake dening Martedja, sing padha tuku kaos, jaket, lan topi akeh banget. Saiki Martedja dadi sibuk banget, saben wektu istirahat banjur keliling menyang departemen-departemen liyane kanggo nawakake dagangan, maklum ing jam kerja dilarang kluyuran utawa nindakake bisnis sing ora ana hubungane klawan panggaweyan, gek kamnagka ing perusahaan iki kabagi-bagi dadi watara pitung departemen.
Sawise ditotal, kanthi mesam-mesem, Martedja bisa mbayangake bebathen sing bakal dikeruk, 235 topi, 190 kaos, lan 70 jaket, angka-angka kuwi isih bisa tambah, ngelingi saiki isih tanggal 20 Juli. Untunge wae modhale cukup, sebab miturut perjanjen dhuwit bakal dibayar mbesuk bubar gajian tanggal 31 Agustus. Sing ketiban rejeki ora mung Martedja [ 72 ]wae, ning tukang jahit lan tukang sablon panggonane Martedja pesen, malah kabare nganti ngerigake kanca-kanca tunggal profesine supaya ngrampungake ayahan mau sadurunge tanggal sepuluh Agustus kaya sing ditetepake dening Martedja. Supaya panggaotan mau lancer, mesthi wae pembayarane wis dilunasi dening Martedja sing saiki mung kari leha-leha ngenteni asile.
Saking sibuke Martedja, wis ping pindho ora melu rapat bab tour iki. Mung sing dimangerteni wis diputusake yen tour iki bakal dianakake ana candi Borobudur sing dununge ana Jawa Tengah, pendhaftara ana wong rongatus seketan klebu staf, malah ing anggaran uga dipesen bus nem cacahe sing nganggo AC. Pokoke upama klakon bakal gayeng temenan. Mung wae sing isih adu tarik ulur ing babagan prabeya sing isih durung bisa diputusake dening pimpinan perusahaan, jarene isih ngluwihi plafon sing ditetepake. Para peserta uga wis padha umyeg ora kalah serune ngrembug bab iki, maklum para karyawan sing umume gajine undhaundhi klawan UMR iki jelas-jelas arang banget bisa dolan-dolan sanajan ta mung menyang candi Borobudur sing kepetung cedhak, lire kanggo tour iki mung mbutuhake wektu sedina wae, esuk jam 06.00 mangkat, mengko bengine wis tekan ngomah, dadi tanggal 18 Agustus wis bisa megawe kaya biasane ora ngganggu kelancaran produksine perusahaan.
Saya tambah dina prakara tour iki sansaya umyeg rame, kabeh padha duwe anggitan lan rancangan dhewe-dhewe. Ning nalika maca minutes meeting sing dianakake dening SPSI lan staf, uga ditekani dening Pimpinan perusahaan, Martedija kaya kesamber mbledheg wayah awan. Critane awan mau nalika dianakake rapat, Martedja ora bisa nekani sebab lagi ngurus bab kaos, topi lan jaket sing dipesen, niyate mengko mung arep weruh cathetan rapat utawa minutes meeting-e wae. Mitururt cathetan rapat sing dianakake awan mau, diputusake yen tour digagalake ing taun iki, sebab miturut keputusan sing asale saka kantor pusat, yakuwi rapat Direksi, dana tour bakal dialihake kanggo nutupi kekurangan material prodhuksi sing notabene kudu diimpor lan regane dadi tikel tekuk sabubare kena krisis dhek anu kae. Dadi ing antaraning pilihan bisa tour nanging prodhuksine keganggu, utawa ora sah nganggo tour nanging prodhuksine tetep lancer lan mesthi wae pawone karyawan uga tetep bisa ngebul.
Martedje lenger-lenger sendhen wit jambu sing ana mburi pabrik, mikirake modhal sing wis dienggo njaitake topi, kaos lan jaket, mikirake dhuwit tabungan, TV, lan kalunge mbok dhewor sing katut amblas. Sirahe ngisup sing ora bakal waras masiya diombeni obat ngisup cap bintang rolikur …!
Lagi lenger-lenger mau ndadak diparani Marto kanca nunggal penggaotan. [ 73 ]“Kang sampeyan arep dhaftar melu apa, sepak bola, voli, catur, badminton, apa senam,” ujare karo menehake lembaran kertas.
“Lha iki gae apa, Mar?” pitakone Martedja ora semangat blas.
“Lho …! Sampeyan ki piye, ta? Gae ngramekake tujuh belasan esuk dianekake lomba antardepartemen minangka gantine tour, wis gek ndang dhaftar badminton apa catur kono,” guneme Marto ayem.
“Badminton dhengkulmu cuklek! Ora ngerti wong lagi mikirake modhal sing amblas katut gawe pesen topi, kaos lan jaket je,” gremenge Martedja karo nglungani panggonan kuwi, dene Marto mung nggleges sajak ngece karo gedhag-gedheg.
Atine Martedja mrongkol sawungkal-wungkal, getem-getem, arep entuk rejeki wae kok ora sida malah kepara rugi, edian! Dhasar balungan kere…, gremenge. Kringet adhem nelesi awake, gek piye mengko anggone nerangake marang mbok dhewor sing klebu ewoning wong crewet.
Rampung mergawe dheweke langsung nguncluk mulih, ora kaya biasane leren gesah karo kanca-kanacane ana warung kopi pojokan perusahaan. Tekan ngomah kontrakane wis dipapag bojone.
“Kang, mau Pak Puji, tukang jait wis ngeterake jaitane, lha kae,” durung rampung anggone bojone sing ngomong, Martedja wis nggeblak semaput dadi layatan weruh tumpukan topi, kaos lan jaket ngebaki ruwang tamune. “Kang-Kang…. Eling…, ana apa ta iki mau!”
Bojone Martedja jelih-jelih sing marahi tangga teparone padha mara, tetulung marang sing lagi njrebabah.
Pirang-pirang ndina candhake …, wis tanggal 17 Agustus. Martedja ora bisa ndeleng upacara bendhera ana TV kaya taun sadurunge. Nalika ana lomba voli, bal-balan, senam, badminton lan liya-liyane dheweke ora melu, nginguk wae ora, atine kagol banget. Sirahe dadi ngisup banget yen weruh tumpukan topi, kaos, lan jaket sing ana omahe, saking gregeten, tumpukan mau diseleh ana latar lan disoki lenga gas njur disumed, genine mubal-mubal, bojone jelih-jelih ora direwes, tangga-tanggane ora ana sing wani nyedhak sebab ngerti Martedja lagi ngisup sirahe.
Bareng tumpukan topi, kaos, lan jaget mau mung kari awune, sirahe Martedja dadi entheng, ngisupe ilang, atine dadi lega, kaya bubar uwal saka blenggu wae. Atine mupus…, rejeki ora bisa dioyak, ora bisa ditulak.
Panjebar Semangat, No. 21, 20 Mei 2000
Widayati
Dak sawang maneh tanggalan sing ana tembok kae. Sasate ora percaya yen saiki isih tanggal rong puluh. Remben banget playune tanggal
iki, mangka playune dhuwit kok ya kaya playune sepur. Cepete eram.
Tanggal rong puluh, batinku. Iku tegese isih kurang sepuluh dina aku nampa bayaran. Mangka neng dhompetku saiki mung ana ewonan telu. Iki wae arep gawe tuku bensin. Mangka lakune urip isih kurang sepuluh dina maneh nganti bayaran, njur arep mangan apa kulawargaku iki? Aku malih kelingan nalika aku sarapan mau esuk. Sambate bojoku marakake selera sarapanku ilang.
“Pak, berase wis arep entek lho! Dhuwit blanjane uga kari rong dina telung dina maneh.”
“Ya ngutang dhisik kana lho Bu, yen pancen kepepet ora ana maneh. Lha piye, wong aku dhewe ya ora duwe dhuwit liyane saka bayaran kae. Ya engko yen wis bayaran gage-gage disaur.”
“Bagus, ya durung mbayar buku. Mangka jarene saiki kudu wis lunas kabeh. Iya yen buku sing kudu dituku kuwi mung siji utawa loro ngono. Lha wong cacahe ana sepuluhan. Mangka regane buku siji wae luwih saka limang ewu. Coba, saiki bocahe mberot ora gelem budhal sekolah yen ora digawani dhuwite. Njur si Nita uga durung mbayar sekolah, sak mbayar rekreasi pisan. Jan mumet aku, Pak, ngrasakake urip kaya ngene iki.”
“Lha njur kudu piye Bu, ya uwis ta anane ngene iki. Engko rak ana dalan kanggo golek rejeki liyane. Perkara Bagus, engko ben budhal bareng aku wae. Engko ndak matur neng gurune yen durung duwe dhuwit, ben diparingi kalonggaran wektu nggo nglunasi. Njur bab Nita, mbayar sekolahe didhobel karo sasi ngarep wae. Bab rekreasi ora sah dielokake. Wong sekolah sih TK wae kok aneh-aneh!” semaurku mungkasi rembug esuk mau.
Saiki ganti daksawang bocah-bocah iki. Katon serius ngadhepi soal ulangan. Bathuke ana sing dijembar-ciutake ngatonake yen lagi mikir tenan. Ana sing kukur-kukur sirah. Uga ana sing ngolak-alik soal karo [ 75 ]mripate plirak-plirik golek kesempatan nurun jawabane kancane. Aku mesam-mesem dhewe nyawang pemandhangan sing kaya ngene iki, merga aku yakin yen bocah-bocah iki mesthi isa nggarap soal sing dakwenehake kanthi tliti. Pemandhangana ngene iki sing tansah isa nglipur susahsumpege ati. Nyawang bocah-bocah iki isa lali yen lagi sumpeg, lali yen lagi paceklik dhuwit kaya mangkene.
Ora selak, bocah-bocah iki pancen nakal. Kadhang kala aku digawe nesu. Ning, ora kerep uga gawe guyuku. Suwasana kuwi sing marakake aku betah mulang bocah-bocah iki.
Saiki aku malih kelingan ngendikane bapakku biyen nalika mangerteni yen aku kepengin dadi guru.
“Rif, tenan kowe ora bakal getun, menawa dadi guru?”
“Mboten, Pak,” kandhaku manteb.
“Kowe rak isa nyambut gawe liyane. Delengen kangmas-kangmasmu kae, dha sukses. Lha njur kowe kok arep milih dadi guru. Njur arep mbok pakani apa anak bojomu sesuk? Apa kowe isa nyukupi kebutuhane keluwarga, sebab bayarane guru mono thihtik. Mangka biaya urip saiki larange ora jamak. Bayaran sesasi paling ya mung cukup nggo urip seminggu. Lha, sabanjure arep ditambal apa?”
“Rejeki menika rak paringipun Gusti Allah, Pak.”
“Ya…, yen pancen ngono karepmu, ya ora apa-apa. Bapak uga seneng. Merga dadi guru ngono mulya, senajan kadhang kala ana pawongan sing nganggep yen dhuwur-endheke drajat kuwi dideleng saka bayarane, dudu gedhe-cilike pangorbanane minterake wong liya.”
Yen eling-eling ngono kuwi, mbokmanawa Bapak pancen bener. Nyatane aku pancen ora bisa mulyakake anak-bojoku. Nanging, senajan anane ngono, aku babar pisan ora getun.
“Sugeng enjang, Pak Airf.”
Swara banter sing dumadakan mecah sepine kelas iki gawe buyare angen-angenku.
“Sugeng enjang, wonten napa?” semaurku njenggirat ngadeg saka lungguhku nyedhaki wong sing aran Pak No kuwi.
“Anu, Pak. Panjenengan ditimbali Kepala Sekolah.”
“Samangke?”
“Bibar jam samenika.”
“Nggih sampun, matur nuwun.”
Bubar jam, aku wis ora kanti maneh. Sajake pancen ana sing wigati tenan nganti aku ditimbali ora ngenteni jam ngaso. Gage-gage dakringkesi buku-buku sing neng meja guru, terus jumangkah metu saka kelas. Ora kathik mampir neng ruwang guru, aku langsung wae bablas neng ruwangane Kepala Sekolah.
“Sugeng enjang, Pak.” [ 76 ]“Sugeng enjang. Mangga Pak Arif,” ngendikane Kepala Sekolah kanthi pasuryan bungah.
“Wah, kados pundi, wonten wigatos?”
“Inggih. Ngaten lho, Pak Arif, panjenengan rak mboten nolak ta menawi kula aturi tugas. Etung-etung nggih pados tambahan rejeki. Rak lumayan kangge tambah-tambah blanja.”
“Wah, nggih mboten Pak. Sinten ta Pak ingkang mboten purun rejeki menika.”
“Nanging ngaten caranipun Pak arif, njenengan kedah saged kerja sama kaliyan kula ngrampungaken masalah menika.”
“Urusan bab menapa menika, Pak?”
Lho, napa njenengan dereng pirsa ta? Sekolahan menika rak ngawontenaken tanggalan enggal kangge warga sekolah mriki. Tugas panjenengan kedah saged nyade tanggalan menika dhateng lare-lare. Mangke bathine njenengana kaliyan kula saged fifty-fifty. Rak gampil ta?”
“Samangke napa mboten kadaluwarsa Pak, kula wastani lare-lare nggih sampun sami gadhah tanggalan.”
“Lho, njenengan rak saged sanjang dhateng lare-lare menawi menika program sekolah. Dados wajib!”
“Menawi lare-lare mboten purun Pak?”
“Lho, lha dos pundi njenengan niki! Njenengan rak gurune. Nggih dos pundi sagede supados lare-lare purun tumbas. Njenengan sing kedah diturut lare-lare. Sanes njenengan sing nurut lare-lare.”
“Kula sakaken Pak. Seminggu kepengker lare-lare nembe diwajibke tumbas buku-buku penunjang. Kala wingi nemebe wonten tarikan kangge kegiatan Osis. Lha samangke menawi diwajibaken tumbas tanggalan menika, napa saged. Malah kadosipun buku-buku menika mawon taksih kathah ingkang dereng mbayar!”
“Lho njenengan kok malah mbelani lare-lare! Ingkang namine program wajib sekolah menika nggih kedah ditindakaken. Mboten wonten alasan sakaken napa malih mboten mentala. Wajib nggih wajib. Mboten saged dinyang-nyang malih!”
“Namung, Pak ….”
“Sampun Pak Arif, kula mboten ngertos caranipun njenengan dos pundi amrih urusan menika saged rampung. Ingkang utami kula namung nyukani jangka waktu kalih dinten. Titik!”
76
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
dakterusake njur piye?
Njur saiki telung jangkah maneh aku wis ana ngarep kelas. Mangka aku durung bisa nemtokake aku abot sapa. Aku arep omong apa…?
Jaya Baya, No. 40, Th. LIV, 4 Juni 2000
Moch. Nursyahid P.
Dadi wong wadon iku, yen wis oleh bojo, senajan bojone mau durung nate ditepungi tur wis setengah tuwa pisan, kang umure kacek meh limang windu karo dheweke, nanging yen sing njodhokake wong tuwa, ya kudu ditampa tangan loro. Arep nggugat karo nangis ngguguk nganti asat iluhe? Tuwas muspra. Arep minggat, lunga saparan-paran kanggo nyingkiri kasunyatan sing getir? Ya tanpa guna. Mbok mlayua tekan pucuking jagad pisan, pungkasane bakal kecekel, awit sing arep ngepek bojo kuwi wong sugih dhuwit sing bisa kongkonan wong-wong sing kejem kanggo nglacak playune. Apa maneh dinitah wadon, dheweke isih kesrimpet pinjung lan rumangsa ringkih. Isih kalah rosa karo kekuwatane wong lanang lan wengise panguripan. Mula Salindri bisane mung pasrah nalika kudu gelem dadi bojone raden Ngabehi Suryodiharjo sing wis dhudha kaping telu, anake sakkandhang koplak lan putune sakpirang-pirang iku. Senajan batine Sawitri nangis kelara-lara, rumangsa dadi wong wadon sing paling apes ing donya.
“Kowe kudu tansah mbangun turut lan setya bekti karo bojomu, Ndhuk. Sebab sing jenenge wong wadon iku, yen wis omah-omag, perkara kuwi jeneng wajib. Jagad bakal nangis, yen nganti ana wong wadon wani marang bojone. Apa maneh nganti tumindak slingkuh. Wong wadon sing slingkuh kuwi, nistha sanistha-nisthane wong. Luwih aji godhong jati garing,” kandhane embokne nalika Sawitri arep diboyong Raden Ngabehi Suryodiharjo menyang Dalem Suryodiharjan, manggon ana omah kuna wangun joglo sing platarane jembar ing kampung Buluwarti.
“Pangestune wae, Mbok…” Sawitri ora bisa guneman akeh-akeh. Sedhela-sedhela srikutan ngulapi iluhe. Rumangsa trenyuh lan abot banget ninggal embokne sing wis nglairake lan nggedhekake. Saploke bapakne tinggal donya rong taun kepungkur, sing mrantasi samubarange kari emboke. Klebu njodhokake Pak Bei Suryo sing juragan bathik iku.
Sawitri nangis maneh, nalika bengine Pak Bei Suryo ngajak pengantenan. Rasane kok sepi lan aber, ngladeni wong lanang sing tanpa pawitan katresnan. Apa maneh carane ngungrum kasar karo menggeh-menggeh [ 79 ] kaya kentekan napas, nyemburake abab sing ora enak lan ganda srutu apeg, nganti Sawitri arep blokekan mutah-mutah. Suwe-suwe Sawitri dadi ngerti menawa emboke sing buruh bathik marang Pak Bei Surya, duwe utang cukup akeh kanggo tambel butuh saben dinane. Sebab ora bisa nyaur utange, embokne kepeksa nampa panglamare juragane sing kepengin ngepek bojo dheweke. Satemene Sawitri nesu banget marang emboke. Apa dheweke dianggep barang sing bisa kanggo tombok nyaur utang? Nanging bareng kelingan yen emboke anggone utang marang Pak Bei Suryo mau jalaran kepepet, abote weteng luwe, kanggo ngopeni lan nyekolahake anake telu senajan mung pantog tekan SLTP. Sawitri dadi nangis dhewe. Atine banjur dipupus. Barang yen wis kebacut, terus arep dikapakake?
Ing bab iki emboke ora luput. Katresnane marang anak, nganti dilabuhi kedhungsangan mburuh bathik saka esuk tekan sore sing pengasilane ora mingsra. Yen pasaran bathik lagi sepi, emboke uga diakon juragane umbah-umbah, reresik omah lan nindakake pegaweyan srabutan liyane ora beda karo babu kae. Sawitri isih kelingan, nalika jaman cilikane, emboke kerep ngoleh-olehi sega salawuhe ing rantang lan buntelan isi roti utawa panganan liyane. Emboke seneng banget weruh anak-anake anggone mangan katon dhokoh, telap-telep. Maklum, biasane mung mangan nganggo jangan bening karo sambel, lawuhe tempe utawa tahu sacuwil. Bareng mangan sega paringan Pak Bei, nganggo opor pitik utawa sambel goreng daging sapi sing mirasa, rumangsa kaya lagi pesta andrawina.
Saiki bareng dadi garwane Pak Bei Suryo, Sawitri saben dinane kelakon tansah mangan enak, kang arang-arang dirasakake nalika jamane bocah. Samubarang kabutuhane uga wis cemepak. Kepengin nganggo sandhangan sing modhel apa wae, apa dene jarik bathik lan kebayak sing larang regane, uga bisa kelakon. Yen butuh apa-apa, Sawitri kari prentah Mbok Yem utawa Mbok Nah rewange. Arep blanja, nekani arisan, lan arep lunga menyang endi wae, diterake Kasmija, sopir pribadhi. Awit saka dhawuhe Pak Bei, omahe wong tuwane sing gedheg lan wis dhoyong banjur didandani. Adhine loro sing mandheg sekolahe, diakon sekolah maneh nerusake tekan SLTA, sokur bisa tekan perguruwan tinggi.
“Badhe ngersakake menapa Bu Bei? Badhe tindak pundi, Den, mangga kula dherekaken.”
Yen rewang lan sopire padha omong ngono, Sawitri ngasi kecipuhan anggone arep mangsuli. Awit dheweke wis rumangsa turah cukup diladeni, jalaran Pak Bei sugih lan kuwasa. Sawitri bisa nempil kamuktene, mundhak drajade lan dieringi dening sapa wae. Saiki dadi bendara gedhe sing bisa ngereh sapa wae kang dadi andhahane. Nanging kaya manuk sing ana kurungan mas sing senajan pakan lan omben-ombene wis cemepak, apa suwe-suwe dheweke betah? Sawitri banjur kelingan Setiawan, [ 80 ] priya kang ditresnani. Bareng Sawitri dijodhokake wong tuwane karo Pak Bei Suryo, Setiawan banjur nglembara embuh menyang endi lan ora nate ngabari.
“Dhiajeng aku daksare dhisik. Yen ana tamu, kandhakna nek lagi menyang luar kota” welinge Pak Bei Suryo nalika kondur saka sowan kraton ngrawuhi upacara tingalan dalem jumenengan Ingkang Sinuhun. Jalaran sayah, kakunge nganti ora kober dhahar awan.
“Sendika dhawuh … Kangmas…,” Sawitri ngestokake dhawuh karo nyembah. Kanggo ngetokake setya bektine marang kakunge.
Busana kejawen kang mung diklumbrukake kakunge ing kursi, banjur dirawati siji mbaka siji kanthi ngati-ati. Selope kang mung diuncalake ing ngisor dhipan, dilapi resik terus disemir nganti gilap kinclong. Sawise kuwi Sawitri prentah Mbok Yem lan Mbok Nah, supaya nyepakake dhaharan lan njukan ing meja makan kanggo kakunge yen wungu sare mengko.
Ing sawijining dina, Sawitri kaget nalika ana tamu priya gagah numpak mobil kijang. Nalika tamune mau mudhun saka mobile, Sawitri isih rumangsa during wanuh, awit tamune nganggo kaca mata ireng.
“Sawitri pangling karo aku ya?” Tamune mau ndhisiki nyapa karo nggegem kenceng tangane, nganti Sawitri rumangsa kecipuhan arep ngeculake.
“Nuwun sewu, Panjenengan sinten? Badhe ngersakaken manggihi Pak Suryo?” Sawitri takon setengah ndomblong.
“Sawitri, Sawitri, lagi pisah setaunan wae kowe wis lali karo aku ta? Dupeh kowe saiki dadi bojone wong sugih wae, terus sombong.”
Tamune malah banjur nggablogi Sawitri sajak wis kulina, njalari Sawitri saya bingung.
“Mangga, mangga lenggah.” Sawitri banjur ngacarani tamune mlebu pendhapa. Bareng tamune lungguh kursi karo nyopot kaca matane, Sawitri dadi kaget. Jebul tamune Setiawan. Setiawan genti digablog isa geleme kanggo nyuntak rasa senenge.
“Oh, jebul Mas Setiawan. Dakkira sapa. Apa arep ketemu Pak Surya, apa mung arep dolan wae?”
“Mung kepengin dolan, kok. Butuh ketemu kowe. Kanggo nambahi rasa kangen …” wangsulane Setiawan isih kober ngajak guyon.
“Kok ngerti aku manggon ana kene, sapa sing ngandhani Mas?”
“Ya, takon-takon,” wangsulane Setiawan kalem.
Sawitri banjur uga meneng. Sakarone katon kaku, sawise sawetara suwe ora ketemu. Sajake kelingan dina-dina kang kawuri nalika isih padha pacaran.
Mbok Nah lan Mbok Yem rebutan nginjen saka mburi kordhen, kepengin ngerti sapa ta tamune bendara putri. Mbok Nah banjur njawil Mbok [ 81 ] Yem supaya ngetokake unjukan menyang pendhapa. Metune Mbok Yem, mujudake kalodhangan tumrap Sawitri kanggo uwal saka swasana kaku mau.
“Mangga diunjuk, Mas. Mumpung isih anget,” ujare marang tamune.
Tanpa wangsulan, Setiawan banjur nyruput kopi kang disuguhake. Sawuse nyumet rokoke, Setiawan lagi ngandhakake perlune.
“Ngene, Sawitri. Tekaku mrene ora arep kepengin nyambung katresnan sing wis putung utawa duwe niyat nganggu rumah tanggamu. Aku melu seneng, dene kowe katon mulya bareng dadi garwane Pak Bei Suryo. Mung sing dakpikir, kowe apa during ngerti yen Pak Bei Suryo kuwi piyayi julig sing seneng apus-apus?”
Sawitri sapandurat kaget bareng krungu kandhane Setiawan sing pungkasan. Nanging during mudheng sing dikarepake.
“Pak Bei Suryo wis sawatara dadi patner bisnisku. Ora ketang lagi thimik-thimik, aku saiki uga dadi pengusaha bathik ing Cirebon. Wiwitane urusane karo Pak Suryo lancar. Nanging keri-keri iki aku kerep dibayar cek kosong lan anggone mbayar barang dagangana kerep seret, njalari aku kewirangan lan rugi gedhen. Apa kuwi jenengi ora tukang apusapus, Sawitri? Geneya dheweke kok ora bisa njaga keprajane minangka sawijining ningrat kang kinurmat?” Setiawan nerusake guneme kanggo nyuntak rasa jengkele. Atine Sawitri dadi saya ora kepenak.
“Mas Setiawan, aja dadi atimu. Aku ora ngerti urusanmu karo Pak Suryo. Mula becike Mas Setiawan nemoni Pak Suryo dhewe, kareben urusane enggal rampung,” Sawitri nyelani urun panemu.
“Aku mung kepengin menehi weruh marang kowe, Sawitri. Yen wis entek kesabaranku, kasus iki bakal daklaporake pulisi lan wartawan kareben ditulis ing korane,” Setiawan wiwit ngancam.
“Aja, Mas! Aja..! Aku bae sing ngrampungake urusane. Terus Mas Setiawan kapusan pira? Sepuluh yuta? Selawe yuta? Satus yuta? Mbokmanawa dhuwit simpenanku ing bank lan saka anggonku adol kalung, gelang, ali-ali, suweng, lan liya-liyane, cukup kanggo tombok,” Sawitri atine was-was, nganti guneme memelas.
“Aku ora butuh pangorbananmu, Sawitri. Kowe kuwi wong wadon sing isih lugu, senajan saiki wis adus madu lan dadi bojone wong sugih mblegedhu …,” celathune Setiawan tandhes.
“Terus karepmu piye, Mas? Senajan kepriye bae, Pak Suryo kuwi bojoku. Kudu dakbelani! Aku saguh nomboki, waton perkara iki ora nyebar menjaba. Mbok bisa njaga aku, ta Mas Setiawan..!”
Sawitri wiwit membik-membik nangis. Setiawan sing isih kerep njedhul ing impene, bareng teka kok nggawa perkara. Senajan apa sing dikandhakake Setiawan mau durung cetha bener lan orane, nanging Sawitri miris krungu pangancame Setiawan kang ora guyonan iku. [ 82 ] “Wis ya, aku tak pamit dhisik. Liya dina ketemu maneh, Sawitri.”
Dumadakan Setiawan menyat ngadeg, terus pamitan sajak kesusu.
Ora wurung tekane Setiawan ngganggu atine Sawitri. Dheweke kerep nratab lan dheg-dhegan. Mangan dadi ora enak lan turu ora kepenak, jalaran atine tansah kuwatir yen nganti Setiawan sida lapur pulisi lan wartawan temenan ngenani urusane karo Pak Bei Suryo. Mbok Yem lan Mbok Nah rewange, kerep meruhi bendarane putri dheleg-dheleg ijen karo dleweran iluhe. Nanging sakarone ora wani takon apa sebabe. Sauntara kuwi Pak Bei Suryo kerep kuciwa, angger ngajak langen asmara, Sawitri sajak aras-arasen anggone ngladeni. Kerep saking jengkele, tengah wengi Sawitri ditempiling utawa disabeti nganggo sabuke sing saka lulang sapi. Senajan larane banget lara, nanging Sawitri ora kawetu sambat lan tangise. Wewayangan Setiawan bali ngalela nggodha ati. Kaya-kaya Sawitri kepengin wadul marang Setiawan ngenani panandhange.
“Yen kowe wis ora gelem ngladeni aku, minggata saka omah kene! Yen aku kepengin golek bojo maneh, isih akeh tunggale sing luwih ayu tinimbang kowe!” Ujare Pak Bei Suryo sora karo nyabetake sabuke ing gegere Sawitri kang wus nglegena nganti bilur-bilur ngemu getih. Sawitri mung meneng. Ora wangsulan. Tekade, pancen apa bae arep diadhepi kanthi tabah. Senajan atine njerit, nangis lan ragane lara kabeh wareg diajar kakunge. Jarene para sepuh, setya bekti kuwi pancen regane larang.
“Apa kowe duwe dhemenan? Wis tumindak slingkuh karo wong lanang liya? Wangsulana! Wangsulana!” Mak pleg…, pleg...! Tangane Pak Bei Suryo kumleyang maneh ing pipine. Sawitri ambruk karo mripate klemun-klemun. Nalika diseret saka paturon, ya mung pasrah kaya bonekah.
Ing dina liyane, Setiawan teka maneh. Sakjane Sawitri aras-arasen metu nemoni. Nanging suwe-suwe kojk ya mesakake.
“Ana apa maneh, Mas?”
“Aku wis ketemu Pak Suryo, nanging dheweke tetep semaya. Terus suk kapan diberesi?” guneme Setiawan wiwit mampang-mampang.
Sawitri meneng. Ora nyambungi. Lambene digeget nganti krasaperih.
“Aku kerep ngonangi Pak Suryo kencan karo wong ayu ing hotel. Aku dadi sujana, mengko gek dhuwitku dientekake kanggo royalan kaya ngono? Apa kowe wis ngerti, Sawitri?”
Sawitri panggah meneng. Dhadhane saya seseg, wusana wutah dadi tangis ngungguk kalara-lara. Nanging Setiawan sajak ora perduli.
“Sawitri, ayo lunga sedhela karo aku. Gelis salina, dakenteni!” prentahe Setiawan sabanjure. Atos, ora semanak.
“Aku arep kok jak lungan menyang endi, Mas?”
“Aja kakehan takon! Pokoke, ayo mangkat. Kanggo ngrampungi urusane Pak Suryo,” wangsulane Setiawan atos. [ 83 ] “Nanging, nanging aku …, ora ngerti urusane Pak Suryo…,” Sawitri isih wani mbantah.
“Kowe kudu melu tanggung jawab, sebab kowe bojone Pak Suryo,” Setiawan nggetak karo mripate mencereng.
Cep klakep, Sawitri meneng kaya orong-orong kepidak. Terus menyat ngadeg, klithih-klithih mlebu dalem ageng. Salin.
Ana njero mobil, Sawitri mung meneng. Batine saya kesiksa, rumangsa dadi tawanane Setiawan. Sakjane dheweke kepengin mencolotmencolota, amrih bisa uwal saka bebandan. Nanging Sawitri ora kepengin mati konyol. Sebab playune mobil banter banget kaya disawatake, luwih-luwih nalika tekan njaban kutha. Wusana mobil menggok mlebu plataraning sawijining hotel. Sawitri mung manut bae digandheng Setiawan sajak mesra mlebu kamar.
“Aku arep kokkapakake Mas, kokjak mlebu kamar?” Sawitri protes. Rumangsa disawiyah-sawiyah Setiawan.
Setiawan nanggapi kanthi mesem ampang. “Kanggo ngrampungake urusane Pak Suryo,” kandhane tandhes.
“Kurang ajar! Jebul kowe arep ngrusak pager ayu! Aku pilih mati, tinimbang ngladeni kowe…!” Sawitri mundur-mundur kamiweden.
“Aja kakehan omong! Saiki cucul! Ayo, cepet cucul sadurunge entek kesabaranku!” prentahe Setiawan. Tangane wis nggegem glathi landhep kumilat. Sawitri sapandurat kaget. Atine nratab. Nanging sabanjure tuwuh kawanene. Nuli maju mbaka sapecak karo mandeng Setiawan.
“Ayo, gelis patenana aku! Aku ora gigrig, Mas..! Tekadku, kepengin mati mbelani ajining dhiri lan bojoku. Aja kokanggep aku wong wadon ringkih!” Sawitri bengok-bengok nantang.
Aneh. Setiawan suwe-suwe dadi kalah prabawa. Nganti glathine tiba ora krasa. Sabanjure Sawitri diruket kenceng karo ditangisi.
“Kowe pancen wong wadon sing setya bekti, Sawitri. Aku kalah. Aku kalah ….”
Panjebar Semangat, No. 25, 17 Juni 2000
Ana sipat kang aneh dirasake Gendra keri-keri iki.Saka rumangsane kaya ana sing wis owah ing jiwane. minangka anggota pakumpulan jaranan “turangga Laras” ing desa Tamanreja dheweke asring kapatah nganggo topeng lucu minangka paraaga Penthul. Pakaryan kasebut wis suwe banget dilakoni, wiwit durung tetak nganti saiki wis uwanen. Kesenian jaranan tumrap Gendra wis mbalung sungsum. Ning keri-keri iki Gendra rumangsa angel anggone mbedakake sipat-sipate antarane lagi ing tengah kalangan apa lagi ing bebrayan nyata.
Uripe Gendra pancen ora pethal karo kesenian rakyat iki. Paribasane uripe mung ana ing tengahing kalangan, pindhah-pindhah panggonan, gumantung sapa sing nanggap pinangka gantungan uripe. Sandhang pangane uga saka Topeng Penthul ing tengah kalangan.Nganggo topeng palsu, sipat-sipat palsu, tansah kudu jingkrak-jingkrak gembira, tingkahe nganyelake lan gawe guyune penonton, clekithang-clekitheng gegojegan karo celengan lan barongan.
Ing pakumpulan jaranan “Turangga Laras” sing disenengi penonton ya gendra kuwi. Apa maneh yen wis kesurupan, tingkahe nggemesake, penonton mesthi keplok mawurahan. Kamangka, nalika tekan omah, Gendra rumangsa risi. Ing atase dadi cagake kulawarga, dheweke krasa uripe iki ngenes nes. Bojo nutuh, anak-anake lima isih semega kabeh pating crengek. Durung ketambahan ragade sekolah.
“Apa ora ana panggaotan liyane saliyane dadi tukang jaranan Kang. jamane jaman susah. kesenian jaranan sing kokantebi iku ora maregi.” ing sawijining dina Mitun, bojone, aruh-aruh.
“Aku ora golek pangan saka kesenian jaranan sing wis dakgeluti mataun-taun. Jaranan wis dadi getih-dagingku Tun. Yen pengin golek sandhang pangan kuwi dudu saka kene. Kesenian jaranan iki warisane leluhur, kudu ana sing nguri-uri, yen aku ninggalake sida kuwalat.” Gendra njawab karo ngelapi Topeng Penthul sing reged kena lebu. [ 85 ] “Nguri-uri ya nguri-uri, Kang. Ning, perkara jejege kendhil ya perlu kokopeni. Iku uga kalebu tanggung jawabmu.” Mitun terus ngetogake uneg-unege.
“Tun, kowe ndhisik nalika gelem takrabi weruh apa? Apa weruh bandha donya? Apa merga kesengsem karo olehku njaran kepang iki, apa pancen saka tulusing ati? Lha njur saiki owah gingsir dadi sulap karo dhuwit kemrincing, ngono pa piye? Gendra ngomong santak.
“Geneya sampeyan ngongkreh-ongkreh sing wis mungkur, Kang? Wiwiwt jaman samana nganti anak-anak lima, aku iki sejatine kurang trima apa? Mitun wiwit prembik-prembik.
“Witikna, kowe ya ngono. Yen kowe ngaru biru anggonku nresnani kesenian rakyat iki, ateges kowe wani nglawan aku!” Krungu jawabe Gendra kang sengol Mitun meneng sedhela. Saka lathine sing dhamis karepe mono arep mbrojolake uneg-unege,
“Kang…”
“Apa!” Ucape Mitun dipunggel Gendra.
“Kang, apa…apa aku wis ora patut ing sisihmu?” sing bisa diucapake Mitun mung ukara kuwi.
“Wis, ta! Ngomonga sakatogmu, ora bakal ngowahi katresnanku marang kesenian rakyat iki.”
Krungu wangsulane Gendra, Mitun gedheg-gedheg karo mekak sumpege batin.
“Aku ngerti. Kang. Ngerti! Ning kepriye wetenge anak-anakmu? Apa bisa koksemayani?
Krungu pitakone bojone sing keri dhewe iki, dhadhane Gendra kaya kena anteman KO. Tanpa sadhar dheweke malih dadi dheleg-dheleg. Yen wis tekan pitakonan iki, donya rasane kaya kukut. Kamangka saben ing kalangan nganggo topeng penthul, Gendra rumangsa mongkog, apa meneh yen sing nonton padha surak-surak mawurahan. Rasane urip iki bisa misungsungake kabisane lumantar kesenian jaranan sing wis dadi getih daginge. Ing kene rumangsane urip iku ana pigunane, lan dheweke rumangsa bener-bener urip. Urip sing kebak pangarep-arep, tanpa kabotan sanggan.
Ning yakuwi, rasane bisa urip mau mung winates ing kalangan nalika jaranane ditanggap. Yen wis tekan omah rumangsane kaya kinunjara. Pitakon-pitakone bojone ngenani tanggung jawab nyukupi butuh kuwi kaya ruji-ruji wesi sing njojohi pangrasane. Gendra malih uripe muspra. Saka rumangsane Gendra sing bisa ngerteni dheweke mung topeng Penthul kuwi. Urip iki krasa wis manunggal karo topeng penthul, gawe senenge wong akeh, bisa njoged sakarep atine.
Merga ana pangrasa sing saben dina tumpang suh ing jiwane, Gendra malih seneng lungguh dheleg-dheleg ing kamar. Wiwitane kanggo ngi[ 86 ] langi sesake dhadha, yen dong sepi Gendra njur mlebu kamar nggoleki topeng Penthul sing biasane digawa sabubare kanggo tanggapan. Topeng mau diiling-ilingi, njur kanthi alon dienggo nutupi raine. Gendra kaya kena hipnotis, njur clekithang-clekitheng njoged ing njero kamar. Panggonan rupeg mau ing pangrasane malih dadi kalangan kang jembar ngilak-ilak.
Sedina rong dina tingkahe Gendra ora kadenangan. Suwe-suwe kadenangan Mitun. Weruh pakartine kang aneh mau, Mitun saya munclakmunclak nesune.
“Kowe wis gendheng ya Kang? Esok topeng, sore topeng, awan topeng, bengi topeng, apa wareg wetengmu mangan topeng?”
Gendra sing lagi nganggo topeng manggut-manggut.
“Aku dudu bojomu Tun. Aku si Penthul kang ndadekake guyune wong akeh. Bojomu kuwi jenenge Gendra sing ora kuwagang nyukupi kebutuhane kulawarganr, dene yen Si Penthul mujudake rol ing pakumpan jaranan “Turangga Laras”. Jawabe Gendra kaya wong kasurupan.
“Kang, sajake kowe pancen wis ora waras!”
“Yak owe kuwi Tun sing ora waras. Mosok donya sing dipikir mung isine weteng. Donya ora tau gawe bungah, sing ana mung sangganing urip.”
“Kang…!” Mitun saya ora ngerti alang ujure urip sing dipikir bojone. Arepa kaya ngapa Gendra mono gurulakine, sing kudu dibekteni, uga bapak saka anak-anake.
“Elinga Kang…” Mitun nangis ngguguk.
Wiwit kedadeyan Gendra dianggep “owah pikire” pirang-pirang tanggapan Gendra ora dijak. Mulane saya suwe grup jaranan “Turangga Laras” malih sepi tanggapane. Pak Temu Kancil sing dadi sesepuhe grup jaranan iki kebingungan. Sedhela maneh kesenian rakyat pimpinane iki bakal mati. Jalaran mati uripe mung gumantung marang warga sing gelem urun nanggap. Saya ngelu maneh tumrap Temu Kancil nalika esuk mau dheweke dipanggil nyang kelurahan. Pak Lurah antuk dhawuh saka camat supaya ngirim grup kesenian rakyat menyang kabupaten. Ing kabupaten mengko jarene arep diseleksi lan sing kepilih bakal di kirimake menyang tingkat propinsi.
“Arepa dikayangapa grup Turangga Laras isih mujudake grup pengpengan ing kene. Dadi ya kudu ngirim menyang kabupaten. dadi kudu koksiapne sing temenanlo Pak Temu.” Ngono ngendikane Lurah.
“Niki nuwun sewu lo, Pak Lurah. Wekdal niki para paragane nembe wayah macul, dados sakjane nggih kawratan. Sakniki wekdale matun Pak Lurah, tiyang-tiyang grup jaranan nggih teksih ngebotke matune, Napa malih sing dadi rol niku rak Gendra. kamangka Gendra sakniki owah pikire. nek saged mbok nggih pados lintu kemawon.” Temu Kancil menehi alasan kang pamrihe supaya ora usah ngirim grup kesenian wae. [ 87 ] Ing wektu-wektu sadurunge kabeh prabeya kanggo mbudhalake grup jaranan mau ya kudu cucul dhuwit saka kanthong dhewe. Yen saiki ngono maneh rak kojur. Kamangka grup jaranan iki rak makili desa, makili kecamatan, lan ndadekake arume desa apa dene kecamatane. Ning geneya prabeya kabeh ditanggung paraga kesenian jaranan dhewe?
Mireng alasane Temu Kancil, lurah mung gedheg-gedheg.
“Ora bisa! Desa kene kudu ngirimake grup kesenian makili kecamatan, ora kena ora. Iki prentah saka Camat. “
“Lajeng perkawis biayanipun?” Temu Kancil nyoba nalesih.
“Sauntara iki cucula dhuwit dhewe! Ora ana dana saka kecamatan kanggo kesenian, apamaneh desa kene.” Pak Lurah isih puguh karo karepe.
“Ning, sing ndadosaken kawratan malih niku Gendra, Pak Lurah. Yen mboten wonten Gendra, grup Turangga Laras mboten saged bidhal.”
Bareng alesane ditatapne marang Gendra sing dadi rol ing Turangga Laras, Pak Lurah lagi gelem ngrogoh sake.
“Ngene wae iki mengko wenehna bojone Gendra, kongkonen golek tamba nyang wong pinter.” Pak Lurah ngendika karo menehi dhuwit eketan ewu salembar menyang Temu Kancil.
“Nggih, Pak Lurah!”
Temu kancil mulih saka kelurahan kanthi ulat sumringah.
Lagi sorene sanja menyang omahe Gendra menehake dhuwit saka lurah kanggo golek tambane Gendra. Tekan tangane bojone Gendra dhuwit saka lurah mau tundhone mung kari rongpuluh ewu, sing telung puluh mlebu sak.
Tumrap Mitun dhewe antuk dhuwit sakmono mau pindha nemu emas sagenthong. Anggone maturnuwun ora entek-entek. Wiwit esuk umun-umun Mitun wis ninggalake Gendra sing isih njintel ing omah. Dhuwit rongpuluh ewu saka pimpinan grup jaranan Turangga Laras digembol ing centhinge. Sing sepuluh ewu dienggo golek srana menyang wong pinter, murih Gendra bisa waras. Dene sing sepuluh ewu bakal ditukokake beras.
“Napa bojo kula kesambet dhemit, Mbah?” pitakone Mitun nalika ngadhep dhukun sing ditekani. Mbah dhukun sing brengos lan jenggote ketel mau mung manggut-manggut, karo nyawang ngemu teges. Ing netrane katon kaya sunar kang kaya akrab banget. Mitun ngrasa pawongan iku tau dikenali. Ning kapan?
“Dudu, dudu dhemit. Bojomu mung merga bingung rumangsa kabotan sanggan, kelangan grenjete ati. Tamba marasake Gendra bojomu kuwi mung kanthi srana katresnan sampeyan kang tulus, Mbakyu.” Mbah dhukun miwiti rembuge.
“Lho, kula niki kurang tresna pripun ta, Mbah. Yen ra tresna apa nganti duwe lima?”Mitun rada sembranan. [ 88 ] “Tegese, bojo sampeyan butuh panjurung lan pangerten. Iki murih dheweke ngereti yen kesenian rakyat kang digeluti iku ora menehi panguripan kang murwat kaya kang dikarepake. Dadi dheweke uga perlu duwe panggaotan samben. Dene sampeyan dhewe perlu golek pakaryan kanggo rewang-rewang nyukupi butuhe kulawarga. Iki kang dakkarepake katresnane bojo kang tulus.” Mbah dhukun menehi sesorah kanthi wijang.
Krungu pangucape Mbah Dhukun sing sumadulur mau Mitun tanpa srantan ngudhal kabeh panandhange kaya grojogan jebol.
“Karep kula niku nggih ngoten, ning napa kangge bunci?” Ukara-ukara kang diucapake rasane kaya kelet ing gorokan.
“Nuwun sewu. Iki yen sampeyan ora kabotan, lho. Apa kersa yen daksilihi dhuwit kanggo bunci usaha cilik-cilikan? Perkara anggon njenengan mbalekake, yen pancen bener-bener usaha mau bisa lumaku. Aku uga duwe anak bojo, Mbakyu. Lan perkara iki mengko uga bakal rembugan karo sisihanku. Manut pangrasaku, sisihanku mesthi ora kabotan.”
Mitun ora bisa kumecap. Ing batine gojag-gajeg. Endi ana wongloma ing jaman kaya ngene. Ning yen dsawang ing manike dhukun ing ngarepe mau sajak tanpa ngemu pamrih apa-apa.
“Aja digalih sing rena-rena lan nganggep aku sing ora-ora. iki tulus. muga-muga jenengan kersa nampa, Mbakyu. jalaran ya mung dalan iku kanggo marasake mas Gendra,” kandhane dhukun mau mantep. Tundhone dhuwit sepuluh ewu kang dienggo nggunakake larane Gendra digawa bali. malah kepara oleh tambah. Mitun uga dikenalake karo sisihane Mbah Dhukun. Jebule yen diwiwir-wiwir isih mambu-mambu dulur. Mulane wiwit mau kok ngundang Mbakyu lan ngundange menyang Gendra uga mas. Sajake Gusti Allah yen paring papadhang ora kurang marga.
Sabubare mitun golek srana ing panggonane Mbah Dhukun mau, gendra wiwit tuwuh kapercayane. Dheweke wis nggabung maneh ing grup Turangga ;aras kang disiapake pentas ing kabupaten. Mitun dhewe uga saya sengkut anggone nyambut gawe. Saka dhuwit silihan saka Mbah Dhukun lan sisihane, dienggo bunci gawe jajan lan dodolan cilik-cilikan. Saben Gendra tanggapan, Mitun melu-melu ndhasarake jajan gaweyane. bathine lumayan. Dhuwit silihan saka Mbah hukun wis bisa dibalikake. Lan paling ora anake wis ora perlu sangu jajan. Gendra rumangsa meri karo sisihane. Akhire uga katut tiru-tiru nyambut gawe sakecekele, waton halal. Dheweke bisa ndhadhagi yen tukang ngipuk-ipuk kesenian rakyat ing bebrayan iki during mesthi antuk panggonan murwat. Durung bisa kanggo gantungan urip. Ning isih kudu diuripi. lan sing akeh tansah setya wani ngipuk-ipuk iku rata-rata uripe during murwat.
Ing sawijining wengi Mitun isih glenikan karo Gendra. [ 89 ] “Kang, yen bisa aku arep adeg warung sega pecel ing ngarep omah. Yen kang Gendra ngidini, arep dak jenengi ‘Warung Penthul’.”
Krungu pangucape Mitun, Gendra ngambakake mripate.
“Aja ngenyek jero-jero ta Tun,” kandhane.
“Ora kang, Iki temenan. Pranyata tak rasa-rasa Penthulmu kuwi bisa ngrejekeni,”kandhane karo mesem.
Gendra ngguyu kemekelen sajak tanggap. Wengi saya nggremet ngubur lelakon sedhih. Esuke srengengene sumunar kekencaran.
Sukogolek, Mei 2000
Jaya Baya, No. 43, Minggu Pahing, 25 Juni 2000
Wis dadi padatanku saben mulih nyambut gawe sing dakjujug luwih dhisik mesthikewan. Angkahku mono engal-enggal bisa nggebyur awak, kaeben ngilangi rasa lungkrah lan lesu. Pancen wis jamak lumrahe yen aku kudu nrima dadi buruh ngelapi kuningan. Ya mung panggaweyan kuwi sing bisa daktandangi minangka anake wong cilik sing urip ing satengah-tengahe laladan home industry kuningan. Lha wong aku iki awakawak wadon, kathik ora nduwe keprigelan apa-apa. Seje maneh yen aku iki sawijining priya, ora bisa ngendelake pikiranisih bisa ngendelake okol. Dadi tukang bubut apa dene tukang selep upamane. borongane seminggu luwih satus ewu. balik aku sedinane mung bisa nganthongi dhuwit limang ewu. Cukup kanggo apa dhuwit semono kuwi? Sejatine ing pabrik rokok isih mbutuhake karyawan akeh. Aku uga wis nyoba ndhaftar. kabare ing kana njanjekake upah luwih dhuwur tinimbang panggonanku nyambut gawe. Nanging emane sing dibutuhake lulusan SMU. Sedheng aku SLTP wae ora nutug. Jaman saiki kuwi umume lulusan SMU yen ora gelem kerja kasaran, tangeh lamun bisane oleh penggawean. Terus kepriye nasibe bocah-bocah wadon sing drop out kaya aku iki?
Aku dadi ngondhok-ondhok bareng ngungak ing genuk prasasat ora ana banyu satetes-tetesa. Kamangka aku kelingan, mentas lautan mau awan dakselakake ngisi genk lan jembangan luwih dhisik. Aku dadi mangkel banget karo emakku, sing biasa ngentekake banyu. Dadi wong tuwa kok ora bisa ngregani tenagane anak!
Menawa adus wae ora ngerti kira-kira, kaya ledhenge mancur dhewe. Diarani ora ngerti, wong ya ngeri yen asale banyu kuwi dakrewangi thruthusan njaluk banyu uwong. Mulane aku gething banget nyawang barang sing jenenge klenthing! Wis jan rumangsa jeleh tenan! Jalaran ya barang kuwi sing ndadekake aku rekasa. Kumudu0kudu dakpecah wae, kareben ajur sawalang-walang mundhak nyepet-nyepeti mripat. Pendhak atiku kemrungsung, kaya ngono kuwi pikiranku. Amarga wiwit cilik nganti manya diwasa panggaweyanku pancen ngindhit klenthing! Saking kulinane nganti lakuku mekah-mekeh. Njalari dadi wadanane tangga-tangga sabarakanku. [ 91 ] Lagi wae awakku dakbrukake ing amben, aku gumregah tangi maneh. Daksawang sakiwa tenegnku, aku nembe sadhar yen adhiku si Parjo ora ana ngomah. Atiku malih was sumelang. Mengko gek melu kancakancane mincing ing kali gedhe. kedadeyan bocah mati klelep kuwi wis asring dakrungu…
Karo isih mbayangake sing ora-ora, aku mlaku setengah mlayu nggoleki Parja. Ndhilalah pas menggok tikungan meh wae aku nabrak Dhe Sih, tanggaku sing gethinge kepati-pati marang emakku. Durung nganti aku njaluk ngapura, Dhe Sih wis nrocos guneme, “Bocah wadon kok polahe gedandapan! Mbok ya sing alus sithik apa ora isa?!”
Ngapuntene Dhe…kula kesesa ajeng madosi Parja,” sumaurku groyok. Karepku mono arep enggal-enggal nglungani. Nanging durung nganti aku jumangkah, Dhe Sih nerusake omongane.
“Mulane ta….. Mbokmu ki kon ning ngomah wae ngopeni anake. Bocah isih cilik kok pijer ditinggal terus nganti ora krumatan. Kon mareni olehe edan lanangan! Wong wis tuwa kok ora ngerti tuwane!”
Sepira wirangku ora bisa dakgambarake maneh. Arep dakbantah kepriye anggonku mbantah? Kasunyatane tumindake Emakku pancen ora bener. Bisaku mung tumungkul, ora wani nyawang praupane Dhe Sih. Sinambi jumangkah ninggalake aku, dheweke kober grenengan ngalaala Emakku. Aku wis ora ngrewes maneh, gegancangan nerusake laku.
Tangis sing maune dakempet dumadakan ambrol rikala aku ngedusi parjo. Atiku dadi kelara-lara ngrasakake adhiku kang ora dikarepake kelairane iku. Wujude dadi bocah abnormal. daksawang mundhak dina awake ora mundhak lemu, nanging malah tansaya kuru. Bocah cilik igaigane kok nganti ketok nganti kaya gambangan. Wiwit lair precet nganti tumekane saiki ora tau oleh sih katresnane wong tuwaku sakloron. Sadine aku minangka sesulihe bapa-biyunge jalaran Bapak lan Emak padha mburu kasenengane dhewe-dhewe.
“Hiii…isin Mbak Parti nangis! Wis gedhe jare isih nangis…” cluluke Parjo njur disusul guyune sing nyekikik ora meneng-meneng. Aku srikutan ngelapi eluhku.
“Mulane ta….kowe ki aja nakal, sing manut karo Mbak Ti! Yen dolan cedhak-cedhak kene wae, aja adoh-adoh pituturku karo ngelus-elus rambute Parjo. Parjone mung manthuk karo isih ngguya-ngguyu. Senadyan atiku nggrantes nyawang kahane Parja sing methBocah iku disekolahake sepprana-seprene panggah pupuk bawang. Aksara wae ora apal apa maneh tulisan, mangsa ngertiya. Aku nganti judheg anggonku nyinaoni.
Dina kuwi aku bali nglenthung ora oleh garapan. Kepriye mengko yen Parjo mothah njaluk jajan? Sedhengwong tuwaku ora tau ninggali dhuwit. Lamunanku dadakan buyar rikala ana sepedha montor mandheg ing ngarep omah. Bareng dakungak, tibake emakku kang nembe mudhun [ 92 ] saka goncengane nom-noman gedhe dhuwur kanthi rambut dirembyak wates pundhak. Kok olehe ora nyebut emakku kuwi! Umur wis mlangkah patang puluh kathik nduwe brayat pisan, bisa-bisane langen asmara karo bocah sing pantes dadi anake. Patrape emakku sing ngalem marang sirsirane ndadekke aku jeleh banget! Saka rumangsane apa isih remaja putrid apa piye?
Tan kocapa, bareng emakku noleh aku sing lagi kamitenggengen nyawang dheweke njalari murinane. “Apa sing koksawang?! Wayahe mergawe malah njedhodhog ning ngomah! Bocah wedok kok kesede ora ukur!”
Dhasar aku, disrengeni kaya ngono tambah mutung, ora mingset saka panggonanku sakawit. Tanpa angkan-angkan luwih dhisik, emakku njambak rambutku nuli disendhal mayang. Aku sing ora siaga dadi tiba ngrungkebi jogan. Larane awakku ora dakrasa, luwih laraa atiku. Luwih-luwih bareng sir-sirane emmakku rewa-rewa nulungi, malah tangane grayahan mrana-mrene. Kadi dene wanita, ajining dhiirikuu rumongsa kenyonyok. tangane enggal-enggal dakkipatake lan sikilku dakanggo ndugang sakkayange. Sidane dheweke tiba glangsaran. Ngerti kahanan kaya ngono kuwi, aku gegancangan nglungani. Senadyan diunen-uneni werna-werna aku ora ngrewes. Nanging sepira kagetku bareng krungu rame-rame, emakku jedhul ora ngeloni aku anake, malah misuhi aku entek amek kurang golek. Jebul ora mlesetpangiraku! Biyungku wis ora nduweni tresna saipit-ipita marang anak-anake. DSawijining ibu sing ora umum kaya ibu-ibu liyane. Sing luwih tresna anake tinimbang awake dhewe. Dakakoni pancen emakkuu ora patut dadi tepa tuladha.
Ana unen-unen “Kacang mangsa ninggal lanjaran.” Ya unen-unen kuwi sing kerep dak rungu kanggo ngremehake aku. Nanging miturut panemuku unen-unen kuwi wis ora jumbuh karo kanyatan kang ana. Bukti kang nyata wis asring dak prangguli. Wong tuwane sholeh lan turune wong becik kepeksa nandhang wiring jalaran kagngan putra salah kedaden. Senadyan didhidhik apik, oleh kawigaten mirunggan, yen bocahe salah anggone srawung lan pinter apus karma wong tuwane bakal kecolongan. Dadine ora kena dipesthekake menawa budi pekertine anak oleh turunan saka wong tuwane. Kuwi ora kena kanggo pathokan! Semono uga aku, nadyan cetha aku anake wong ora bener, nanging aku nduweni tekad kang gilig. Wiwit aku ngerti emakku dadi leletheking njagad, nganti tekaning patiku, sabisa-bisa aku arep mlaku ing dalan kang bener…
Dina-dina terus lumaku, emakku ora gelem mareni tumindake malah tansaya ndadra. Apa maneh baapakku melu nyengkuyung. Wis makapingkaping perangkat desaaweh pepeling lan pitutur becik, nanging emane emakku pinter anggone kumbi. “Pundi buktine? Ndakwa tiyang niku kedah mawi bukti. Njenengan ampun nggega ginemane tiyang. Tiyang[ 93 ] tiyang mriki niku mboten sae. sami serik kalih kula. Pancene lambene dha torah!” mangkono kuwi semaure emakku saben dielekke. Ora tau gelem kalah karo uwong, mburu menange dhewe wae.
Jebul wirangku ora mandheg tekan semene, malah aku krungu kabar saka njaba menawa bapakku katut kedakwa sekuthon karo maling. Ana ngendi anggonku nyelehake awak? Apa perlu aku nganggo topeng? Saumpama kuwi bener, ndadekake sampurnaning kasangsaraning uripku.
Krungu rame-rame neng njaba, aku njranthal niliki. Dak deleng Bu Sosro jumeneng ing tlundhakan lagi duka-duka nutuh emakku. “Sampeyan kuwi merem apa piye ta Yu… Yu… sawangen ta … aku iki sapa… Retno iki sapa! Aku lan sampeyan ki rak wis tepung apik, durung tau tukar padu. Sampeyan ngana ngene aku ora tau melu cawe-cawe, Ngono kuwi ya ndeleng-ndleng dhisik ta. Masak mental karo tanggane dhewe.”
“Sinten sing sanjang?! Njenengan ampun waton ngucap, niku namine fitnah 1” wangsulane emakku santak sinambi mencerengi Bu Sosro. Mbak Retno sing ngadeg cekelan cagak nuli mara nyedhaki emakku, “Lik Yem ra sah mukir, wis akeh seksine! Kebangeten… tega-tegane sampeyan ngrebut Mas Har! sumambunge Mbak Retno ing sela-sela tangise. Saya suwe swasana ora saya lerem, malah tansaya panas. Ajaa Bu Sosro nglaandhang Mbak Retno mulih, padudon antarane emakku lan Mbak Retno mesthi ora bakal mendha. Kanggoku prastawa kaya ngono kuwi sateruse saya kerep kelakon. Sing jenenge wong nglarag emakku gunggunge ora bisa dieting nganggo driji…
Udan riwis-riwis lagi wae mendha, hawane adheme njekut. Wengi kui minangka wengi kang apes tumrape wong tuwaku. Seprana-seprene saben-saben tumindak maksiyat durung tau kejodheran. Aku ora ngira yen dadine kaya ngene, mleset saka petungku. Batinku mono kecekel iwake aja butheg banyune. Malah kedhisikan tekane para nom-noman sing gumrudug ngupeng omahku. Swarane pating braok mbrebegi kuping. Ketambahan tangga teparo sing nduweni pangigit-igit marang wong tuwaku melu-melu mara. Bapakku nyoba ngalang-alangi wong-wong sing meksa nggledhah omah. Aku sing nyawang saka ngisor wit gedhang dadi was sumelang. Kepriye mengko yen wong-wong kuwi padha tumindak sakarepe dhewe? Ngapa Pak Lurah bisa kedhisikan wong-wong kuwi? Kepriye Lik Sarju anggone laporan? Wis dakwanti-anti aja nganti ana tangga teparo sing krungu, malah dadine kaya ngene…
Bapakku rumangsa kuwalahen nyandhet kridhane wong-wong kuwi. Sidane lawang ngarepan kasil dibukak ngeblak. Aku ora mental nyawang emakku dilarak metu, banjur kasusul metune wong lanang papat cacahe. Wong-wong sing nonton padha saur manuk nguman-uman lan misuhi wong tuwaku sakloron. Karepe arep padha main haim dhewe. [ 94 ] Kaya dilolosi oto bayuku, nyawang emakku sing tumungkul karo nangis ngguguk nahan wirang. Bapakku mbudidaya mbantah sabisa-bisane, nanging ora ana sing ngreken. Kedadeyan iki pancen aku sing luput! Aku wis ora kuwat nyangga sikilku, wusana ndheprok njur nangis mbengor-mbengor. Tujune rombongane Pak Lurah enggal rawuh kanthi diterake Lik sarju. Tangisku rada mendha bareng Pak Lurah bisa ngleremake kahanan. Lik Sarju mrepeki aku nyoba ngarih-arih. “Wis mmenenga ta, Ti. Barang wis kebacut ora usah mbok getuni. Mbok getunana ora ana paedahe. Wis meneng! Kae Lho adhimu nangis keweden. Bocah nggoleki kowe.” Aku mung meneng wae, ora aweh wangsulan.
“Dakgawane mrene piye?” omonge Lik Sarju nari aku. Bisaku mung manthuk ngiyani.
Tuwuh sewu pitakonan jroning atiku. Apa aku klebu anak duraka? Wis mbeber wirange wong tuwane dhewe? Kepriye yen wong tuwaku nganti ngerti menawa kedadeyan iki aku sing ndhalangi? Apa wong tuwaku gelem ngapura aku? Kaamangka sawise kedadeyan iki aku nduweni rancangan candhake. Yen nganti wong tuwaku ora gelem mertobat, aku pawongan sepisanan sing bakal nglaporake wong tuwaku minangka germo peteng marang polisi. Aku ora rila nyawang kaumku sing isih lugu dilorobake didadekake barang dagangan. Semono uga yen aku ngonangi bapakku dadi maling. Nanging kepriye anggonku nerusake sedyaku? Aku ngrasa welas banget marang wong tuwaku kewirangan. Lan aku uga ngrumangsani dadi anak kang murang tata. Senadyan alaa kaya ngapa, kuwi wong twaku. Aku isih nduweni sapletik rasa tresna. Durung bisa aku males budine, malah wis wani cumantaka gawe wisuna. Ana perang ing sajroning atikuantarane rasa keduwung lan njejegake bebener. Aku nangis kelara-lara ora ngerti kudu tumindak apa. Embuh tumindakku bener apa luput ndadekake pitakon kang angel dakjawab.
Jaya Baya, No. 46, Minggu Pon, 16 Juli 2000
Dina Minggu sepi nyenyet. Udan sawengi muput nganti sakesuk mau tansaya ngrecih. Nganti bakda duhur hawane malah adhem kayakaya arep bengi meneh. Setiyadi lungguh dheleg-dheleg dhewekan ana sacedhake lawang. Atine nglangut saparan-paran. Ajaa I sih nduweni iman marang gustine, mbokmenawa dheweke wis jerit-jerit. Ya gene bapake dipundhut dhisik. Ya gene emake katitah dadi wong mlarat kesrakat, saprana-seprene uripe mung tansah buruh umbah-umbah lan nyetlika mrana mrene. kakange, yune, loro-lorone ora bisa nerusake sekolah. Saking sedhihe ora kuwat nandhang sangsaraning urip banjur padha nekat nggeblas melu transmigrasi menyang Sumatra.
Embuh wis pirang tahun anggone padha pepisahan, nganti saprene durung ana kabare. Dene, dheweke saiki bisa lulus SMU amarga pitulungane Bapak kepala sekolahe rikala sekolah dhasar mbiyen. Dhaneme SD apik mula banjur diperjuangke supaya bisa entuk dhana beaasiswa saka bapak asuh. “Mas Adi ngalamun ya?!”
Gragap, Setiadi kaget. Nurmaning Ayu putrane Bu Bakun wis cengengesan ana ngarepe.
“Wadhuh ngeget-egeti wae kowe ki!” sumaure.
Tanpa dimangakake bocah manis kenes mau wis lungguh njejeri Setiadi. Sing dijejeri malah ngedohi.
“Piye Mas, sidane? Ayo sesuk budhal bareng ndhaftar kuliah menyang Malang!”
“Nur, ya pangaapurane wae! Kowe budhala dhisik, kapan-kapan ….”
“Ora!” aloke sengol munggel ucape Setiadi.
“Lho pikiren ta, lha nek aku nerusake kuliah, banjur wragate apa? Dhengkul, pa?” sumaure setiadi manteb.
“Ngene lho, Mas, bab wragat gampang! Aku mengko rak bisa ngatur. Dhana sekolah lan transportku daktikelake. Ibu rak ora priksa. Lha kuwi mengko kanggo wong loro. Sing penting beres! Sampeyan bisa nerusake sekolah bebarengan karo aku!”
“Piye?! Ora, Nur! Aku emoh!” [ 96 ]Nurma mrengut mandeng Setiadi.
“Sampeyan iki kok aneh, kok! Dipenakake kok ora gelem! Emaneman wong sampeyan sejatine bocah pinter. Ora, ora…, wis ta, gelem ya! mangkono pangarih-arihe Nurma menyang Setiadi.
“Nur, tekadku wis gilig, ora nerusake sekolah! Aku arep nyambut gawe bae. mesakake emak saben dina gedabalan dhewe!” mangkono Setiadi aweh pangerten.
“Oooo…, ngerti aku! Smpeyan wis ngemohi aku, pa!”
“Ya aja kaya ngono ta, Nur, pandakwamu!”
Sing diajak rembugan banjur meneng. Bocah loro sawetara kaya wong blangkemen. Nurma nangis mingseg-mingseg. Setiadi nyawang ratan….
Sejatine bocah loro wis watara rong taunan iki olehe padha pacaran. Nurma bocah manis, kenes, lincah, lan nggemesake kuwi putra ontangantinge Bu Barkun. Randha sugih, sugih-sugihe wong ing ndesa kono. Tokone gedhe daleme mewah. Lan wis ora rahasia maneh, Bu Barkum uga terkenal dadi renternir. Embuh piye nalare, jaman kemajuan kaya saiki kok ya isih ana wae wong sing gelem nyilih dhuwit rentenan sing anakane njiret gulu iku.
Dene Setiadi, putra wuragile Mak Salamah bocah bagus, lugu tjhik pinter sisan. Ngelingi yen dheweke anake wong ora duwe, mula suwesuwe dheweke sadhar. Senadyan tresnane marang Nurma kaya dene tresnane Romeo and Yuliet, nanging kaya-kaya cecak nguntal klapa, tangeh lamun kelakone. Mula, alon-alon dheweke mundur alus. Mesakake Nurma yen ta dheweke ora bisa nyembadani ing tembe burine. Luwih becik yen direngkuh priya liya sing imbang. Setiadi legawa lan melu marem yen bisa nyawang Nurma urip bahagia.
“Nur, wis awan…! Mengko digoleki ibumu!” Setiadi ngelingake Nurma.
“Ya ben! Ben prisa yen aku ana kene!” sumaure Nurma nggregetake.
“Ngene bae lho Nur!Terusna kuliahmu. Aku dak nyambutgawe! Yen pancen jodho, suk-suk rak ketemu!”
Nurma ndhengengek.
“Iya, ya Mas!”
Tangane setiadi disalami mak ceg.
“Janji lho, Mas, aja lali! Wis ya aku bali.”
Nurma banjur mlayu njranthal. Sing dipamiti kaget, getun anggone keprucut ngomong mangkono mau. Setiadi saya butheg atine, bisane mung ungkep-ungkep.
Wis rong taun Setiadi nyambut gawe ana pabrik plastic. Uripe krasa marem. bayaran sepisanan ditukokake rukuh lan sajadahe emake. sabanjure telung wulan diklumpukake kanggo nggenteni gedheg omahe sing [ 97 ] meh rubuh. emake katon lemu seger. Ngibadahe tansaya kenceng. Saiki wis ora buruh umbah-umbah lan nyetlika maneh. Ganti profesi saben dina dodol jamu beras kencur lan kunir asem. Sajake ya laris, wong omahe cedhak sekolahan inpres. Meja kursine sing bobrok wis dibuwang digenteni meja kursi menjalin. Kanggone Setiadi, arepa mung sedherhana, ning “puas” jakaran asil kringete dhewe. Niyat arep kepengin nyenengnyenengake emake baka sithik wis keturutan.
Setiadi katon cepet-cepet anggone rinfgks-ringkes piranti pagaweyane. Dina kuwi rencanane arep enggal-enggal bali. Bayare wis digadhang arep dienggo tuku clana sasetel lan klambi angete emake. Pikire mengko, yen emake budhal kumpulan pengajian ben ora kadhemen.
Bebarengan karo gumruduge karyawan pabrik, Setiadi metu lawang regol, dheg…. atine kaget weruh saka kadohan katon Nurma mapag lakune.
“Nur, kok…”
Durung rampung olehe ngomong, Nurma wis nyaut nyalami tangane Setiadi.
“Mas, aku kangen!” semaure polos.
Setiadi sajak rikuh-pakewuh disawang kanca-kancane sing padha bebarengan metu saka pabrik.
“Nur, aja seru-seru, dirungokake wong!”
“Ya ben, pancen iya bae kok!” sumaure.
“Aku selak kesusu lho. Nur! Kowe mengko didukani Mas Pram!
Biasane rak dipapag mobile pacarmu ta?” aloke Setiadi kuwatir.
“Wis putus kok! Ayo, kancanana aku ngombe es jus dhisik. Aku ana perlu karo sampeyan!”
“Tangane Setiadi digandheng menyang depot es ngarep pabrik. Sinambi ngenteni ese, bocah loro iku ngethupruk. Nurma ngethipris critane prasasat ora ana titik komane. Sing dijak ngomong mung monthakmanthuk ngiyani.
“Mas, D2 ku wis lulus!”
“Wah, selamat ya!” Setiadi nyalami tangane Nurma kenceng.
“Trims!” semaure Nurma kanthi mmesem, sajak kelegan.
“Dhek malem Minggu kepungkur Bapak lan ibune Mas Pram nglamar aku!”
“Haaa…!” Setiadi kaget.
“Sik ta Mas, aku dak crita dhisik! Ndilalah bareng etung-etungan, kesatuane dina kelairanku lan mas Pram, ibuku lan wong tuwane kok njur ora wani. Dhawuhe Ibu jare tiba “Gehing” aku Sabtu Pahing, Mas Pram Sabtu Wage. Sabtu ketemu Sabtu dhawuhe ya ala!:”
“Terus piye kaputusane?” pitakone Setiadi.
“Ya wurung! Aku sing seneng banget. Embuh kono!” aloke nurma. [ 98 ] “Seneng pa seneng?! Lha kowe nek dhong lendhetan pundhake Mas Pram ana mobile kae jan mesra ngono kok!” aloke Setiadi mbeda. Sing dibeda nesu njur njiwit Setiadi.
“Yakin, sumpah tenan kok, Mas! Wong huuireng, huueelekkk ngono kok!” sumaure.
“Ning rak sugiiiihhhh…!” Setiadi mbeda maneh. “Lha mula kuwi, Mas, aku gelem rak mung mbikin dheweke! Aku mung niyat ngerog dhuwite!” mangkono karo nuuduhake kartu tabanas.
Setiadi kaget weruh patrape Nurma mau.
“Semprul kowe Nur! Aja ngono bocah wadon ora becik!”
“Ben kapok! Saiki wurung pisan! Kathik bae!” sumaure Nurma kayakaya ora rumangsa dosa.
“Terus, saiki? pitakone Setiadi.
“Aku nyuwun pirsa Ibu, kesatuane salaki rabi iku sing apik kepiye?
Dhawuhe Ibu, ya yen bisa ketemua nabtu pitulikur. Sing ateges, yen aku sabtu pahing, sisihanku ya kudune Senin Legi. mengko tiba “berkat utawa rejeki.”
Setiadi meneng, gagasane ngambra-ambra. Kamangka sapranasaprene dheweke ora ngerti dina kelairane iku dina apa…
“Mas, Mak saalamah mbok enggal aturana tindak menyang Ibu, bae!”
“perlune?” pitakone Setiadi.
“Ya… nglamar!”
“Hemmm….dakpikire dhisik!” Setiadi unjal ambegan. “Saiki rak ulang tahun sampeyan ta Mas? Ayo dipengeti kanthi seneng-seneng.Nyang Matahari!
Setiadi nyawang Nurma. Kagawa atine sing pancen yaw is kangen temenan mula dheweke mung ngiyani. Bocah loro metu saka dhepot, runtung-runtung menyang super market.
Angen-angene Setiadi sing arep tuku clana sasetel lan mantele emake buyar! Wis rong tahun anggone nginggati Nurma, ndilalah, didohi malah saya mancep ning telenging ati.
“Dhuh Gusti… mangkono pambisiking atine.
Tekan “Matahari”, Nurma njujug larikan klambi lanang. Milang-miling banjur njupuk hem biru enom. kanthi ulat sumringah, hem ditemplekake dhadhane Setiadi, karo alok, “Siippp, pantes!!”
Setiadi mesem. Wong loro banjur menyang larikan clana. Nurma milih clana wol werna biru tuwa setengah ijo. Gunggunge wong loro tuku clanane Setiadi sasetel, klambine Mak Salamah, roti donat lan emping mlinjo. Bareng arep mbayar menyang kasir, Setiadi ngrogoh sak ngetokake dhompet. Dhompet disaut Nurma.
“Ora, dhuwitku bae!” aloke Nurma.
“Nur, dhuwit saka Mas Pram, ya! Aja! Dhuwit haram, kuwi!” [ 99 ]“Ngenyek! dhuwitku dhewe, kok!” sumaure Nurma mlerok!”
Bocah loro tekan ngomah jam 20.40. Mak Salamah lungguh tenguktenguk ngenteni tekane anak lanang. Weruh bocah loro runtung-runtung karo uluk salam, atine wong tuwa mau kumesar.
“Lho Le, kok nganti yah mene? pitakone Mak Salamah.
Nurma sungkem karo matur, “Nyuwun pangapunten Mak! Punika kala wau Mas Adi kula suwun ngeteraken kula dhateng Matahari.”
“Oo, mboten punapa-punapa, Ning,” mangkono sumaure mak Salamah.
Nurma banjur enggal-enggal nyuwun pamit.
“Wani, Nur, bali dhewe?” pitakone Setiadi.
“Wani! Wis ya…matur nuwun!” sumaure Nurma. Setiadi lane make nyawang Nurma. Wong loro mendhem pangrasane dhewe-dhewe. bareng mlebu omah emake alok.
“Le, kowe kuwi piye ta! Aja wani-wani runtang-runtung karo Ning Norma! Dhek Minggu kae kabare wis dilamar Gus Pramana! Biyuh-biyuh mengko nek pirsa Bu Barkun gek piye?”
“Iya-iya… sabar! Kene ta sik, ayo dha lungguhan sinambi mangan oleh-olehe!”
Temenan, Di! wis bola-bali kowe dak elikake! Ning Nurma ki putrane priyayi sugih! Balik aku lan kowe, mung apa! Golek pasangan iku mbok sing sapadha-papdha bae! Di anakku…. kowe ki nek ora manut emak arep manut sapa?’ mangkono pituture emake.
Setiadi mesem.
“Kapan ta Mak aku ora manut sampeyan?!”
“Lho mau kowe runtang-runtung maneh karo Ning Nurma!”
“Sik ta Mak, aku dak terus terang, ya!”
“Terus erang apa?!” pitakone emake cekak.
“Lamarane Mas Pram dhek Minggu kae kepeksa batal, ditolak. Jare Nurma kesatuane tiba gehing. Dina kelairane tiba Sabtu, dadi diwurungake!”
“Mosok,” Emake mlenggong.
“Mak, mak jane kelairanku ki dina apa ta?” pitakone Setiadi.
“Nek kowe ya Senen Pon,” sumaure emake.
“Mak, Mak, jare Nurma. Bu Barkun gampang kok! Jodhone Nurma ki Senen Legi. Dadi sapa bae sing nglamar, pokok kelairane Senen Legi ya ditampa. Kesatuane dina ketemu pitulikur, kelairane tiba “berkah”, saben dina uripe tansah nyandhang rejeki!”
Mak Salamah ngguyu.
“Kowe kuwi lo Di….Di kok le genah!”
“Temenan kok Mak!”
Wong loro padha meneng-menengan .
“Le, njur sing mbok karepke piye?” pitakone Emake. [ 100 ]“Terus terang ya Mak, sejatine Nurma iki wis ora kena dakpisahake, Embuh kok mengkono, aku ya ora ngerti Nek Emak nglamar rak gelem, ta? Ya matura yen kelairanku Senin Legi!”
“Ooo…alaah, Le kok abot temen sanggane wong tuwa iki!” Mangkono sambate Emake.
“Mak, Mak coba sawangen ta! Tinimbang Mas Pram, baguse rak…
“Huuusss, bagus thok! Ora dhuwe dhuwit, wooo!”
Sidane abot entheng Mak salamah banjur nglamar Nurma menyang Bu Barkun.
Ringkesing crita, panglamare Mak salamah ditampa kanthi tangan loro. Bu Barkun wis sreg penggalihe. Kesatuane calon panganten lanang lan wadon ketemu pitulikur. Dina kelairane ketemu Sabtu lan Senen, tiba “berkah”. Mula arep ngenteni apa maneh, ora let suwe bocah loro banjur enggal didhaupake….
Wis meh setahun Setiadi urip bebrayan karo Nurma. Saiki Setiadi ora nyambut gawe ana pabrik plastic maneh. Saben dinane nunggu took karo Nurma. Uripe katon rukun, tentrem, lan bahagia. Apa maneh kandhutane Nurma wis ngancik rong sasi.
Esuk-esuk Setiadi klendhang-klendhang saka kulon arep menyang Emake.
“Kok esuk, Le! Lha endi bojomu?! pitakone Mak Salamah sing saiki ora dodol jamu maneh, ning dadi dodol sega pecel.
“Iki mau sambate ngelu, Mak! Aku bungkusna sega pecel lawuh mendhol, telung bungkus!”
Durung rampung anggone ngedoli ndadak keprungu, “Tulung… tuluungg…!
Setiadi mlayu njranthal. Toko lan daleme Bu Barkun kobongan. Geni mulat-mulat cepet banget. Setiadi nerjang geni mbopong Nurma sing wis semaput. Wong sekampung mak reg padha aweh pitulungan.
Meh telung jam geni lagi bisa diatasi. Blanwir saka Malang sing aweh pitulungan. Toko dalah daleme Bu Barkun entek ludhes. Bu Barkun seda. Nurma tatu abot, dirawat ana RSU. Tangga teparo padha ngelingake Setiadi supaya njaga Nurma. Mak Salamah lan tangga teparo ngramut layone Bu Barkun.
Ing rumah sakit umum, Setiadi nangis ngguguk ngrangkul bojone.
“Dhuh, Dhik Nur, sing gedhe pangapurane, ya! Aku dosa, banget marang sliramu! Kabeh lelakon iki amarga saka dosaku!”
“Oraaa…oraa.. Mas! Ora ana sing dosa…! Kabeh wis ginaris… kaya mangkene…!”
Nurma mangsuli alon kanti kasendhat-sendhat. [ 101 ]“Dhik Nur, mangertenana, sejatine kelairanku dudu Senin Legi. Nanging Senin Pon. Apa ya iki bendune Gusti merga saka anggonku ngapusi Bu Barkun lan slirane! Saiki slirane sing nandhang sangsara!”
“Mas,… aja … ngendikan…kaya..mangkono…! Aku wis marem dadi sisihan panjenengan…Mangertenana ya Mas sejatine aku iki dudu putrane Bu Barkun piyambak!!” Nurma unjal ambegan, luhe dleweran.
“Dhuh…Dhik Nur…, Dhik Nur…!!!” Setiadi saya kenceng anggone ngrangkul.
“Masss…, aku iki wong …embuh…! Mbokmenawa bae anake wong kere…sing wis ora kuwat ngingoni aku… mula banjur dibuwang nganti ditemu Bu Barkun. Bisa uga…aku iki anake wong lanang ugal-ugalan.
Bareng ibuku ngandhut, bapakku minggat ora tangung jawab. Kirakira ibuku banjur wirang…aku banjur dibuwang…!! Nanging …, nanging. Mas…,aku isih muji syukur… aku…isih nduweni panjenengan. Bojoku…sing… banget daktresnani…
Aku isih nduweni Mak Salamah sing tresnane menyang… aku… ngluwihi wong tuwaku dhewe. Mas aku aja ditinggal ya!”
Setiadi ngusapi eluhe Nurma. Gantilaning atine iku bola-bali diarasi. Banget panarimane marang Gusti, dene Nurma wis dadi johone.
Jaya Baya, No. 48, Minggu Pahing, 30 Juli 2000
Lagi saiki aku bisa nggagas kandhane wong-wong menawa sawise bebojoan wong lanang banjur lali marang kulawargane iku amarga sing wadon nguwasani sing lanang. Nanging iku during mesthi yen bener. Biyen mono aku bisa ngiyani, nanging saiki bareng aku nyipati dhewe, bisa mencak-mencak menawa ana kan celathu kaya ngono iku.
Embuh wis kaping pira olehku akon bojoku bali, niliki wong tuwane ing desa wulan iki. nanging dheweke tansah wangsulan menawa lagi gelem bali yen aku gelem melu. Ya iki perkarane. Aku durung duwe cukup kewanen kanggo ketemu maratuwaku. Menawa kudu ngenteni thukule kewanen sajroning atiku, taun ngarep wae during karuwan bojoku bisa bali.
“Mbok bojomu kae dikandhani, yen nyan dhang iku sing wangun, kareben aja ngisin-isini aku.” Mengkono celathune Ibu maratuwa marang bojoku sawijining dina sawise ngundhuh mantu, ya sing jenenge aku iki.
Aku mung unjal ambegan ing njero kamar. Embuh kepriye karepe. Yen ngrasani kok aku sing dirasani barang dijarne bisa melu krungu. Apa arep alok nanging ora kepenak amarga aku wong anyar?
Hhh…Aku mung mecucu nalika bojoku mlebu kamar lan ngomongake apa kang dikandhakake ibun marang aku.
Telung dina urip bebarengan keluwargane bojoku mujudake dina kang kebak siksa. sapolah ingkahku tansah kleru saengga aku rumangsa tindak-tandukku diawasi dening wong liya. Wong kanga rep golek cacade awakku. Untung mung telung dina aku ana kana lan sawise iku aku bali ing kuthaku. Lega….
Aku wis lali kedadeyan kang ora menaki ati kuwi nalika ana sawijining wigati ing omahe maratuwaku. kanthi rasa bungah amarga aku pancen seneng dolan, mlaku-mlaku ing padesan aku teka ing kana. Pranyata maratuwaku pangah kaya dhek semana. Aku kleru amarga ora gelem ndhisiki cecaturan karo mantune kang luwih tuwa. Aku kleru amarga sandhanganku ora wangun dianggo mantune sawijining priyayi ing kana. Lan kleru-kleru liya kang kanggoku ora klebu ing akal…. [ 103 ]Kaya arep pecah rasane dhadhaku rikala iku. Manawa nuruti ati mono aku kepengin ndang bali. Nanging daksareh-sarehake ati iki. Ing sisihku ana bojoku sing kudu dakjaga uga pangrasane. mula sanadyan mengkap-mengkap rasane ati, aku mung meneng narima….
Aku rumangsa Manawa pancn tekaku ing keluwarga kene ora dadi atine wong tuwa apadene sedulur-sedulure bojoku. Aku anak mantu kang ora dikarepake. Mbuh kepriye jalarane. Mbokmenawa amarga aku ora klebu wong wadon kang ayu. Beda karo amntu-mantu liyane. Wis ngono, wong tuwaku dhewe uga ora klebu wong cukup. dadi menawa tangkepe keluwargane bojoku ora nyenengake ya lumrah wae. Mesthine rak ya gela ta, anake lanang, sedulure lanang kang digadhang-gadhang jebul mung entuk pasangan kaya ngene….
Wis kawit biyen aku ngerti bab iki. Maneka warna pepalang tansah ngadhang anggonku mbangun katresnan. nanging, mbokmenawa pancen jodho saengga kabeh bisa katerjang lan pungkasane aku bisa ijab karo bojoku iku. kepriyea wae aku kudu tetep matur nuwun marang maratuaku. Awit senadyan ora pati sarujuk, sidane aku kelakon dadi mantune. lan tanpa panggulawentahe bojoku ora bakal bisa dadi kaya ngene. Dadi pawongan kang mongkogake tumrap sisihane.
Hhh… senadyan ngono meksa atiku iki keranta-ranta amarga tangkepe maratuwaku iku. Eleka kaya ngapa aku iki ya manungsa. Padha karo mantu liya. Aku ora njaluk ditresnani kaya dene mantu liyane. Naning aku uga emoh yen dicacad lan tansah digunem kaya ngene. Sajake aku iku kok dianggep mung kaya regedan kang kudu disingkang-singkang lan prasasat ora ana panggonan liya kejaba jugangan.
Tekan omah ora bisa dakdhelikake maneh pangrasaku. Luh kang dakampet wiwit ana omahe maratuwaku pating brudhul metu. Luh laraning rasa tatuning ati.
“Sakarepe, ibumu arep nggemateni mantu liyane, aku ora bakal cawecawe. kuwi urusane. Nanging aku aja dikorbanake. Menawa kaya ngene iki kepriye aku bisa nresnani ibumu kayaa dene nnresnani ibuku dhewe? Ibu ngaya wara…Aku ngguguk ing peturon. ngesok sakabehing pangrasa marang bojoku.
Ing sandhingku, bojoku mung dhelog-dhelog.
“Wis, aku ora perlu mara. Kanggo apa? Aku teka nglegakake awit angel golek wektu sela. butuh ragad, butuh tenaga. jebul mung kaya ngono entuke. kanggo apa? kedharang-dharang teka, bali mung gawa lara,” kandhaku mbacutake.
Amem! mung keprungu suwara sesenggrukanku kala-kala.
“Aja maneh kowe. Aku dhewe wae ora dianggep dening wong tuwaku kok.’ [ 104 ]Bojoku wong lanang kang sabar lan kebak pangerten sangertiku, Saiki dakpethuki mbrebes mili. Oalah jebul dheweke uga nyimpen laraning ati. Dakruket kenceng wong lanang ing sandhingku iku. Lan ing dhadhane daksok sakabehing pangrasa iki.
Nganti sawetara suwene aku apadene dheweke padha tetangisan. Sawise mendha dakranggeh kacu ing pinggir meja lan kanthi kebak pangati-ati, daklapi luh kang dleweran ing pipiku lan pipine.
“Terus priye? sesuk arep bali apa ora? pitakonku lirih, kelingan menawa sesuk maratuwaku duwe gawe.
“Ora usah. Yen kowe ora gelem mara, aku ya ora perlu mrana.”
“Lho yen aku mono rak mung mantu, ta. Lha kowe rak anake. Priyepriyea wong ya wong tuwa.”
Hhh. Mung angluh kang dakrungu. Wengi saya sepi. Suwara jangkrik ngerik saya nambahi tintrime ati.
“Ngapa ngalamun?”
Aku noleh. Bojoku jumangkah nyedhaki banjur ngulungake the segelas marang aku.
“Matur nuwun,” kandhaku sinambi nampani.
“Ana apa?”
Aku mesem. “Ora.” wangsulanku nyoba nggorohi dheweke.
“Ora apa, he? Apa sing ngribedi pikiranmu? Perkara aku ora gelem bali?”
Aku ora mangsuli. mung ndhungkluk kluk. Sarwa prekewuh. Menawa dakiyani, kuwatir bojoku mangkel, nesu. Menawa selak, cetha aku ora bisa golek pawadan liya.
“Ni,” bojoku jengkeng ing ngarepku sinambi ndhekep tanganku. “Biyen awake dhewe wis tau prasetya bakal ngadhepi ruwet rentenge urip iki wong loro ta?”
Brebel. Ujug-ujug luhku wis mili. Kasunyatan menawa bebojoanku karo wong lanang ing ngarepku iku ora dadi karepe maratuwaku tansah nuwuhake tatuning ati. Sajerone batin aku kepengin banget sesambungan kanthi bcik karo keluwargane maratuwaku iki, kaya dene kanca-kanca liyane. nanging, menawa kudu kaya ngene kang dumadi marang awakku, aku ora kena nggetuni. Apa kang daklakoni iki wis dadi pilihanku. Mula apa wae kang dumadi, aku bakal ngadhepi. “Terus?”
“Wiwit ngantepi urip karo kowe, aku wis sedhiya-sedhiya apa wae resikone. Aku kepengin mbuktekake, pilihanku iki bener,” kandhane bojoku mantep. “Aku butuh kowe kanggo njejegake kapercayanku. Hm?”
Gregah aku ngadeg. Ngekep wong lanang ing ngarepku. [ 105 ]Atiku krasa mantep ngadhepi urip kang gumelar ing ngarep. kinanthenan wong lanang ing sandhingku iki, kabeh bakal dadi padhang. Perkara maratuwa ora perlu digagas jero. menawa tali katresnan antarane aku lan bojoku pengkuh, sengara ana wong liya bisa medhotake.
Senadyan mengkono, kepriye wae aku kudu ngaturake panuwun marang wong tuwane bojoku. Awit tanpa panggulawentahe ora bakal dakpethuki wong lanang kaya bojoku iki.***
Jaya Baya, No. 47 Minggu Kliwon, 23 Juli 2000
Suroto misuh-misuh jalaran mau bengi dhisele ilang ana tegal. Dhisel lagi dipasang kanggo ngompa banyu ngge leb jagung ndadak dicolong maling. Mangka jagunge durung wareg….
“Bajingan! Maling kurang ajar! Kapan kapan yen konangan sida dakpendhem urip-uripan!” Ngono grundelane karo kang Mukhid, tanggane nggarap tegal.
Kang Mukhid nambahi, “Sing nyolong dhielmu kuwi jare wong Brang etan To, kandhane cah-cah sing saben mbengi cangkruk jaga na gerdhu tapel wates.”
“Gene yen ngerti kok ran dang dicekel njur digebugi, kareben klenger?”
“Sak jane wis telung bengi leh ndedhepi. Warso weruh cah gondrong sing jenenge katemo ka brang etan klimpang-klimpung na desa kene. nanging piye olehe arep nyekel, wong ora ana buktine.”
“Pancene mono wong jaga karo malinge isih pinter malinge. Nglena. Mengko yen sing padha jaga mubeng nalor, malinge ngidul. Yen sing jaga ngetan, malinge ngulon. “
Wong sadesa kendhal dina iku umyeg ngomongake Suroto sing kelangan dhisel. warunge sadiyo kaya biasane kebak wong sing padha arep nyang tegal. Werna-werna sing diomongke, wiwit perkara GusDur, Ibu Mega, nganti tekan krismon sing berkepanjangan. Akeh rampog, akeh copet, akeh jambret, begal, kecu, tukang apus-apus, lan maling…
“Mau bengi dhisele Suroto ilang,” kandhane Sadiyo sing duwe warung sinambi ngudhegi wedang gula bubuk pesenane sing –adha cangkruk.
Warimin nambahi informasi, “Saiki pancen usum maling Guk Yo, Waridi wingenane kapan kae ya kemalingan.”
Padmo takon, “Sing kenek, napa Lik?”
“Ala-laa, ora mingsra. Kompa, Le. Kompa dragon sing dipasang ana mburi omah, lali ora dilebokake. Amblas!”
Padmo banjur crita, “Nggene Pak Guru Dakir dhek malem minggu nika nggih kebobolan. Malinge lewat cendhela. nanging sajake malinge [ 107 ]niku taksih jireh, Lik. Mosok sepedha motor kantun nuntun, TV warna nggih kari ngangkat, federal nggih wonten. Nanging sing dipendhet niku lha kok ming dhuwit pitung atus skeet.”
“Pitung atus skeet ewu?” pitakone sadiya sing duwe warung.
“Enggih ta, mosok pitung atus rupiah, ngge napa!”
Suroto sing kelangan dhisel teka, bebarengan karo Kang Mukhid.
“Kene, kene To…” Warimin mbagekake.
“Piye? Sida ilang tenan dhiselmu?”
“Ilang! Trah maling bajingan tengik kok, Jagungku durung wareg je! Lagi tak leb sawengi, dhisele dicolong maling!”
“Kopi Guk Yo,” kandhane Kang Mukhid karo mapan jigang ana dhingklik, “Suroto gawekno pisan, legi pait.”
Beluk rokok katon kumelun, kaya dhiyang. Sawise nyruput wedang kopine, Padmo kandha, “Dhukunane Mbah mangun Mbata, sajake mandi tenan. Wiwit usum maling iki Mbah Mangun rak nate kandha marang Jiwo...sing ngati-ati lho Wo, kandhane. Saiki akeh maling, yen ndhisel bengi tungganana. Mula saben ndisel, Jiwo banjur njaga sewengi natas ana tegal. E, keri-keri lha kok dhisele Suroto sing ilang.”
Sadiyo sing duwe warung ngimbuhi, “Pancen tenan kok, Mbah Mangun dhek kapan kae nate mbedhek… Bengi kapan kae Pak Guru Dakir yaw is diwanti-wanti. Cendhela sing kacane pecah ditabrak bal volley kudu ndang diganti kaca. Aja mung diteplok triplek, mengko mundhak dibobol maling. Ora suwe njur kebobolan tenan.”
“Dhek malem Wage kepungkur, jare …Sunar ya kelangan,” info anyar saka Padmo. Suroto takon, “Sadurunge kelangan, Sunar yaw is dikandhani dening Mbah mangun. Nek simpen jagung aja neng bale desa. Mengko lek disaba maling ra ana sing njaga. Lha… ora lidok jagunge ilang limang sak.”
Kang Mukhid ngegongi, salahe sunar dhewe! Wis dikandhani ngono kok ra nggatekne.” Warimin ketarik karo critane Padmo, baab dhukunane Mbah Mangun. “Pa tenant a, Le? Omongane Mbah Mangun iku mandi?”
“Leres kok, Lik Masiyo nggene Pak Dhe Sarno sing kemalingan tip nika, sak derange nggih pun disanjangi dening Mbah Mangun.”
“Nek kandha piye?” Warimin ndhedhes.
“No, awas lho! Ngoten sanjange. Bengi mengko lek manut etunganku, maling sing arep ngrusuhi desa kene, ngincer omahmu.”
Warimin manthuk-manthuk. Padmo neruske omongane, “Milakna sakniki rak kathah tiyang nedhi pageran teng nggene Mbah Mangun. Waah, nggih renes. Onten sing nyukani gula-kopi, onten sing nggawanggawa gedhang salirang, enten sing naming nyukani arta…”
Kang Mukhid nyelani, “Jare cah-cah jaga, malinge ki, cah brang wetan, rambute gondrong. Pa bener ta, Mo?” [ 108 ]“Uh-uh niku rak terose lare-lare. Nek kula nggih boten wani ngarani tiyang, wong ora ana buktine.”
“Jare cah-cah jaga ki, wong kuwi saben dina klimpang klimpeng wae na desa kene.”
“Mesthi mawon klimpang-klimpeng, won lare niku rak pacare yoga sampeyan.”
Kang Mukhid njombak.
“Siti? Pacare Siti?”
“Lha enggih, sinten malih?”
“Bocah raurus!”
“Lha kenging napa ta, Lik Mukhid. Tiyang pun sami agenge, tur sajake nggih pun sami remene.”
“Aku ki malah ra ngereti je, Mo! Apa maneh, ila-ilane Mbah buyut, canggah-wareng, udheg-udheg gantung siwur, wiwit kuna-makuna biyen, wong brang kulon iku ra oleh besanan karo wong brang wetan. Jar era apik. Contone ki yaw is akeh. Kaya jenate Lasimin kae, dituturi aja rabi karo cah brang etan, dheweke mempeng wae. Lha ra wurung nemahi cilaka. Mati tabrakan sepedha montor. Cah loro sakpresan ora ngukub!”
Suroto sing mentas kelangan dhisel takon marang Padmo, “Mo, upama aku njaluk pageran nyang omahe Mbah mangun no, piye?”
“Mangga mawon. Pancen mandi kok dhukunane Mbah Mangun kuwi Kang. Sampeyan kelingan nalika Lik Tarji kelangan dhuwit setoran brambang? Sakdurunge yaw is dielingake dening Mbah Mangun. Malem Jemuwah Kliwon kudu sing betah melek. Omahmu arep disaba maling. E. kira-kira Lik Tarji kelalen. Isih sore wong saomah wis padha ngantuk kabeh. Kira-kira ketaman sirep begananda. Lha…temenan, dhuwit pitung yuta amblas dipangan embloh!”
Kang Mukhid sing oleh laporan menawa Siti, anake, pacaran karo cah gondrong sing didakwa maling saka brang etan iku, uga ketarik pengin njaluk pageran omah marang Mbah Mangun. “Ayo ta, To…, mengko sore sowan. Wadhuh-dhuh sowan. Njaluk tulung Mbah Mangun supaya diwenehi syarat sarana nggo pageran omah.”
Temenan, sorene, Kang Mukhid karo suroto sowan menyang daleme Mbah Dhukun. Putune Mbah Dhukun, sing jenenge Sampir, mbagekake tamu-tamune. Pancen akeh tenan tamune Mbah Mangun iku. Malah ana sing teka saka kutha liya. Ana sing nggawa-ngawa kaya ta nggawa klapa, gedhang, beras, gulakopi, rokok, kembang telon. menyan, lan sapanunggale. kabeh padha butuh nyarawidekake awake lan njaluk pageran omah supaya kalis saka sambekala.
Sawise antri gilir gumanti, Suroto wayahe ngadhep. Mbah Mangun kandha, “Kowe njaluk apa?! [ 109 ]“Kula nedhi pageran griya, Mbah. Kaliyan nedhi tulung. Wau dalu kula kelangan dhisel. Nek saged dos pundi carane supados dhisel kula kepanggih malih.”
Mbah Mangun ngobong menyan. Umik-umik sedhela, banjur kandha, “Nyoh, iki sarat pageran omah, penddhemen tengahe latar. Dene, pperkara dhiselmu ilang, luwih becik diekhlaske wae. Kuwi bakal dadi tebusane awak, rejekine bakal akeh ing dina mburi.”
Suroto marem. Sabanjure genti kang Mukhid.
“Iki rak Mukhid, ta?”
“Nggih Mbah, kula nggih nedhi pagerane omah, kersane mboten disaba maling. Kaliyan malih, kula nedhi tulung supados anak kula Siti pedhot kaliyan pacare. Amargi terose lare-lare niku, Siti pacaran kalih lare brang etan. Mangka ila-ilane tiyang kuna riyin, desa ngriki boten angsal besanan kaliyan tiyang brang etan.”
“Ya ya ya…Entenana sedhela.”
Mbah Mangun ngobong menyan maneh. Umik-umik sedhela, banjur kandha, “Wah gawat! Nyoh iki dhisik tampanana. Pagean omah, dipendhem tengahe latar, njur, kowe kudu sing ngati-ati. Yen ora salah suk malem minggu kowe bakal kemalingan. Sing ati-ati lho ya? Cegah lek. Yen pelu, cah-cah enom kon njaga omahmu.”
“Nggih Mbah Maturnuwun. Niki kangge Mbah!” kandhane mukhid karo ngulungake amplop isi dhuwit sepuluh ewu.
Tekan njaba ketemu anake Warimin, kang Mukhid takon, “Lho kowe ta iki mau Jas? Apa kowe mau ya mari njaluk tulung Mbah Mangun?”
“Enggih. Kula sadermi dikengken Pak.”
“Kok ora Pakmu dhewe sing mara?”
“Pak nembe leb teng tegil.”
“Dikandhani apa kowe mau karo Mbah Mangun?”
“Criyose Mbah Mangun, mangke dalu badhe onten maling saba nggen kula.”
“Wah sing ngati-ati kuwi! Kandhane Mbah mangun iki pancen titis lho. Cah-cah enom kanca-kancamu kudu jaga. Didhedhepi wae malinge. Nanging yen jaga aja ngetarani, malinge mundhak wedi.”
Warimin dikandhani anake Manawa mengko bengi, jare Mbah Mangun arep ana maling. Warimin nyiapake pemudha-pemudha sadesa kanggo jaga. Temenan, bengi kuwi hawane atis. tengah wengi sing padha jaga wis krasa ngantuk. Kena sirep begananda, salok katon wis padha KO. Warimin ndepipis ana ngisor gedhang, dikancani cah nom-noman papat.
Ora suwe banjur padha weruh ana maling temenan. Bareng ngerti manawa sing jaga padha jagongan ana wetan ngomah, malinge banjur mincing swasana…. [ 110 ]Ora suwe, saka kulon omah Padmo mlayu-mlayu karo mbengok, “Maling! Maling! mandheg! Malinge ngalor!”
Sanalika cah-cah siskamling padha pating bleber nguyak maling.
Warimin karo cah nom-noman papat mau ngerti. Mula kabeh padha ndhepipis panggah ana ngisor gedhang. Bareng sing padha jaga wis entek, marga padha mlayu ngalor, malinge sing temenan wiwit nyedhaki ngiringan omah.
Kanthi piranti linggis, cendhela omahe Warimin dicukitl. Warimin aweh sasmita marang cah nom-noman papat supaya wiwit nyekel malinge.
Maling arep mlayu, nanging wis kedhisikan penthunge cah nomnoman papat mau. Sida remuk! Sambate ngaruara, njaluk sepura. Bareng maling digeret menyang nggon sing padhang, jebul… Sampir, putune Mbah Mangun.
“Hayo! ngakua, sapa kancamu?” Warimin ngacungake penthunge. Sampir kandha, “Padmo….”
Esuke, Padmo karo Sampir digawa menyang kelurahan.
Wayah Malem Minggu, Kang Mukhid ora sida melekan jalaran desane wis aman. Malinge jebul putune dhukune dhewe.
Mulakno, omongane Mbah Mangun mesthi titis terus, lha wong pancen dhalange!
Sawengi natas wong sak omah padha turu angler. Nanging bareng wayah bangun esuk, Kang Mukhid cluluk, “Wah, sida kemalingan tenan, Mbokmu…”
“Sing ilang apa, kang?”
“Lho …lemarine Siti kok mbukak! Jenddhela kamar iki ya mbukak?”
“Ning, jendhelane kok ra rusak?”
Mbok Mukhid terus nyeluk anake, Siti, sing biasane tangi esuk wis korah-korah ana sumur.
“Tiii, Siiti! Mreneya dhisik, Ndhuk!”
Nanging sing diceluk ora sumaur. Pisan pindho diceluk, ora ana mara. Digoleki ubeg ana kamar, pawon, jedhing, WC, ya ora ana….
E, senadyan dhukune wis ketongek, kejodheran lan konangan wewadine, jebul isih ana omongane sing mandi. Kang Mukhid malem Minggu sida kemalingan. Sing ilang Siti, anake wedok, digondhol maling menyang brang etan….
Jaya Baya, No. 49, Minggu wage, 6 Agustus 2000
Giyem prawan desa ireng manis kuwi, sidane diboyong sing lanang menyang kutha sawise ngantenan. Bareng ana kutha rambute dipotong cendhak modhel Dewi More lan nganggo rok. Menawa nitik dandanane lan tindak-tanduke wis ora ngira yen Giyem maune prawan ndesa. Mung lugune sing ora bisa ditinggal. Ning bab iki dudu salahe Giyem. Uga watege sing anteng lan ora seneng nangga iku gawan saka lair. Amarga saka lugune kuwi, Pujo kesengsem marang Giyem, njur dadi bojone nganti seprene. Pujo wis jeleh pacaran karo prawan kutha. Bola-bali pedhot. Alesane werna-werna. Ana sing amarga ora setiya, ora blaka, ora nurut, malah ana sing wani marang wong lanang. Embuh ‘ora apa’ maneh. Mula golek prawan ndesa wae sing ora kena ‘polusi’. Ngono kandhane Pujo yen dhong crita karo kanca-kancane.
Anggone bebojoan bathi anak loro. Bocahe lucu-lucu lan sehat. Kaya sehate rumah tanggane. Katentreman bebrayane sing nir samekala iku, awit Giyem duwe cara mligi kanggo nglestarekake.Yen ana panggodha sing diahdepi tumrap Giyem gampang nggone nulak. Prasasat tulak sawan bali ndalan tenan. Mula tangga teparone padha gumun. Anggone sabar, ora keguh marang samubarang sing dirungu bab kelakuane sing lanang. Nate crita yen dheweke duwe paugeran mengkono saka simbokne nalika arep diboyong menyang kutha.
“Yem ..., wong jejodhoan kuwi luwih becik sing lugu wae. Ing kutha akeh wong wadon sing sok nyampuri urusane brayat liya. Apa maneh yen ngerti ana brayat sing katone tentrem rahayu. Mesthi akeh sing meri. Lumrahe banjur ana wae pokal gawene. Iku mbuktekake yen bebrayne dhewe morat-marit. Dadi seneng yen ana brayat liyane sing rusak. Utamane yen ana wong wadon sing ngandhakake alane bojomu. Aja kok percaya. Goleka bukti nyatane dhisik. Pokoke yen ora weruh dhewe aja mbok gugu omongane.
Amarga paugeran mau Giyem tansah sabar lan ora keguh marang palaporane sapa wae. Nganti tangga teparone lan kancane jeleh ngandhani. Kanggone Pujo malah kebeneran. Saya kementhus anggone pamer [ 112 ]marang kanca-kancane, yen bojone iku ora ana tandhingane ing sajagad rat.
“Aku emoh dadi wong lanang sing kalah karo wong wadon. Kudu bebas. Delengen aku tumindak apa wae bojoku ora tau nesu, lan ora tau nglarang,” ngono sumbare Pujo saben ngandhani kancane sing ora gelem dijak serong.
Sawijining dina Giyem ketemu tanggane nunggal RT ing pasar.
“Yem, ngati-ati lho karo Atik, randha enom cedhak omahmu!”
“Ngapa, ta?”
“Lho, kowe ki piye ta? Wong sa-RT wis padha ngerti kabeh yen kabare bojomu kuwi dhemenan karo Atik, jare!”
“Kowe weruh dhewe pa?”
“Ya ora. Kaya ngono apa diweruh-weruhake uwong.”
“Kuwi rak ya mung saka kandhane uwong liya ta?” ngono Giyem mbelani bojone.
“Pancen ya.”
“Ya wis ben. Nyatane Mas Puja grapyak gagah pideksa tur bagus pisan. Ora mokal yen akeh wong wadon kepencut. Lha aku iki buktine,” semaure Giyem karo guyon sakeceleke.
Tekan ngomah sawise nyelehake blanjan, Giyem ngilo ing toilet sing ana ing kamare. Sawise cucul kambi, ora banjur salin dhaster nanging ngiling-ilingi awake sakojur, wiwit rambut nganti tekan dlamakan. Sanadyan wis duwe anak loro pawakane Giyem isih tetep padhet, weweg lan mulus. Ora rugi olehe senam ing pusat kebugaran jasmani kumpulane wanita ing kantore bojone.
“Ah ...! Mas Puja mesthi ora bakal kesengsem marang wadon liya yen ndeleng pawakanku, kaya bola-bali dibisikake nalika saresmi. Mosok Mas Pujo kapilut Atik. Wonge wae lemu tur ora seksi. Ya yen dibandhing pakulitane kana menang luwih putih tinimbang aku. Lan maneh, Atik kuwi wis takanggep dadi mbakyuku. Bocah-bocah ya wis kemraket karo dheweke. Mas Pujo dhewe nggone ngrengkuh kaya sedulur sinara wedi. Mosok tega karo brayat kene,” ngono batine Giyem.
Kaluwihane Giyem, wanita sing lugu tur sabar iku uga dadi kekurangane. Atik sing ngerti uthek kliwere brayate Giyem saya golek kalodhangan. Malah ngerti kapan wektu-wektu kang lodhang lan wektuwektu kang repot. Awan iku Giyem blanja nyang Toko Swalayan lengganane. Nanging kaya ngapa kagete nalika weruh bojone gandheng renteng karo Atik, ngliwati bagian pakaian anak-anak. Tanpa kadenangan wong sakloron iku, Giyem bali klepat, ngundang taksi mulih. Blanjane sing wis diwadhai ora dipaelu. [ 113 ]Perang bantayuda jaya binangun ora bisa diselaki. Lagi wae Pujo tekan ngomah, wis diamuk Giyem. Anake padha mlongo weruh ibune nesu. Mangka durung nate sepisan wae ibune nesu kaya mengkono. Koper-koper lan tas wis ditumpuk ing kamar tamu, kaya arep lungan adoh.
“Mas Pujo, saiki uga aku lan bocah-bocah terke mulih nyang wong tuwaku,” kandhane Giyem karo mencereng.
“Ak ..., ak ..., aku ... rak ora dhong apa karepmu,” kandhane Pujo karo glagepan.
“Ora sah nambong! Yen ora dhong kana takona Atik!”
“Oh ..., kuwi ta. Kowe mesthi dicritani wong ta?”
“Cukup! Ora perlu dawa-dawa! Ayo sing penting saiki budhal!”
Satekane omahe wong tuwane Giyem, Pujo diusir bali mulih tanpa diapura kesalahane. Atine Giyem murub mubal-mubal tanpa bisa dileremake. Sawise pamitan mara tuwane sing uga semplah atine, Pujo gegancangan bali mulih.
“Tiwas kebeneran ora ana sing ngalang-alangi anggonku langen katresnan karo Aik,” batine Pujo nekad.
Keselak ora sranta, tekan ngomah Pujo daya-daya budhal nggoleki Atik. Tekan plataran omahe Atik wengi iku katon ana tamu akeh ing kamar tamu. Sajake kaya ewuh duwe gawe. Nanging sepira kagete bareng dikandhani yen sore mau Atik wis tumekaning pati sarana ngombe baygon, sawise dhokter mratelakake yen dheweke ngandhut.
Djaka Lodang, No. 44, Th. XXX, 31 Maret 2001
Bengi kuwi anggonku petualangan wis takniyati, ora tanggungtanggung, senajan iki genah prakara kriminal, wis bene wae. Gregeten aku. Wiwit awak kena PHK, sasat urip iki kaya kesurang-surang kae ayakna. Arep utang silih, terus mengkone apa sing arep dianggo nyaur. Wis genah sing jeneng wong nyilih, kudu mbalekke. Wong utang wajibe nyaur. Kuwi sing marahi. Gek njur urusan weteng, ora bisa sinangga entheng. Weteng papat kudu klebon upa kabeh saben wektu. Anak telu. Wayahe lagi semege-semega kabeh lan wetengku dhewe. Digawe ngirid, limang ewu ripis saben dinane kuwi yen ana, lagi pas. Ya kuwi mau, ngirid. Terus senajan limang ewua kae wong nol. Aja maneh limang ewu, serupiyah tugel wae genah ora nyekel, kok limang ewu.
Wis takcekak wae, butuh wis oleh. Ning ya kuwi, isih rupa barang. Isih mbudidaya mayokake barang mau disulap bisane dadi dhuwit, ora takcritakake barang apa saka ngendi entuke. Mengko mandhak kejodheran, malah ruwet dadine, sapa ngerti jebul malah sing maos iki sing kelangan.
Rampung laku cilika, rekane baliku metu kebonan sing uwite gedhang mrepeg. Nuli milang-miling ngupadi gedhang tuwa ing wite. Tur rembulan manglung ngulan rada mbiyantu nyoroti kahanan gedhanggedhang sing tak cublesi mbaka sacublesan. Debog mengkeluk alon. Bareng dhoyonge wis gaduk, pucuk bonggole tilas tuntut sing wis garing tak ranggeh. Nuli cles, cles, ping pindho wae tundhunan gedhang wis semeleh lemah. Tlutuhe ngotosi bathukku, asem. Ibut olehku ngulapi. Dadine tambel sarung gupak tlutuh gedhang. Ora papa wis, bene wae. Ngene iki ya klebu pokok uga tumrap pakaryan ama londhos kaya ngene.
Gedhang raja isi pitung lirang, tadhah-udane wis ana sing suluh limang leran. Urute sing suluh ya wis mringin-mringin meh nimbal. Dadi rada mbrengkut gawanku ketambahan gedhang satundhun. Aman, ora ana pepalang sawiji apa. Tekan omah anak-anakku isih padha turu nglengkur, malah ana sing ngorok slenggar-slenggur. Uh, ora ngerti menawa bapakne wengi iki dadi lawa kalong mangsa gedhang, sawise dadi ... ah, [ 115 ]ra usah diterangna wis. Ya, betekna kanggo ngisi weteng-wetengmu le, ndhuk. Wis, dadi begjamu, hemmm, menangi jaman teka kaya ngene. Bapakne kenek PHK saka papan nyambut gawe sakala bubrah urusan ekonomine. Uh, ora wurunga ya mung merga krenah pokal gawene padha manungsa sing kumawasa degsiya.
Gedhang wis takcengkehi. Sing rong sisir tadhah-udane lan sesisir meneh takpotheng-potheng terus dilebokake kendhil wesi, digodhog. Kapan mengko jebeng-jebenge, sadurunge budhal sekolah rak kena kanggo asel-asel wetenge. Gedhang suluh padatane gempi tur kenyil-kenyil semu legi. Lumayan kanggo ngisi weteng sawetara.
“Thok-thok,thok-thok!”
Weit, e lhadalah. Ana sing nothok lawang kae ..., sapa ta iki? Batin iki mangu-mangu. Wayah mene hakok ana sabawa nyubriyani. Gek menungsane ki sapa wae taya, ya? Alon-alon lawang takwengakake kanthi kawaspadan .... Ooo...! Kagetku ora ilok, semu pendirangan ora baen-baen.
Pak Warjiman, lurahku, iya bapake wong sadesa kene, wis ngadeg njegreg ing ngarep lawang kanthi esem sajak ngemu gawe penting. Ing astane ana gawan tas kresek ireng. Embuh apa, agahan njranthal mlebu nadyan durung taksumanggakake. Terus njujug krusi, lungguh karo nyeleh gawane ing meja. Lawang taktutup kanthi ngancing pisan. Sajake Pak Lurah mung ijen.
“Iki lho brekat openana! Saka nggone Pasidi ket sore mau. Kana lho, lor desane dhewe iki. Ewuh gawe dum lemah putune. Aku pas liwat diampirna. Ya njur mampir no, wong ya nganggo disurung-surung kaya meksa. Apa alane mampir,” ature Pak Lurah njlntrehake.
Aku isih kedhik kukur-kukur sirah ketang ora duwe tuma.
“Kok ngantos ya menten ...,” kandhaku dipunggel sajak pana olehku pakewuh piye-piyene. Awit golek ukara sing pas kayane angel olehku arep micara. Ngetarani timen menawa lagi kemrungsung. Mula Pak Lurah cepet munggel rembug.
“Ah, haiya wis ngene iki ta, le, tumindake bapakmu kiye. Labet duwe tanggung jawab marang keamanan desane. Mula direwangi ngliyeg mubeng desa saben bengi, supayane bisa ngawruhi apa ta apa ing wengiwengi kang nyalawadi.”
Dheg. Sakala dhadhaku kaya kedhodhog rasane. Lambeku sakala kedher, ora kuwawa swala piye-piye. Ora wurunga Pak Lurahku iki ngonangi tumndakku ayaka.
“Nyatane bukti iki, weruh kliwere wong mlaku ijen, kon terus ilang mlebu kebonan. Bareng dakuber, ketemune jebul awakmu lagi amek pangan. Dadi kawit mau aku wis ana jaba kono,” ature.
Lha ..., dhuh ... dakmirengke dhawuhe sambuge. [ 116 ]“Ya wis ta, Le. Aja rikuh prekewuh karo aku. Wong bapakne ki ya dhongkolan begajig, sing julig je. Nek mung lelakonmu ka ngono wae, o, durung sepira-pirane bapake iki. Tenan, wis ta! Mula kuwi ra sah rikuh prekewuh. Jer tumindakmu wis bisa dakgerba. Mung, sakedhar kanggo tamba luwene anak-anak tanggunganmu, iya ta? Wis, ra kakehan rembug, mundhak nggurahi anak-anakmu mengko. Bapak ora bakal mbrojol, bab iki. Percoyoa, wis ta! Karo, iki lho nyoh, ana rejeki sethithik tampanen. Kena kanggo tuku menir sesuk, ben nggo maem anak-anakmu. Mung iki bapak aweh pambiyantu. Kowe ya gelema nyimpen rapet bab iki aja kawetu karo sapa wae ya? Wis dakbali, wis meh esuk lho iki.”
Kandha ngono Pak Lurahku sing “huebat”” iki karo ngulungake dhuwit puluhan selembar marang aku. Ngono olehku arep nampani mau semu nggranggem. Jebul malah Pak Lurah ngadeg nyat, terus mblesekake dhuwit ing sak klambiku.
Sapungkure Pak Lurah, dhuh ..., mbrebes mili luhku. Ya kisinan, ya dheg-dhegan, ya trenyuh campur adhuk dadi siji. Nanging kagawa olehe ngrerepa aku kanthi “atur pangandikan” sing kaya ngana kae mau, ati iki rada duwe kapercayan sing gumathok. Ananging rasa isin masu isih nabet jroning ati samangsa ketemu srawung ing panggonan apa wae. Nanging percaya aku marang Pak Lurahku iki, ora bakal nyebar prekara tumindakku sing dikawruhi. Pancen iya, Pak Lurahku ki dhek kalane isih dadi wong menyunyang, darbe laku “amburadhule” ora ana sing madhani sadesa kene. Ning, kuwi biyen-biyene. Saiki mono wis mandhireng dadi Bapak Desa. Mula yen duwe sipat sing kaya ngono mau, bisa wae ditampa nalar, kanggoku.
Esuk kuwi, bubar ngurusi anak-anak sing padha budhal sekolah SD, rekane sarapan “istimewa” minangka asel-asel, sing takdum rata mau dadiya pikuwat awake nganti mulih sekolah. Si Sarmadi, mbarepe, sing isih ana ing klas lima SD, telap-telep olehe ngayoni gedhang godhog nganti saenteke. Dene Sumardi, adhine, sing lagi klas telu SD kuwi rada ora pati dhokoh olehe sarapan. Ning ora swala piye-piye awit ngerti anane mung kuwi. Terus Sutarni, sing wuragil, sing malah rada crigis.
“Kok ra digoreng ta, Pak. Anua rak ngguthil, sarapan gedhang goreng, hemmm ....” ngono critane Sutarni sing lagi klas loro SD kuwi.
“Lha lengane, Ndhuk, sing durung duwe. Suk ya, bapak nek wis tuku lenga goreng, o, klakon wis ta, penjalukmu,” kandhaku grerepa.
Kuwi esuk mau nalika bocah-bocah isih lagi sarapan gedhang godhog asil olehku “nglawa” dhek bengi. Saiki, rekane arep klintong-klintong, menawa bisa nemu gong karo arep nempur, rekane. Jebul lagi mak nyuk mlangkah ratan ngarep omah, wis kepapag kanca senasib PHK, Tarmuji.
“E lha hayo, ‘Pak Dhudha’ ki arep tindak ngendi? Arep ngunggahunggahi randha sing em-emh, ayakna,” ngono kuwi tembunge guyon [ 117 ]parikena pakulinane. Hem sidane gagal olehku arep lelungan. Ora wurunga kaya adate sing dijujug aku.
“Walah, ngunggah-unggahi randha, Kang? Uh, randha ngendi, sing gelem karo dhudha sing cindhele kemriyeg kaya aku iki? Kok le ngaya temen. Mbok aluwung nganggur ya men, tinimbang momong anake uwong!” Olehku nanggapi uga guyon.
“Haiya randha donya kene no, mosok randha nglangit? Ambak aja nemen-nemen ngasorake awak. Kae mau kandhaku rak minangka donga ta, Dhi. E ..., sapa ngerti, keturutan pa ra lumayan?” ngono guyonane mbacut.
“Halah, macem-macem. Wis ayo ah kene bumah, ki mau ka omah apa ka endi, Kang, kok yah mene wis tekn kene? Kok ra ngepit?” pitakonku.
Bareng wis lungguh dheweke ngetokake rokok Tuton filter terus udud nglepus, pegane dikebul-kebulake mendhuwur, mujudake bunderan-bunderan reruntungan nuli ambyar kaliyup angin.
“Cen ka ngomah are. Numpak colt mudhun kono mau apa. Pit? O ..., pitku wis dadi sega, wis kolu wingi-wingi je. Ha wis, dhit pesangon peha-ka-ne aipit ya wis rampung ki. Ha nek duwekmu ya awet ayakna, Dhi?” pangecagemole.
“He-eh awet! Nek mung dimut thok, nanging. Ya padha wae ta, Kang. Wis entek dhek kana-kana kae. Wong cindhile we semega-semega ngono kok. Gek ngliyeg luru gaweyan, kana-kana ya bul padha wae, ra ana perusahan nambah tenaga. Wong jamane lagi gonjing kaya ngene,” ngono kandhaku, terus sisan neges takon kabar sruwang-sruwing sing takrungu.
“Anu, Kang, jare Mbakyu kana kae kandha ro aku ngene, “Kangmu ki saiki genah-genahe ngono harak pogal ta, Dhi. Karo rondho lor desa kana”, ngono ki nalika ketemu ro aku dhek njupuk raporte bocah-bocah ing es-dhe kana ke.”
“Kok Yu, ngerti?” rekane aku nambong ngono.
“Ngerti wae, wong sin kandha dudu angin lho. Ning ana unen-unen, 'sadawa-dawane lurung isih dawa gurung’ je. Tur aku ora mung percaya kandhane uwong. Engko gek mung buru sengit mbuh piye, terus aduladul. Ora, ning kanthi sesidheman takmanuk-manuki, nyatane tenan ki, Dhi?” kuwi kandhane.
Aku malah ngguyoni ngene, “Lho, kok dimanuk-manuki. Wong jare manuk Kakang ....” sakala aku disantak wani.
“Haiyah! Diomongi wong kok malah manuk-manuk. Manukmu kono! Lire takmanuk-manuki kuwi dakbuktekake sesidheman bener-orane, ngono lho.” [ 118 ]“Uwh, nggunemu Yu mu. Ya wis ngono kuwi Yu mu angger ana wong saba. Pene sing disaba ki randha, jebul njur ...,” dakpunggel.
“Lhaaa ..., kuwi kik, haiya ane. Andekana arep kumbi ta, Kang?”
“Wis menenga sik. Wong kuwi ki dudu karepku je. Karepe kana,” ngono pangakune.
“Lha lidok, ra wurunga ngono paling alesanmu, Kang? Trus, trus piye, Kang?”
“Uh, kuwi mono soal mengko. Sing penting saiki kanggo nuruti problem. Beres-beres, wis ta mengkone,” kandhane.
“Huh, ke! Begja temen ta, Kang, awakmu kuwi. Kar kenang pe-haka, kok malah entuk gaweyan penak ...!” sirahku dijenggung temenan.
“Hus , ndhusmu kono! Diomongi sing karep kana jare!”
“Haiya, kuwi arane wong begja. Terus kira-kira ki gek njur arep ulem-ulem pa?”
“His, ulem-ulem piye, wong malah kapesan je.”
“Wut, kapesan ...?”
“Ko sik. Kandhani, kandhani. Rekane ki pas ana kesempatan. Yu mu pamit aku nyanggone kakange sing arep duwe gawe ‘dhun-lemah’ pa piye ngono lho. Dadi le rana sadurunge gawe. Aku ya njur lair batin nglilani. Ya ana kono kuwi kesempatanku. Ning, awak ki nek lagi apes, Dhi. Lagi leyeh-leyeh, bul malah kebablasen keturon. Ra ngerti bebaya ...,” dakpunggel.
“Bebaya, Kang? Kok bebaya ...!” aku plonga-plongo.
“Ya kuwi, kandhani kok. Bengi kuwi kebobolan je, Dhi.”
“Kebobolan? Ah hemm ..., iya no. Wong kok boboli yu randhane, ya kebobolan ....”
“Ahs, ndhasmu ah! Iki ki ora guyon lho, Dhi. Kemalingan kuwi lho.”
“Wooo ..., alah. Kemalingan, Kang? Harap keresikan atute?”
“Ya ora. Mung ke tape-deck ... karo ...” (Bang bayik, batinku). Nalika Tarmuji kandha tape-deck, padha sakala atiku mak dheg.
“Karo apane maneh, Kang? Aku nambong.
“Karo maneh tivine berwarna wong ana njero kamar. Kathik preti nggone ndokok. Dadi ya ora katut. Mula kuwi ta Dhi, lungaku kuwi rak luru-luru menawa nemu sisik melik sing kena nggo nitik. Tulung ya, Dhi, nek ana wong tawa-tawa barang wujud tape deck , njur cepet-cepet aku paranana.”
Sakkal aku dadi plenggak-plenggik. Ah kejodheran sing ora kasengaja iki arane. Kepiye wae aku kudu prasaja marang kanca, sing bar pisan ora tak nyana. Meja grobogan takbukak. Agahan ‘barang peteng’ daktuduhake Tarmuji.
“Kang, apa iki barange?”
Dheweke mendeliki barang sing daktuduhake. [ 119 ]“Lho, kok iy Dhi? Trus iki ....”
“Wis Kang, terus terang aku gelem kok pateni ngenggonkene. Jeraku pancen maling sing mbobol nggone pawong sing bar pisan ra takngerteni. Bul kuwi ta, Kang nggone Yu randhamu.”
“His, aja guyon ta, Dhi! Tenane?”
“Beteke luru sega sapulukan kanggo bocah sing semega-semega, Kang. Kepeksa taklakoni. Ning, modar-seg aku ora ngerti nek kuwi ki ...,” kandhaku dipunggel.
“Dhuh ..., Dhi ..., Dhi. Ya wis, ya wis. Damar mancung sinupetan. Tekan ndilalahe kok ya kowe dhewesing njupuk. Dadi kakange ki ora keirangan. Anua rak ...”
“Piye Kang ...?”
“Ya kuwi ta, nggonku nuroni mbok randha. Jebul ah, nek ngono kowe weruh aku ...?”
“Ya terang weruh no. Ning pa ngerti nek kowe no, Kang. Ngertiya ya ra bakal lakone ka kuwi. Ngertiku ki weh, le angler tuwan-nyonya bengi kuwi. Ketang peteng remeng-remeng, ya tetep ketok nek ting kringkel uleng kaya gimbal-urang kae le kelonan. Sing siji mekangkang, sing siji mekungkung ...!”
“His, jangkrik tenan ane! Wah nek ngono kowe kober-kobere njinggleng ya?”
“Ya kuwi, ra ngerti nek kowe kok, Kang. Lehku ngawasi, samar nek tangi njur mruwasa awakku, aku rak isa setan. Bul kowe ta, Kang? Wis aku mbok apakna ...?”
“Hayaah. Wis ta aja sumelang. Tujue mbok randha ra takwenehi lapuran. Dadi sih padha begjane. Nyoh, iki taktinggali tukon jajane cahcah ...!”
“Alah wis, Kang! Rasah, rasah. Aja, Kang! Aku wis trima ....”
“Kosik, nk kowe nulak, malah ora apik dadine. Wis, barang takjupuk mengko bengi, bene ora kedenangan wong-wong tangga-teparone,” kandha ngono Tarmuji karo nyeleh dhuwit puluhan telung lembar ing grobogan sing takenggo nyinggahi barang lehku mbobol dhek bengi.
Sasat wurung kabeh nggone Yu Randha ora sida kebobolan ...!
Djaka Lodang, No. 49, Th. XXX, 5 Mei 2001
Wis ana sepuluh dina illustrator saka perenging gunung Wilis saba ana ing kutha Jakarta. Sajake lagi oleh garapan kang asile rada lumayan. Mung emane dheweke kudu kerja rina-wengi tanpa leren, bot-bote enggal rampung garapane, njur enggal bisa mulih nyang ndesa.
Lagi iku dheweke ngancik kutha Jakarta. Wiwitane dheweke mung kepengin nawakake komik berwarna kang digarap sajrone setaun muput. Ning jebul penerbit-penerbit ora gelem nuku. Bareng nekad takon garapan, dheweke dites. Kasil. Dhirektur Utama kesengsem asil karyane.
“Jenengmu sapa?” pitakone Dhirut.
“Samto.” Wangsulane illustratos mau.
“Alamate?”
“Kebonagung, Sawahan, ing perenging gunung Wilis.”
Sabanjure Samto nyambut gawe rina-wengi ing kantor penerbit mau, menehi gambar-gambar kanggo buku-buku crita. Lagi kuwi uga Samto weruh lan melu numpak lift, munggah utawa mudhun kanggo methuki paraga-paraga kang ana sambung-rapete karo pegaweyane. Saben melu-melu wong numpak lift, Samto ndeleng carane wong-wong mau anggone migunakake lift. Suwe-suwe Samto ngerti. Yen arep munggah utawa mudhun ana ing gedhung bertingkat sarana lift mau, sepisan kudu nutul tetenger munggah utawa mudhun. Yen arep munggah kudu nutul tetenger segitiga utawa anak panah kan lincipe marep menduwur. Kosok baline, yen arep mudhun, sing ditutul anak panah sing lancipe marep mangisor. Sawise ditutula, lawang lift banjur menga. Samto mlebu kamar lift, banjur nutul angka kang wis cumepak ing njero lift.
Saupama arep munggah utawa mudhun menyang tingkat pira, kari nutul angkane. Yen saka tingkat telu, njur nutul angka wolu, ateges arep munggah menyang lantai delapan. Dene yen saka tingkat telu njur nutul “G” ateges arep mudhun menyang lantai bawah. Simbul “G” ateges Ground kang tegese ‘ngisor’. Ngono mau kirakira sasuwene sepuluh dina, Samto bisa munggah utawa mudhun dhewe [ 121 ]ana ing gedhung bertingkat delapan mau, tanpa ngenteni barengan wong sing wis biasa nggunakake lift, Samto wis pinter.
Sanajan ing tengahing wengi kang sepi, dheweke wis wani mudhun dhewe, saka ruang kerjane ing tingkat lima menyang lantai bawah saperlu tuku apa-apa. Upamane, yen pinuju kentekan rokok, gula, kopi, utawa supermi.
Nanging siyal kanggone Samto. Sawijining wengi, dheweke nutul tandha segitiga kang lancipe marep mandhuwur. Ing pangangkah supaya lift kang magrok ora kanggo ing lantai bawah iku gelem munggah menyang lantai lima.
Temenan. Ora suwe keprungu bel ‘mak kling’ njur lawange lift menga dhewe sarana otomatis. Samto banjur jumangkah mlebu kamar lift. Gandheng pikirane Samto isih semrawut, mikirke gaweane sing lagi digarap, dheweke lali ora nutul simbul “G”.
Ora suwe lift mudhun dhewe …. Atine Samto kumelap …!
“Lho! Matik aku!” panggrundele batin. Atine Samto entek, jalaran rumangsa pepes. “Piye iki? Sida mati tenan aku iki mengko.”
Sasuwene ndeleng ngiras sinau piye carane migunakake lift, durung nate menangi masalah kang kaya den alami wengi iku. Mula mengko piye carane mbuka lift, Samto ora ngerti. Ngertine Samto, mung yen migunakake lift sarana nutul simbul-simbule. Dene lift sing mudhun dhewe menyang lantai bawah iku ora bakal mbukak lawange yen ora diprogram sarana nutul simbule. Mangka yen ora diprogram, lift bakal mudhun dhewe menyang lantai bawah. Satekane lantai bawah, lawange ora gelem mbukak. Jalaran dianggep ora ana uwonge. Temenan. Satekane simbul “G” …, Samto bingung. Kringete wiwit mili dleweran ing pipi, jalaran lawang lift ora menga-menga. Dheweke uga ora ngerti piye carane mbukak lawang lift iku mau. Kang dingerteni mung yen lift iku mau diprogram, njur lawange bisa menga dhewe manut programe. Mangka nalika arep mudhun mau, Samto lali program. Lift mudhun dhewe, lan nganggep Manawa ora ana kang mrogram alias ora ana kang numpak. Mula satekane lantai “G” lawan lift panggah minep.
“Wah, piye iki?” panggrundele Samto bola-bali. Saking bingunge
Samto banjur ndhodhogi lawang lift karo bengok-bengok …. “Tuluuuuung! Tulung Paaaak! Tulung bukakna lawange!
Sanajan nganti bola-bali bengok-bengok lan ndhodhogi lawang lift, tetep ora ana wong kang krungu. Lawang lift mau rapete ora jamak. Satemene ora adoh saka lawang lift mau ana lobi kang jinaga dening Satpam loro. Ning, amarga Satpam mau lagi asyik anggone main catur, mula ora krungu manawa lawang lift didhodhog Samto saka njero.
“Wah …, piye iki?” ngono bola-bali batin atine Samto. “Sida turu sawengi natas aku ana ing njero lift kene.” [ 122 ]“Dhog-dhog-dhog!” Lawang lift didhodhogi maneh karo tansah bengak-bengok, “Tuluuuuung …! Tulung Paaaak! Tulung bukakna lawangeeeee!”
Kira-kira ana seprapat jam, ana wong sing jenenge Prihono liwat cedhak lift. Prihono iku priya nom-noman kang wis kenal karo Samto. Lamat-lamat dheweke krungu swarane wong dhodhog-dhodhog lawang. Nanging ana ngendi asale swara mau. Krungune kok ora adoh banget. Prihono nilingake talingan karo ndangak-ndangak, jalaran swarane kaya ana tikus ing lantai atas.
Pancen sing keprungu mung dhodhog-dhodhog lawang. Iku wae keprungune mung lamat-lamat adoh. Dene anggone Samto bengak-bengok iku babar pisan ora keprungu swarane. Prihono nyendhaki lift. Talingane nilingake maneh. Temenan! Ana swara lamat-lamat, kira-kira swarane tikus ngamuk ing dhuwur. Mangkono batine Prihono.
Sakjane mung arep munggah neng lantai satu. Prihono nutul simbul segitiga sing lancipe marep mandhuwur. Lawang lift mbukak, Samto langsung mencolot metu. Prihono njola kaget, nganti dhadhane tab-taban.
“Adhuuuh …, meh wae mati neng njero lift.”
“Lho, kening napa, Pak?” pitakone Prihono gumun.
Samto banjur nyritakake lelakone. Nalika arep mudhun mau dheweke kelalen ora mrogram nutul simbul “G” ana ing lift. Mula satekane lantai bawah, lawang lift ora mbukak.
“Lho! Niki rak simbul kangge mbukak lawange, Pak.” kandhane Prihono karo nuduhake simbul anak panah loro kang lancipe adhep-adhepan.
“Wah, lha kula dereng ngerti nek niku kangge mbukak lawang lift.”
“Pak Samto rak sampun wongsal-wangsul minggah-mudhun lift. Kula kinten sampun ngertos ….”
“Inggih! Nanging ngertos kula niku rak naming caranipun mrogram tur anggen kula sinau nggih kaliyan ningali tiyang-tiyang ingkang pinuju migunakaken lift. Dene masalah dospundi caranipun mbukak lawang, rak mboten nate kula semerepi. Jalaran lift punika manawi dipunprogram tartamtu mbukak lan nutup piyambak. Kala wau kula supe mrogram. Mila lawang lift mboten purun mbukak.”
Sawise ngerti masalahe, Prihono ngguyu kekelen. Semono uga Satpam loro karo wong-wong liyane kang ana kono, kabeh padha ngguyu. Samto uga melu nggeguyu awake dhewe, kok kebangeten nemomi lelakon kang lucu. Sawise katog anggone ger-geran, Satpam loro terus nutugake anggone main catur. Dene Prihono mbarengi Samto tuku rokok ana ing pinggir ratan.
Sawise tuku apa butuhe, Samto bali arep munggah maneh menyang tingkat lima. Drijine nutul simbul segitiga kang lancipe marep manduwur. [ 123 ]Lawang lift mbukak. Samto mlebu kamar lift, banjur nutul angka lima. Lift krasa obah-obah, mlaku munggah. Satekane lantai lima, lift mandheg karo muni “makkling”. Lawange banjur mbukak dhewe sarana otomatis. Samto jumangkah metu.
Mangkono sabanjure. Dhasar wong ndesa, saka gunung nang-nung. Senenge munggah-mudhun lift ora eram. Yen wektu sholat, arep sholat wae leren mudhun menyang tingkat loro. Yen arep golek sarapan ya mudhun menyang kantin. Dene yen pinuju numpak lift ora ana barengane, saben rampung nutul simbul program, sadurunge lawang lift mbukak, tangane Samto api-api nyihir lawang, karo ing batin muni, “Zizaaaaa …, abra gedhabrah!”
Semono uga yen lift-e tekan lantai kang dituju. Tangane Samto nyihir lawang lift maneh, njur muni, “Zizaaaaaaa, abra gedhabrah!” Lawang lift banjur mbukak. Samto jumangkah metu, banjur nyihir lawang maneh supaya minep dhewe.
Prihono kang nulungi Samto senajan umure luwih enom, ewasemana klebu wong kang seneng ngudi ngelmu tuwa. Nuju sawijining wengi, Prihono njagongi Samto kang lagi nglembur illustrasi kanggo buku pelajaran SLTP. Ngiras ngobrol ngalor-ngidul, Prihono karo Samto ngraketake anggone kekancan, bisa manjing sedulur. Suwening suwe anggone anggone omong-omong nglereg tekan babagan urip neng alam donya.
“Jaman saiki niki jaman Kalabendu lho, Pak Sam,” kandhane Prihono.
“maksudipun?” Samto takon.
“Kalabendu tegesipun wanci wontenipun bebendu utawi paukuman saking Gusti Allah dhumateng tiyang ingkang remen tumindak dur angkara murka, remen ngakali tiyang utawi remen mbujuki ing supados pikantuk bandha kathah. Mboten ngertos halal-haram, pokok nguntungaken, nggih dipun lalap!”
Sabanjure Prihono nyritakake Manawa ora adoh contone wong kang seneng tumindak dur angkara iku. Kanca-kancane dhewe sing nyambut gawe ana ing perusahaan penerbitan lan percetakan kono dhewe akeh kang padha culika. Upamane, tuku mesin rega pat belas yuta wae dilebokake neng administrasi sewidak yuta. Honor pengarang pitung yuta kontan, dicicil mbaka sesasi sejutanan utawa rong yutanan. Lan isih akeh maneh conto-conto kang kaya ngono mau. Wis ta, pokoke perusahaan penerbitan lan percetakan kono iku, isine mung maling thok!”
“Wah, njenengan niku seneng sinau ngelmu tuwa nggih, Mas?”
“Mboten, nggih namung sekedhik-sekedhik kula nate maos.”
“Kok ngertos jaman Kalabendu punapa?”
“Pancenipun tiyang gesang menika kedah remen pados ngelmu.” [ 124 ]“Salintunipun bab Kalabendu, ngelmu punapa malih ingkang panjenengan gilut?”
“Nggih, ngelmu tuwa. Ngelmu sangkan paraning dumadi. Nanging menawi badhe ngrembag Sangkan paraning dumadi niki, saene mbenjang kemawon manawi Pak Samto sampung longgar.”
“Hem…. Sangkan paraning dumadi?” panlesihe Samto. “Niku mbahas bab napa?”
“Tiyang gesang kedah ngertos, asal-usuling gesang. Njur mbenjang manawi sampun dumugi titi wanci, kedah ugi ngertos badhe dhateng pundi lampah utawi purugipun. Nanging, prayogi mbenjang-mbenjang mawon, manawi longgar.”
Ing sabanjure, Prihono ngrembug bab tasawuf, ngibadah lan sapanunggalane. Wong kang seneng nglakoni pasa, tarak brata, tirakat lan prihatin, bakal bisa nduweni kawaspadan lan kawaskitan. Bisa maca sastra cetha kang tanpa tinulis ….
“Wah, sastra cetha kang tanpa tinulis. Napa niku…?”
“Ah, mesthinipun Pak Sam langkung sepuh tinimbang kula, tartamtu langkung ngertos, langkung inggil ngelmunipun.”
“Mboten! Mboten, Mas. Kula niki raosing manah kok kados tiyang ingkang sepuh sepah, tuwa-tuwas, mbrabas kakehan beras. Saestu. Mila kula remen sanget mirengaken ngendika njenengan.”
“Sastra cetha kang tanpa tinulis punika arupi maca utawi maos kahanan ingkang nyata, njur dipungandhengaken kaliyan ramalan kangge nyumerepi kahanan punapa ingkang mboten nyata. Ananging, kangge nyinau maca kala wau, manungsa kedah kabikak rumiyin tarlen plawanganing go’ib ingkang arupi warana utawi kijab aling-alingipun.”
“Wah, lha niki kula lajeng kepencut saestu dhateng ngelmu panjenengan. Mbok inggih, kula dipun bikak rumiyin ….”
“Gampil. Mangke manawi saestu kepengin ngraosaken dos pundi ta gesang ingkang sejatos, mangga. Mangke kula bikakaken.”
Temenan. Bareng tekan titi wanci tengahing wengi, Sasmto semedi dituntun Prihono, mbukak warana tarlen plawanganing go’ib. Sajroning binuka, atine Samto ayem tentrem. Kaya-kaya rasane ati mau ora kena ginambarake. Tan kinaya ngapa.
Sawise binuka, Samto bisa maca kahanan kang nyata, kanggo nggraita kahanan kang ora nyata, kang ana sangkut-paute karo kahanan kang nyata mau.
Kang bisa kawaka arupa sastra cetha kang tanpa tinulis, yaiku glagat-glagat kang nyalawadi, bisa katon kabeh. Kayata, mesthine honor kanggo Samto iku rong yuta, mung diwenehake sayuta. Royalty' buku kang terbit, ana kang ora disampekake marang dheweke. [ 125 ]Nanging Samto mung tiwas gela, jalaran aluwung ora ngerti manawa dheweke iku dibujuki. Tinimbang sawuse ngerti, njur ora duwe buktibukti kang kuwat kanggo ngurus, tiwas kaya asu kerah rebut balung tanpa sungsum.
Samto ngerti manawa honorarium lan hak royalty-ne diuruki perusahaan penerbitan kono. Nanging arep piye maneh? Saupama nuntut liwat hukum, ora duwe wragad. Ngurus genahe sarana omongan, tiwas padu kalah perkara. Mula ya wis, ditrimak-trimakake.
Nganti saiki ya mung prihono iku kang dadi sedulur sinarawedi, jalaran ya mung prihono iku kang tau mbukakake lift nalika Samto kebetheng ana ing njero lift. Lan maneh iya Prihono iku kang wis mbukak kijab tarlen warana plawanganing go’ib tumraping pribadhine Samto.
Muga-muga wae Gusti Allah piyambak ingkang ngadili kahanan donya kang akeh ora adile iki. Ing pangajab, yen kabeh manungsa gelem jujur tumindak adil, tartamtu ora bakal ana kasangsaran kang tumama marang sakabehing titah ing alam donya iki.
Djaka Lodang, No. 05, Th. XXXI, 30 Juni 2001
Thuuuut … Handphone sing gumlethak ing meja dadakan muni, mung taklirik tanpa ana krenteg ngerteni saka sapa. Wektu-wektu ngene iki kahanan kantor pancen lagi ruwet, kabeh lagi padha ubeg nyiapake laporan bulanan sing kudu dirampungake dina iki. Sepi mamring ngrenggani saben ruwangan, konsentrasi mung tumuju menyang layar komputer dalah swara tuts-tuts sing dipenceti. Yen ana panglipur, paling-paling musik orkesta philharmonic kanthi dirigen Zubin Mehta sing keprungu saka kaset. Mung dadakan bathukku njengkerut, yen ana wong ngebel lumantar handphone mesthine ana urusan pribadhi, awit yen urusan dhinas mesthine liwat operator, sing banjur nerusake neng ruwanganku.
Wusana aku menyat, supaya aja ngganggu liyane karo metu nggawa handphone lan tak tampa ana ing taman. Jam kang cemanthel ing tembok jarume nuduhake angka sepuluh, pancen durung pati awan, nanging srengengene wis dhuwur lan cahyane saya panas. Kanthi ngono cengkah karo njero kantor kang adhem merga AC.
“Hallo …,” kandhaku alon.
“Mas Drajad?” keprungu swara sing wis takkulinani.
“He-eh, Jeng Candrasasi?”
Bener, Mas, iki Candra, lagi sibuk neng kantor, ya, maaf nek aku ngganggu pakaryan panjenengan.”
“Ora papa kok, biasa-biasa wae.”
“Kagungan wektu longgar, Mas?”
“Kersamu?”
“Aku kepengin ketemu karo panjenengan je, kangen rasane.”
“Ah, apa gunane mecaki dalan lawas, Jeng, sliramu wis bebrayan semono uga aku. Kedadeyan sing kepungkur, prayoga dikubur.”
“Ora Mas, nganti titi wanci iki aku isih yakin, yakin banget yen panjenengan isih nresnani aku. Tangeh lamun Mas Drajad bisa munthes wiji katresnan kang panggah ngrembuyung, senajan awake dhewe wis padha dene berkeluwarga.”
“Kosik, Jeng Candra.” [ 127 ]“Mas, kantorku lagi wae rampung ngadani penataran ana ing Hotel Metro ing Sarangan, papan awake dhewe ngrajut tresna mbiyen. Aku isih neng kene, ngenteni rawuh panjenengan lan yakin yen Mas Drajad mesthi rawuh.”
Dadakan, klek! Tilpon dipateni, njalari rasa bingung awit kepengin isih ngobrol luwih suwe maneh. Nitik swarane kena dipesthekake yen olehe nilpon saka pesawat dadi dudu handphone ning nek arep kontak balik ora ngerti saka ngendi lan nomere pira. Nalika nyoba liwat ponsele, uga ora ana nadha sambung. Karang nomere iki sing menehi watara rong taun kepungkur, bisa uga saiki wis ganti utawa yen isih pancen njarag dipateni. Wusana ya uwis, entek-entekane bali mlebu ruwangan. Angkahku mono arep nerusake sing mung kurang sethithik, wewayangan kenya sing lagi wae nilpon jejogetan ing tlapukan mripat.
Candrasasi, ah! Kena apa dheweke njedhul maneh sawise rong taun takkubur, tatuning ati durung pulih malah kepala lagi timah-timah lha kok dijojoh maneh. Iki ora njalari mung kumat, ning kepara malah ndadi. Wiwit ing SMU aku lan Candrasasi pancen wis raket, malah kena diarani pacaran. Nganti padha-padha kuliyah sesambunganku saya raket, mung wae sanajan tunggal sa-universitas ning beda fakultas. Dheweke neng Fisipol Jurusan Hubungan Internasional, dene aku neng Ekonomi. Aku sakloron wis pancen duwe niyat, nek bebrayan mbangun keluwarga adhedhasar tresna suci.
Ning pranyata aku sakloron kudu mrangguli kahanan sing paling pait, ngadhepi tembok kandel kang tangeh lamun ditembus, wong tuwane Candrasasi ora setuju, aku iki mung saka kalangane wong biasa sing panguripane rekasa, alias mlarat. Beda karo Candrasasi sing mula isih keturunan ningrat tur sugih, dadi ora imbang. Sanajan lara, nanging aku bisa mawas dhiri yen pancen kurang trep manawa sesambungan diterusake. Mung wae Candrasasi sing ora bisa nampa, dheweke panggah ngotot emoh dipedhot jer jarene katresnane wis kebacut ngrembuyung, pepalang apa wae bakal ditrejang, rawe-rawe rantas malang-malang putung. Pokoke, aluwung ajur tinimbang mundur.
Nganti sawijining dina, wektu semana aku diajak neng Maospati jarene kancane ana sing dadi nganten lan aku dikon ngancani. Pranyata mung pawadan, dheweke ngajak mlebu ing hotel kawasan wisata Sarangan. Sing dipilih Hotel Metro kang dumunung ing sapinggiring tlaga, lagi wae mlebu kamar. Brol! Tangise pecah ing pangrangkulku, ing selane tangis sing wutah iku dheweke ngesok panguneg-uneg sing isine nedya dijodhokake karo priya pengusaha sukses lan isih ningrat. Akeh-akeh anggonku ngiguhake amrih gelema lan nurut wong tuwa.
“Panjenengan rak tresna karo aku ta, Mas?”
“Tresnaku marang sliramu tulus suci, ning tresna ha rak ora kudu ndarbeni jer aku ngrumangsani yen dudu pilihane wong tuwamu.” [ 128 ]“Semono uga aku Mas, sanajan mengkone Mas Wawan dadi sisihanku ning dheweke mung kawin karo awakku merga tresnaku mligi kanggo Mas Drajad tekaning mengko patiku.”
“Terus ana apa sliramu ngajak neng kene?”
“Sadurunge aku dadi Nyoma Wawan, aku kepengin nyaosake barang sing takaji-aji, yaiku kasucenku marang panjenengan.”
“Hus, aja nekad Jeng, kepriye mengko sisihanmu yen mrangguli sisihane wis ora prawan, sliramu bakal sangsara salawase lho.”
“Aku ora predulli, sepasar bubar taklakoni!”
Karo isih mingseg-mingseg tangan kiwa panggah isih ngrangkul guluku, dene sing tengen wiwit nguculi benik bluse. Aku kaget. Sadurunge iblis nguwasani lan ngojok-ojoki tumindak ala kekarepan edan iku gage takcandhet. Tujune dheweke suwe-suwe eling dening pangrimukku sing tanpa kendhat, wusana aku sakloron metu saka hotel tanpa tumindak kang nerak wewaler.
Wusana Jeng Candrasasi sida bebrayan karo Wawan, lan diboyong nyang Jakarta. Malah nalika dadi manten pancen dijarak aku ora diundang, jroning layang sing dikirim dikandhakake menawa aku teka mundhak dheweke ora bisa ngampet emosi. Kabar sing takkrungu Jeng Cadrasasi nyambut gawe ing sawijining Departemen, dene aku neng Pemda.
Bakda kuwi sesambunganku pedhot. Sajake wong tuwa ngerti gempaling atiku, mula gage digolekake calon sisihan supaya kalipur. Bocahe saka ndesa lan anak lurah, rupane pancen ayu tur lugu sarta minangka guru Taman Kanak-Kanak, jenenge Sutinah.
Sakjane mono Dhik Sutinah iki dadi bojo sing pas lan idheal, kejaba anteng lan manutan uga nrima. Ning embuh, rehne ati iki kebacut kemba, mula penganggepku adhem-adhem wae. Marga saka kasabarane mbaka sethithik bisa thukul wiji tresna, senajan wewayangane Jeng Candrasasi panggah ora bisa ilang. Panacen aneh, kena apa aku kok ora bisa mindhah tresna marang bojo.
Gandheng dina Jemuwah, budhalan kantor jam sewelas awan. Mobil sedan Peugeot biru tuwa, hadhiah saka mara tuwa sing isih anyar gres kanthi plat nomer sementara taklakokake banter. Pikiranku mung gek tekan ngomah, njupuk salin njur nggeblas nyang sarangan nemoni gegantilaning ati. Aku dhewe ora ngerti, kena ngapa sawise nampa kabar saka
Candrasasi ati sing maune lerem bali gronjalan maneh. Kaya dene geni sing kari pelik-pelik, bareng disoki bensin bali mubal maneh. Kaya adat saben yen aku mulih, sisihanku wis mapag neng ngarepan kanthi polatan sumringah. Gurawalan tas sing takgawa dicandhak, sawise diselehake neng meja banjur njupuk banyu es saka kulkas.
“Sayah, Mas?” kandhane karo ngulungke gelas.
“Karang jeneng nyambut gawe.”
“Iki diunjuk dhisik, ben seger.” [ 129 ]“He-eh.” “Aku mangsak kesenengan panjenengan lho, Mas.” “Apa?” “Diprisani wae. Mengko nek wis bar dhahar takpijeti ya?” Aku ora wangsulan, mung nglirik pener meja dhahar. Ing kono wis tahrik-tharik ditata mangan awan kanthi komplit, saka sop, rendhang kompli tekan buahe barang. Lungguh srog, gegancangan piringku diisi sop pinangka pambuka, banjur sega salawuhe. Kabeh mau ditindakake kanthi tulus lan tanggung jawab minangka bojo, kudune aku bisa nimbangi, embuh sarana kawigaten utawa pangalembana. Apa maneh dheweke ora nganggur, wiwit esuk cekat-ceket mangsak supaya mengkone yen aku bali wis cemepak sakkabehe. Ning embuh, kena apa ati iki mbeguguk ngutha waton. “Aku arep Rakor, Jeng.” “Neng endi?” “Emmm…, neng Semarang.” “Kapan?” “Saiki, mengko bengi pembukaane.” “Kok dadakan ta?” “Witikna piye, minangka pegawe cilik aku rak mung manut. Arep mbantah ya ora wani tenan.” “Nginep?” “He-eh, apese dina Selasa lagi mulih.” “Nek ngono klebu cuti ya Mas?” “Ya ora, wong iki klebu dhines.” “Panjenengan dhahar, aku tak nyepakake salin. Njur budhaale piye? Nganggo mobil kantor apa travel?” “Aku mangkat dhewe kok, Jeng.” Jugar anggone arep mangan, sisihanku malah banjur menyat lan mlebu kamar. Dheweke nyepak-nyepakake ubarampe sing tak perlokake, kaya dene sandhangan lan keperluan saben dina sing ditata kanthi rapi lan mlebu koper terus digawa neng mobil. Budhalku diuntabake tekan ngarep lawang, kaya biyung sing bakal ditinggal anake lunga adoh, kanthi kebak kawigaten Dhik Sutinah ndrindhil olehe weling. “Sing ngati-ati Mas, iki jarak jauh lan maneh panjenengan during ngaso.” “He-eh, bakal tak ati-ati.” “Eling lho, neng ngomah aku ngenteni kanthi setya.” “Inggih, Bu Guru.” “Diaturi prisa kok.” Pipiku diaras kanthi kebak katresnan, Peugeot gleser-gleser ninggalke plataran nggeblas tumuju dalan gedhe sing panggah ilir dening sawer- Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
marang bojo sing ora duwe dosa. Pancen aneh, aneh banget. Apa ya iki sing diarani tresna sejati? Ah embuh, ning sing cetha aku ora kuwawa ngilangi wewayangane Candrasasi saka ati kang paling jero. Luwih-luwih nalikane dheweke nilpon mau. Ndungkap kutha Ngawi dalane sepi, kanggo ngerteni yen kekasihku isih ngenteni lan temen-temen anggone ngenteni tekaku, handphone takjupuk. Nomer-nomer sing takkarepake takpijet, wusana diangkat lan keprungu swara wanita sing sopan.
“Hotel Metro, sugeng siang.”
“Sugeng siang, Mbak.”
“Wonten ingkang saged kula bantu?”
“Nyuwun prisa, menapa wonten tamu ingkang asmanipun Ibu Candrasasi saking Jakarta?”
“Anu, peserta Raker Departemen Luar Negeri?”
“Leres.”
“Tasih, Pak, Ibu Candrasasi konduripun mila dipun undur dene sedaya peserta Raker mila sampun ceck out wau enjing.”
“Matur nuwun, Mbak.”
“Perlu kula sambungaken ing kamaripun?”
“Mboten, sugeng siang, Mbak.”
“Sugeng siang.” Handphone takpateni, edan! Pranyata Jeng Candrasasi serius olehe ngenteni tekaku. Rasaku dadi saya kemrungsung, mobil luwih takbanterake, wusana nggeblas pindha thathit.
Pikiran mung siji, age-age ketemu sang gantilaning ati.
Mbok Manawa bener ngendikane para winasis tresna sepisan lan sejati mono tangeh lamun bisane ilang. Kepara digawa tumekaning pati, lan ora bisa dipindhah marang wong liya. Bab iki uga takalami, karepe wong tuwa mono becik lan wicaksana. Pedhot katresnan karo Jeng Candrasasi tatuning ati pancen susah lan kelangan pangarep-arep urip. Mula gage dijodhokake wanita liya, amrih sakabehing cintraka bisa ilang, nanging jebul ora bisa, ditilpon Jeng Candrasasi wae dadi uyap. Direwangi dora karo bojo, bisa-bisane mlincur nyambut gawe lan kedhungsangan tekan kene mung arep tumindak slingkuh. Ning embuh, tresna pancen misterius lan angel digagapi dening manungsa.
Sawetara iku mobil sedhan Peugeot sing taktumpaki terus munggah ndeder, mecaki pegunungan asri kang kiwa-tengen wiwit kebak villa pating tlecek. Nalika papan sing taktuju wiwit katon, lambeku dadi mesem kelingan Hotel Metro dumunung ing pucuk, cedhak tlaga utawa kedhung sing jembar ngilak-ilak pindha samodra. Hawane adhem njekut, sesawangan endah lan nengsemake. Mula lumrah yen dadi jujugane wisatawan embuh asing utawa dhomestik, jer pancen pas kanggo ngenggar-enggar [ 131 ]penggalih. Uga akeh kantor sing ngadani rapat ing kene awit ing kene akeh uga hotel berbintang kang fasilitase cukup komplit, kaya kang ditindakake kantore Jeng Candrasasi.
Saka kadohan dakwaspadakake lungguh ing sapinggiring kedhung ngarep hotel lagi ketungkul maca majalah. Lambeku dadakan mesem, saka pamawasku Jeng Candrasasi ora owah. Lire, isih tetep kaya dhek dadi pacarku biyen sing ayu lan merak ati sarta bisa gawe getering ati. Dhasar lagi santai, penganggone sarwa prasaja kang dumadi T-shirt rupa krem polos lan clana jeans coklat tuwa. Rambute ditaleni karet gelang, raine blas ora nganggo make up. Ewasemana dhasare pancen ayu, panggah wae ngresepake, bola-bali mripate nyawang dalan kanthi rasa goreh, sajake ngenteni tekaku malah tangane njupuk handphone embuh arep nilpon sapa.
Thuuuuut….
Bathukku njengkerut, lha kok handphone-ku sing muni. Apa iya dheweke sing ngontak aku? Sakawit aku pancen ngajak guyon, ning ya nek pancen saka dheweke, nek dudu apa ora kewirangan. Lire, yen sing nilpon saka kantor apa ngomah ha rak bilahi, mula alon-alon tilpon taktampa karo maspadakake solahe kenya ayu pinggir tlaga.
“Hallo ….”
“Mas Drajad?”
Ces, pranyata bener dheweke.
“Ora sah nilpon barang, aku wis ana ngarepmu, gilo….”
“Dadi…?”
Handphone ditutup, Jeng Candrasasi thingak-thinguk, sajake nggoleki aku, neng endi. Pancen dheweke durung ngerti marang mobil sing takenggo iki, lagi sawise mandheg lan aku mudhun, dheweke mlengeh nalika mbradhat mlayoni nedya ngruket, aku gage menehi sasmita karo nglirik kiwa tengen supaya njugarake kekarepane. Awit ing kono pancen akeh wong, mosok rangkulan neng njaba. Jeng Candra tanggap, tangana tengen mung ngrangkul bangkekanku, dene tangan kiwaku ditumpangake ing pundhake. Sinambi mlebu lobi hotel, kunci mobil takpasrahake room boy sing banjur nggawa neng parkiran.
“Sayah, Mas?”
“Ora, biasa wae.”
“Nyetir mobil Yogya-Sarangan meh patang jam ora kesel?”
“Soalae arep ketemu widodariku.”
“Huh gombal! Ning aku yakin nek Mas Drajad mesthi rawuh mrene.”
Lawang kamar takbukak, ganda arum kembang melathi ngebaki ruwangan. Sawise nyelehake koper lan resik-resik awak, rasane seger kayakaya ilang sakabehe lungkrah. Jane mono wengine durung pati sempurna, gandheng neng pucuk gunung dadi adheme prasasat njekut. Jeng Candra [ 132 ]katon anggun, menganggo sandhangan schraf ireng, wusana aku sakloron runtung-runtung munggah ing tingkat loro, papan restoran lan bar. Sing takpilih meja paling pojok, kahanane remeng-remeng awit mung kasunaran lilin, ewasemana malah njalari romantis. Pelayan mara, Jeng Candra pesen pizza.
“Kabare piye, Jeng?” pitakonku mbukani rembug.
“Hemm …, kabarku ora pati apik, Mas, uripku cemplang.”
“Apa sisihanmu kurang kawigaten?”
“Ora mung kurang, ning blas ora nggatekake aku.”
“Kaya sliramu katon makmur.”
“Mas, ing babagan ekononi, aku pancen mapan kepara torah-turah. Ning, apa manungsa urip iku cukup diplepeg bandha?”
“Njur?”
“Takakoni nek Mas Wawan iku pengusaha sukses, ning ya kuwi, sing dipikir lan dirembug esuk-sore, awan-bengi mung bisnis. Lunga neng luar kota utawa luar negeri sasen-sasen, yen mulih anane mung nesu, njur dianggep apa aku iki.”
“Pira putramu?”
“Kepriye bisane duwe anak yen ora tau srawung.”
“O….”
“Mula Mas, jroning rasa sepi iki aku temen-temen kesiksa lan mung tansah kelingan marang panjenengan sing taktresnani. Aku ngerti, iki ora pantes. Ning aku ora kuwat ngadhepi kurdhani ati. Perkara panjenengan wis bebrayan, aku ora perduli.”
“Terus sisihanmu ngerti yen kowe ana kene?”
“Dheweke neng luar negeri, telung sasi meneh lagi bali. Utawa meneh ngertiya, sengara digape, wong aku sakloron neng ngomah prasasat kaya jethungan, siji lan sijine repot dhewe-dhewe. Njur nek brayat panjenengan piye?”
Aku arep mangsuli, ning kapeksa jugar awit pelayan teka nggawa pesenan. Wusana aku sakloron ngahapi pizza sing isih panas, sinambi takblakani kahanan brayatku satemene. Kiwa-tengen dalah kahanan romantis, katambahan hawa adhem lan weteng ngelih njalari anggonku mangan ndemenakake. Saka ruwangan sisih kana katon grup musik wis siap ing panggung, wusana keprungu lagu-lagu lembut. Mbaka siji pasangan-pasangan padha dhansa ngebaki papan kang jembar. Nalika keprungu lagu favoritku sakloron Before you go aku ngadeg karo kandha.
“Dhansa ya, Jeng.”
Jeng Candra menyat karo mesem. Ing papan iki aku sakloron ngrasakake kaanan lan nostalgia sing taktindakake rikala isih sekolah sarta kuliyah biyen. Lagu siji lan sijine terus milir gilir-gumanti, meneri lagu Don’t for get to remember me sirahe diselehake ing dhadhaku, tes! Dheweke [ 133 ]nangis, eluh bening nelesi gulu. Sinambi ngusap mripate lan terus nurut iramaning lagu, rambute takelus lembut, karo kandha lirih ing kupinge. “Sliramu kok nangis, Sayang.” “Iki tangis kamulyan, Mas. Kena apa lagi iki bisa takcecep. Mas, aku emoh pisah, gawanen neng ngendi wae aku ndherek.” “Ning awake dhewe kudu bisa nonton kahanan kang ana, Jeng, aku lan sliramu wis padha duwe tanggung jawab.” “Aku bisa nekad njaluk pegat, sukur-sukur panjenengan ya pisah. Kepepete, aku dadi bojo nomer loro ya gelem kok.” “Hus, ngaco! Wis, aja ngrusak keadaan iki ah, Jeng!” Dheweke mesem, tutug dhansa terus metu saka hotel lan diterusake numpak prau kang sumadiya ing tlaga. Sanajan wengi, ewasemana sing nyewa prau klebu akeh, iki nuwuhake sesawangan endah, pating klelip lampu kang dipasang ing saben prau. Sawetara aku nyatang, Jeng Candra teturon ing pangkonku karo kala-kala ndulangake kacang utawa panganan. Srana ringkes takcritakake bab kahanan kulawarga sing takpandhegani karo Jeng Sutinah. Saking dene ketungkul pepasihan, ora krasa nganti tekan tengah wengi lan ing tlaga wis sepi sing ana mung prau sing taksewa. Mula gegancangan minggir, ninggalake tlaga bali neng hotel. Lagi wae mlebu kamar, sret! Guluku dadakan dikunci nganggo tangane, wusana Jeng Candra ngiwut, pindha singa ganas. Rehne aku priya normal, dipancing ngono kuwi dadi mubal nepsuku, wusana aku sakloron dadi lena lan lali purwa duksina, lagi wae arep tumindak luwih adoh, ngerti-ngerti wewayangane sisihanku kumlebat lan kandha, “Eling lho, neng ngomah aku ngenteni kanthi setya,” sanalika aku njondhil saking kagete. Pranyata Jeng Candrasasi uga dadakan eling. Awakku sing nindhihi dheweke dijorogake, aku sakloron banjur nganggo sandhangan kang pating klumbruk neng njobin. Sawise bali rapi banjur kandha groyok. “Kena apa awake dhewe arep tumindak edan, Mas?” “Ah, nyuwun ngapura Jeng, yen aku meh nerak wewaler.” “Aku ya salah kok, kepiye wae iki laku jina, tujune wae aku lan Mas Drajad isih padha-padha diparingi eling.” “Bener Jeng, karang jeneng emosi lan ngadhepi tilas kekasih, amrih aja kedadeyan maneh, prayogane aku tak pindhah kamar wae.” Dheweke manthuk, gegancangan aku metu lan lapor marang recepsionis pesen kamar siji maneh. Lambeku ngaturake panuwun marang Gusti Allah dene isih diparingi eling lan ora sida khianat karo bojo. Sawise lerem, lagi bisa bablas turu malah kepara karipan. Awit bareng nglilir jebul wis awan. Sawise adus, metu saka kamar, angkahku mono nedya ngejak sarapan Jeng Candra. Dadakan diparani Mbak recepsionis, sing nggawa layang.
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010
Bapak lan sedaya rekening sampun dipunlunasi.”
Aku manthuk, layang takgawa bali mlebu kamar, isine ringkes, ning gawe trenyuh lan keranta-ranta.
Mas Drajat kekasihku,
Takjarag aku bali meneng-menengan, awit yen pamit ndhak ora kuwat ngampet tangis. Katresnan panjenengan kang suci taksimpen adoh ing pojok ati, tanpa ana blentong kang meh wae kedadeyan. Donga-dinonga wae Mas, amrih brayate awake dhewe wutuh lan rukun. Rayi Tuhu Tresna Candrasasi.
Aku nyerot napas jero, jero banget supaya dhadha iki dadi ilang sesege. Sawise ngringkesi barang, kluntrung-kluntrung aku ninggalake hotel bali neng Yogya. Marang Dhik Sutinah aku kandha, yen dikon mlebu kantor awit ana gaweyan sing luwih penting tinimbang melu Raker neng Semarang.
Sedina, rong dina tekane seminggu pancen ora ana kedadeyan apaapa, lire kulawargaku ayem tentrem. Mung bareng ndungkap telung minggu, blas ora ngira yen brayatku nemoni prahara. Wektune dina Rebo, bali kantor Dhik Sutinah ora mapag kaya adat sabene. Luwih nggumunake nalika aku mlebu ngomah, sakawit dheweke lungguh karo njinggleng maca majalah.
Weruh tekaku dheweke malah menyat nglungani, wusana mlebu kamar nuli nangis, njalari bingungku. Gek mergane ki ya apa? Majalah takjupuk, pranyata Djaka Lodang kang lagi mentas teka, nalika mbukak rubrik lembar istimewa, dheg! Atiku pindha dijojoh alu. Ing kono kapacak papan wisata tlaga Sarangan, lha kok ndilalah potoku dimuat kanthi cetha wela-wela nganti cacah telu. Siji, lagi rangkulan ana ngarep Hotel Metro cedhak mobil Peugeot duwekku AB 1234, loro, praon karo Dhik Candrasasi ing tlaga, dene sing telune maneh nalika lagi dhansa kekep-kekepan ing dhiskotik hotel.
Durung nganti ilang kagetku, saka saselane majalah ana amplop tiba. Bareng takjupuk lan takwaca mawa kop klinik laboratorium. Gegancangan takbukak, lha dalah! Jroning surat keterangan mau disebutake yen Dhik Sutinah positif mbobot anakku sing pisanan.
Sanalika aku njranthal, nedya ngejak Dhik Sutinah sujud syukur marang Gusti Allah dene wis kaparingan momongan kang dakdama-dama. Lagi wae arep nothok lawang kamar, tanganku kandheg dadakan, njur kepriye carane nerangke bab foro-foto, sing kemot ing DL, genah Dhik Sutinah lagi muring.
Entek-entekane aku mung njegreg, tanpa ngerti kudu tumindak kepriye kejaba mung nggresah. “Dhe-el, oh Dhe-el…. Dhuh, Djaka Lodang….
Djaka Lodang, No. 01/02, Th. XXXI, 2/9 Juni 2001
Mas Nganten saiki wis dadi wong singke kecukupan uripe. Malah kepara turah-turah bandhane. Beda banget karo dhek biyen. Bebasan kahanan malik grembyang 180 drajat. Biyen nalika isih dadi ‘Panji Klanthung’ klonthang-klanthung awake kuru tansah ingah-ingih. Pakeyane prasasat ora tau ganti. Istilahe ‘thok ji, mbi ji’. Gonteng sing yen guyon sok rada kebacut, menehi sebutan nylekit, yakuwi si bokek, alias wong sing ora tau duwe dhuwit. Malah jeneng ‘Mas Nganten’ kuwi ya saka akal-akale Gonteng. Dumeh lulusan SMP ngerti basa Inggris sithik-sithik banjur ‘Mas Ngaten’ sing jeneng asline Mariadi, diplesetke nganggo basa Inggris dadi ‘Meried’ sing maknane ‘nganten’. Saben Gonteng ketemu menawa alok ‘Mas Nganten’ banjur ngguyu kekel saking senenge, olehe bisa ngece. Nanging jalma tan kena kinira. Saiki Mariadi dadi wong sugih ing desane. Kepriye larah-larahe olehe bisa sugih ora ana sing ngerti.
Mung watara 15 taunan, usahane saya mundhak gedhe. Duwe toko klontong, toko ondhredhil mobil, dadi agen minyak bumi, usaha ing bidhang transportasi. Angkot ana 5, truk 3, kabeh padha oprasi. Mula penghasilane prasasat ngetuk mbanyu mili kaya-kaya ora tau asat. Ora maido, jeneng yen lagi kesinungan iki pancen kaupamakake suket gadhong dadi rewang. Kosok baline si Gonteng sing biyen seneng ngiwi-iwi, saiki ora nempil sithik-sithika. Apa maneh bareng tansah lelaranen saiki banjur katon tuwa. Pancen wong kuwi yen arep ngunduri umur, yen ora dijaga kesarasane, adhakane banjur lunga teka lelarane. Apa maneh yen nganti kesengkan anggone mikir kadonyan, kuwi sing banjur nyengkakake kanggo lantaran nyuda umur.
Ora ngerti apa sebabe, tumeka saiki Gonteng ora nuduhaake tangkep sing becik. Ora mung kuwi wae, malah Gonteng iya tegel nyebar isu sing ora samesthine. Bab kuwi Mariadi wis ngerti nanging ora digagas. Yen Gonteng rumangsa dhewe merga perlakuane karo Mariadi dhek biyen iku kliru. Jalaran tumrape Mariadi wis ora kepikir. Sing biyen kuwi mung dianggep kaya kembange wong turu. Dene sing saiki kuwi kasunyatan [ 136 ]sejati. Mariadi wis ngubur kabeh lelakone sing biyen. Senajan Mariadi tansah nuduhake ulat becik, ewasemana Gonteng tetep ora gelem nyanak.
Nuju wayah sore Gonteng sanja menyang omahe Lik Pawiro. Wong loro kuwi pancen akeh kacocogane. Mula yen ketemu gayeng banget. Kaya dene tumbu oleh tutup. Bareng wis ngobrol ngalor-ngidul sawatara, entek-entekane Gonteng nyandhak usahane Mariadi.
“Saestu Lik …, suksese Mariadi mboten sebaene. Yen Lik Pawiro ajeng ngertos, angsale pados teng Gunung Mbalak. Pokok kula ngertos ….”
Lik Pawiro sing dikandhani mung manthuk-manthuk. Lagi wae arep kumecap, Gonteng wis nyambung.
“Mula sugih mblegedhu niku nggih saking mrika. Ning nggih niku … mangke onten kurban ….”
“O …, ngono ta? Nanging yen nggawa kurban yen aku trima ora.”
“Yen mrika sarate mbeta jago ules jene.”
“Kowe ngerti pernahe Gunung Mbalak?”
Rumangsane Gonteng, Lik Pawiro arep melu njupuk mrana.
“Yen pernahe, terus terang kula mboten ngertos. Ning, nek Lik Pawiro serius, mangke kula padoske keterangan.”
“Semprul kowe Teng …, geneya kowe ora ngerti! Olehmu crita kaya iya-iya-a.”
Bareng wis tutug nggone padha obrol-obrolan, Gonteng banjur pamitan mulih. Jroning ati Lik Pawiro gremengan. Jane mono kuwi temenan apa ora ta? Wong golek pesugihan teka bisa banjur sugih? Kok olehe mayir …. Kabeh kuwa rak saka perjuangane. Aku ora mudheng. Nanging jare sing menyang Gunung Kemukus kae pancen ngono. Mung carane sing beda. Ing kana jalu lan estri padha ‘kumpul’ banjur prajanji, lamun mbesuk salah siji mulya dhisik, iku kang bakal nyembadani uripe.
Pancen yen dinalar kepriye nalare, ora bakal ketemu nalar. Pancen ora sah dinalar. Pokoke percaya. Jalaran saka kapercayan mau bakal nuwuhake kaelokan. Nanging sing takgumuni kuwi Gonteng kok bisa-bisane kandha yen Gunung Mbalak iku papan kanggo golek pesugihan. Sangertiku kana kuwi nggone wong ahli kanoragan. Jaman biyen saben brandhal, maling, kecu lan sapunggalane padha meguru mrana. Tembung Mbalak kuwi saka rong tembung, yakuwi gombal lan galak. Sanajan nggombal, kere, nanging galak! Jalaran duwe piyandel. Dadi dudu papan kanggo golek pesugihan. Gonteng kuwi ngawur tenan.
Kabegjane Mariadi ora mung kuwi wae—bisa dadi wong sugih— sabanjure dheweke entuk kapercayan mimpin rakyat padesan kono. Sadurunge entuk kapercayan dadi Kepala Desa, dheweke entuk firasat aneh. Diweruhi pitik jago sing ulese kuning. Kalasemana, senajan Mariadi wis dadi wong sugih, nanging dheweke tetep prasaja. Tangkep karo sapa wae becik. Mangka wong kuwi saka ora duwe, banjur duwe sethithik [ 137 ]wae banjur malih srengat. Omonge gedhi-gedhi, suwarane cumengkleng nuduhake kuwanene. Nanging Mariadi ora. Mariadi sing wis dadi wong sugih banjur bisa ngrasakake kamuktene. Saben sore ing teras omahe nglaras nonton sesawangan ing platarane sing asri. Menawa wis ngarepke surup lagi mlebu ngomah. Kuwi meh ajeg saben sore. Sawijining dina, nganti kenthong Maghrib Mariadi isih ana ing teras, mbokmanawa ketungkul ‘nggone ndudut rasa’ ora ngerti saka ngendi tekane, ana jago ules kuning saba kono. Mesthi wae dheweke gumun.
“Lho iki jagone sapa?” pitakone dhewe, “Wayah mengkene isih ana jago saba.”
Jago ules kuning mau apik banget. Dening Mariadi banjur diparani. Nanging kocapa, bareng arep diparani …, jago mau wis ilang. Mariadi gumun. “Apa jago? Nanging cetha mentas ana jago saba mrene. Apa pitik siluman?” Bareng cetha yen wis ora ana. Mariadi banjur mlebu ngomah. Nganti sawatara jago ules kuning mau isih ngetok-etoki. Sawise kadadeyan kuwi, nalika Mariadi dolan menyang Malioboro weruh hiasan jago saka porselin, persis jago sing diweruhi. Merga sengsem, barang mau banjur dituku. Barang mau dadi pajangan ana ruang tamu. Pitik jago mau sing dianggo siu Goteng, yen Mariadi golek pesugihan nganggo jago ules kuning.
Nalika arep ana pilihan Kades, dheweke sithik-sithika ora duwe niat arep nyalonke. Kajaba ora duwe karep, rumangsa yen ora duwe bekal kanggo mimpin masyarakat.
Dumadakan …, pikirane mak nyut! Kelingan marang jago sing mendha-mendha ing plataran. Iku mau dianggep pralambang dening Mariadi. Mula dheweke banjur njago. Mariadi nyalonke, wusana menang. Bareng wis dadi Kades, nyatane bisa mimpin kanthi becik. Kepemimpinane becik nganti ora ana gejolak ing masyarakat. Meh kabeh warga sayuk lan nyengkuyung marang Mariadi.
Awan kuwi kantor Kades katon sepi. Mung kari karyawan telu kalebu Gonteng. Gonteng saiki katon gagah nganggo sragam dril, Saiki katon enom maneh. Polatane sumringah, ngedhep meja kerjane lagi maca koran. Bareng weruh Lik Pawiro metu saka ruang Kades, banjur menyat.
Pitakone, “Empun, Lik …?”
Saure Lik Pawiro, “Wis …, kowe ditimbali Pak Kades.”
Alon-alon Gonteng mlebu ruangane Pak Kades. Ore let suwe banjur metu. Banjur nata map-map karo ngunci laci mejane.
“Ajeng ndherekke Pak Kades takziyah ….”
Mariadi metu saka ruang kerjane menehi isyarat Gonteng. Gonteng tanggap banjur ngiringke budhale Pak Kades.
Saiki Gonteng melu kamuktene Mariadi. Jalaran bareng mariadi dadi Kades, Gonteng diusulake Kaur Pemerintahan sing kosong. [ 138 ]Lik Pawiro sing nyawang wong loro olehe marani mobile. Batine, “ing donya iki pancen aneh”. Lik Pawiro manthuk-mnthuk. Kantor Kades wis wancine tutup. Kabeh padha tata-tata. Lik Pawira, Jagabaya desa iya tata-tata, banjur mulih.
(Pengetan kanggo mitraku:
Soeprapto DS alias Mas Nganten Gonteng)
Pawiro sing wis puput yuswa.
Djaka Lodang, No. 06, Th. XXXI, 7 Juli 2001
Yen takrasakke ing wektu krismon kaya saiki iki kok dha waniwanine udhu modhal kanggo mbukak usaha warung, mbuh modhal kuwi saka olehe ngudhunake kredhit ing bank, nyebrak tanggane, apa ndhudhah tabungane dhewe. Anggone ngedegake warung ora tanggung-tanggung. Angger ana lemah sela ing pinggir dalan dha cepet-cepetan tuku banjur diedegi warung. Warunge digawe apik sisan, prabote pepak. Yen perlu platarane warung digawe jembar supaya kena kanggo parkir dendharaan. Kanggone sing modhale cupet trima ngedegake warung ing emper omahe dhewe utawa ngedegake warung-warung tendha ing trotoar, emper-emper toko, ing prapatan dalan lan ing papan rame liyane.
Kadhang kala aku sok mikir, apa warung-warung sing padha ngrembaka pindha jamur ing mangsa udan kuwi bisa laris ing kahanan sing sarwa angel iki? Mesthine wong-wong dha ngirit pametune, ora kaya biyen mung angger tetuku. Sabisa-bisane mangan ing omah, ora perlu jajan. Apa maneh reregan bahan pangan saiki saya larang. Mesthine tarip panganan ing warung uga mundhak. Gampangane, yen biyen jajan ing warung nggawa dhuwit Rp2.000,00 wis entuk sega rames sapiring, es teh sagelas, tempe bacem sairis, lan rokok sealer. Saiki dhuwit samono entuk apa? Paling-paling es teh sagelas karo jajanan.
Yen biyen ana warung sing diarani ‘murah-meriah’, saiki warung sing kaya ngono angel ditemokake. Upama ana, sing arep dianggo murah-murahan apa? Wong apa-apa larang. Ana warung sing biyene ajeg masang tarip panganan, saiki taripe dikosongi, awit regane sawektu-wektu bisa ganti manut reregan bahan pangan ing pasar. Ana warung sing sepi, arang sing tuku. Mbokmanawa rega panganan ing warunge rada ‘medeni’ dhompet banjur sing arep tuku mrono awang-awangen awit dhuwite ngepas. Saiki apa ta panganan sing murah?
Ing desaku, sadurunge ana krismon, cacahe warung kena dietung driji lan gampang diapali. Upamane warung sega rames “Mbokdhe sami” sing ngadeg ing sandhing KUD, warung “Mulyareja” sing kondhang jalaran soto ayame, utawa warung lotek “Mbak Sarjiyah” sing ngangeni. [ 140 ]Lha mbasan ana krismon warung akeh tinemu ing saben papan. Adate yen wayah srengenge angslup lapangan voli ing pinggir desa wis sepi nyenyet. Saiki malih 360 drajat, warung-warung tendha padha ngadeg ing sakubenge lapangan. Ora mung kono thok, ing ngarep gang, ngarep sekolahan utawa protelon desa uga ana, ora ketang loro utawa telu. Sing didhep werna-werna, wiwit panganan camilan nganti jangan kanggo lawuh mangan. Sing takgumuni, ana warung telu sing padha-padha adol mi godhog lan mi goring madeg ing panggonan sing padha. Bisa dibayangake, kepriye olehe balapan nggeret pelanggan. Yen ta anggone balapan kanthi cara sing sportif ora dadi masalah. Yen ngati dha ‘bersaing secara tidak sehat’ gawe pitunane wong liya utawa bakul liyane, wah … nyilakani.
Contone, tanggaku Yu Painah lan Mbak Sayem. Wiwitane Mbak Sayem sing mbukak warung ing emper omahe. Sing diadhep bangsane barang kabutuhan rumah tangga lan jajanan bocah. Tangga teparo, mligine para ibu yen arep tetuku utawa ngebon mrono. Semono uga cah-cah cilik. Mbaka sethithik warung Mbak Sayem dadi rame lan laris. Ngerti ngono, Yu Painah tiru-tiru mbukak warung. Ndilalah sing diadhep ora ana bedane karo warung Mbak Sayem. Mung regane rada murah. Upamane lenga potro nggone Mbak Sayem Rp450,00, nggone Yu Painah Rp400,00. Ngerti nggone Yu Painah murah, tangga teparo sing maune sok tetuku nggone Mbak Sayem wiwit ngalih mrono. Warunge Mbak Sayen saya sepi. Nanging Mbak Sayem ora kentekan akal. Dheweke wiwit kulakan ombenomben botolan, kaya dena Coca-Cola, Fanta, lan Sprite nganti pirangpirang krat lan digelar maprah ing emper warunge. Yu Painah ora gelem kalah. Dheweke uga kulakan omben-omben sing padha malah dijangkepi nganggo lemari ‘pendingin’ barang. Ing lawang warung ditulisi “DI SINI SEDIA COCA-COLA DINGIN”. Lemari pendingin-e diselehake ing emper warung. Supaya wong liwat ing ngarep warunge weruh.
Suwe-suwe anggone usaha warung jor-joran. Siji lan sijine balapan mepaki prabot warunge. Nganti wujude dudu warung, malah memper toko! Ora mung kuwi, malah balapan mbanting reregan barang. Mbak Sayem angger kulakan numpak sepedha montor, dene Yu Painah numpak suzuki pick up sing lagi wae tuku. Mbak Sayem lan Yu Painah wiwit memungsuhan nanging ora katon saka njaba. Aku weruh dhewe, nalika wong loro pethukan ing ndalan ora sapa aruh. Malah pasang ulat peteng, plerok-plerokan. Angger aku jajan neng warunge Yu Painah, dheweke sok nlesih-nlesih bab reregan ing warunge Mbak Sayem utawa ngrasani sing elek bab Mbak Sayem. Kejaba iku, uga sok ngglembuk aku supaya jajan mrono. Semono uga yen jajan nyang nggone Mbak Sayem, dheweke alok, “Kadingaren kowe jajan mrene. Biasane rak jajan nggone Painah wong reregan ing kana murah. Rak iya ta Dhik?” Ibu uga nate disruwe [ 141 ]kaya ngono. Dhek wingi nalika ibu mundhut tempe nggone Mbak Sayem, dheweke alok, “Kok tumbas tempe mriki, Bu. Biasanipun rak tumbas nggenipun Painah nggih. Mrika rak langkung mirah.” Semono uga yen ibu mundhut ing warunge Yu Painah. Sok diajak rerasan elek. Suwesuwe ibu ora kersa tetuku ing warunge wong loro iku. Awit sarwa ora kebeneran. Mula ibu yen arep blanja takdherekake nyang pasar. Pancen aku lan ibu biasane tetuku nyang nggone Yu Painah amarga panggonane cedhak mung keletan omah siji. Yen pinuju nggone Yu Painah tutup utawa sing arep dituku ora ana banjur ngalih nyang nggone Mbak sayem. Dadi dudu jalaran larang utawa murah. Nanging dening Yu Paninah utawa Mbak Sayem malah ditampa kleru. Ya wis ben sakarepe anggone nampa. Sing penting ibu lan aku ora nduwe niyat mbedakake sing siji lan sijine. Kabeh takanggep padha. Karepku nggono ngemong loro-lorone wong isih tangga tunggal RT. Ah …, mikir perkara iku njalari gaweyan ngumbah sepedha ora gek ndang rampung. Sikat lan sabun detergen langsung takcandhak. Sepedha montor Astrea Grand takgebyuri banyu mbaka sethithik banjur takulapi sabun lan taksikati nganti metu umpluke. Lagi dina iki kober ngumbah amarga wis limang dina tak tinggal melu lintas alam nyang Gunung lawu. “Eh …, lha kae rak Mbak Sayem ta. Lho …, kok marani warunge Yu Painah kanthi polatan pecuca-pecucu lan ulate peteng. Sajake lagi ngampet emosi. Wah …, ana apa kae?” “Wong wadon ora urus ya kowe. Bisa-bisane mitenah aku ngingu thuyul. Karepmu iku apa ta Yem?” “E …, sing mitenah awakmu ki sapa? Cangkemmu aja waton muni lho Nah!” “Sapa maneh yen dudu dhapurmu kuwi. Kowe mesthine meri merga warungku bisa laris katandhing warungmu.” “We lha …, cangkemu kuwi kok saya ndadra ta. Njaluk disuwek pa piye?” “Coba yen wani maju! Nyoh …! Ndang suweken! Ayo …!” Yu Painah ngejokake raine semu nantang. Mbak Sayem sajake wis kentekan rasa sabar. Banjur …, “plek-plek!” Tutuke Yu Painah ditapuki sakayange. Durung marem, Mbak Sayem nambahi maneh. “Plek-plek …,” nganti tutuke Yu Painah metu getihe. Yu Painah genti males. Rambute Mbak Sayem dicandhak banjur dijambaki sakayange. Lire wong loro iku gelut uleng. Cakar-cakaran. Jotos-jotosan. Jiwit-jiwitan. Bocah-bocah cilik sing padha dolanan ing cedhak warunge Yu Painah ora padha misah malah nonton karo surak-surak seneng. Sepedha montorku sing isih gluprut sabun detergen taktinggal. Wong wadon loro sing lagi ‘duel’ iku rekane arep takpisah. Nanging …, “plok” pipiku kena pukulan nyasar. Wah …, angel temenan misah wong loro iku. Wah …, rahayune Pak RT lan Kang [ 142 ]Giman lagi liwat. Weruh aku lagi kethayalan misah, Pak RT lan Kang Giman melu misah. Lire Mbak Sayem lan Yu Painah bisa dipisah. Banjur dening Pak RT diajak rembugan ing daleme. Lelakon kok ana-ana wae. Rekane arep golek pengasilan tambahan ndadak direwangi cakar-cakaran. Oh …, urip-urip.
Djaka Lodang, No. 08, Th. XXXI, 21 Juli 2001
Pancen, rasane abot banget dikongkon njaluk pangapura, sanajan ati iki ngakoni luput. Ana rasa isin, gengsi lan rasa gumbedhe kang kudune kabuwang adoh. Minangka muslim, rasa-rasa kang ora bener ngono kuwi ora samesthine kasandhang. Ora perlu isin ngakoni luput jer manungsa mono lumrah nyandhang lali lan luput. “Nanging dheweke mung dhapur mantu,” batin atine Den Ayu Sosro. “Tur maneh, dheweke iku turun pidak pejarakan. Apa ya wangun yen aku kudu mundhuk-mundhuk njaluk pangapura? Apa bab iki ora bakal ngasorake drajadku?”
“Nanging Den Ayu wis tumindak ora adil marang Zaitun,” kaprungu swara liya ing telenging atine. “Senajan bocah saka ndesa, nanging Zaitun iku jujur, ora seneng lelemeran. Keneng apa Den Ayu ndakwa dheweke tanpa bukti? Liontin iku dudu Zaitun sing njupuk, malah ragilmu dhewe sing nggawa barang mau neng kantor gadhen. Nek ngono kuwi apa Den Ayu ora kewirangan?”
Den Ayu Sosro unjal napas dawa. Mesthi wae dheweke rumangsa kewirangan gedhe nalika Sasongko ngaku yen liontin iku dheweke kang njupuk saka singgahane ibune lan banjur digadhekake. Muntabe Den Ayu Sosro ora bisa dikendhaleni mbarengi rasa wirange wis ndakwa Zaitun kang milik barang mau.
“Sasongko, matura sing cetha marang Ibu, kena ngapa kowe bisa nduweni trekah nistha sing kaya mangkono iku!” srengene kereng.
“Jeneng aku matur apik-apik ora diparingi,” jawabe Sasongko tanpa nduweni rasa wedi. “Ibu ngerti yen aku butuh dhuwit kanggo mbayar ongkos rumah sakit. Ibu ngendika ora kagungan dhuwit nalika aku matur butuh dhuwit. Kamangka aku ngerti yen rekeninge Ibu neng bank nganti pirang-pirang yuta. Tur maneh aku nembung ngampil, ora nyuwun! Gandheng judheg, aku kapeksa nglimpe Ibu.” Den Ayu Sosro kerot. Dhadhane gemrudug nganpet rasa. Ature Sasongko sithik wae ora salah. Mung wae ragile kuwi sing miturut pamawase ora ngilo githoke. Ngerti mung pegawe rendhahan lha kok bojo
Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010 [ 144 ]nglairake wae kok ndadak dilebokake rumah sakit. Klinik bidhan sing murah wae ting tlecek kok milih rumah sakit. Bareng diadhang ragad lagi klabakan.
Den Ayu Sosro ora gelem ngerti yen mantune olehe babaran kangelan, bidhan sing gawene mriksa wis angkat tangan. Ngono isih tegel ndeleng anake kekintrang golek ragad, puguh ora gelem nyilihi dhuwit, semelang yen ora bali. Sapa wae sing krungu kabar ilange liontin lan wusanane ngerti sapa sing njupuk malah padha nggleges, nyenges.
Den Ayu Sosro kebacut ndakwa Zaitun. Mantune kuwi lara ati, njur purik mulih neng omahe wong tuwane. Satriya, kangmase cer Sasongko, kepeksa nututi neng nggone maratuwane. Mesthi wae karo nggawa sangu wirang marang tumindake ibune. Kanthi prasaja Satriyo kang nyuwunake pangapura ibune marang maratuwane sakloron yen nganti lara ati anake didakwa nyolong liontin.
“Senajan mlarat, anakku takgegulang piwulang agama. Bandha donya ora bakal mblerengi atine Zaitun!” ujare Pak Soleh marang mantune. “Kanggo sawetara Zaitun kareben ana kene, mengko yen wis lerem atine, takkone mulih mrana. Ning, ya kuwi, sarate yen ibumu gelem ngakoni luput lan njaluk pangapura marang Zaitun!”
Satriyo legeg. Panjaluke maratuwane iku wajar, nanging krasa mewah tumrap dheweke. Apa ya mungkin gelem ibune ndhadha kaluputane lan njaluk pangapura marang Zaitun? Satriyo ora wani njamin bab iku ngelingi sifate ibune. Nanging dheweke uga ngerti aten-atenane bojone, yen rumangsa bener dheweke suthik yen kon ngalah. Apa maneh pandakwane ibune iki banget nglarakake atine Zaitun. Lara ati iki ora bakal bisa mari mesthi angel marine. Mbokmanawa butuh wektu mataun-taun, kanggo nglalelake bab iku. Kejaba yen Zaitun masrahake sakabehing panandhang mau ana asta-Ne, ikhlas nampa pacoban lan ujian mau.
Satriyo mumet, ora ngerti apa kang kudu ditindakake. Kanthi nggawa ati sengkleh dheweke bali mulih neng kutha. Tekan ngomah langsung njujug kamar, ngembrugake awake neng dhipan kang kara anyep, sepi.
“Yok …, Yoyok …, maem dhisik, mengko ditutugake olehe turu!” Den Ayu Sosro ndhodhogi lawange Satriyo.
Ora ana wangsulan saka njero kamar kang isih peteng iku.
“Yookk …!” Den Ayu Sosro ngambali pangundange, rada sentak.
Kanthi kapeksa Satriyo mbukakake lawang. Senajan terkadhang ana rasa jengkel marang tumindake ibune kang dirasa kebangeten, nanging Satriyo isih tetep nyoba ngurmati Biyunge iku. Wanita ningrat iku tansah kepengin diturut kabeh karepe, menangan dhewe. Satriyo mung monatmanut wae nalika ibune dhawuh supaya dheweke lan bojone ora nyewa omah jalaran omah kono kliwat gedhe yen mung dinggoni telu utawa [ 145 ]papat kulawarga. Beda karo Satriyo kang alus, Sasongko si ragil, kadhang kala wani nduwa kekarepane ibune yen pancen ora cocog karo atine. “Piye bojomu, tetep ora gelem bali mrene?” pitakone Den Ayu Sosro ing meja dhahar. Satriyo mung gedheg alon. “Dhasar aleman!” Den Ayu Sosro nguman-uman. “Nek pancen ora njupuk, lha yaw is, ngono wae purik ora gelem mulih!” Meh wae Satriyo klelegen oseng-oseng kangkung. Atine semengkring bojone diunekake aleman. Nanging Satriyo panggah meneng tanpa nanduki omongane ibune. Lagi wae rampung anggone mangan, Satriyo entuk laporan saka bojone. Zaitun kandha gelem bali neng kutha yen Satriyo gelem manggon neng omah kontrakan. “Mas Yoyok ora perlu bingung bab dhuwit kontrakan, aku wektu iki nyekel dhuwit, takkira cukup nek mung kanggo ngontrak setaun omah prasaja sing cilik wae,” kandhane Zaitun teges, tandhes. Satriyo tiba mumet. Piye anggone arep matur ibune bab kekarepane bojone iku? Judheg tenan dheweke saiki. Ngadeg ing tengah-tengahing antarane wanita loro kang padha dene ditresnani. Wanita loro sing watake pindha bumi karo langit. Ibune kang keras, pengin menangan dhewe. Dene Zaitun iku wanita kang lemah-lembut, nanging uga bisa dadi keras nalika ‘harga dirine’ diideg. Zaitun mung njaluk sarat sepele lan bakal nglalekake salawase kaluputane ibune, nanging sarat iku dirasa abot banget dening ibune. Satriyo njaguri sirahe. Telung dina lawase dheweke ora bisa mutusi panjaluke Zaitun. Jumat esuk iku, isih repet-repet dheweke ziarah neng makame bapake. Sawise katog ndedonga, kanthi jangkah entheng dheweke mlaku tumuju dalan gedhe. Bis kang ngliwati dhusune Zaitun disetop, banjur munggah. Tekade wis manteb bakal ngajak Zaitun golek omah kontrakan neng cedhak kantore. “Lho, Mas …, yah mene kok wis mruput tekan kene? Ora tindak kantor pa?” pitakone Zaitun karo ngglandhang tanagane Satriyo diajak mlebu ngomah. “Ya mlebu, mengko telat-telat sedhela rak ya ra papa, ora telak pendhak dina wae kok,” jawabe Satriyo ngglayem. Neng njero ngomah Satriyo dibagekake mara tuwane sakloron. Ana sangarepe mara tuwane sakloron Satriya walaka ngenani maksude methuk Zaitun. Bapa biyunge Zaitun ora ana liya ya mung mangestoni apa kang dadi karepe anak lan mantune mau. Kadidene pegawe anyar neng kantor pemerintah, sanajan sarjana bayare Satriyo ora pati akeh. Zaitun kanthi setiti lan permati ngecakake dhuwit kang cupet mau supaya bisa nyukupi kebutuhan jroning sewulan. Gandheng kabutuhane durung pati akeh jalaran durung direpoti mo[ 146 ]mongan, kulawarga mudha iku bisa madeg mandhiring pribadhi. Emane wis meh telung sasi Satriyo pindhah omah kontrakan, ibune durung gelem nyambangi mrono. Ora bosen-bosen dheweke ndedonga, nyuwun sih pitulungan marang Gusti Allah supaya enggal maringi dalan bedhamen antarane ibune lan bojone.
Nganti wulan pasa teka, ana ing kalodhangn iku Satriyo ngupaya ngithik-ithik atine Zaitun, sethithik mbaka sethithik, supaya bisa lumer. Wulan Ramadhan iku wulan kang kebak berkah. Paribasan lawang swarga dibukak lan lawang nraka ditutup, setan iblis padha diranate tangan lan sikile.
Manungsa gawe kabecikan rumangsane penak lan nikmat, kosokbaline sapa sing gawe tindak culika ing wulan Ramadhan sanggane krasa abot banget.
“Piye Jeng, suk nek riyaya apa ya klakon awake dhewe ora sowan ibu?” panambonge Satriyo sore iku marang bojone kang lagi nyiapake masakan kanggo buka.
Ditakoni ngono iku atine Zaitun kaya diris-iris. Sapa sing ndhisiki ngulungake tangan, iku kang pahalane luwih akeh. Apa maneh bab iku ditindakake marang mara tuwane kang kudune direngkuh kadya wong tuwanye sejati, o …, lawang langit bakal dibukak kanggo dheweke.
Lara ati dhek semana krasa banget nabet, kudu dibuwang adoh. Bab iku kudu dianggep ujian, utawa pacoban kang kudu diadhepi kanthi ikhlas.
Riyaya sakwise sholat Ied, wong loro reruntungan budhal sowan daleme Den Ayu Sosro. Satriyo ora kuwat ngampet metune banyu bening saka mripate nalika klakon ngambung dhengkule ibune. Semono uga Zaitun. Pipine dleweran kebak luh nalika Den Ayu Sosro ngesun pipine kiwa tengen. Ora perlu nganggo pangucap. Isarat iku wis cukup kanggone Zaitun. Wong wadon ningrat iku wis ngatonake rasa kaduwunge.
Riyaya taun iki, nggawa angin seger, njanjeni pangarep-arep endah marang sakabehe.
Djaka Lodang, No. 29, Th. XXXI, 15 Desember 2001
Anggone nyawang dalan nganti kumepyur kaya endhog amunamun, ewadene sing dienteni durung katon irunge. Mangka sesuk-esuk wis tekane bakda. Sesuk bengi wis ngumandang takbir. Nanging kahanan omah kuwi isih sepa. Bu Ruminah sing rekmane wis mabluk putih kuwi katon dheleg-dheleg ing ngemper lungguh kursi karo sedhela-sedhela unjal ambegan. Krana atine gragapan saben ana montor ceri sing liwat ana ngarep omahe, ah dudu anak putune. Jebul anake Paiyem sing ana Jakarta lan Bandung padha mulih. Atine Bu Ruminah krasa gela, awake krasa angles. Apa maneh nalika pendhak dina ngadepake takbir anake, Paiyem lelorone padha mampir silaturahmi ora lali oleh-olehe saka paran wujud roti blek-blekan, kaya tambah kedher rasa jroning ati. “Mbak Nita punapa mboten kondur, Bu” pitakone Paini lan Partinah meh bebarengan. “Durung” wangsulane Bu Ruminah sakecekele. “Taun wingi kok ketingalipun kula mboten kepanggih. Namung Mas Narto kemawon?” tembunge Partinah. “Mung mrene sedhela, sajake ora kober methuki sliramu, jare mara tuwane lara,” wangsulane Bu Ruminah kapeksa goroh kanggo nambal wirang jroing ati. “Bapak tindak nggih, Bu?” “Lagi golek panganan dinggo jaburan mengko bengi.” “Pak Benawa rak nggih taksih sehat-sehat nggih, Bu?” “Ya, alhamdulillah isih diparingi umur dawa dening Gusti Kang Akarya Loka.” Pak Benawa mono garwane Bu Ruminah. Nanging wong-wong kiwatengene arang sing nganggo jeneng Bu Benawa kanggo nyebut Bu Ruminah. Malah sajak jeneng Benawa kaya wis ilang saka pocapan. Bu Ruminah dhewe wis nglenggana marang sipate garwane sing sok keladuk ngadhepi sesrawungan. Senengane sok ngegung-gungake dumeh wong nduwe. Dumeh anake dadi sarjana kabeh, nganggep kiwa-tengene ra ana regane. [ 148 ]Nanging Pak Benawa ora ngeglewa anane pasrawungan kaya ngono kuwi, tujune Bu Ruminah bisa ngajangi kanthi ati jembar lan sabar.
Nadyan wancine rendheng, awan kuwi katon langite sumilak resik. Mbuh, wis wong pira wae warga desa sing padha silaturahmi neng omahe saya nambahi rujite atine nalika wong-wong padha takon anake sing ora katon irunge.
Taun wingi Nita lan bojone wis ora teka. Mung Narto lan anak bojone wae sing gawe legane atine wong tuwa kuwi. Nanging nganti bakda Dluhur riyaya kuwi Narto durung aton iruge. Ah ..., lelakon. Ora ngira babar pisan yen omah sing maune regeng iki saiki krasa sepa. Mung merga mbelani anak wedok wekasane kabeh dadi crah. Pancene sing keladuk kuwi Pak Benawa anggone ora wicaksana minangka jejere wong tuwa.
Rong taun wis mungkur. Kahanan omah dadi ajur. Sakawit jroning omah kuwi ana Narto saanak bojone. Ana Bulik Sholeh sing mondhok sakulawargane kanthi ayem tentrem. Bulik Sholeh lan Paklik Sholeh sing sabar wis kaya dudu wong liya maneh.
Niyat sing apik jebul ditampik dening Pak Benawa nalika Nita arep omah-omah. Pak Benawa mbelani mantune beteke wong sugih, nanging ora gelem ngrungokake tangga-teparo sing wiwit duwe swara sumbang.
“Pak Benawa, kala wau dalu mboten mireng ontran-ontran,” palapurane sawijine nom-noman warga desa.
“Ontran-ontran pa?”
“Mantu njenengan, Mas Kumba.”
“Mantuku, kena apa?”
“Kerengan dikroyok, sekawan.”
“Dikroyok papat. Perkarane apa?”
“Limrah lare enem, sok kebrongot atinipun.”
“Sing menang sapa?”
“Mas Kumba.”
“Ben. Wong-wong ben padha ngerti sapa mantuku, kowe ora sah melu cawe-cawe. Ora wurung katonyo bathukmu menyonyo!” wangsulane Pak Benawa nalika rong taun kepungkur ana wadulan saka warga desa.
Sajake Pak Benawa reka-reka mbisu manawa apa perkara sing ana sambung rapete karo si Kumba. Klebu Pak Sholeh sing wis suwe lara ati, ditanting supaya ninggalake omahe. Satemene Bu Ruminah nggondheli, nanging Pak Benawa kepara ora ngenaki ati.
“Mbok ya wis ben ta, Bu, wong nyatane kontrakane ya wis entek. Mengko ben dinggo kamar Nita lan bojone.”
Narto sing weruh dhodhok selehe perkara melu urun rembug njurung kersane Bu Ruminah, nanging malah dadi salah panampa.
Nganti Pak Benawa duka, mencak-mencak, keladuk swarane nundhung kon lunga. [ 149 ]Pak Sholeh sing rumangsa diundhamana atine lara. Mula dina iku uga ninggalake mahe Pak Benawa sing wis udakara sepuluh taun dienggoni. Brug! Bojone Narto lan Bu Sholeh lan anake wedok loro dumadakan njerit lan nubruk Bu Ruminah sing ngerti-ngerti ambruk ora eling purwaduksina. “Padha minggir iki dudu urusanmu!” panggetake Pak Benawa sora, ndadekake tangga kiwa tengene wiwit mara ngrubung. Pak Sholeh sida budhal bebarengan anak bojone ditulungi saperangan warga desa sing padha nandukake rasa welas. Dene liyane padha ngurusi Bu Ruminah, merga Pak Benawa mug mentheleng ora aweh pitulungan. Rong minggu candhake Narto melu oncat saka omah kuwi, beteke krungu swara sing nglara ati. Timbang kedawa-dawa aluwung ngalah nglungani. Kanthi pawitan tekad sing kenceng nedya mandhiri. Ngiras pantes omahe wong tuwane ben diwarisi anake wedok. Ana unen-unn wong tuwa, jare yen anak wedok kuwi bakale luwih cedhak karo wong tuwa, bisa mndhem jero mikul dhuwur. Ora ana luh tumetes, kejaba mung luhe Bu Ruminah nalika Narto lan anak bojone pamit urip neng papan liya. Narto krasa, luh wanita kuwi dudu luh sabaene, nanging luh kang tumetes saka tresna asih kang suci. Prasasat bandha-bandhu sadonya iki ora bakal ana tandhinge yen kabobot timbang karo luh kang tumetes saka socane Bu Ruminah. Pandugane Pak Benawa kleru. Yen si Kumba lan Nita manunggal dadi saomah bakal ndayani urip kang tentrem, nanging nyatane ora. Antarane Pak Benawa, Nita lan mantune padha atose yen nduweni panemu, wusana sedhela-sedhela mung krungu wong padudon. Sing ora kuwat ngampah Bu Ruminah, rumangsa kulawargane ora tentrem beteke padha rebut bener. Nganti Bu Ruminah nandhang gerah saking ora kuwat ngampet panandhange ati. Pungkasane sapa sing gelem nunggu neng rumah sakit, dudu sapa-sapa jebul keluwargane Pak Sholeh sing wis rumangsa kepotangan budi. Klebu Narto sing kala-kala nyambangi yen dhong prei. Nita lan bojone sajak ora nggape, kepara ninggalake omah sadurunge Bu Ruminah gerah. Rong taun gumilir wektu kanthi ngampet ati rengka. Omah sing magrong-magrong kuwi sepa. Theg kliwere wong padha nyisih. Adoh sungsate nalika Narto isih mapan neng kono. Prasasat saben wong, tuwaanom gilir gumanti padha srawung ngrakedake paseduluran. Nanging saiki? Yen ana sing liwat, ora ana sing sapa aruh. Mangka lawange menga, jobine sajak ngelak guyu lan crita sing nggawa ati mulya. Bakda Isak omah kuwi krasa sepi. Pak Benawa sajak ayem wae nadyan anake ora ana sing katon irunge. Beda karo Bu Ruminah, jejere [ 150 ]ibu atine tumus tekan pulung ati. Rasa kangen kang banget dianti. Dideleng wae, Pak Benawa jam wolu wis sare ngorok, ewadene Bu Ruminah isih lungguhan ijen neng njaba nyawang wong-wong sing padha gembrudug golek angin. Sajak lagi padha silaturahmi. Atine krasa ewa.
Jam sepuluh bengi Bu Ruminah gragapan anggone liyer-liyer nalika ana montor ceri mandheg neng ngarep omah. Age-age metu sadurunge tamu iku uluk salam. Jebul sing teka Pak Sholeh saanak bojone lan Narto saanak bojone. Kaya ketiban ndaru rasane, mbaka siji diambungi, nganti ora krasa luhe tumetes.
Telung dina keluwargane Pak Sholeh lan Narto mapan neng kono. Krasa omah kuwi mesem nuwuhake ati kang begja. Nanging Bu Ruminah isih krasa gela dene Nita lan bojone ora katon irunge. Ah, kok ya tegel temen, ing atase anak wedok ngrerujit atine ibu.
Sing dienteni sajak ora teka nadyan wus limang dina. Bu Ruminah wis gembleng atine, bakal nemoni Nita ing kos-kosane. Dina kuwi bakal digoleki nganti ketemu. Bu Ruminah wis kukuh, nadyan anak degsiya, dheweke wis lila upama tekan kana atine digawe rengka.
Sing padha teka saking trenyuhe melu padha netesake luh. Kabeh isa ngrasakake sepira rengka atine Bu Ruminah minangka ibu dene tresnane kang tulus ora diregani anak. Pak Sholeh lan Narto sing wis kepotangan budi bakal minangkani apa sing dikersakake Bu Ruminah. Eman, Pak Benawa ora tanggap anane ati rengka, nadyan wis kliwatan riyaya.
Djaka Lodang, No. 30, Th. XXXI, 22 Desember 2001
BANJARNEGARA
Prayoga, B.A.Pacarku sing akhire dadi sisihanku iku bocah Madukara, Banjarnegara, klebu tlatah Banyumas. Nalika sepisanan aku dolan menyang omahe, sing mepet pager pasar, saben bengi aku krungu tetabuhan, banjur ana swarane wong wadon nembang. Bareng esuk aku takon pacarku mau. “Saben bengi kok ana swara tetabuhan diiringe tembang bocah wadon, iku ana acara apa neng pasar kono?” Pacarku mangsuli karo gumuyu, “Iku sing nembang jenenge ronggeng.” Banjur dheweke ndongeng, menawa ronggeng kuwi kaya dene tayub ing dhaerahku Pati. Ing dhaerah Pati ana dhaerah tayub sing misuwur, yaiku Kropak. Yen agi njoged, nuwun sewu, ing panggonan rawan ing awake mesthi didokoki bathok, kanggo njaga manawa ana tangan-tangan jahil. Mengkono kandhane pacarku karo ngguyu. Wong gunung iku, nuwun sewu, poconge (bokonge) mesthi gedhe, wujude ora pati dhuwur, kathik yen mlaku badan sisih ndhuwur ndhoyong mengarep. Ewasemana aku kedanan karo pacarku mau, jan tenan kae. Nuli pacarku crita, manawa ronggeng iku nduwe panggaotan aneh, dheweke ngajari jaka-jaka sing arep nambut silaning akrami, kanthi bocah lanang mau kos ana omahe ronggeng mau. Ya manawa wae memper karo experiment married ing negara kulonan. Aku sajak ora percaya. Mosok ngono ..., ning pacarku banjur kandha serius kae. “Yen ora percaya nyoboa, kowe rak arep omah-omah ta, supaya pinter kuwe sinau dhisik karo ronggeng. Mengko takpilihake ....” Ning, aku mangsuli, “Ah, mosok kowe mengko mangan woh sisa codhot, ah ora!” Mula nganti tekan mangsane nambut silaning akrami aku ora sinau karo ronggeng. Ning dongeng mau tetep taksimpen dadi pitakonan ing njero atiku. [ 152 ]Nganti sawijining wektu aku wis mnggon ana Pati karo bojoku, ya mantan pacarku mau, malah wis duwe anak loro. Aku dadi guru ana salah sawijinig SLTA, dene bojoku ana SD. Lan ana mitraku pedhagang mbako asli Kudus sing sabane ana Kreteg, Wanasaba, kakange dadi dhokter mbako ing sawijining pabrik rokok kretek sing kondhang. Jenenge Ahmad Fadloli. Bocahe bagus kathik grapyak, loma, ning ana sing sing ora apik, yaiku ndugal kuwarisan. Ahmad kuwi weton pondhok, dadi ya pinter ngaji. Sawijining wektu dheweke dolan neng omahku, wiwitane ya omong-omong karo bojoku barang, ning bareng bojoku mlebu nyiapake unjukan, aku wong loro njur omong klesak-klesik bab Madukara mau. “Bener,” kandhane Fadloli, “ku wis tau krungu crita iku.” Dheweke nduwe perusahaan ngrajang mbako ing kana, karyawane akeh, lan ana sing raket karo dheweke lan banjur crita akeh-akeh bab ronggeng. Dadi aku dhewekalah pinter tinimbang Fadloli. Ya iku untunge dadi kuli tinta, mbuwang sithik ning entuk akeh, senajan wujude crita. “Ah, kapan-kapan arep takcoba,” kandhane Fadloli. Aku nyela, “Ah ..., ndugal kowe, aja ngono, iku rak kalebu larangane agama, rongokna puji-pujian iki.” Aku banjur nembang, “Yo kanca nunggal iman lan agama, kudu padha eling ing elingna, kudu ibadah saben dina, dimen bisa ngurangi dosa. Ria lan jina aja dilakoni, elinga pira suwene ing donya, sing suwe ing alam baka.” Fadloli ngguyu karo muni, “Kaya kowe dhewe sing ngerti agama Rek, dupeh guru, tutur-tutur, iku rak ya kena dikawekani.” “Kepriye?” takonku. “Ya dinikah siri no, senajan sedina rong dina, sing penting wis oleh pengalaman, ora kaya kowe pengecut!” “Ya ben karepmu dhewe,” kandhaku, terus mandheg katungka bojoku ngetokke unjukan. “Wah gayeng ya nango tembang barang, pancene kiai karbitan,” mengkono yen bojoku nyenges aku sing seneng ngomongake pitutur becik. “Ya Mbah, muga wae ora diwelehke kasro Sing Gawe urip,” kandhane Fadloli. “Ah ..., ya aja no ..., aku nggak rela, nggak rela ...” kaya wong promosi wae omonge bojoku, kathik karo esem ngujiwat, nglirik aku, mata iki kuwat, ati iki, dongaku mbok Fadloli ndang bali, awan-awan ora dadi apa .... Suwe aku ora kepethuk Fadloli, jare bojone, “Lagi sibuk ngrajang mbako eneng Kreteg kok, Mas.” Bareng telung sasinan, sore dheweke teka sajak gupuh kae. “Wah aku ketanggor Mas,” kandhane. “Sareh-sareh, kepriye juntrunge?” kau nlesihake. [ 153 ]“Ing sela-selaning nyambut gawe, dakperlokake menyang Madukara, aku diter kancaku. Dikenalake karo ronggeng sing ayu tur prasaja. Umume ronggeng rak bengesane kandel, pupurane kandel ta, Mas, iku ora. Jenenge Sawitri. Wah simpel bocahe, kira-kira umur selawe taun. Bapak ibune petani kenthang. Aku omong yen sesasi engkas arep nikah, ning aku kepenging sinau dhisik karo ronggeng, dheweke sedhiya. Banjur takon pegaweyanku apa. Penghasilanku sesasi pira, takwangsuli—sanajan rada ngapusi—beteke ya etung-etung, mengko sing kanggo ngomah pira? Wiwit dina iku aku kos ana omahe.” “Saben tanggal enom aku asok dhuwit. Oh ya, sadurunge aku nikiah siri dhisik, ngadhep Kiai Ngadenan, ana desa kono. Sawitri muni—jare ora susah kok Mas—” Ning amuni—aja nyimpang saka aturane agama Dhik—. Dheweke mandeng aku mentheleng. Wiwit iku dheweke ora tau metu bengi nayub. Dheweke muni—aku kudu dadi bojo sing apik—”, Fadloli banjur unjal ambegan landhung banjur nerusake. “Goblogku, Mas, aku kok crita nek duwe perusahaan mbako ing Kreteg barang. Aku ya crita yen omahku Kudus, Mbatan barang. Aku wong loro wis persis kaya wong bebojoan. Tangga teparo ya nggonjaki— wah rukun ya?—Seminggu sepisan aku teka, diwuruki sesambungan lanang-wedok, yen kepengin ora duwe anak, yen kepengin duwe anak, lanang apa wadon, pinter temen Sawitri iki. Dheweke malah ngedohi wong lanang-lanang liya. –Aku tresna banget marang Mas Fadloli, jarene sawijining bengi, aku emoh pisah karo panjenengan. Lho, janjine rak mung rong sasi ta, Dhik, iki rak mung sinau. Sawitri sajak gela, nuli muni—lagi iki Mas, aku ketarik karo priya muridku, kejaba panjenengan gantheng, ya wis pinter, edan ..., ya mung panjenengan gegantilaning atiku, rinawengi mung panjenengan sing ana mataku. Saben dina menawa panjenengan kondur Kreteg, aku kangen, ora kaya yen karo priya liya—” Blaik bisiking atiku. “Tenan bareng aku bali neng Kudus, dheweke niliki, dheweke kaget bareng sumurup aku wis nikah lan duwe anak barang. Aku diajak minggir nalika bojoku mlebu omah—edan tenan Mas kowe, kok tegel-tegele— Dheweke nangis, tangis tenan, dudu tangise kethoprak. Aku mangsuli, kepriye ta Dhik, iki rak mung ethok-ethokan. Saya kamisesegen, banjur muni, ya iki Mas risikone profesi kaya aku. “Ya wis, kepriye wae, sepira gehdene tresnaku marang panenengan, aku ikhlas. Pancen aku sing salah,” kandhane. Sawitri mulih, mbokmanawa iki patemon sing pungkasn sawise wadiku kewiyak. Batinku, ya iki ringkihe nikah siri, yen pisahan ora nganggo risiko apa-apa. Saka kadohan dheweke bali kledhang-kledhang sajak semplah kae. Aku ndonga muga aja ana lelakon ala. Anggone mlaku, pawakane, wah [ 154 ]tansah nglela ing mripatku, prawan Madukara. Sok-sok aku kepengin tilik mrana maneh, ning melas Sawitri. Sok ana pitakonan ing atiku, saiki si Sawitri lagi apa?” rampung semono ripate Fadloli kembeng-kembeng. “Geneya ora kok wayuh wae?” pitkonku. “Ah panjenengan, wadon ngendi sing gelem diwayuh? Lha wong Siti Aisyah nalika diwayuh, upama ngrangkul wit gedhang wite bakal gosong,” kandhane maneh “aku welas bojoku lan anakku. Awit anak iku inventasi sing paling aji inguripku.” “Kok waras kowe,” wong loro banjur ngguyu.
Djaka Lodang, No. 34, Th. XXXI, 19 Januari 2002
Omah gedhong pinggir dalan iku katon sepi, malah tangga teparo sing padha liwat ngarepe wae sajak jijik. Upamane kapeksa noleh banjur cepet mengo nyawang panggonan liya. Masarakat kiwa tengene kaya padha sepakat ngucilake marang kulawarga omah iku. Ora mikir menawa sejatine ora kabeh duwe watak ala, naning sing jenenge massa kadhang kala gawe keputusan secara sepihak, embuh kuwi bener apa luput utawa becik lan orane. Malah ana sing kapeksa melu anut grubyug mundhak dikira ora umum. Saka pinggir dalan ngiringan omah mau ana wong loro padha jejagongan bisik-bisik, sinambi momong. “Wong kok tegele kaya ngono ta. Jare karo mantune dhewe lha kok... wah!” guneme Nah marang kancane. “Weh, karang ya wong sugih kok ya, Nah ....” sambunge Jum karo nggendhong anake. “Njur apa ta alesane? Karo maneh Tutik kuwi digawe ngono kok ya manut wae. Nek cara aku klakon takpledhingi tenan yen mara tuwaku patrape ngono.” “Jajal, saiki kana pledhingana mara tuwamu!” prentahe Jum sajak ngece njajagi kuwanene mitrane iku. Nah klecutan, dheweke krasa yen sejatine ora wani karo mara tuwane dhewe. Nanging embuh saking gethinge karo Bu Salamah merga nundhung mantune, apa supaya katon yen ora kena disewenang-wenang. Menawa ndeleng saka watak saben dinane mbok menawa Nah nduwe rasa mesakake banget marang Tutik awit dheweke asring jejagongan, ngobrol sinambi pepetan golek tuma. Banjur saiki Nah kelangan pasangan ngrumpi. Durung nganti mangsuli, kesusu guneme Jum karo nyenggol tangane. “Ayo ...! Wani apa ora?” “Ha yen mara tuwaku iku sayang banget ki. Apa maneh karo Wawan iki.” ngono kandhane karo ngeplek-eplek bokonge anake. “Ainyaak ... padune!” “Padune apa?” [ 156 ]“Padune ra wani, hiii ....” Jum nyekikik.
Wong loro nuli pating gleges, kaya maling oleh incon banjur pating klesik. Jum tuding-tuding marang omah pinggir dalan iku, njawil kancane. Sing dijawil thingak-thinguk merga panyawange kalingan godhong teh-tehan sing ngrembuyung ngarep dalan. “Sst ..., ana apa?” suwarane Nah mh ora krungu.
“Kae Salamah metu.”
“Ngerti pa yen dirasani?”
“Embuh!” tembunge Jum cekak.
Wong loro banjur nggleser, lunga ngancas dhewe-dhewe.
Kabar lungane Tutik saya suwe sumebar sadesa, kapara ana kang nyipati nalika randha kembang iku dipethuk wong tuwane sakloron. Lakuane ngalor kedhingklangan, senajan genep nanging sikile sijine ora fungsi. Pancen wiwit lair dheweke nandhang cacat. Sawijining wengi kang atis, yaiku wengi kang pungkasan kanggone Tutik manggon ing omah gedhong magrong iku dheweke lungguh kasur sing biasane kanggo glethakan Herlambang, kakunge sing saiki wis turu ana papan kang langgeng seminggu kapungkur. Banjur saiki mung bisa nyawang langit kamar kang ireng kaya wewayangan sandhangan kang gumantung pating grandhul ora tumata, nambahi atine kelingan marang priya kang ditresnani banget, nggrantes.
Angin tumiyub saka sela-selaning gedhah cendhela ngobahake hanger kaya ngawe dheweke, mungguh bisa tata jalma nawakake pamrayoga ..., “melua bojomu tinimbang uripmu susah!” Ora krasa luhe dleweran nelesi pipine.
Saka njaban kamar krungu jumangkahe sikil, Tutik gage ngusap eluhe. Lawang gumerit, Bu Salamah ngadeg nggejejer ing ngarep lawang, wong wadon tambun iku mentheleng.
“E ... eee ....! Malah nangis barang. Ouw, ben aku welas marang kowe ngono? Ora! Sebab kowe ora setiti ngopeni anakku lanang temah nganti mati ora ketulungan. Iki merga kowe lamur, ora open. Huuh!”
Tutik ora semaur, senajan atine kroncalan ora trima nangis nanging isih kuwat ngendhaleni wusana ora kawetu ing lathi. Tembunge Bu Salamah kaya hawa panas kang nampeg raine, kupinge semruwung ngingking.
“Wis ngene, saiki siapna kabeh barangmu. Wiwit sesuk esuk kowe kudu lunga saka kene. Terserah arep menyang ngendi. Bali nyang wong tuwamu apa neng rehabilitasi maneh dudu urusanku. Kowe wis dudu mantuku maneh!” Salamah kandha karo mencereng wengis pindha nyipati singgat betatung. Sing dipandeng ora wani ngewasake mung ndhungkluk, tangane geter wel-welan ....
“Kuk ... kula mbot ... mboten gadhah menapa-menapa Bu, kula dhateng mriki namung ngangge sandhangan ingkang kula engge ...,” tem[ 157 ]bunge Tutik ora bisa diterusake, gulune kaya kesumpelan watu sakepel semumpel. Kanthi pedhot-pedhot banjur matur, “kula ba ... badhe wangsul kados kula rikala dhateng.” Brol! Watu iku ambrol bebarengan karo tangise sing mecah wengi. Raine diblusukake kasur ngguguk kaya bocah cilik direbut dolanane.
“Iya pancen apik yen ngono. Pancen barang sing neng kamar iki duwekku. Tak tuku kanggo Herlambang, dudu kowe. Sokur yen kowe ngerti ...!”
“Inggih, Bu.”
“Tur maneh ora bakal takwenehake sapa-sapa. Sandhangan lan barang liyane bakal taksimpen. Takgawe pengeling-eling, yoben!”
Tutik nggetuni nasibe, wiwit isih cilik durung nate urip kepenak jalaran wong tuwane wae kalebu wong ora duwe. Senajan sesawah nanging mung buruh nggarap, yen mangsane panen melu derep nanging maro. Iku wae yen dhong kasile apik, tegese ora ketrajang ama. Biyen tau sawah sing digarap blas ora panen babar pisan merga keserang ama tikus. Bareng saiki mono rekane gelem dipek rabi, jroning ati duwe panggraita mbok menawa bisa ngrubah uripe. Herlambang iku anake wong sugih tur gantheng senajan lara lumpuh. Tutik nggagas lara kaya ngono kuwi kanggone jaman saiki mesthi bisa diusadani sebab kemajuan teknologi bisa diandhalake, apa maneh Bu Salamah duwe ragat kanggo iku. Mula nalika Pak Widagdo nglamar dheweke banjur saguh lan gelem.
Tetepungane karo Herlambang wis sawetara wektu nalika dheweke padha mapan ing Pusat Rehabilitasi. Ing kana rasane seneng, kancane akeh lan sing baku entuk pendhidhikan ketrampilan. Tutik kerep menehi kawigaten kanggo Herlambang kala-kala dheweke metu saka panti golek jajanan kanggo wong loro.
Dene kanggone Herlambang, Tutik wis dadi karibe kang luwih tinimbang kanca liyane. Rupane manis, wicarane alus lan gemati. Merga srawunge kang raket iku, kekarone banjur tuwuh rasa seneng sabanjure klakon ijab resmi. Mung emane anggone bebrayan durung kepareng momong anak, nyatane senajan wis lumaku taunan, dheweke durung ana tandha menawa isi. Nanging Gusti kagungan kersa kang luwih apik senajan ora padha karo kekarepane, ngono panyapihe.
Tutik njenggirat nalika pundhake krasa didemek tangan, nalika noleh jebul Pak Wid wis ana mburine. Kecipuhan dheweke nalika ngerti wong tuwa iku lungguh ana ngarepe.
“Oh, Bapak ..., damel kula kaget,” kandhane ndhungkluk.
“Hiya. Durung turu ta?”
“Dereng Pak, niki wau saking pundi kok kula mboten ngertos?”
“Hoahpsh ..., saka ngepos, rekane mono arep nliti lawang-lawang, lha kok lawangmu isih padhang tur menga. Aku terus mlebu iki weruh [ 158 ]kowe lempit-lempit sandhangan,” semaure Pak Widagdo karo angop ngampet ngantuke. Wong gagah pideksa kuwi sajake durung ngerti kang dirasakake mantune. Pancen kaya biasane Tutik nganti wengi yen ngurus sandhangane wong saomah kono. Nanging sawise nyawang praupae Tutik kang kumembeng, rada mangu-mangu Widagdo banjur takon semu cubriya.
“Ora, iki sing dilempiti duwekmu kabeh, arep dikapakake?”
“Mboten kok, Pak.”
“Mboten piye?” Pak Widagdo jlalatan ngulatke tase Tutik isih menga ritsluitinge. Banjur, “Ana apa ta Nok? Kowe mentas nangis ya?” pitakone nlesih.
Sing ditakone ora semaur, gulune medhongkol. Dheweke bingung, sewu pitakonan dadi siji wusana kewuhan, kepriye anggone kudu matur. Upama ora blaka apa bisa dheweke banjur lunga klepat ninggalake mara tuwane sing tresna banget marang dheweke. Kamangka tekane mrono Tutik dirembugi kanthi apik-apik. Banjur saiki dheweke kudu kepiye? Atine mangu-mangu. Tutik nyawang Pak Widagdo iku kanthi suwung.
Nanging tundhone kanthi diati-ati dheweke matur yen kudu bali. Pak Widagdo kaget. Jalaran sepuh, lara jantunge dadakan kumat. Dhadha megap-megap. Lan bruugg! Ambruk kumepruk dadi bayangan. Bu Salamah krungu swara gumebruk banjur mlebu kamar kono kewowogen arep tetulung, dheweke njungkir jempalik bingung ora ana tangga kang ngerti kejaba Tutik kang saiki malah rada etel. Wong-wong kono ngertine ya mung esuke Tutik ngalor dipethuk wong tuwane mulih menyang desane.
Djaka Lodang, No. 37, Th. XXXI, 9 Febriari 2002
Pasuryane Bu Sastro besengut, kaya langit kang mendhung peteng leliwengan. Wiwit minggu kepungkur saploke anake lanang kang aran Prasojo mulih merantau saka Malaysia nyambut gawe nang pabrik kayu lapis, polatane ora tau padhang. Dheweke rumangsa isin karo tangga teparone amarga Prasojo ora nggawa oleh-oleh kang mbejaji kaya Bejo, kanca sadesa kang uga mulih merantau bareng Prasojo saka Malaysia. Sing digawa Prasojo mung bangsane alat tukang kayu lan graji gedhe kanggo nyigar kayu glondhongan. Beda karo Bejo, dheweke bisa tuku TV, tape, VCD lan barang-barang liyane kang edi peni. Malah esuk mau Bejo menyang kutha nukokake mas-masan kanggo ibune lan sepedha montor kanggo bapake. Nyumurupi kahanan kaya ngono kuwi, polatane Bu Sastro sangsaya besengut. Dheweke ngumeg-umeg Prasojo prasasat entek amek kurang golek.
“O ..., alah Le ..., abrag kaya ngene ora mbejaji babar pisan wae dituku, gek arep dinggo apa. Pating blengkrah ngebaki omah. Bedane apa kowe karo Bejo, mangkat nyambut gawe bareng, panggonane nyambut gawe uga padha neng Malaysia, mulihe uga bareng. Nanging Bejo kok bisa tuku barang-barang kang mbejaji, bareng kowe tuku abrag apa kuwi. Galo, saiki omahe Pak Kerto, bapake Bejo saiki reja terus, akeh tangga teparo kang nonton TV lan VCD-ne kang nyetel lagu-lagu Campur Sari. Sibok iki nganti isin karo tangga teparo yen ditakoni, kowe wis tuku pa saka Malaysia.”
“Wis ben ta Mbok, uwong kuwi rak beda gegayuhane,” wangsulane Prasojo kanthi alus.
Pak Sastro mung gedheg-gedheg nyumurubi bojone lan anake kang beda panemu. Kanggo nyapih hawa, Pak Sastro setengah meksa nggeret tagane bojone mlebu senthong ngajak turu. Amarga wektu kuwi wis wengi udakara jam 11.
Adheme hawa wengi sangsaya njekut. Rokok kretek karemane Prasojo bola-bali disedhot kanthi alon-alon. Kebule ditokake saka irung lan tutuke. Sadhela-sadhela Prasojo ngunjal ambegan. Sejatine atine uga [ 160 ]trenyuh weruh simboke kang rumangsa isin amarga dheweke ora tuku barang-barang kang mbejaji tumrap wong tuwane kaya kang dituku Bejo. Nanging kepriye maneh, tekad atine wis kenceng. Dheweke arep mandhiri mbukak usaha mebel. Dhewke emoh bali kerja neng Malaysia lan emoh salawase urip mung dadi buruh apa maneh direh neng negarane wong liya.
Dina Rebo Kliwon, ngepasi dina wetone, Prasojo miwiti usahane gawe mebel. Tangga-tanggane akeh sing paha komentar sajak ngece lan ngepal, manawa usahane Prasojo bakale amung saumur jagung. Nanging kabeh mau ora bakal ngendhokake tekade, malah ngundhakake semangate kanggo mbuktekake manawa dheweke bisa dadi wong kang sukses ing desane.
Amarga dheweke rumangsa duwe modhal kang cukup saka hasile merantau ing Malaysia. Apa maneh sadurunge kerja merantau ing Malaysia dheweke nate buruh nukang kayu melu Pak Kusumo, juragan mebel ing kutha. Dadi dheweke wis prigel babagan gawe meja, kursi, lemari, lan mebel-mebel liyane.
Dhasar yen lagi kepulungan ati, mebel gaweyane Prasojo kang sepisan awujud lemari pakaian cacahe telu, meja kursi cacahe limang set sing dititpake neng toko mebel Sarwo Peni, kagungane Pak Sabrani ing kutha wis payu kabeh sajroning seminggu. Malah wis ana sepuluh piyayi kang antri pesen liwat Pak Sabrani. Ora maido yen akeh piyayi kang kesengsem karo mebel gaweyane Prasojo. Amarga garapane alus, kayune kayu jati tuwa, lan modhele peni cekli prasasat durung ana sing madhani, apa maneh regane miring tinimbang mebel-mebel gaweyane wong liya.
Sangsaya suwe usahane Prasojo sangsaya maju. Dheweke wis ora keconggah maneh ngladeni pesenan kanthi tenagane dhewe. Mula terus nglumpukake tangga teparo kang duwe minat kerja melu dheweke. Sing wis duwe kepinteran nukang kayu terus dipercaya gawe mebel kang modhele wis dirancang Prasojo. Dene kang durung duwe kapinteran nukang kayu, kaya ibu-ibu lan mudha-mudhi kang putus sekolah didadekake tukang amplas lan mlitur. Malah Bejo, kanca akrabe uga melu kerja marang dheweke.
Wektu nembung kerja Bejo nangis sesenggukan rumangsa kleru ngecakake dhuwit hasile kerja merantau ing Malaysia. Dhuwit kang cacahe meh telung puluh yuta entek ludhes. Barang-barang kang dituku saiki malah akeh sing wis padha rusak. Prasojo amung bisa ngucap lan nuturi, "Wis Jo...., sing kebacut ya wis ben. Lelakonmu kuwi aja nganti dibaleni maneh. Yen saiki kowe arep nyambut gawe ing kene, tak tampa kanthi senenging ati. Kowe kuwi wis tak anggep sedulur dhewe." [ 161 ]Kodrat wektu terus lumaku kaya padatane. Dina ganti dina, minggu ganti minggu, lan sasi ganti sasi kaya ora krasa. Ngerti-ngerti usahane Prasojo genep setaun. Wiwit sasi ngarep dheweke arep njajagi pasar luar negeri neng Malaysia. Amarga neng negara Malaysia ana pengusaha kang kesengsem marang mebel-mebel gaweyane Prasojo lan kerep nyambut gawe bebarengan. Ora liya pengusaha kuwi bekas majikane wektu Prasojo kerja neng Malaysia.
Majune usahane Prasojo mesthi wae bisa ngowahi uripe Prasojo lan bapak-ibune. Malah-malah bisa nyiprat marang tangga teparone. Paribasan Prasojo saiki dadi juragan mebel kang sugih mblegedhu sakecamatan, malah mbokmanawa sakabupaten. Omahe magrong-magrong tingkat loro. Paribasane mlakune Prasojo ora nganggo sikil amargo ngalor-ngidul yen lelungan diterake sopir numpak sedhan alus. Sing nambahi mongkoging atine bapak-ibune, malah minggu kang kepungkur dheweke wis ninggalake urip bebujangan, nambut silaning akrami, entuk putrine wong ora baen-aen.
Ajeng Setyorini arane, putrine Pak Camat. Nyumurupi kahanan anake kang sarwa kecukupan mengkono kuwi Bu Sastro lan Pak Sastro rumangsa bombong atine. Ora lali dheweke ngaturake puji syukur marang Gusti Allah kang paring kanugrahan kang tanpa upama marang anake.
Wengi kuwi Bu Sastro lagi mriksani VCD kang muter Kethoprak kanthi lakon Bawang Putih Bawang Merah. Dene Pak Sastro isih kenduren ing daleme Pak Lurah.
Guyune Bu Sastro sing kepingkel-pingkel nonton polahe dhagelane, narik kawigatene Prasojo lan bojone. Anak lan mantu iku melu ngancani Bu Sastro noton kethoprak, ngiras pantes ngenteni Pak Sastro kondur kendhuren.
Batine Prasojo ngucap, “Mendhung ireng kang leliwengan ing pasuryane Ibu, saiki wis sirna kena angin. Saiki wis jumedhul rembulan kang ndhadhari.”
Djaka Lodang, No. 38, Th. XXXI, 16 Februari 2002
Surti njenggirat. Lawang ngarep njedher sora. Pirang dhetik sabanjure dheweke lagi bisa nata ati. Lan banjur sadhar menawa kahanan kaya ngono mau meh saben dina dirungu lan dilami. Bojone teka kanthi mripat abang lan nggembol ulat peteng. Neng ngomah turu senggar-senggor tanpa nggagas kiwa tengen. Yen tangi, lunga maneh kanthi nggawa barang-barang pengaji, didol kanggo nambah butuh main. Ora pisanpindho, meh saben dina.
Wis kaping pira wae Surti anggone ngelingake Kabluk, bojone kuwi. Nanging ora ana owahe babar pisan. Omah tinggalane wong tuwa sing maune pepak barang pengaji, saiki meh kothong mlomplong. Ora kawistara, mbaka sithik barang-barang mau musna tanpa wujud maneh. Didol kanggo ngabotohan.
Bubar njedherake lawang, Kabluk nyedhaki meja makan. Krodhong dibukak, mung ana cething isi sega anyep. Jangan mung kari duduh, lawuh mung ana krupuk.
“Wong wedok ora ngerti kuwajiban!” ujare gemremeng.
“Gelem niku, mboten gelem nggih empun,” tembung iku diculake sing wedok entheng, nanging kanthi alus.
Yen dhek dhisik, Surti ora wani sing jenenge aweh clathu marang bojone, sebab ular-ular saka wong tuwa isih cumanthel kenceng. Dene wong wedok iku ora kena ndhisiki sing lanang. Wong wedok iku gaweyne neng pawon, olah-olah, umbah-umbah, lan ... mlumah. Wong wedok ora kena kojah. Ngono sing diugemi Surti.
Nanging kahanan saiki wis owah salaras perkembangan jaman. Kaya sing nembe dialami iku. Yen dhisik Surti nganggep wong lanang iku dadi cagak bale somah, kanggo pangayoman, saiki wis ora maneh. Sing tinemu, wong lanang, ya bojone iku, malah dadi pager mangan tanduran. Nggasak barang-barang ngomah, entek neng kalangan.
“Kaya ngono kok pengayoman?!” ujare Surti sawijining wektu, nyenges sing lanang. [ 163 ]Sing dicenges mbrabak abang lan muring dadakan. Tangane me-thangkrik, mencak-mencak.
“Wong wedok ra ngerti kepentingane wong lanang! Wong yen me-nang dibanga,” kanthi njedherke lawang. Surti kamitenggengen ngampet muntab. Yen pas perang gedhe ngono, Sisri, anake wedok mbarep, nlesep neng njero kamar. Sedhih, lan banjur mingseg-mingseg. Kabeh mau cetha wela-wela gumelar ing ngarepe.
Kabeh kadadeyan mau wis kacathet lan nandhes ing ati lan pikirane bocah sing isih polos mau.
Tengah wengi nalika nglilir, Sisri krungu emake nangis mingsegmingseg, neng njero kamar. Kanthi alon-alon, dheweke metu saka kamare lan banjur nyaketi kamare emake. Adhi-adhine wis padha turu kabeh kawit mau sore. Mbokmenawa kekeselen le padha dolanan mau awan. Sanadyan nyawang meh saben dina, mesthi wae adhi-adhine durung mudheng marang kahanan mau. Sing ana mung seneng lan seneng.
Suwalike Sisri, tansah ora jenjem. Pikirane mobah-musik. Bapake sing seneng main, ora omah, lan asring mara tangan marang emake, tansah munculake pitakonan-pitakonan tumrap bocah cilik mau. Alon-alon kamar dibukak. Katon emake mengkurep mingseg-mingseg ngekep bantal. Wis bisa dipesthekake, bapake ora bali mengko bengi.
“Mak, Emak kok nangis?”
Surti kaget, kandheg olehe mingseg-mingseg. Tangane sraweyan anggone arep ngulapi iluh sing nelesi pipine.
“Lho, ah, kok urung turu, Ndhuk?” takone karo tangane isih ngulapi iluh, “Ayo ndah turu, sesuk sekolah.”
Sisri meneng, nyawang emake.
“Dinakali Bapak ya, Mak?”
“O ... ora. Bapak ora nakal, Ndhuk,” Surti gragapan anggone mangsuli pitakone anake wadon mau.
“Kok, Emak nangis. Emak lagi ...,” tembunge kecandhet.
Pikirane buntu, dhadhane seseg.
“Wis, wis, Ndhuk. Saiki Sisri bubuk. Ayo takkancani.”
Sisri banjur dituntu menyang kamare. Bocah cilik mau mung meneng. Nanging batine bocah sing isih polos mau njola. Sirahe kebak pitakonan ngenani kahanan kang gumelar saben dina neng ngarepe.
Nganti wengi Sisri tetep ora bisa turu. Pikirane nglambrang, ngleyang ngangkasa.
Sore iku, Sisri lagi nggarap PR neng ruwang tengah. Ing cedhake, emake lagi ndondomi kathoke adhi-adhine sing padha suwek. Swasana sepi, tintrim. Tanpa swara TV apa radhio. Aja maneh TV, radhio tuwa [ 164 ]tinggalane wong tuwa wis katut didol bojone kanggo ngabotohan. Wis ora ana maneh barang pengaji ing omah iku.
“Mak ...,” Sisri mandheg anggone nulis, nyawang marang emake, “celenganku wis akeh, Mak.”
Emake kandheg, noleh marang anake wadon.
“Terus?” emake ndomblong, durung ngerti apa sing bakal dikarepake anake mau.
“Anu ya, Mak. Aja ngomong-ngomong Bapak. Celenganaku mengko nek wis akeh arep taknggo tuku radhio. Nggo ngijoli sing didol Bapak dhisik kae ....”
Surti njegreg. Nyawang anake wadon kanthi tandhes. Atine nratab, trenyuh, dene bocah sing isih cilik lan durung wancine mikir ruwet rentenging urip tetela nduweni krenteg kaya ngono? Nganti suwe Surti ora bisa kumecap. Dhadhane seseg, gulune ngondhok-ondhok. Banyu bening krasa nggantung ing pucuk mripate, meh wae ambrol.
“Tenan ya, Mak. Aja kandha-kandha Bapak, mengko mundhak didol meneh. Le nyetel mengko nek pas Bapak ora ana, ya?” ujare Sisri kanthi lugu.
“Iya, Ndhuk ....” mung kuwi tembung kang ucul saka lambene Surti. Saliyane iku, kandheg neng jero dhadha.
Sawetara iku tanpa dinyana-nyana, wektu iku Kabluk lagi arep mlebu ngomah. Kebeh tembung-tembunge anake wadon mau keprungu cetha ing kupinge. Nanging anehe, Kabluk ora muring apa muntab. Embuh keajaiban saka ngendi, tembung-tembung mau malah kaya rumesep ing atine sing semu watu. Anyep. Dhadhane kaya kedhodhos watu gedhe. Gulune ngondhok-ondhok.
Kabluk, si jago main kertu iku sikile gemeter. Dheweke rumangsa dadi wong reged kang diblejeti, malah dening anake wadon sing isih cilik. Dheweke ora wani jumangkah mlebu ngomah, banjur klepat lunga, nrabas wengi. Mbulan ora ketara, nanging lintang-lintang abyor. Hawa atis tumiyup, nanging ora direwes. Kabluk mlaku terus ngener mengalor, ngliwati dalan-dalan setapak.
Tekan papan sing dituju, Kabluk ndheprok. Nangis sesenggukan, ngesok kabeh dosa-dosane ing ngarepe watu kijing. Ing kono wong tuwa-ne sumare.
Kawit kedadeyan mau, Kabluk mari anggone main. Bali maneh nyambut gawe kanthi prasaja, mancal becak. Asile mbaka sethithik dicelengi.
Ora gantalan suwe, dhuwit sing nglumpuk mbaka sethithik mau ditukokake barang-barang sing dhisik tau didol. Semono uga, durung nganti anake wadon, Sisri, tuku radhio, Kabluk wis ndhisiki tuku radhio, ora ketang mung cilik-cilikan. [ 165 ]Owah-owahan mau ndadekake bungah lan gumune Surti. Nanging dheweke ora wani takon, sumelang menawa nyokrok atine sing lanang. Nanging suwe ning suwe, Surti ora kuwagang ngampet pitakonan, marga saiki bojone mau meh ora tau metu wengi lan arang muring-muring.
“Kabeh mau ya saka anakmu, Sisri ....” wangsulane Kabluk cekak aos. Sisri njegres.
Djaka Lodang, No. 27, Th. XXXII, 30 November 2002
Gendhing Natal ing miss suci tengah wengi, ing Greja Tyas Dalem Pugeran pisan ji iki, jan istimewa banget kanggone Dulngalim. Mbuh wis pirang puluh malah ping pirang atus Pak Dul ngrungu gendhing-gendhing greja, klebu gendhing Natal; klebu kerep-kerepe Pak Dul dhewe sing ngendhang, nggender, mbonang utawa nylenthem. Nanging lagi pisan ji iki Dulngalim ngrasakake saiba gendhing sing adi luhung mau rumasuk ing ati, nyawiji karo pangabdine konjuk Gusti Kang Akarya Jagad. Sebab lagi pisan ji iki Pak Dul sing wiwit sore mau jenenge dipurwakani santo pangayoman Fransiscus Xaverius, kepareng nampa Slira Dalem kang kapisanan. “Matur nuwun, matur nuwun, Gusti!” Ngono wola-wali atine Pak Dul matur konjuk Gusti. Kanthi gebak pangandel, kebak pangareparep, kebak rasa mongkok, kebak kabungahan.
Ing ratri, dalu adi, wus nendradoya sri,
Kang wungu mungbrayat mulya
sumujud ngadhep kang Putra,
Sare ing makanan, sare ing
makanan ....
Wiwit kidung pambuka Ing ratri laras Pelog pathet Nem keprungu, umat ngadeg ngurmati prosesi (arak-arakan), Dulngalim sekaliyan ngadeg kanthi kurmat lan kerasa-rasa banget ing ati. Kaya para babtisan anyar liyane, Bu Dul (Ny. Dulngalim) nganggo kebayak putih lan jarik trutum, lendhang krem mantesi. Pak Dul jarike uga truntum, kembar karo sisihane, surjane krem kaya lendhange sisihane, ikete uga truntum, nyawit karo jarike. Kerise gayaman, cocog karo dedeg-piyadege sing gedhe dhuwur. Bregasan gawe mongkog tenan. Miss suci Natal pancen pangibadah samuwa lan gembira.
“Matur nuwun konjuk Gusti lho Bu. Awake dhewe kepareng ndherek pahargyan agung kaya ngene!” Pak Dul ora kuwat ngampet, kudu bisikbisik nglairake pangajak iku marang Bu Dul. [ 167 ]“Iya awake dhewe wajib matur nuwun sing tanpa upama marga sih Dalem iki, Pakne!” wangsulane Bu Dul karo nudingake driji nemplek ing lambe, aweh sasmita amrih olehe guneman diampet, mengko.
Pak Dul bali ngadeg anteng, nggatekake lakune arak-arakan nganti tekan Guwa Bethlehem kanthi urmat. Nanging bareng lungguh, pikirane Pak Dul nggatekeke kanca-kancane pradangga, sing adate dheweke sing mokoki, mbuh ngendhang, mbonang barung, apa nggender barung. Ing miss suci malem Natal iki sing nggender Pak Dulmanan, kangmase dhewe, sing mbonang barung Fx. Surtini, anake ragil, dene sing ngendhang Fx. Suryanto, anake mbarep.
Anake Pak Dulngalim iku loro kedhana-kedhini, Suryono lan Surtini. Loro-lorone wis dadi Katulik wiwit SMP. Sebab sekolahe, SD-ne neng Kanisius, SMP-ne uga neng Kanisius. Ndherek wulangan agama, banjur baptis nalika klas I SMP. Bocah loro iku padha ora pati ketarik nabuh gamelan. Nanging rehne ngomah ana gamelan slendro-pelog tinggalane embahne, nalika bapake laris dadi wiyaga kanggo nggreja, bocah loro iku diajari bapakne nabuh kendhang, bonang, gender, lsp, ya terus pinter wae. Dhasar ngedhep gamelan, tur kewarisan bakate bapakne, embahne, lan embahne buyut. Sebab mbah buyute, iya mbahne bapakne iku, Ki Cermodalijo, dhalang kondhang jaman semana.
Dulngalim banjur kelingan kedadeyan telung taunan kepungkur, nalika Pak Petrus, Ketua Lingkungan Kweni sowan ing ngomahe, arep nyilih gamelan sakpapane kanggo latihan koor, awit Lingkungan Kweni entuk giliran miss suci ing lingkungan, koore ngaggo iringan gamelan.
“Mangga mawon, Pak Petrus. Kula remen sanget yen gangsa lan papan kula dipun kersakaken kangge pangibadah, Pak. Jer menika kabudayan paring Dalem Ingkang Maha Gesang, yen dipun tabuh kangge ngluhuraken ingkang Peparing, rak prayogi sanget ta?” wangsulane Pak Dul, sing dhek semana anggone nemoni uga didhampingi Bu Dul. Brayat kajen keringan ing dhusun Kweni.
“Sokur yen Bapak ugi kersa njangkepi, eh malah nglatih wiyaganipun, Pak. Sebab wiyaganipun taksih kirang, tur ingkang wonten inggih dereng sami saged menika. Yen Bapak, Ibu kaliyan keng putra kalih sami nggabung dados wiyaga, wah temtu gayeng, Pak!” Pak Petrus nganyang.
“Wah kula remen sanget, Pak, menawi pareng. Kula dereng Katulik, menapa ugi kepareng ndherek miyaga mlebet nggreja?” Pak Dul mlenggong.
“Pareng kemawon, Pak. Mangga. Bapak rak sampun ahli ngendhang, mbonang, menapa nggender ta? Lha, werni tiga menika lingkungan Kweni jan dereng gadhah, Pak.”
“Menawi miss suci Pugeran dipunsiyaraken RRI, kula temtu nyetel lho. Garapanipun sekeca, kendhangan Ladrangan menapa Ketawangan. [ 168 ]Thinthinganipun bukanipun Rama Pastur nggih sampun kula titeni, sok kula tirokaken ....”
Dhek semana Pak Dul terus marani gender, nyekel tabuh lan buka celuk, “Gus ... ti ma ... nung ... gala ... a. Kali ... yan ... kula ... sada ... yaaa...,” karo diiringe gender.
Pak Petrus kepranan banget marang bawa lan genderane Pak Dul mau. Mula Pak Dul terus dikekep-kekep lan dialembana.
“Adhuh, mboten nginten, Pak, yen panjenengan malah sampun saged ninthing sembayangipun Rama. Lha inggih mekaten menika, Pak. Mangke ingkang ngasta gender panjenengan kemawon. Pak Sis saking Pugeran mangke kula bon ngasta kendhangipun!”
Tenan, wiwit iku Pak Dul banjur nggabung dadi wiyaga koor Lingkungan Kweni. Dhisike nggender, pancen wis cekelane, terus pinter ngono wae. Banjur ngendhang, karang dheweke empune wiyaga ing ing Kampung Kweni kono. Uga tabuhan-tabuhan ricikan liyane. Pak Dul malah dadi pelatihe. Mula sabanjure Pak Dulngalim wis dadi wiyaga inti ing Lingkungan Kweni lan ing Paroki Pugeran. Kerep melu pentas Natalan nang Bangsal Kepatihan, neng Kotabaru, neng Katedral Kevikepan Kiduloji lsp.
“Pak Petrus. Kula sowan mriki tiyang kalih menika badhe matur Bapak minangka Ketua Lingkungan Kweni,” walehe Pak Dulngalim sekaliyan ing sawijining sore, nalika bengine arep ana latihan koor ing panti gangsa nggone Pak Dul dhewe, awit entuk tugas koor malem Natal ing Pugeran.
“Wah, bab menapa Pak? Mangke kemawon kula rak sowan mrika ta? Kok ndadak merlokaken rawuh mriki? Malah ngedheg-edhegi lho, Bapak kaliyan Ibu menika?”
“Nuwun sewu, ingkang ngoyak-oyak kedah enggal sowan pak Petrus sak menika kula kok Pak Petrus!” welehe Bu Dul. “Anu Pak, bab cethaning nasib kula kekalih menika, Pak. Kono Pak, gek matur blak-blakan wae!”
“Bab nasib. Kula kok malah bingung lho Bu. Rak sugengipun Bapak Dulngalim sekaliyan Ibu lan sakbrayat sampun sae. Kulawarga ingkanag kajen keringan malah kagungan gangsa slendro pelog ingkang saged murakabi kangge warga kampung, lan umat mriki ugi nempil ndherek ngginakaken. Kirangipun menapa, Pak?”
“Kirangipun cetha sanget, Pak. Kula lan gangsa kula sampun asring dipun gatosaken Gusti, dipunkeparengaken ngregengaken pangibadah kangge miss suci ing lingkungan, ing greja, ndherek miyaga ing Kepatihan lan sanes-sanesipun. Nanging kula piyambak lan ibunipun menika kok dereng nanggapi kawigatosan Dalem Gusti ingkang semanten agengipun wau. Terus terangipun, kula kekalih kepengin enggal-enggal ndherek [ 169 ]Gusti kados Pak Petrus, kados Bu Petrus, kados anak kula Suryono lan Surtini, Pak!”
“Dados sngersakaken baptis?”
“Leres, Pak. Lajeng kados pundi caranipun? Yen kedah mawi ndhaftaraken mawi ngisi formulir, kula tiyang kalih ndhaftaraken wiwit dinten menika, Pak.”
“Inggih, mawi ndhaftaraken rumiyin, lajeng ndherek wucalan. Adatipun wucalanipun setaun. Nanging yen kangge Bapak lan Ibu Dulngalim, Rama Paroki temtu kagugan wawasan istimewa, mbokmenawi saged dipuncepetaken, sebab Rama sampun pitados bab kadiwasaning imanipun Bapak lan Ibu.”
“Iyak, menapa inggih? Mboten sah istimewa, ingkang biasa mawon, Pak. Ning menawi saking kersane Pak Petrus, lajeng Rama nakyogyani, temtu kemawon kula badhe matur nuwun sanget,” Pak Dul nglumuhi.
“Inggih. Ingkang baku sakmenika kula cathet rumiyin. Mangke lajeng kula tumunten matur Rama. Wah, Rama temtu badhe bingah sanget midhanget prentuling penggalihipun Pak Dul lan Ibu menika. Sampun asring dipun raosi lho, Pak. Malah kula nate dipundhawuhi nyuwun pirsa. Nanging nuwun sewu, kula ajrih, lajeng namung kula sembahyangaken supados Bapak lan Ibu lajeng kersa waleh ngendika piyambak. Lha kok sonten menika kelampahan. Wah, matur nuwun Gusti!” Pak Petrus banjur konjuk.
Pak Petrus banjur mbukak bloknot lan nyawisake bolpoin, yathet.
“Asmanipun, lan tanggal miyosipun Bapak?”
“Dulngalim. Nama baptis, kula sampun milih, Fransiskus Xaverius ....”
“Lajeng Ibu?” sawise Pak Petrus rampung nulis biodatane Pak Dulngalim.
“Ngatirah. Baptisipun ugi sampun milih, Fransisca Xaveria ....”
“Miyosipun dinten Ngaat, rejekinipun tirah-tirah, inggih ta Bu?” Pak Petrus ndhagel.
“Pak Petrus menika anggenipun ngangeni mergi pinter ndhagel menika lho. Kados mboten dipunpenggalih, nanging lajeng ceplos, pas,” pangalembanane Bu Dul.
Bengine, nalika Pak Petrus rawuh neng latihan koor ing omahe Pak Dulngalim, genti Pak Dulngalim ngruket-ngruket lan ngepuk-epuk gegere Pak Petrus, merga sadurunge latihan koor diwiwiti, sawise sembahyangan pambuka, Pak Petrus nyelani matur ngene, “Saderengipun latihan kawiwitan, menika wonten kabar bingah. Kula wau sampun matur Rama Paroki. Rama matur nuwun konjuk Gusti lan nicil ngaturaken sugeng dhateng Bapak F.X. Dulngalim lan Ibu F.X. Ngatirah Dulngalim, dene sampun saestu nyuwun sakramen baptis. Rama masrahaken dhateng ketua lingkungan, kapurih caos piwulang sacekapipin salebetipun sewulan menika, klebet tes lan ujianipun. Yen sampun sewulan kula kapurih lapur Rama, [ 170 ]bab lulus menapa mbotenipun. Lha, yen miturut kula, samenika kemawon sampun lulus!”
Sing latihan koor padha keplok bebarengan, mbata rubuh, nganti Bu Dul ketarik, melu neng panti gangsa, kok banjur malah padha disalami.
“Yen kula sampun lapur lulus, Bapak lan Ibu Dulngalim lajeng kepareng baptis benjing Natal menika, lan ing miss suci malem Natal kepareng nampi komuni ingkang sepisanan.”
Tanpa dikomandho sing latihan koor banjur padha keplok mbata rubuh maneh. Dene Pak Dulngalim banjur ngrangkul ngruket-ngruket Ketua Lingkungan, Pak Petrus Joko Mardiko. Didhisiki Pak Petrus, para umat mau banjur padha nyalami Pak lan Bu Dulngalim, tokoh masyarakat Kweni sing kajen keringan, sugih, nanging dhermawan iku.
Nanging latihan koor lan wiyaga iku banjur diselani rembugan ngisi lowongan penggender. Bab pengendhang, miturut Pak Petrus lan Pak Dul, F.X. Suryono, putrane Pak Dul wis mitayani. Pembonange F.X. Surtini, adhine Suryono, uga kena diendelake, bonangane mipil lan imbal wijang lan resik, bukane cetha tur bener. Lha penggendere? Apa ya wangun, Pak Dulngalim sing dipahargya tampa komuni sepisan iku kudu isih nggender?
“Sinten, wiyaga Kweni ingkang pinter nggender, Pak Dul? Dereng Katulik inggih kenging, Pak!” anggone taren Pak Petrus.
“Mas Dulmanan, pakdhenipun Suryono. Yen dipun setujoni, mangke kula tarosipun. Manawi Mas Manan mboten sagah, lha inggih ngebon penggender saking lingkungan sanes, menapa saking Paroki Pugeran piyambak. Nanging mugi-mugi Mas Manan kersa, lan taun ngajeng nututi kados kula!” kandhane Pak Dulngalim optimis.
Gendhing Natal ing miss suci pisan ji iki yekti kebak makna kanggone F.X. Dulngalim sakloron. Amarga sing digantha-gantha rong sasi kepungkur, bengi iki dadi kasunyatan. Gusti Mahatresna. Sang Timur sumbering kabungahan.
Nalika jaman isih Narayana, Pak Bassory nate maca slogan “Memory Your Dead”. Cara Jawane ‘Elinga yen Mbesuk Kowe Bakale Mati’.
Pak Bassory uga asring midhangetake pengajian-pengajian, utamane sing mbahas manawa kabeh manungsa iku bakale mati. Uga saben takziyah yen dhong ana wong ulih-ulihan. Pak Kyai Nawawi mesthi ngacarani upacara pemakaman jenazah sarana ngelingake bilih “Kita sadaya inggih badhe ngalami pejah kados jenazah menika.”
Dhek jaman isih kuliyah biyen, Pak Bassory uga nyinau filsafat ngenani perkara istilah “universal” sak conto-contone pisan. Salah sijine conto muni mangkne.
“Si A iku manungsa. Saiki wis ora ana. Si B uga manungsa. Saiki wis tilar donya. Si C uga manungsa. Dhek wingenane seda.”
Si A, si B, lan si C iku kabeh manungsa. Saiki wis padha sowan ana Ngarsane Gusti Kang Maha Kuwasa. Njur sacara universal, kabeh manungsa iku bakal bali menyang jaman kelanggengan, aliyas mati.
Sanajan pirang-pirang prakara sing ngelingake Pak Bassory marang bab “mati”, ewa semana ing penggalih lan pamikirane durung tumanjem manawa panjenengane iku dhewe ing tembe uga bakale “bali”.
Amarga durung tumanjem temenan prekara “kabeh manungsa iku bakale mati”, mula tindak lampahe Pak Bassory kadhang isih ngglewar saka angger-anggering agama kang ngatur supaya uripe manungsa iku slamet ndonya lan slamet ngakherate.
Sejatine Pak Bassory iku ya wis kalebu piyantun kang bontos ngelmune, agal alus bisa, njaba njero kandel. Apa maneh nek mung pitutur “harta, tahta, dan wanita” sarta prakara “aja sulap marang gebyaring ndoya”, kanggone Pak Bassory, wis paham temenan. Bandha donya, kalungguhan lan kasulistyane wanodya iku kabeh minangka gada gedhe kang ngregoni tindak lakuning manungsa kang tumuju marang kamulyaning gesang ndonya ngakherat.
Ewa semono ..., yen ana duwit morgan, upamane “suap-menyuap” lan “aji mumpung” nggo tindak “korupsi” isih bisa ditinggalake. [ 172 ]Yen pinuju munggah pangkat utawa perlu nglenggahi jabatan kang “teles”, tindak kolusi isih ditempuh. Mengko yen wis nyepeng panguwasa, kanggo nampa pegawe anyar, tindak “nepotisme” uga isih ditindakake. Kanthi “menempuh jalan menghalalkan segala cara” prekra haran isih diterjang.
Biyen ..., nalika isih Narayana uga nate lan asring mriksani drama, film, sinetron lan sapunggalane kang nayang-ake adegan wong kang lagi sekarat, ngadhepi mati. Adhegan menghembuskan napas yang penghabisan. Jroning lelakon,sapa kang tumindak candhala uripe bakal nistha. Uripe marga nandhang sangsara, jalaran ngundhuh wohing pakarti kang ala. Ewa semono isih durung bisa “nyadhar”;ke penggalihe lan pamikire Pak Bassory marang prakara “pati”.
Yen pirsa dhuwit, pirsa ana promosi jabatan lan pirsa ana wanodya sulistyaning warni ..., mripate iju.
“Lanang tenan kok,” ngono pangandikane ing batin.
Nate uga mbiyen mirsani wayang kulit, perang begal. Bbuta Cakil disuduk keris dening Janaka. Dhalange rada clometan. Sadurunge buta Cakil mati disolahake kejel-kejel, ambegane grag-grok tandha nyawane wis ana tenggorokan. Malah ditambahi nganggo ceguken barang. Mak kik ... kik ..., ngono.
Karepe dhalang mono ngelingake marang para pamirsa kabeh manawa manungsa iku ye wis arep ngajal solahe kaya ngono kuwi. Nanging nalika semana Pak Bassory mung ngira manawa iku mung “banyolan”.
Nalika mara sepuhe kakung seda, Pak Bassory uga tugur nganti menang “les”-e. Semono uga mara sepuhe putri. Pak Bassory uga ngrukti wiwit gerahe nganti tumekane janji. Nanging penggalih lan pamikire Pak Bassory durung bisa nyadhari manawa “E, ngono ta manungsa ki nek arep mati”.
Lembah hitam isih diambah. “Dur angkara murka” isih diuja. “Aji mumpung” isih mbidhung.
“Kapan mertobat.”
Isih kalebu begja yen penggalih lan pamikire eling marang paugeraning agama lan ngerti prekara “dosa”. Mung jeneng “Kalaridhu Godharencana” kang tansah ngganggu durung bida diinggati.
Nanging sajake sajake Gusti Allah isih welas marang penenengane. Sawernaning “pancabaya” akibat saka tumindake Pak Bassory dhewe bisa dibengkas. Kaya-kaya Gusti Allah paring kemurahan parang penjenengane. Pak Bassory pinaringan eling lan pitedah sarana lelakon-lelakon kang nyata.
Setaun kepungkur Pak Bassory nyumpena daleme dibukak gedhege. Mangka yen nyumpena ngono iku ing Kitab Betaljemur Adhamakana, nyebutake menawa bakal nglakoni pepisahan klawan garwane utawa karo [ 173 ]wong atuwane. Mangka garwa kang ditresnani banget, kang asmane Bu Siti Wulandari nalika iku pinuju gerah.
Rina-wengi Pak Bassory nyenyuwun marang Gusti Kang Murbeng Gesang. Muga-muga garwane ginanjar pangapuntening dosa, panjang yuswa, seger waras kuwat, slamet, aweta anggone momong anak-putu, ayem tentrem, urip mulya ndonya ngakherat, tinebihna saka siksa geni neraka.
Panyuwune Pak Bassory kinabulan. Bu Siti Wulandari ginanjar waluya jati. Nanging ora kabeh panyuwune Pak Bassory kinabulan. Nyatane keng Ibu, ya Eyang Putrine para putra ..., seda.
Ora let suwe, nyumpena maneh. Saka pangrasane jroning pasumpenan, pirsa ana pitik disembeleh ....
Kitab Betaljemur ngandhakake, manawa ngimpi weruh anak pitik disembeleh, bakal kepaten wong tuwane apa sedulure.
“Gusti Allaaaah ...,” pandongane Pak Bassory wiwit mertobat. “Tiyang sepuh kula kantun setunggal, dhuh Gusti. Mangka kula dereng saged mbales tuwin nyembulih penapa-punapa. Mugi Bapak kula ginanjara panjang yuswa, kenginga kangge pangauban manawi kula pinuju ketaman sisah. Kenging disuwuni pandonganipun manawi kula nembe nandhang rubeda.”
Jebul sing ndhisiki sowan maring ngarsaning Pangeran, kakang mase. Mangka nalika kang mase mau isih nandhang gerah, Pak Bassory atur pambyantu arupa apa wae, utamane arta kanggo pitukone obat. Malah sadurunge kapundhut, Pak Bassory matur marang kang mase mau ..., “Mas..., muga-muga enggal waras ya ..., kenoa kanggo kanca nganti mbesuk yen wis padha tuwa.”
Nanging Gusti Allah Kang Maha Kuwasa ngersakake beda. Saiki kang mase wis ora ana.
Lagi enak-enak ngalamun ngumbar pangangen-angen, Bu Siti Wulandari ngregoni.
“Menggalih apa ta, Pak?”
“Aku mau bengi ngimpi ala maneh, Bu.”
“Alaaa, wong ngimpi ki kembange wong turu, ora sah dipaelu!”
“Impenku kebeneran jam telu bengi. Rumngsaku ki kok aku weruh langit pecah, tur anggonku ndeleng ing sandhuwure kreteg.”
“Maknane? Apa wis dipriksani maknane ana ing Betaljemur?”
“Sakjane ki musrik yen percya marang unine primbon. Nanging kok ya akeh empere ya?”
Pak Bassory miyos, njur mundhut Betaljemeur. Maknane pangimpen, “Yen ngimpi weruh langit pecah, bakal kepaten wong tuwane”.
Ora let suwe ....
“Kling ..., kling ..., kling ..., kling kling kling ....” swarane telpon muni. [ 174 ]Sing ngembel adhine Pak Bassory sing ana ing Surabaya. Asmane, Ti’ah. Iya Ti’ah iku sing diembani Pak Zainal, bapake. Pawadane, Ti’ah putra wuragil.
Swara saka njelro telpon, “Mas, Bapak gerah. Ndadak, Mas! Mangka esuk mau ya tindak-tindak karo bocah-bocah menyang Mesjid Agung kaya biasane. Njur sore mau bubar siram ya isih mirsani teve. Maramara bubar Maghrib kok terus sare. Mangka durung dhahar. Bareng bubar Isak takgugah, kok mung meneng wae. Ngorok, mripate rada ngriyip nyawang ngiwa terus. Piye iki, Mas?”
“Cepet gawanen neng rumah sakit wae!”
“Upama nyang dhokter sing cedhak kono wae piye?”
“Aja! Berobat nyang dhokteran ki rak yen isih sadhar tur larane ora sepiroa. Ning kuwi gerahe Bapak sajake wis parah.”
“Ya wis, ngono wae ya Mas.”
“Ya, ya ..., saiki uga aku takbudhal nyang Surabaya.”
“Iya, Mas. Cepet-cepet wae! Aku bingung tenan iki.”
Wusana Pak Zainal ngamar ana RSAL. Pak Bassory tugur rina-wengi ana rumah sakit kono. Jaga gentenan karo sanak sedulure, ngatur jadwal piket supaya yen kesel ana sing nggenteni.
Miris banget penggalihe Pak Bassory bareng tugur ing tengahing wengi ana ing RSAL kono. Apa maneh kabener malem Jumuh Kliwon Sepi nyenyet. Kang keprungu mung swara-swara ambegan ngorok saka pasienpasien sing pinuju “koma”, kalebu kanjeng ramane. “Grag grog ..., grag grog ....”
Njur keprungu uga anak manuk dares miber sandhuwure wuwung karo muni, “reeees!” kaya swarane wong nyuwek mori.
Esuke, pasien sisih kiwane Pak Zainal, seda. Luwih miris maneh bareng nyawang Ti’ah “nyepet” bubur alus kanggo dhahare ramane. Bubur alus mau di-”spet” liwat selang kang dipasang mlebu menyang padharane ramane liwat bolongan irung. Selang-selang pating klewer, kalebu selange oksigen kanggo nglonggarake napas.
Luwih ngeres maneh bareng Pak Zainal “cegug”-en .... “Kik ..., kik ..., kik ....” ngono swarane. Pak Bassory kemutan wayang buta Cakil nalika sekarat arep mati amarga disuduk keris dening Raden Janaka.
Manuk dares muni maneh ingwengi candhake ....
Esuke, pasien sisih tengene Pak Zainal, let rong dhipan, seda. Manut kandhane wong-wong sing padha jaga pasien ing kono, Ruang Pavilium VII kang mapane ana sisih kidul dhewe iku kaya-kaya pancen panggonane wong kang antri mati. Mung watara 15% pasien sing waras njur bali. Ngono ritek isih imbuh obat jalan lan kudu asring kontrol. [ 175 ]Umume sing manggon ing Pavilium VII iku para pasien kang wus lanjut usia. Gerahe stroke. Ana kang suwe dirawat, ana kang ora suwe banjur meninggal. Saupama sing wis suwe dirawat iku banjur waras lumrahe banjur nandhang cacat, mbuh lumpuh separo, mbuh banjur wuta.
Nganti rong puluh dina-rong puluh bengi kahanane Pak Zainal, bapake Pak Bassory isih panggah “koma”, ora ana perkembangan. Saben wengi Pak Bassory mung bisa ndedonga ....
“Dhuh Gusti Allah, menawi Bapak kula taksih pinaringan panjang yuswa mugi dipun paringi waras. Dene menawi pancen sampun titi wancinipun wangsul, mugi sampun ngantos kedangon anggenipun nandhang rekaos ....
Djaka Lodang, No. 34, Th.XXXII, 18 Januari 2003
“Pakne, ya sithik edhang wong kuwi aja njur sok kemresik. Kepriye wae, wong jenenge tangga lagi duwe perlu ..., mbok ya Njenengan ki, ora ketang mung sepisan ya endhong jagong,” ngono pakone Tumi marang Dikun bojone.
Sing kakung ora wangsulan, mung tetep lungguh jegang ana lincak pring emperan omah. Pancen wiwit biyen Dikun klebu wong kang angel sratenane. Kapan ora gathuk karo panganane, dheweke trima puguh ora luluh.
“Aku kuwi nganti isin lho, Pakne, karo tangga teparo. Saben-saben tansah nakokake, kok bojomu ora tau ketok, nganti kewuhan olehku arep wangsulan ....”
“Mbok wis rasah crigis ...!”panggetake sing kakung. “Aku rak wis kandha ta, nggone Surip kuwi, saben nganakake jagongan, mesthi ngundang wong main kertu .... Aku pancen ora seneng karo pagaweyan kaya ngono kuwi .... Lha panggautan kaya ngono wae kok dha dipengpengake ...,” kandhane kakunge bacute.
“Lha ya tekade, njenengan neng kana rak ora kudu melu main, wong jeneng wong endhong njagong, yaaa ... tekade ngobrol-ngobrol prekara tetanen karo liya-liyane rak ya bisa!”
“Wah, neeekk wong kene ki, ora tuwa ora enom, angger jeneng njagong bayen, durung-durung wis tatrap gawe kalangan, ya sing remi, dhomino, neg aku!”
“Lha ya karang nggo cegah ngantuke.”
“Cegah ngantuk liyane wae ya akeh kok. Wis jajal, nek durung-durung wis dha nyekel kertu kabeh ki njur priye ..., kamangka metu wedang wae durung, hara! Malah nalika sulihe sing duwe omah masrahke wedang karo nyamikan, wong-wong wis ra dha nggape, mentingke sing nyekel kertu. Njur kapan olehe arep ndongakake jabang bayi ...?”
“Ya mangga. Ning aku wis elik-elik lho, Pakne. Mengko dikira bojo ra tau cawe-cawe bab srawung!” [ 177 ]“Wis ra sah sing-sing! Dakature dhewe prekara srawung tangga. Sing baku aku ora colong jupuk dheke tangga, rampung!”
“Lha ning, wong tetanggan kuwi rak mung padha nganggo ta?”
“Karepmu?”
“Lho, kaya sak awake dehwe urip neng tengahing masarakat ki, rak ya mung genti-genten ta, Pakne. Tegese, undhuhan bab srawung ki, mengko bakal tekan. Nek awake dhewe ki neng masarakat enthengan, tangga teparo ya karo awake dhewe dha enthengan, ning nek awake dhewe ki nandur wegahan, ya mesthi wae wong-wong uga sengara tetep becik karo awake dhewe. Kamangka hukume masarakat iku luwih abot. Mengko tangga-tangga wus “nge-pal” nek awake dhewe ki wegah srawung ...,rasakna, Pakne!” pituture Tumi marang bojone.
Pancen wus wiwit biyen, sing jenenge Dikun karo Surip kuwi, ing samubarang bab ora nate gathuk. Awit Dikun pancen sengite karo wong main, jan kepati-pati temenan. Nganti tau dipunjung saka nggone Surip nalika lagi duwe gawe, klakon ora dipangan temenan segane dening Daikun. Awit jarene segane tukang main. Naning kosok baline Surip. Najan dheweke duwe pakulinan main kertu, nanging srawunge karo tangga teparone becik.
Kacarita ing sawijining dina, nggone Surip adang nyepasari putune kang lair durung suwe iki, Tumi rewang, malah anake wedok sing jeneng Watik uga tetruka ana nggone Surip. Awit sing babaran iku pancen kancane Watik, tur sepantarane, mung wae Watik durung duwe sisihan. Nalika semanaWatik kajibah ater-ater tangga lan sedulur sing wis padha menehi tandha tresna sumbangan sadurunge. Mbuh kepriye sebabe, ndilalah Watik nggawa montore Surip digawa mulih kanggo sawijining kaperluan.
“Tik, mbok aja sok grang-greng nyilih montor barang, montore tukang main wae kok, paling-paling kuwi kapinujon menang banjur bisa tuku pit montor ....”
“Bapak niku ampun ngoten niku .... Nggih pun jengen dhit saking pundi .... Mangke nek keweleh lho,” wangsulane Watik karo ganti anggon-anggon ana kamar.
“Keweleh? Ra bakal aku threthekan golek silihan dhuwit nggone wong tukang main.”
“Nggih dereng mesthi, Bapak niku ...!”
Ndilalah wolak-waliking lakon. Nalika Watik lunga nganggo montore Surip, ana penggokan cedhak pasar, nyrempet bocah ngepit, nganti tatu, semaput, tur pite renyek. Watik bingung. Tujune ora adoh saka ono akeh wong, mula banjur bocah kang semaput mau diplayokake nyang rumah sakit. Sepedhane diamanake neng tangga cedhak papan kacilakan. Dene Watik sak montore diglandhang dening polisi, digawa menyang kantor Polisi, pinangka barang bukti. Puntone Watik kena mulih, awit [ 178 ]bocah mau salah njupuk dalan. Nanging Watik kajibah nambakake bocah mau nganti mari lan kudu ndandakake sepedhane, nggone bocah kang remuk.
Watik ora wani mulih nyang ngomahe, wedi yen diamuk bapakne. Tekan nggone Surip, Watik nyritakake apa kang dumadi. Surip nyaguhi bab ragat bocah nganti sakmarine, klebu ndandakake sepedhane bocah kang ditabrak Watik. Surip banjur budhal nggawa dhuwit sacukupe menyang rumah sakit. Tekan rumah sakit jebul bocahe wis eling. Banjur tatune sing sakawit ikira fatal, jebule ya mung lumrah, malah dina iku uga dening dhokter wus dikeparengake mulih. Bocah mau dening Surip diterke mulih, sisan pasrah luput, senajan sing nabrak Watik anake Dikun. Mung tujune wong tuwane bocah mau bisa nampa, luwih-luwih si Surip ndhadha bab ragat, klebu mulihake sepedhane kang rusak. Usreg swarane wong-wong kang padha rewang, ngrasan Dikun kang sok remesik.
Awit wus padha ngerti yen Dikun klebu wong kang sok rumangsa dadi wong suci, malah sok semuci-suci. Najan wus makaping-kaping Surip disentulani, ewadene Surip tetep nyrawungi becik marang Dikun. Sejatine mono Surip wis pirang-pirang sasi kepungkur iki, wus ora nindakake main kertu, awit dheweke wus oleh pituduh nalika sok mangkat ngaji, senajan durung akeh sing ngerti. Mula ora mokal yen Surip dadi sugih pangapura marang sok sopoa, merga dheweke uga nglenggana yen dheweke nate ngambah alaming maksiyat, main kertu.
Awan iku uga Surip ndandkake sepedhane bocah kang rusak, mula sing cacat-cacat banjur diganti, nganti dadi pulih. Ganti dina, Surip pajeg listrik nyang KUD. Mulihe Surip ngendhegake sepedha montore, nalika weruh Dikun lagi padu regejegan karo nom-noman ing sakidul pekarangane. Bareng ditlusur, jebul manuk kocine Dikun ucul lan dicekel dening bocah sing lagi golek bajing nganggo senapan angin. Manuk mau, dening Dikun bakal dijaluk, awit koci kuwi pancen duweke Dikun naging ucul. Lha sing rumangsa nyekel, ora oleh yen mung teka dijaluk, awit dheweke ora rumangsa luput.
“Napa Kang Dikun kok ...?”
“Lha iki bocah ora genah, wong manukku jare, arep digawa ..., nyang ngendi kok ....” wangsulane Dikun. Surip manthuk-manthu.
“Lha kula weruh manuk mabur teng tegal ..., nggih kula cekel. Lha umume manuk teng njaban kurungan niku rak ateges manuk bebas, dadi nggih bisa dicekel sapa wae, kok modhel ....”
“Pun, pun ...,” panyapihe Surip. “Saniki supaya padha adhile, manuk niku kula sing nebus. Awit Kang Dikun nek upama mlayu ngoyak, ya sengara kuwat, nggih mboten? Sampeyan ya wis etung-etung mbiyantu nyekelke ..., nggih mboten? Ngga niki kenging ngge tumbas rokok ....” kandhane Surip karo ngulungake dhuwit eketan ewon selembar marang [ 179 ]bocah golek bajing mau. Bocah mau sarujuk, banjur manuk koci mau ditampani dening Surip. Bareng bocah golek bajing mau wus lunga, Surip ngulungake manuk koci mau marang Dikun. Sing diulungi plenggongan, awit wus makaping-kaping Dikun diwelehke alus-alusan dening Surip.
Nalika Dikun gojag-gajeg olehe nampani, Surip kandha, “Pun Kang..., diasta kondur mawon, kangge unen-unen teng ndalem ..., mengko nek nglangut ndhak terus ngrasani tanggane.”
Dikun rasane pilih ngrungokake bledheg satus muni bareng katimbang krungu tetembungane Surip. Lan sing cetha, Surip wus nggeblasake montore. Mung kari Dikun kang dheleg-dheleg ngadeg, njegegleg, ati putheg angel ditumpleg ....
Banjur kaya dene ana dumelinging unen-unen kang ngumandhang ing talingane Dikun, “Aja sengit-sengit, mundhak ndulit”.
Djaka Lodang, No. 36, Th. XXXII, 1 Feb. 2003
Wis patang puluh dina Mbah Jaya Munjiran katimbalan marak sowan Ngarsane Pangeran. Tahlilan lan ngirim donga wiwit geblage Simbah nganti tekan pitung dinanan wis kaleksanan tanpa alangan. Wingi ing pengetan patang puluh dina kang diadani gedhen ana ngomahe Kusmiran, si anak ragil, kabeh anak putune Simbah padha nglumpuk. Ana telung puluh santri sing diundang mligi kanggo ngirim donga mligi katujokake mring arwahe Mbah Jaya kang wus mapan ing alam barzah. Panjaluke kang padha ndedonga muga-muga kabeh amale Simbah tinampa ing Ngarsane Gusti, kasuda dosane, katambahan ganjarane, lan dijembarna kubure. Amin.
Sabubare adicara tahlil lan ngirim donga tangga teparo wis padha bali. Wektu kuwi Kusmiran terus ngundang mbakyune loro kabeh, yaiku Kusmirah lan Munjiyah. Sajake ana bab kang wigati lan kudu dirembug ing wengi iku uga. Sawise padha lungguh, Kusmiran enggal-enggal miwiti pirembugan.
“Mbakyu kekarone, wengi iki gandheng wis rampung matang puluh dinane swargi Bapak, panjenengan sakloron takajak ngrembug bab wragad kanggo pemakaman sapiturute.”
“Wis enteke pira terus dipikul bareng, rak wis beres,” wangsulane Kusmirah, Si Anak Mbarep.
“Iya Kus. Becike pancen ditanggng anak telu kabeh. Wong nyatane ora ana sapa-sapa maneh sing dienteni,” sambunge Munjinah.
“Matur nuwun sadurunge lho, Mbakyu. Lha, saiki perlu takaturake yen wragad bapak dietung kawit gerah ana RSU, pemakaman, ngirim donga wiwit geblak, pitung dinanan, lan sing pungkasan matang puluh dinanan wengi iki. Sawise taktotal enteke patang yuta setengah. Ateges saben anak mikul wragad karo tengah yuta. Patang yuta setengah iku wis disuda sumbangan tangga teparo sing akehe meh setengah yuta.”
“Kok akeh temen t, Kus?” wangsulane Munjiyah cingak. [ 181 ]“Aku ora goroh, Yu. Pancen semono wragade. Panjenengan mesthine luwih pana, wong barang-barang regane saya larang. Dhuwit patang yuta setengah kuwi yen diblanjakake oleh apa ta, Yu!”
“Terus Bapak ki apa wus ora duwe warisan babar pisan?” pitakone Si Mbarep.
“Ngene Yu, panjenengan rak iya padha ngerti yen bandhane Bapak ki wis entek kanggo nuruti kesenengane dhewe anggone seneng ngoyakoyak kucing nganti kebedor ana gunung.”
Krungu wangsulane Kusmiran iku wong loro padha mesem. Mbakyune loro iku mula yakin yen Bapake wis ora duwe apa-apa amarga nalika sugenge Mbah Jaya pancen karemane keplek. Yen wis ngerti kertu lan kumpul balane mula lali mangan lali turu, ninggalake omah lan anak putu. Mulih-mulih awake wis remuk lan tumeka sedane.
“Dadi babar blas wis ora duwe tinggalan?” pitakone Munjiyah.
“Yen warisan wujud dhuwit utawa bandha pancen wis ora ana. Sandhangan-sandhangan sing keri wis lungset kabeh wis ora ana regane. Ning, nalika arep sedane, Bapak nate weling jare isih ninggal simpenan ana njero kothak sing saiki taksimpen ana lemari. Iya mbok menawa kari kuwi warisane.”
“Wis, saiki becike warisan sing ana njero kothak iku diedum luwih dhisik sadurunge ngetung prabeya pemakaman saben anak,” usule Si Mbarep.
“Aku manut wae, Yu. Mung aku njaluk adume warisan kudu adil. Lan gandheng aku iki anak lanang ijen, mula aku kudu entuk bageyan separo luwih dhisik. Turahane terus didum Mbakyu sakloron.”
“Kus! Kowe aja urik kaya ngono kuwi. Sing jenenge warisan ki ya kudu didum padha. Ora mawas anak lanang apa anak wadon,” wangsulane Si Mbarep maneh.
“Ora bisa Yu! Pokoke aku kudu nampa luwih akeh tinimbang panjenengan sakloron. Aku ora sarujuk yen warisan iki arep didum padha!” kandhane Kusmiran karo ngotot.
Wengi iku wong telu udreg regejegan, ora bisa mutusake piye cara sing adil kanggo adum warisane Mbah Jaya. Kabeh duwe panemu dhewedhewe supaya bisa entuk warisan luwih akeh tinimbang sedulur liyane. Lan gandheng ora ana putusan sing gumathok, wong telu sarujuk prakara iki digawa menyang kelurahan wae kareben ana sing nengahi.
Esuke kelakon wong telu keturunane Mbah Jaya Munjiran iku padha teka ana kantor kelurahan. Sawise dimanggakake Pak Lurah Sujono, Kusmiran terus crita asal-usuling prakara kang ora bisa diudhari. Sawise mendel, Pak Sujono terus menehi wawasan mungguh becike.
“Saderengipun dipundum, panjenengan sadaya kula aturi milih, panduming warisan niki ajeng ngangge landhesan ukum nagari napa ukum agami?” [ 182 ]“Kula milih ngangge ukum agami mawon Pak. Kula yakin ukum agami punika rak ingkang paling sempurna kangge ngatur gesaning manungsa ing alam donya,” ature Si Ragil.
“Yen kula kalih adhi kula niki, milih adhedhasar ukum negari kemawon. Awit kita sedaya punika gesang wonten negari Pancasila sanes negari agami,” wangsulane Kusmirah.
Ing kantor kelurahan iku wong telu isih eyel-eyelan. Alesan kanggo pamilihing dhasar mbage warisan tetep ora bisa digathukake. Pak Lurah gedheg-gedheg ngadhepi kahanan kang kaya mangkono. Lan kapeksana panenengane Pak Lurah kudu ngendhegake kang padha regejegan iku kanthi cara kang rada kasar.
“Empun ..! Empun ..., pun! Mboten susah diterusake anggen panjenengan sami regejegan!” pangandikane Pak Lurah karo nggebrak meja.
“Saniki kula aturi tetimbangan malih. Saenipun mboten sisah perlu nyekeli kenceng-kenceng ukum waris agami punapa dene ukum adhat. Gandheng niki musyawarah, saenipun dipunpendhet tengah-tengah,” pangandikane Pak Lurah maneh.
“Dalan tengah pripun, Pak?” ature Munjinah nyelani.
“Gandheng manut katrangan panenengan wau Si Kusmiran ingkang kepanggenan Mbah Jaya. Ateges langkung kathah pangurbanan kangge ngrawat Mbah Jaya, mbok manawi prayogi yen Kusmiran nampi langkung kathah tinimbang mbakyunipun. Ewa semanten bentenipun sampun kathah sanget. Pramila kula putusaken, kadospundi menawi Kusmiran nampi rong praliman, dene ingkang telung praliman, dipunpara kalih kangge panjenengan kekalih?”
Krungu sesorahe Pak Lurah kang menehi tetimbangan kang tinemu nalar iku, kabeh padha manthuk-manthuk. Sawise padha nglelimbang, kabeh sarujuk karo panemune Pak Lurah. Kusmirah lan Munjiyah trima rada ngalah dene Kusmiran uga marem bisa entuk bageyan kang luwih akeh tinimbang sedulure loro kuwi.
“Saniki gandheng sampun sami sarujuk, badhe kula damelaken prajanjen wonten kertas bermeterai supados wonten kekiyatan ukum ingkang gumathok,” pangandikne Pak Lurah maneh.
Pak Lurah banjur ninggalake kantor njupuk kertas segel kanggo nulis prajanjen iku. Ora antara suwe, panggawene layang prajanjen wis rampung. Wong telu didhawuhi tandha tangan lan nganggo seksi loro, Pak Carik lan Pak Bayan kang wektu esuk iku kebeneran uga wis padha teka ing kantor kelurahan. [ 183 ]“Empun nggih? Gandheng sedaya sampun sarujuk, pramila kothak warisan badhe enggal kita bikak. Sepindhah malih kula weling, sampun ngantos nggrundel wingking. Lan kula aturi tansah njagi tali silaturahmi. Sampun ngantos medhot tali kekadangan namung amargi rebatan warisan,” wejangane Pak Lurah sadurunge mbukak kothak warisan.
“Inggih, Pak,” wangsulane wong telu meh bareng.
Kothak sing digawe saka kayu nangka iku enggal dibukak. Kabeh katon selak ora sranta pengin ngerti sepira akehe simpenan bandhane Mbah Jaya ing kothak iku. Kusmiran ngira yen sebageyan isine kothak mesthi wujud emas picis, inten, utawa barleyan. Beda karo adhine, Munjiyah lan Kusmirah yakin yen kothak iku mesthi kebak dhuwit. Nanging kanyatane kabeh pangangen-angen iku luput. Kothak sing gedhi iku jebul mung isi dluwang selembar.
Sanajan rada kuciwa, anak cacah telu iku tetep pengin ngerti iku layang apa. Kusmirah malah ngira yen iku mesthi lembar dheposito utawa cek. Upama bener iku lembar dheposito mesthi enggal bisa dijupuk minangka warisan awit sing nabung wis tilar donya. Gandheng selak notol rasa pengin ngertine, Pak Lurah enggal maca layang tinggalane swargi Mbah Jaya.
“Takwacane layang iki, mula padha rungokna kabeh:
“Anak putuku kabeh, apuranen aku wong tuwamu dene nyatane aku ora bisa ninggali apa-apa marang kowe kabeh. Malah padha takwenehi ngerti yen dina iki aku isih duwe tanggungan utang karo Kang Wongso Mijen, kanca kenthelku sing omahe ana Desa Kedhung Bener. Utangku ora pati akeh, mung telung yuta wae. Mula yen padha longgar, aku njaluk utangku kuwi enggal padha lunasana. Aja kongsi utangku kuwi dadi sesanggemanku ana alam akherat besuk.”
Ngerti isine layang iku, kabeh padha mlenggong. Kusmirah malah klakon ngowoh. Ora nyana yen warisane bapakne sing dianti-anti iku jebul mung warisan utang.
Wusana wong telu ora padha swala maneh kudu nanggung wragad kematian ditambah tanggungan utang. Iya kaya ngono iku kuwajibane anak kang kudu bisa “mikul dhuwurmendhem jero” wong tuwane.
Djaka Lodang, No. 38, Th. XXXII, 15 Feb. 2003
“Genah, yen sliramu wis sedheng. Mlaku bareng karo priya liya tekan Parangtritis barang kok isa selak!” sumbare Agung nyecer awakku kaya lahar Merapi kang disuntakake. Praupane kebak rasa sengit nyawang aku. Sanalika krasa ana hawa panas ngebaki mripatku, banjur dadi eluh kang tumetes ing pipiku.
“Ora usah nganggo nangis barang, ora perlu! Aku ra bakal bisa melas merga weruh tangismu!”
“Ning kowe kudu krungu penjelasanku.”
“Aah ..., ora perlu! Ora ana sing kudu dijlentrehakae meneh. Kabeh wis cetha, kowe wis ora setya. Genah-genah Hakim ngerti dhewe lokasi KKN kepiye polahmu saben dinane, apa meneh yen lagi ngadhepi priya kuwi. Ris ..., Ris, genea kowe dadi wanita urakan kaya ngono!”
“Cukup! Cukup! Ora perlu diterusake meneh. Yen pancen kowe ora bisa nampa kabeh apa kang bakal tak jlentrehake, terserah! Aku ora bakal meksa. Nanging sing mesthi, apa sing kok tudhuhake iku kliru, aku dudu wanita sing seneng ngobral-obral katresnan,” wangsulanku kanthi lambe gemeter, nahan tangis mlayu mlebu kamar, ninggalake Agung sing isih lungguh dheleg-dheleg ing kursi tamu.
Seminggu kepungkur pancen aku lagi ngrampunake anggonku KKN. Akeh banget kedadeyan sing tak alami sajroning rong sasinan ana kana. Sesambunganku karo warga dhusun pancen raket banget, kaya-kaya aku wis dadi pendhudhuk kana. Yen ta arep ditandhingake karo kanca KKN liyane, sesambunganku karo nom-noman lan bocah cilik-cilik muridku pancen paling monjo. Ing saben bubar Ashar bocah cilik-cilik kuwi mesthi wis padha celuk-celuk aku saperlu njaluk diwulang apa dicritani dongeng-dogeng. Nom-nomane nglumpuk menawa bubar Isyak. Kahanan saben dinane pancen ora tau sepi, ana-ana wae sing gawe aku krasan ana kana.
Tak akoni pancen ora kleru apa sing tudhuhake Agung marang aku. Kanyatan iku wis tak graita bakal dumadi. Sithik, ana rasa ora senengku karo ketua kelompokku KKN awit wadule karo Agung bab Widodo, priya kang nduweni rasa tresna marang aku. Wiwitane pancen aku ora [ 185 ]pati nggraita yen dheweke duwe rasa iku marang aku. Yen kabeh padha nglumpuk bubar Isyak, aku banjur nemoni lan crita ngenani apa-apa sing lagi dadi berita. Aku ora tau mbedak-mbedakake antarane siji lan sijine nom-noman kana. Nanging kahanan kuwi banjur beda rikala Indri, kanca kenthelku ing salah sawijning rapat kango 17-an dhusun mbisiki aku.
“Ris, apa kowe ra nggraita yen Wiwid kuwi darbe rasa tresna marang kowe?”
“Ah, ora macem-macem!”
“Dikandhani kok malah maido, lho!”
“Tenan lho, Ris, pancen bener apa sing dikandhakake Indri kuwi. Wis ta percayoa,” Mbak Yanti melu-melu nimbrung.
“Bocah-bocah kene wis padha ngerti kabeh lho!”
Wasana aku mung manthuk-manthuk. Aku pancen ora nggraita bab iki. Pirang-pirang dina Wiwid sikepe rada aneh, nanging apa iya dheweke ....
“Aku tresna karo Mbak Riris,” ngono ujare sawijining wengi sabubare rapat pungkasan kanggo acara 17-an dhusun.
“Nanging aku iya ngerti menawa apa sing tak rasakake iki ora bakal entuk piwales kaya sing dak impekake. Mbak Riris wis duwe Mas Agung, aku ya wis ngerti. Mbak Riris ora perlu kawatir,” pangucape alon banget ngiris ati.
Tak pandeng priya bagus sangarepku iki sawetara. Bingung, apa sing dak omongake maneh. Dheweke wis ngerti sakabehe, bab Agung, bab aku sing ora bisa nampa tresnane nanging saka ngendi?
“Aku mung njaluk Mbak Riris gelem ngancani aku, kuwi wae. Ya mung Mbak Riris sing bisa gawe dina-dinaku ora sepi. Gelem ya, Mbak,” panjaluke alon karo nyawang aku sajak kaya boah cilik njaluk sih ibune.
“Sejatine ana apa ta, Wid?”
“Aku duweni kangker, Mbak.”
Dina-dina sawise kuwi dikebaki dening Wiwid. Apa wae kegiyatan sing diprogramke kelompokku dheweke tansah ora tau kendhat mbantu. Gojekane nom-noman lan kanca-kanca KKN bab aku lan Wiwid ora tak gawe pikiran. Sing mesthi aku percaya apa sing daklakoni ora nerak wewaler kesopanan lan tata krama. Semono uga wektu ana acara perpisahan KKN kang manggon ana ing Parangtritis.
“Kowe ra bakal lali karo priya sing ngenteni pati iki ta, Mbak?”
“Kok, ngono ta ngomonge, aja marahi sedhih ah! Ra apik. Cah bagus-bagus kok sentimentil!”
Tak salami dheweke, nanging ora dinyana ganti tanganku digegem kenceng lan diambung sanalika. Embuh apa sing dakrasakake wektu kuwi. Trenyuh, sedhih campur dadi siji. Satleraman wewayangane Agung kumlebat, banjur takculke tanganku sing isih ana gegemane. [ 186 ]Dina-dina aku bubar rame karo Agung dakliwati kanthi kesibukankesibkan anyar. Aku kudu ngrampungake skripsiku taun iki. Bab-bab kang gawe pikiranku dadi sumpeg taksingkirke adoh. Ngendikane Ibu aku kudu menehi keterangan maneh karo Agung durung daktindakake. Senajan tresnaku isih tansah kanggo dheweke, nanging ora banjur kudu bisa nampa lara ati iki.
Ah, aku banjur kelingan Wiwid. Suwe banget aku ora krungu kabare. Dheweke uga ora tau nelpon aku meneh. Piye kabare saiki? Suwara montor mandheg ana pekarangan. Agung nganggo kemeja biru langit nyedhaki anggonku lungguh. Dhuh ..., sejatine aku kangen banget karo dheweke.
“Ris ..., aku mrene njaluk ngapura. Aku pancen wis kleru ndakwa kowe sing ora-ora. Ngapuranen aku ya, Ris,” panjaluke kebak rasa tresna.
Angel banget anggonku ora menehi dheweke pangapura, apa eneh pancen aku isih nduweni rasa tresna karo dheweke. Aku mung manthuk. Banjur ....
“Wiwid mlebu rumah sakit. Wis tekan wancine. Indri telpon aku esuk mau.”
Ukarane sing keri dhewe gawe aku kaget. Kaya ana thathit nyamber ing kupingku. Tak pandeng Agung suwe. Dheweke manthuk banjur ngruket kenceng awakku. Lemah abang sangarepku iki isih katon teles. Kembang mawar putih sing dakgawa takselehake sangisore kijing kang katulis jenenge. Ana perih kang ngiris-iris atiku sanalika. Kembang kamboja abang ngancani dheweke kebak katresnan.
Djaka Lodang, No. 41, Th. XXXII, 8 Maret 2003 [ 187 ]Sundari karo wayahe padha mulih saka pasar Bandongan. Lakune turut dalan trabasan, pamrihe kareben enggal tekan ngomah. Tyasih, putune, ulate katon peteng. Sajak lagi ana sing dipikir. Ndeleng glagate wayahe mau, Eyang Putri, Sundari nuli pitakon.
“Apa kowe isih kangen marang ibumu, Ndhuk?”
Ditakoni mengkono iku Tyasih ora wangsulan. Malahan dheweke genti takon.
“Eyang Uti kuwi, lha piye Ibu kok ana Magelang wae?”
Mireng pitakone putune mau penggalihe rinujit-rujit pindha pecah-pecaha kae. Rasa ewuh aya anggone arep paring wangsulan. Upama bae, diblakani kok ora mentala ngono. Nanging yen ora diblakani, ateges goroh, terus njur piye. Ora becik. Yen blaka mengko piye dadine samengko. Ewadene, kepeksa banjur paring wangsulan supaya lega atine keng wayah.
“Tyas, Uti ora ngerti apa karepe Bapakmu.”
Kanthi wangsulan mangkono, Tyas malah banjur pitako maneh, “Apa Bapak karo Ibu lagi perang maneh kaya padatan kae Uti?”
Eyang Putri ora enggal-enggal paring wangsulan, nanging malah ngulur napase landhung. Bareng wis sauntara lagi suka pangandika.
“Yake bae ya ngono. Nanging panyana ala kuwi ora becik. Uti ora ngerti sing sabenere kok, Ndhuk. Jarene Bapakmu, kowe bakal entuk ganti ibu anyar ngono. Kae wonge rak ayu, luwes, grapyak, sumanak, sabar, pinter momong lan saiki isih ngasta dadi guru kok, Ndhuk.”
Anggone paring wangsulan ngiras mituturi wayahe. Nanging, Tyas, wayahe kuwi anggone mangsuli sajak ora cocog ing atine.
“Uti, Uti .... Wong Ibu kok diganti ta? Mangka yen aku ya seneng karo ibuku dhewe, sing asli ta Uti? Embuh yen Mas Har?” wangsulane kang ngemu pitakon serius sinambi ngelapi tase.
“E, Ndhuk, sing cetha Uti ora ngerti sing tenane. O, wani kowe nyuwun pirsa karo Bapakmu? E, Ndhuk, ngati-ati dalane lunyu, lho. Atiati!” aloke Eyange Putri kambi nyandhak tangane putune wedok kuwi. [ 188 ]E ..., kok ana pawadan kanggo ngenggokake alam pikirane putune sing lagi kelas papat Es-Dhe kuwi. Bocah kok mung ngomongake ibune bae.
Nalikane Sundari karo putune wedok tekan plataran ngomahe, Susmono wis lungguh ana ing teras karo ngrungokake siaran radhio RRI. Ndeleng ibune sing lagi teka karo anake wedok mau, dheweke gita-gita methukke minangka pambagya amarga keselak kepengin ngerti kepriye pawartane mantan bojone, Sariasih. Sauwise dikabari dening ibune manawa dheweke arep omah-omah maneh karo putri saka Semarang. Pitakoe marang anake.
“Piye Ndhuk, apa ketemu karo ibumu?”
Tyas, anake wedok mung ngguya-ngguyu terus ngglendhoti Susmono, bapake. Sundari jumangkah lumebu omah sinusul pitakonan saka putrane kakung sing wis sawetara ngenteni.
“Njur piye ta, Bu, Sari saguh nekani?”
“Ya, jarene yen ora ana kerepotan, ya arep mrene, malahan anggonee arep tka malah karo bojone,” wagsulane Sundari karo mlebu kamare saperlu arep salin klambi ngomah. Krungu wangsulane ibune, Sundari mau, Susmono jroning atine nggronjal.
“Piye Bu, arep karo bojone? Lha bojone sapa?” pitakone rada sora. Lan menyat saka teras. Dene Tyas sing ngglendhot dindhani.
“Kok aneh ta kowe, Sus? Ya karo bojone dheweke ta. Dheweke arep ijaban dina Kemis sesuk kuwi. Malah pesen marang aku supaya kowe mrana. Kuwi yen kowe sela lan gelem. Heh ..., kontit-kontit kowe. Ya ta?” wangsulane Sundari, ibune Susmono njlentrehake.
“Bu, piye? Mbok anggone ngendika sing tata ta. Mbok lenggah dhisik ta Bu ....”
“Ya sik. Ibu arep salin.”
Ibune Susmono terus mlebu ing kamare. Susmono ngenteni ing ruwang tamu katon anggone dhelog-dhelog. Mikir. Mikir jero temenan. Nuli tembunge.
“Bu ..., njur calone nganten lanang sapa? Lan saka ngendi?” sajake ngyakinake anggone miterang.
“Ya ora ngerti aku! Mosok ibu kon ndhedhes-ndhedhes. Pokoke kowe ora ngandel ta yen Sari arep kawin? Ibu dhewe ya ora ngandel kok. Coba sapa sing gelem kawin ora resmi sauwise ucul saka tanganmu. Ngono kuwi rak lelakon kang ora umum ta? Apa ora jeneng kumpul kebo?”
Kandha mangkono karo mencereng pandelenge mripate natap raine anake lanang sing lagi kelap-kelip katon yen atine lagi bingung.
“Nanging bareng Sari nerangake dhong-dhinge, Ibu lagi bae mudheng. Sari wis ketemu karo kancane kanthi ora kenyana-nyana. Wong mau kebak tanggung jawab, jarene sawijining pensiunan. Pangkate lumayan, sugih pisan, ngono kandhane Sari mungkasi omongane. Sabanjure Sari anggone crita ngambra-ambra sawise pisahan karo kowe.” [ 189 ]Krungu ngendikane ibune mau, Susmono banjur malah mbingungi pisan. Anake kang lungguh ana sacedhake dheleg-dheleg pindha reca kuwi. Ibune Susmono jengkar, Susmono dhewe uga menyat bali maneh ana ing teras. Lungguhan ana panggonane dhek mau. Atine goreh. Pentiyang-pentiyung kaya pange wit-witan kang kena angin. Mula-mula ya kabar saka ibune kuwi. Sejatine, sajroning atine isih owel-owelan. Rumangsa gela lan ora rila yen Sari winengku dening priya liya. E ..., sanajan dikaya ngapa.
Nanging pancen embuh atine piye kok kaya ngono. Wong wadon wis pisahan dipek wong liya, ateges wis babar pisan ora nduweni tanggung jawab. Lha kok ya ora rila yen dipek dening wong lanang liya. Iku rak aneh. Nanging nyatane ana gandheng cenenge karo anak. Mula ya ora maido. Kira-kira bae, Susmono isih duwe pangarep-arep baline Sari ana ing pangkone dheweke yen atine kaya mangkono. Nanging kena apa kok Susmono wis nggandheng wanita liya? Apa amarga anggone pisahan sekawit saka inisiatipe Sariasih? Dadi sing wadon sing njaluk pisah. Yen ngene iki ya ana empere.
Yen ta mangkono harak wong wadon sing bakal didhaup dening Susmono saiki mung kanggo tambel butuh? Kamangka sejatine Susmono uga eling yen gantine ibune Tyasih ya wis samekta gati sumandhing ing saben dinane karo Susmono. E ..., wong lanang iki pancen aneh. Aneh banget.
Susmono wis ngina yen Sariasih ora bakal bisa entuk priya maneh, kajaba mung dheweke bae. Jroning atine sejatine ngandhut pangina marang Sari mantan bojone mau. Dheweke malah keliwat anggone mikir, wani ngarani yen wong lanang sing gelem ngijab Sariasih tetep klebu wong sing ora tata. Nganggep yen wani ngina marang Susmono. Wong mau dianggep wis wani ngrusak pager ayu.
Panemu ngono kuwi diugemi, dianggep bener. Lali marang hukum kang wis lumaku. Nanging, tumrape ati kang isih seneng, kuwi tetep benere. Mulane senajan durung tau weruh kaya ngapa wujude, kaya ngapa wonge sing bakal dadi bojone Sari, durung-durung wis tuwuh rasa anti pati, sengit kang ora ndaan. Sengite kepati-pati. Nanging geneya Sariasih gelem winengku dening wong lanang mau? Susmono ngigit-igit banget. Rasa eklase ora ana babar pisan.
Nalikane Sundari, ibune Susmono undang-undang Susmono ing wayah awan kuwi, dheweke gemang atur wangsulan. Apa maneh ngadeg lan jumangkah, gelema! Nanging bareng anake wedok sing nyedhaki kaya dibandhuli watu saendhas kebo. Dheweke digandheng mlebu omah deningTyasih, anake wedok terus menyang ruwang makan. Anake wedok sing ngladeni dhahar. Sundari nyedhaki Susmono mau karo kandha.
“Sariasih saiki malah wis bukak warung makan ana Mertoyudan, Jalan Yogya-Magelang. Rame wong-wong kang padha mampir. Dene [ 190 ]ibune saiki adeg toko “Serba Ada”. E ..., Ndhuk! Iki bapakmu diaturi lawuhe,” dhawuhe marang wayahe.
“Bu, calone Sari sinten ta sajane?” pitakone dibaleni maneh. Ora lali kambi njupuk lawuh kang lagi diaturake dening Tyasih anake wedok.
Ibune mesem sajroning penggalihe. Ngerti yen putrane sajake ora seneng lan kagelan atine, dene Sariasih arep omah-omah ngono.
Mulane ibune anggone mangsuli, “Aku iki ora ngerti kok, Sus. Mosok aku kon ngglibeng. Rasaning atiku rak ora kepenak ta? Mung bae pandongaku besuk pas mantene kowe, Sari sida mrene karo bojone. Malahane ta kowe njur bisa tetepungan karo dheweke kuwi ta?” wangsulane ibune alon.
“Ya yen gelem Bu .... Yen ora?” Susmono isih urang percaya.
“Ya kuwi. Ah ..., embuh Sus. Sing penting ulemanmu wis tekan dheweke. Dheweke omong yen arep teka. Rak wis ta? Wondene mengkone ora teka ya ora mangerteni ta Ibu?” ngono wangsulane Sundari sing wis rada jengkel, merga diuber anake lanang.
Susmono prasasat ora mangan. Wetenge wis mbedhedheg. Wareg. Ora kaya padatane mesthi tanduk. Sarampunge mangan awan biasane terus ngadhepi televisi utawa radhio. Nanging wektu saiki dheweke malah mlebu ing kamar, atine sumpeg. Ngono bae isih kaya wong lagi bingung, ya pancen lagi bingung temenan. Ana kamare njagong ngadhepi meja tulise, nanging mung mbukak-mbukak arsip naskah-naskahe sing wis kedalu warsa. Dheweke nuli menyat, awake diglethakake ana peturon. Mlumah ngaplah-aplah, mripate ndeleng pyan kaya-kaya bisa tembus tumekaning angkasa kang bawera jembar ngilak-ilak tanpa wates. Lakune terus nyang dina-dina kang wus ditinggalake pirang-pirang minggu kepungkur. Kabeh lelakon kang wus nate diambah dhek wingi-wingi bisa gawang-gawang katon ing netra. Kabeh tinon endah, mewah, lan mulya jati.
Sariasih kang ana sandhinge dirangkul, alon-alon dikekep kenceng, kuwatir yen ilang. Nuli diambungi sakatoge. Sing dikekep tanpa swala mung sumangga sakersa-kersane Susmono, ora bosen-bosen. Kaya ngono mung sakeplasan njur ilang. Ganti kang tinon, Ernawati kang jumedhul ngancani. Blasss, Sariasih ngaton maneh. Sariasih digandheng dening priya liya. Gegambaran mau sejatine durung nate, ya lagi saiki. Nanging sapa priya kuwi? Saupama dheweke ora suka kabar yen arep ijaban kanthi ngulemi Sari, mbok menawa ora kedadeyan kang kaya mengkene. E, lelakon. Mung kari pirang dina engkas. Nanging kang banget nukulake pitakone, gek kaya ngapa wujude wong lanang mau? Apa nyata ngungkuli dheweke? Mung sing dikuwatirake dening Susmono, yen wis omah-omah karo wong lanang liya, dheweke nduweni rasa owel lan ora narimakake yen Sariasih dilelara atine. [ 191 ]Anggone tekan semono pamikire jalaran dheweke dhek semana durung nate kelakon gawe kepenake atine Sariasih kang temenanan. E, gek saiki jebul saiki wis arep winengku dening priya liya. Sejatine bae ana ing telenging atine Susmono isih ndarbeni rasa welas lan asih marang Sari, bojo kawitan kang idhamaning atine biyen ora sumedya omah-omah nganti ping pindhone. Ya mung sepisan karo Sariasih kanggo salawase. Kena apa dene lelakon iki seje karo idhamane?
Susmono nglandhungake napas, dhasare krasa kaya-kaya ana sing menetake. Awake kesel mula banjur miring mengiwa. Pandelenge genti nyawang potret kang cumanthel ana tembok. Potret kuwi warnane hitam putih. Potret sepisanan karo Sari sing klambi jambon. Klambi kuwi bahane anggone tuku dhek isih ana Singapura, dene rangkepane ireng iki anggone tuku dhek ana Jakarta arep mulih nyang Jawa Tengah. Liontine mawa mata ijo godhong, akik saka Kalimantan nalikane tugas ana ing Pontianak. Dadi sing dianggo nalika kuwi tumtuman saka telung panggonan, Sari lagi pacaran karo Susmono.
Memper bae dadi sawijining pangeling-eling kang angel ilange saka jroning ati. Sarasih mono sajane pancen ayu, luwes. Dedeg piyadege wis serasi ye karo dheweke. Mripate sing wus sawetara ora kedhep-kedhep kuwi genti marang sprei sing dituroni. Warnane jambon, Susmono kelingan yen sprei iki saka kancane salah sawijining pegawe negri warga tut wuri handayani. Iki mung saklebatan tamat. Nanging klambi jambon mau kebak kenangan kang lengket ing atine dheweke karo Sariasih dhek semana. Sprei jambon, paseksen bisu anggone turu sepisanan karo Sari, nanging sprei kang uga njalari dadi gawe.
Saben-saben sprei iki digelar, dheweke mesthi katon bingung. Gambar kang cumanthel banjur disawang ora ketang mung sakeplasan. Nanging sprei kuwi ngandhut sejarah kang embuh kelakone. Apa maneh yen kelingan nalika campur sepisanan, Sari bisa takon kapan anggone mundhut sprei iki. Wangsulane Susmono goroh, nanging ing batine wis mangsuli yen ora bakal lali.
Album biru kang isi potret paweweh sprei jingga mau asring ditiliki. Ati iki pancen bisa nyimpen wewadi, nanging sumpahe wis mung kudu karo Sariasih. Eloking lelakon, Gusti Allah Kang Kuwasa sakabehe, Susmono pisahan karo Sari, garwa kang manut idhamane ora bakal bisa pisahan. Nyatane?
Susmono tangi saka anggone teturon lan ngrucat spreine. Banjur diganti kang warna ijo. Kaya-kaya sing ijo kuwi ndarbeni daya tarik liya. Sprei iki gantine sprei warna jingga. Kang kanggo nggenti sejarahe kawit dhek malem pertamane. Ing sajoning atine nangis. Kelingan sing wis kadhung. [ 192 ]Wis kadhung. Ing wengi-wengi dawaning wengi Susmono bola-bali tangi. Sundari, ibune kober aruh-aruh.
“Sus, mbok aja ngganggu ta! Bola-bali mbukak lawang!”
Nanging Susmono ora wangsulan.
Nalika Susmono methuk Ernawati nalika gremis kae, ulate Susmono pancen katon rada peteng, kaya petenge dina kuwi sing lagi grimis.
Mobil kijang abang mepet teras. Pintu kiwa sisih ngarep dibukakake Susmono saka sopiran. Ernawati lumebu lungguh jejeran ana ngarep. Bareng wus sauntara kijang gumleser, Ernawati mbukani rembug.
“Mas. Mas, rada kawanen sithik.”
Nanging sing diajak rembugan ora enggal wangsulan. Sepi sawetara. Banjur Ernawati mancing rembuge maneh.
“Mas, Njenengan diajak ngomong kok meneng wae ta? Apa ana sing lagi dipenggalih, Mas? Apa maneh ta sing dienggalih?”
Sing diajak guneman kaya-kaya tersinggung. Katon rada bingung. Nanging enggal bisa golek pawadan kanggo mangsuli.
“Awakku rada ora kepenak kok. Bengi angel anggone bisa turu.”
“Masuk angin kuwi Mas, wis diobati apa durung?”
“Wis ngombe tolak angin.”
“Ye durung tak keroki bae piye?”
“Ora susah, Dhik.”
Ernawati isih ndeleng polatane Susmono bae. Sing disawang suwesuwe klincutan. Ernawati lungguhe ndheseg nuli kandha.
“Mas ..., apa pamit dhisik, mengko balik kondur bae. Mengko tak pijeti rak mari.”
Kijang terus nasak grimis sing saya gedhe-gedhe, udan temenanan. Sanajana wis wangsuli ngono, Ernawati ora uwal anggone ndelengke raine Susmono.
“Mengko rak mari. O ..., iya. Apa wis samekta kabeh sing kanggo suk Minggu?” pitakone Susmono ngiras kanggo ngalihake rembuge.
“Uwis Mas. Panjenengan ora perlu menggalihake. Panjenengan menggalih sing ana ndalem bae. Apa Ibu ora kecipuhan mengko?”
“Ora. Kabeh pesenan satenagane sisan,” wangsulane Susmono.
Ernawati didhunake ana ngarep lawang sekolahane. Dene Susmono terus menyang kantore.
Tumeka ing dinane penganten, tamune nganti kurang panggonan. Saperangan pestane ngadeg. Pikirane Susmono wis ora ana tabete Sariasih, kang ana mung Ernawati kang njejeri. Nanging lagi nengah-nengahi upacara katon ana wong sekaliyan kang teka. Wong lanang sedheng ngagem jas warna biru ireng, dhasine garis-garis ijo putih. Sing njejeri mlaku themlek-themlek, wanita nganggo kebaya ijo jarite sidomukti, ora liya Sariasih karo bojone. [ 193 ]Bareng mlebu ing pasamuwan, wong-wong padha cingak kabeh, apa maneh sing dek semana wis padha kenal yen kuwi Sariasih bojone Susmono. Sing ana ing njero bingung, penganten lanang weruh Sariasih sekaliyan, atine kaya kena brongotan geni. Kringete gumrobyos kumrunyus, dhadhane krasa gumeter, jantunge kaya arep copot-copota.
Ora krasa mak leeesss ..., semaput, malah dadi layadan wong akeh .... Wong-wong dadi padha bingung.
Oh bener Sundari anggone kandha “yen kedhisikan anggon nikah”.
Djaka Lodang, No. 42, Th. XXXII, 15 Maret 2003 [ 194 ]Wayah esuk rikala Budi lagi ngumbah montor Yamahane sing luthuk, ujug-ujug dikagetake tekane Ardja Lenga. Ardja Lenga tansah kesusu kaya dioyak-oyak apa ta apa. Pite onta tuwa sing wis ora ana standare diembrukake sanggon-nggon. Untung wae lenga mambu sing neng pit ora wutah.
“Hos ..., hos ..., hos ..., Mas Budi ...! Mas Budi ...! Hos ..., hos ....”
“Ana apa ta Kang? Kok kaya dioyak apa wae. Ana apa?” pitakone Budi marang Ardja Lenga.
“Anu, Mas, kae kancane Panjenengan sing ngontrak panggone Bu Yadi Kompor, si ..., si ... Bedja Codhot, hos ..., hos ....”
“Bedja Codhot ana apa? Mbok ya, sing jelas ta olehe ngendikan ki! Diatur dhisik napase, dadi ora kaya ngono kuwi. Ayo sing sareh.”
Pitakone Budi marang Ardja Lenga mandheg sedhela, ngatur napas sing isih krenggosan.
“Ngene Mas Budi, si Bedja Codhot kuwi bubar subuhan mau rak menyang nggoku. Dheweke duwe prekara abot sing ora bisa ngatasi.”
“Bab apa Kang?”
“Anu, soal wong wadon.”
“Piye? Apa dheweke ngrebut bojone wong apa piye?”
“Ora, dheweke kuwi masalahe anu, Mas. Dheweke ngetengi kancane!”
“Wadhuh!” Budi sawise krungu critane Ardja Lenga langsung kaget nyekeli bathuke karo liyer-liyer banjur ngelus dhadhane.
“Wah, kula nyuwun pangapunten lho, Mas Budi.”
“Wis ora apa-apa Kang,” jawabe Budi karo ngepuk-epuk pundhake Ardja Lenga.
“Saiki, tujuane pokok Kang Ardja mrene ki apa?”
“Ngene, Mas Budi. Sanjeroning laporan uga karo nyuwun tulung panjenengan. Panjenengan rak priyayi sing diajeni uga ketua pemuda ing desa kene. Kejaba diajeni, kabeh masalah sing ana desa kene gampang banget dirampungake. Kayata kasuse si Bagong Bata sing arep nglalu [ 195 ]gara-gara wedokan, isa dirampungake panjenengan. Nganti si Bagong wusana isa oleh Rubiyem anake bakul gudheg kidul ngebuk kae. Dadi aku sowan mrene supaya panjenengan bisa ngrampungi masalahe si Bedja Codhot kuwi.
“Wah, Kang Ardja ki olehe ngalem kok kaya ngono lho. Sing mbrastha prekara kabeh kuwi dudu aku, ning kae lho, Pak Yono Aspal, Er-Tene,” wangsulane Budi.
“Aiyak panjenengan ki lho, merendah.”
‘Saiki ngene, Kang. Si Bedja Codhot saiki ana ngendi?” pitakone Budi.
“Anu, wonten panggenan kula. Piyambake mbok menawi tilem,” wangsulane Ardja Lenga ngajeni banget.
“Ya ngene wae Kang, mengko awan kira-kira sawise bedhug aku tak sowan rana. Lan aja lali Pak RT dikabari nek ana masalah iki.”
“Anu Mas, Pak RT nembe teng Jakarta nggarap borongan dalan. Lan aku mau wis ketemu Bu RT, jarene kabeh dipasrahake njenengan.”
“Wadhuh ..., kok terus aku kabeh, njur piye? Ya wis aku njaluk tulung seksi keamanane desa karo sekretaris dikabari, ya!”
“Nggih.”
Bedhug rolasan wis kliwat. Budi sing arep ngrampungake prekara abot kuwi budhal tumuju omahe Ardja Lenga, bakule lenga mambu ing pinggir desa. Uwis kedhisikan koordinator keamanan desa, yaiku Darto Krecek karo Giyo Pulpen.
“We lha ..., wis padha tekan kene ta, Mas Darto lan Mas Giyo,” kandhane Budi marang kanca desane.
“Iya je, Mas. Uwis pas bedhug mau. Bar salat banjur mrene,” Darto Krecek karo nyruput wedang kopine sing isih panas.
“Mangga, Mas, lenggah,” Bu Ardja Lenga sing duwe omah ngacarani lenggah. Budi banjur mlebu ruangan kuwi. Pas wae Budi mlebu lan lungguh ing kursi, ujug-ujug saka jendhela kamar methungul sirahe Bedja Codhot.
“Elho ..., sampun sami kempal ta?” pitakone Bedja Codhot marang kanca-kancane.
“Lha piye, aku iki saknaca ngenteni situ, je. Malah situnya enakenak ngorok. Wis ndang dirampungake prekaramu kene,” wangsulane Giyo Pulpen sekretarise karo saking mangkele tangane nuding Bedja Codhot.
“Inggih kulatak adus riyin.”
Bedja Codhot gage metu saka kamare Pak Ardja Lenga sing dinunuti turu. Ora suwe dheweke banjur dandan apik terus metu lungguh anteng nemoni sakanca sing bakal ngrewangi ngrampungake masalah kuwi.
Budi ndhisiki takon marang Bedja Codhot, “Saiki aku sakanca pengin ngerti critamu.” [ 196 ]Ngene ya, Mas Budi, Mas Darto, Mas Giyo, Pak Ardja, lan Bu Ardja, malem minggu kepungkur kira-kira jam setengah sewelas bengi entas mlaku-mlaku karo Soblah, aku diajak ngancani neng omah kontrakane Soblah. Lha pas kuwi diajak nonton film sing ngono-ngono karo dheweke. Wah atiku rak bungah isa gegojegan wong loro. Lha gojege dadi kebablasen.”
“Kebablasen kepriye karepmu?” pitakone Ardja Lenga marang Bedja Codhot.
“Wah ..., Pak Ardja niku dereng nate enem napa?” Bedja Codhot nggojegi.
“Hus ...! Ya wis tau ta ...” jawabe Ardja Lenga.
“Kebablasen kaya adhegan pilem kuwi nganti tekan esuk. Terus sewulane aku dolan mrono neng nggone Soblah. Lha pas kuwi Soblah blaka nek wetenge wis isi merga saka aku. Terus aku dikon tanggung jawab, lha nek aku ora gelem aku arep dilaporake polisi. Terus piye aku iki ..., Bud? Piye ...?”
Bareng ngerti critane Bedja Codhot, kabeh sing ana omahe Pak Ardja Lenga padha meneng. Padha thenger-thenger. Budi sing dipasrahi lelakon kuwi banjur omong.
“Ngene, si Soblah kuwi wong-wongane kaya ngapa, Dja?” pitakone Budi marang Bedja Codhot.
“Iki lho, Bud, wong-wongane,” wangsulane Bedja Codhot karo ngulungake fotone Soblah.
Fotone banjur ditampani Budi lan diubengake marang kanca-kancane, Budi nerusake omngane.
“Dja, jan-jane, aku iki wis wegah ngandhani kowe kuwi. Wis ping telu iki aku ngurusi kowe. Sepisan biyen kowe nggondhani randha, anake Yu Siyem Jarik kae, njalari anake dadi edan. Sing kapindho, kowe nggodha bojone mantan Lurahe, lor pasar kae, yaiku Karti, nganti kowe arep diantemi wong sak pasar. Lha sing katelu iku malah tambah parah. Sesuk nek iki wis bar terus kowe arep nguntal sapa meneh?”
“Wis Bud, aku pisan iki wae. Bar iki aku ora arep ngrepoti kowe lan sakanca maneh. Aku wis kapok Bud, aku kapok!” wangsulane Bedja Codhot karo ndhingkluk.
“Walah Dja ..., Dja. Dhasar jenenge Bedja. Piye-piye tetep Bedja,” clekopane Ardja Lenga nganti ngguyokake kabeh wong ana ing papan kono.
“Saiki ngene, wong tuwane setuju ora kowe oleh dheweke?”
“Wong tuwaku saploke ngerti critaku banjur ora gelem ngurus. Aku dikon ngrampungake dhewe, suk sapa sing bakal nandha tangani.”
“Gampang!” wangsulane Budi nggampangake.
“Gampang piye Bud?” pitakone Bedja Codhot sajak ora percaya. [ 197 ]“Ngene Dja, sesuk pas nembung nganti srah-srahan, Pak lan Bu Ardja dadi wong tuwamu, aku dadi RT-ne lan Mas Darto lan Mas Giyo dadi seksi pihak lanang. Piye Dja?”
Ora dipikir dawa Bedja Codhot banjur nyetujoni, “Wah ndang dicepetake wae, Bud.”
Rembug kuwi ora kena buntu, awit saking jelehe ngurusi lan akalakalane Budi sakanca. Masalah sing ruwet bisa dirampungi nganggo cara kaya main sandiwara. Pak Ardja lan Bu Ardja ethok-ethok dadi wong tuwane Bedja Codhot, Budi dadi RT-ne, lan Si Giyo karo Darto didadekake seksi kulawarga lanang. Rerembugan nganti srah-srahan iku lancar lan pihak wadon uga percaya.
Nem dina kepungkur, sing biasane Bedja Codhot karo bojone jedhal-jedhul ana desa kono, kok pirang-pirang dina iki ora tau ketok.
Wayah bengi ana ing cakruk.
“Mas Budi, aku arep nyuwun pirsa karo njenengan. Pirang-pirang dina iki Bedja Codhot karo garwane kok ora tau ngetok. Dheweke ana ngendi ta?” pitakone Darto Krecek marang Budi karo isih ngrukup sarung marga kadhemen.
“Blaik. Lha iya ta, lha embuh ya, aku gak ngerti je, iya ta dheweke ora tau ngetok ta ...! Piye ya ...?”
“Hanek Mas Giyo pirsa ora?” bali dadi takon karo Giyo Pulpen, sekretarise desa.
“Lha aku dhewe ya ora ngerti je lungane wong kaloron kae. Mung wingi sore aku dikandhani Pak Yono Aspal, RT-ne kae, hanek pirang-pirang dina iki ora weruh dheweke,” jawabe Giyo Pulpen.
Ha saiki ngene wae ....” Ardja Lenga durung bubar olehe ngomong, ujug-ujug ketekan kanca rondha liyane, yaiku Parman karo Yanto Bodong.
“Anu, kamare si Bedja Codhot kok petengan je, padha neng ngendi ya?” pitakone Yanto Bodong disambi nyuntak beras jimpitan diwadhahi karung.
“Iya aje, wong loro kok ora ketok irunge,” Parman nyambung gunem.
“Saiki ngene wae. Prekara iki dipasrahake maneh marang Mas Budi wae,” Ardja Lenga nerusake omongane mau.
“Setuju! Setuju!”
“Lha rak tenan ta, wis tak batin, mesthi aku lho sing dikon maneh. Lha mbok kowe wae Parman.”
“Wis ta Bud, kabeh iki wis dipasrahake lan dipercayakake marang panjenengan,” wangsulane Parman karo ngepu-epuk pundhake Budi.
Dina Minggu esuk Budi lan kanca-kancane sabubare sowan njaluk ijin neng daleme Pak RT, banjur tumuju neng nggone Bedja Codhot olehe ngontrak.
“Kula nuwun,” Budi nothok lawang ijo daleme Bu Yadi Kompor. [ 198 ]“Mangga .... E ..., Nak Budi. Wadhuh kok rombongan? Mangga mlebet,” wangsulane Bu Yadi Kompor.
“Nyuwun pangapunten menawi kula lan rencang-rencang punika sowan mriki grudugan. Kejawi silaturrahmi, kaliyan badhe nyuwun pirsa menawi Bedja Codhot kaliyan garwanipun dinten-dinten menika kok mboten nate ketingal,” pitakone Budi marang Bu Yadi.
“Anu, je Mas ..., kula menika ugi badhe tanglet panjenengan. Jebulanipun panjenengan malah tanglet rumiyin. Lha kados pundi nggih? Kula piyambak ugi mboten mangeros,” wangsulane Bu Yadi.
“Piye kanca-kanca?” pitakone Budi marang kanca-kancane.
“Kula usul Mas Budi, kados pundi menawi dipun tuweni wonten wingking rumiyin?” usule Parman marang Budi.
“Wak ide apik kuwi, ning tak ijin marang Bu Yadi dhisik. Kados pundi Bu Yadi menawi kula sakanca badhe nuweni wonten wingking.”
“Lha mangga ..., mangga kula sumanggakaken!” Bu Yadi ngidini karo ngadeg ngathungake tangane.
Bu Yadi, Budi sakanca padha nuju mburi omah sing dikontrak Bedja. Bareng wis tekan nggone, si Yanto Bodong iseng-iseng nginjen ing selaselaning gedheg. Dheweke weruh ana ndhuwur mejane ana amplop sing wis cemepak ana kono. Yanto Bodong gage lapor marang Budi, banjur melu nginjen. Jebule laporane Yanto Bodong kuwi bener. Budi banjur njaluk kunci serep Bu Yadi, jebule kuncine serep ora ana.
“Wadhuh ...! Piye kanca-kanca kuncine serep ora ana je?” pitakone Budi.
Darto Krecek, keamanane banjur nyaut omongan, “Piye nek didhobrak wae?”
“Ya, ora apa-apa, ning tak ijin Bu Yadi dhisik.”
Budi njaluk ijin marang Bu Yadi Kompor, wusana dililani ndhobrak lawang. Bareng oleh ijin akhire lawang didhobrak karo Darto Krecek, keamanane desa.
“Bruaaakk!!”
Bareng wus kabukak, Budi gage mlebu kamar kuwi. Budi lan kancane uga Bu Yadi padha kaget bareng weruh njerone kamare Bedja Codhot. Kamare sing biasane reget kaya gupon dara, saiki malik resik, apa-apane wis ditata rapi. Budi gage njupuk layang sing ana ndhuur meja. Layang bareng kabukak banjur diwaca Budi, kanca-kancane lan Bu Yadi padha meneng ngrungokake. [ 199 ]“Kagem Mas Budi lan kanca-kanca desa. Rebat cekap wae. Sing sepisan, aku nyuwun pangapura nek aku kerep nggawe repot warga desa kene. Sing kapindho, aku nyuwun pamit, merga aku lan bojoku wis siap urip neng luar Jawa. Sing katelu, iki ana dhuwit satus ewu kagem Bu Yadi. Dhuwit iki kanggo nglunasi sasi wingi sing durung takbayar. Sing pungkasan, salam kagem Pak RT sekeluwarga uga warga desa. Wis ya Bud, aku aja ta arep-arep maneh. Wis ya, selamat tinggal.”
Bareng krungu isining layang diwaca Budi, kabeh wong sing ana papan kono padha pendheng-pandengan lan ngelus dhadha.
“Wis kanca-kanca, jebule dina peresmiane biyen kae yaiku dina pisahane antarane Bedja Codhot karo awake dhewe. Muga-muga wong sak keloron uripe ana ing luar Jawa padha langgeng nir ing sambekala. Awake dhewe isane mung ndedonga marang sing Murbeng Dumadi.
Bareng wis nemoni kasunyatan kuwi, sawise ndandani lawange Bu Yadi Kompor sing didhobrak mau, banjur Budi lan kanca-kancane padha pamitan.
Djaka Lodang, No. 43, Th. XXXII, 22 Maret 2003 [ 200 ]Wadhuh! Cilaka tiga belas tenan ane. Ing dina iku, Ratih ora mlebu sekolah. Mula aku ya banjur klabakan ora karuwan, kaya pitik sing thelonan kae. Lha ya kepriye, sesuk kuwi aku ngadhepi ulangan Matematika. Ratih mono bocahe ayu, semanak, tur pinter. Cowok sapa wae, manawa meruhi lageyane, mesthi mung bakal ngalembana, lan malah kepara padha kepenging dadi pacare.
Nalika jam istirahat, aku kaya adat saben menyang kantin sekolahan, kepengin mangan soto. Ora nyana babar pisan, ing kono, aku malah ketemu Endang, kancane sabangku Ratih.
“Hallo End …, weeeh …, lha kok asyik banget kowe?” panyapaku nalika Endang sajak kepenak anggone arep maem bakso. Gandheng kaget, bakso sing wis ana sendhok, nganti tiba ngenani roke, sing njalari roke dadi reged.
“Eh, kowe Sus?! Kaget aku, nganti baksoku kuntah. Iki delengen, rokku dadi teles kaya ngene iki. Lha kok mung dhewekan wae, kowe Sus?” pitakone Endang sinambi ngelapi kutahan kuwah sing ngenani roke mau, nganggo sapu tangane.
“Iya End. Lha ya piye, Iwan ana acara dhewe je. Ngancani Anik nyang nggone Bu Martini, tuku lotek,” wangsulanku karo lungguh ing sacedhake.
“Kowe baksa apa piye Sus?” pitakone Endang.
“Sssttt, aja banter-banter …,” wangsulanku karo drijiku dak tempelake ing lambe.
“Lha kena apa?”
“Aku lagi kanker End.”
“Alaah, ngono wae ndadak nganggo alesan barang. Yen kowe pengin maem bakso, dak tembungke. Ora sah sungkan-sungkan Sus. Aku wis sing mbayari …,” kandhane Endang karo njupuk gelas sing wis isi banyu putih.
“Piye, lha kok malah bengong?”
“Eh?! Em …, ora apa-apa …, aku …,” omonganku ora dak terusake, jalaran ngerti-ngerti, ing ngarepku wis didelehi bakso. [ 201 ]“Wis, Sus, gek ndang dimaem, yen adhem ora enak mengko.”
“Trima kasih End. Sesuk, yen njajan maneh, gentian aku sing nraktir,” wangsulanku karo ngguyu.
“Gampang …,” kandhane.
“Eh, End, sedina iki mau aku kok ora weruh Ratih ki, ana apa?”
“O, Ratih? Dheweke ora mlebu Sus, jarene lara. Iki mau dheweke rak kongkonan adhine, nggawa surat ijin,” wangsulane Endang.
Ing batinku ana pitakon, “Lara? Lara apa dheweke? Mangka wingi ki dheweke waras wiris, lha kok saiki njur lara ki, gek ya lara apa mungguhna?” Sabanjure pitakonku marang Endang.
“Lara ki, lara apa ta End, dheweke?”
“Ya embuh Sus. Aku dhewe ora ngerti. Hambok uwis, mengko bali sekolah kowe tilik menyang omahe kana. Ha nek kowe menyang omahe, rak luwih gambling ta, Ratik ki jane lara apa?” wangsulane Endang karo ngetokake dhompet ing sake, terus mbayari bakso. Dumadakan bel tandha istirahat rampung. Aku lan Endang nuli enggal ninggalake kantin.
“Trima kasih lho, End. Sesuk gentian.” kandhaku.
“Padha-padha, aku ya wis dikancani,” wangsulane Endang, banjur lakuku sewang-sewangan.
Ing jeron kelas, atiku rasane tansah ora jenjem. Konsentrasiku ambyar, jalaran pikiranku tansah mikirake Ratih, sing miturut kandhane Endang ora mlebu, amarga lara. Apa maneh bareng Pak Rohadi ngawasake aku, kaya-kaya dheweke ngerti marang apa sing dadi kurang konsentrasiku.
“Bagaimana dengan kamu Sus, apa sudah mengerti dengan soal yang baru kuterangkan? Ada pertanyaan?” pitakone Pak Rohadi sing gawe kagetku, saka anggonku ngalamun. Nuli wangsulanku, “Emm …, anu …, Pak …” aku ora bisa nerusake, jalaran kanca-kancaku wis padha kompak muni bebarengan.
“Huuuuuu …, dhasar Susila … kerjane ngalamun terus …, ya ca yaaa …,” aloke Si Krempeng.
“Mula aja seneng ngalamun Sus, nek diterangke ki …!” kandhane Bardi.
“Iya Pak, harap maklum …, dia sekarang kan baru kasmaran, Pak…,” kandhane si Genot.
Ing batin, aku krasa mangkel banget , “Huhhh …, kurang ajar si Genot kuwi. Saupama ora ana ing kelas, mesthi wis tak tabok tenan lambene sing nyinyir kuwi. Amarga kahanan dadi rame, Pak Rohadi banjur,
“Diam Anak-anak! Kena apa semua pada ketawa? Apa ada yang lucu? Senang ya, membuat temannya jadi malu? Iya?! Masalah kasmaran itu kan bukan urusan kalian. Apa kalian juga tidak seperti dia?!” kandha kaya mengkono iku, pasuryane Pak Rohadi wis malik dadi abang mbranang. Mertandhani, yen [ 202 ]wis ngemu duka. Bareng keprungu kandhane Pak Rohadi mau, bocahbocah, nuli padha mak klakep, kaya orong-orong kepidak kae. Kancakancaku wis ngerti marang watake guruku siji iki. Nate, gara-gara pas dha diwulang ana sing ngrungokake radhio, Pak Rohadi banjur ninggalake kelas. Wusanane, kanca-kancaku padha grundelan, awit, gara-gara bocah siji sing kleru, lan gawe prekara, aku lan kanca-kanca liyane sing kena awune.
Biyasane, yen wis kaya ngono kuwi, Pak Rohadi anggone ninggalake kelas ora mung sedhela, nanging malah kondur. Dadi jam pelajaran wis ora bisa dibacutake maneh. Wusanane, kanca-kanca padha mufakat, padha bebarengan menyang daleme Pak Rohadi, saperlu nyuwun pangapura. Senadyan kaya ngapa dukane Pak Rohadi, gandheng kanca-kanca mau padha sarujuk ora mbaleni maneh, mula Pak Rohadi sesuke kersa mulang maneh.
Ha, nanging saiki? Kanca-kanca padha rame maneh, lan sajak Pak Rohadi wis rada ngemu duka. Aja-aja Pak Rohadi ninggalake kelas maneh kaya adate? Nanging, nyatane ora, bareng bocah-bocah padha meneng klakep. Nuli pelajaran diterusake maneh, nganti rampung.
Wektune wis sore, sawise aku adus, banjur ngetokake sepedha montor, saperlu menyang omahe Ratih, sing jarene manggon ana ing Jalan Mawar. Senajan aku wis sauntara kenal karo dheweke, nanging jeneng dolan menyang omahe babar pisan durung nate. Sore iku, aku pancen ngebet banget kepengin ketemu karo Ratih.
Tekan ing Jalan Mawar, ora kendhat anggonku takon marang wongwong, ing endi penere nggone Ratih. Sawise dak rasa wis ketemu omahe, sing katon prasaja aku banjur thingak-thinguk …. Aku weruh ana wong lanang, nembe nyapu latar. Dak cedhaki wong mau, banjur pitakonku, “Eh …, Pak! Sing lagi nyapu latar!”
Wong lanang lanang iku sajak ora ngrewes marang tekaku. Aku dadi mangkel, lan dak baleni pitakonku kanthi rada mbengok, “Pak! Pake, sing nyapu latar! Sampeyan ki budheg pa piye ta?”
Pak tuwa sing nyapu mau sajake krungu, bareng kandhaku mbengok sora. Dheweke noleh, terus karo ngawasake aku, sabanjure klithah-klithih mara.
“Badhe madosi sinten njenengan, Den Mase? Pitakone wong mau ngajeni marang aku, nanging rada groyok.
“Ratih. Ana ngomah Pak?” pitakonku.
“Oooo …, wonten.”
“Ana Pak?” pitakonku maneh ora basa, jalaran aku ndelengake pakeyane wae kaya bature, sajake.
“Wonten, Den Mas. Badhe pinanggih?” pitakone wong mau. [ 203 ]“Iya, Pak. Tulung, dheweke diaturi mrene, nemoni aku, lan matura yen dienteni kancane. Mengko dak wenehi mang ewu, Pak!”
Kandha kaya mangkono mau, aku karo ngulungake dhit lembarang limang ewon marang wong mau, nanging ora ditampani, dhite nganti tiba.
“Matur nuwun sanget, Den Mase, kula sampun gadhah yatra piyambak kok. Sampun, kula aturi ngasta malih kemawon.”
Huuu, dhasar wong gebleg, diwenehi dhuwit semono kok ora gelem nampani. Malah dibalekake maneh! Tukang kebon gebleg ndadak nggaya ra gelem! Ngono batinku, sing ora ngerti marang panampike.
“Ya wis Pak, yen kowe ora gelem nampani. Saiki gek tulung diundangke Ratih, bendaramu, digoleki kancane sak kelas, ngono ya Pak, ya?” kandhaku karo nglebokake dhuwit ing dhompet maneh.
“Inggih, Den Mase, sekedhap, dipun rantos riyin nggih!” wangsulane wong tuwa mau karo klithih-klithih mlebu. Edan tenan ane, wong tuwa ki jan ora nduweni rasa hormat tenan kok marang tamu. Mosok, dheweke mlebu, aku mung dikon ana kene, tanpa dimanggakake mlebu, batinku.
Embuh wis ana pirang menit anggonku ngenteni karo ngadeg nggejejer. Eee …, kok ya kebangeten temen, Ratih ki ora mencungul-mencungul? Amarga yen ngadeg terus aku kesel, mula banjur tak wanek-wanekake, sikilku jumangkah mlebu alon-alon. Ana swara lawang njero dingakake, lan kumleseting sandhal, bareng wis cedhak ing ngarepku, “E, jebul kowe ta, Sus?” Swara iku aku wis ora pangling maneh, manawa sing nduweni Ratih. Nuli pitakone maneh, “Ana apa Sus, kok sajak penting banget ki?”
“Anu, Tih …, mmm …, kowe kok suwe banget ta, anggonmu metu nemoni aku? Tur maneh, mosok aku dijarke ngadeg ngayer ing njaba?”
“Oooo …, ya sorry Sus, yen kowe durung dimanggakake mlebu. Kowe mau ndadak takon-takon ya?” pitakone.
“Iya je. Karang sasuwene awake dhewe kekancan ki, rumangsaku kok ya lagi iki, aku ngambah omahmu, Tih!” kandhaku karo ngguyu.
“Iya ya. Lha iki mau nganti kaping pira anggonmu takon marang wong-wong?”
“Ya, ana wong telu, sing dak takoni. Tih, aku mrene ki, aku ngerti yen jarene ki kowe lara. Jarene Endang. Lan maneh, sesuk ki, aku rak ulangan Matematika. Kowe ki, lara apa ta Tih?”
“Pancen aku ki esuk mau rada mumet, Sus. Ya tujune saiki wis rada suda mumetku. Ayo, lungguh dhisik kene, aja nggayer kaya tukang kredhit wae kowe kuwi, Sus.”
“Iya Tih, matur nuwun. Eh Tih …, tukang kebonmu ki kok gebleg banget ta?” pitakonku, sing njalari dheweke rada kaget sithik.
“Apa? Tukang kebon? Tukang kebon sing endi ta, Sus?” [ 204 ]“Alaaah …, sing pas aku teka kene mau, dheweke kuwi rak nembe nyaponi latar. Aku ya terus njaluk tulung, supaya ngundangake kowe iki mau, Tih. Ning, jan, jan … Pak Bonmu ki, mosok, aku ora dikon lungguh dhisik apa piye? Lha kok mara-mara ditinggal ngono wae. Mbok dikandhani Tih, ben bisa ngajeni marang tamu,” kandhaku marang Ratih, rada sengol sithik.
“Mengko dhisik ta Sus. Kowe kandha yen ketemu tukang kebon ki, wonge sing kaya ngapa?” pitakone Ratih, sajak kepengin ngerteni luwih cetha.
“Alaaah …, kuwi lho, sing wonge wis tuwa, pawakane kuru, tur penganggone wis lethek kae Tih,” dak kandhani kaya ngono, alise Ratih banjur dijengkerutake.
Nuli, “Aku ki ora duwe tukang kebon, Sus,” Ratih miterang.
“Lha sing mlebu ngomah ki mau?” kandhaku karo drijiku nuding menjero.
“Sing mlebu ngomah? Ing kene ki ora ana Pak Bon, Sus. Yen kowe kandha sing nyapu latar kae mau, bapakku Sus!”
“Apa? Bapakmu?” pitakonku semu kaget.
“Iya. Bapak ki pancen seneng reresik latar, lan mbubuti suket. Lan maneh, yen dhong kaya ngono kuwi, senengane mung trima kaosan oblong sing wis elek kae. Kabeh kuwi, ditindakake, supaya yen reget ki karuwan,” kandhane Ratih ampang wae.
“Ah, mbok sing bener omonganmu kuwi Tih?” kandhaku sajak ora percaya.
“Lha yen kandhamu mau bener, kuwi bapakku.”
“Dadi …, wong sing nyapu kae mau …, ba …, bapakmu?!” wadhuh! Lha blaik ane! Kawetu tembungku sing ndadekake Ratih dadi gumun, nuli pitakone marang aku.
“Lho…, pancene mono kena apa Sus? Kowe ora percaya? Iya? Kowe isih ora percaya? Apa aku ya arep ngapusi karo kowe? Iki mau Bapak lagi siram. Ya saiki dienteni sedhela, Sus, dak gawekake wedang dhisik, amarga Bapak kepengin kenalan.”
Krungu kandhane Ratih, manawa bapakne kepengin kenalan karo aku, aku banjur kandha marang Ratih, “Emm … Tih. Kowe ora sah repot-repot. Aku arep nyuwun pamit.”
“Lho …, kena apa Sus? Kok kesusu arep bali ki?”
“Ora papa kok, Tih. Mulane kuwi, kowe rasah ndadak repot-repot nggawekake aku wedang. Sing baku, aku rak wis bisa ketemu karo kowe, kuwi wis lega aku Tih. Tenan Tih, aja repot-repot,” kandha kaya ngono kuwi, aku terus jumangkah …, nanging …, “Lho, Sus! Lha bukune piye?” [ 205 ]“Wis bene dhisik Tih, aku selak ana urusan penting! Sorry, Tih, kapeksa aku ndang nyuwun pamit, lan aja lali …, sungkemku wae aturna marang bapakmu,” kandha kaya ngono aku terus jumangkah ninggalake Ratih, sing dak deleng kaya ana rasa gela, lan gumun. Sawise tekan montor sing tak parkir, aku terus nyetarter montorku, lan weeeer …, nggeblas, ilang saka panyawange Ratih.
Tekan omah, awakku banjur tak brukake ing dhipan. Aku rumangsa gela. Gela banget marang kabeh sing wis dak tindakake ana ing ngarepe wong tuwa, sing miturut panganggepku, wong tuwa mau, Pak Bone Ratih. Isih keprungu kandhane Ratih, nalika aku ngandhakake, lan takon sapa sejatine wong lanang sing mlebu ngomahe iku, “Bapakku kepengin kenalan, Sus”.
Oh, saupama aku mau ketemu karo bapake tenan, terus ngajak kenalan, arep dak deleh ngendi raiku iki? Kena apa aku kok dadi sial banget dina iki? Cilaka tiga belas tenan! Ah, kabeh iki mula pancen salahku dhewe. Kena ana, dadi wong kok kliwat sombong? Terus kepriye, sesambunganku karo Ratih mengkone?
Wewayangan-wewayangan mau tansah katon ngegla ing ngarepku. Keprungu swara adzan Mahgrib, aku banjur memburi, saperlu wudlu, kanggo ninggalake rasa sing ora karuwan, siyap nindakake sholat Maghrib.
Djaka Lodang, No. 44, Th. XXXII, 29 Maret 2003
Ngarepake wayah Maghrib, kupinge RT Marno ora krungu adzan. Mangka biasane wayah semono wis krungu puji-pujian utawa kala-kala pating cruwete bocah cilik sing dolanan microphone.
“Ndengaren mesjid sepi, Bune?” takone RT Marno karo leyeh-leyeh niyat rokokan.
“Ndingaren ndadak nakokake mesjid?” genti Bu RT sing takon.
“Lho? Kadidene RT sing open, wis samesthine ta aku nakokake ilange pakulinan sing genah kaprungu kana-kene ta? Apa awakmu ora krasa sepi?”
“Sepi kuwi amarga awakmu ota tau menyang mesjid!”
“Huh! Mung kurang siji bae kok! Kurang aku, mesjid ora kalong moncere!”
“Gene ya sadhar nek awakmu kuwi dudu apa-apa!”
“Kala-kala eling rak ya lowung ta?”
Nengahi padha rembugan ngenani sepine mesjid, Solekan nguncluk teka sajak ngemu wigati. RT Marno ngulati.
“Ana apa, Kan?” RT Marno ndhisiki.
“Sound system mesjid, onten sing nyikat!” lapore Solekan karo srog lungguh.
“Ooo ..., ilang! Layak, layak. Kawit mau ora keprungu swara adzan utawa pepujian.”
“Ana maling gajege Kan?” Bu RT nrambul.
“Enggih Bu. Wah, malinge jan kurang ajar tenan kok! Telas sedaya kok, Bu!”
“Entek kabeh? Apa bae kuwi?” takon RT Marno karo nyulet rokok.
“Salon nglebet, ampli, tape, microphone, kabel, taspen ..., klebet jam dhindhing napa. Jan malinge kudu diwulang ngaji tenan kok!”
“Speker sing toa kae priye?”
“Ha, nggih kantun niku mawon sing mboten dicolong, soale kan dicanthel teng nginggil wit nangka ..., napa malinge nggih ajeng kethepel-kethepel menek? Mengke rak selak kedenangan.” [ 207 ]“Oooo ..., lha iki mau critane awakmu lapor pa piye?”
“Enggih dipun utus Kaji Soderi, sokur-sokur Pak RT kersa nomboki, hi hi hi.”
“Dhapurmu Kan? Apa anggepmu RT ki bos pa? RT kuwi pakaryan gratis dakkandhani. Pakaryan kang tiba ora enake.”
“Hi hi hi ..., guyon Pak RT. Nggih empun Pak RT, mung ajeng lapor mawon, yen ajeng tuwi teng mesjid nggih mangga ....”
Salungane Solekan, RT Marno nerusake anggone ngrokok. Bu RT mung bisa gedheg-gedheg weruh sikepe sing lanang, dilapori wargane bab kelangan kok malah jenjem bae anggone rokokan.
“Kok ming meneng bae ta, Pak? Mbok mara mrana ..., takon ..., kuwi rak jeneng RT sing open, jaremu mau awakmu dadi RT sing open!”
“Lha aku dudu polisi kok!”
“Oalah ..., Pak. Dudu kuwi karepku, ning mbok ya ngatonake sikep sing rada ketok neng masarakat ta!”
“Hiya... iya! Dak nglongoke menyang mesjid, ben awakmu seneng!” kandhane RT Marno karo menyat langsung ngunclug menjaba. Ditinggal lunga sing lanang kanthi ngomong semu sengak, Bu RT mung bisa gedheggedheg. Ning sabanjure ora direwes.
“Bapak! Bapak!” Bu RT nggugah sing lanang.
RT Marno njenggirat. Tibake dheweke keturon neng teras omah. Wong lanang mau mbukak mripate terus uceg-uceg.
“Oalaaah ...., Pak. Wong sore-sore kaya ngene kok ngantuk neng teras! Isin disawang wong liwat kae lho! Mendhing yen sing ngantuk kuwi manuk, kewan pethetan liyane, lha wong Pejabat RT kok ndadak nganggo ngantuk barang!
“Wis tekan pa?” takone RT Marno bingung.
“Tekan ngendi? Anggepe numpak bis pa? Iki neng omahe dhewe, Paaaak! Huh, isin tenan aku, dadi RT kok kelakuwane kaya kuwi!”
“Oooo ...., iki mau nembe keturon ta? Woalah ..., aku malah ngimpi dhek kawitan sound system mesjid ilang.”
“Keturon kok dipamerke lho! Wong ditinggal adus sedhela bae kok wis bablas!”
“Sida nyang nggone Pak Kaji apa ora?” takone RT Marno nggenahke.
“Oaalah Pak..., sapa sing karep si? Sing arep aweh sumbangan sapa si? Sampeyan ta, Pak?”
“Ooo ..., iya ya? Aku sing duwe karep kok!”
Bubar mbenakake sandhangane sing ketara lungset sethtihik, RT Marno sida budhal bebarengan bojone menyang nggone Kaji Soderi. Niyate RT Marno iku becik banget, kepengin nyumbang apa bae kanggo mesjid desa kang kepener mapan ing RT-ne. [ 208 ]Niyate nyumbang mono kawiwitan nalika nyambut gawe (istilahe RT Marno bisnis) lumaku lancar. Sing arep disumbangake kena diarani ora mekakat kanggo saukuran RT Marno. Dheweke niyat nyumbang kanggo keperluwan mesjid pengaji rong yuta.
Maune bojone ora sarujuk, amarga dhuwit semono kuwi angel golekgolekane. Nanging bareng digenahake yen dheweke duwe keyakinan, dhuwit rong yuta mau bakal oleh liru sing luwih gedhe, nembe Bu RT ngalah.
Tekane RT Marno sarimbit mesthi bae gawe kagete Kaji Soderi. Kaji tuwa sing rambute wis mabluk kuwi gita-gita mbagekake dhayohe.
“Njanur gunung tenanan! Ngimpi apa aku katekan Pak RT sakloron?” kandhane Kaji Soderi sing pancen basane ngoko marang sapa bae ing desa kuwi.
“Nggih, silaturahmi, Pak Kaji ....”
“Kene-kene dikepenakake lenggahe, aku dak nggoleki si Nyai dhisik ...,” kandhane Kaji Soderi karo jumangkah mlebu.
“Nganu ..., nuwun sewu Pak Kaji, nuwun sewu, menawi Bu Nyai mboten wonten mandar keleresan, awit kula badhe matur wadi ...,” kandhane RT Marno waleh.
Kaji Soderi mlengak krungu kandhane dhayohe, nuli nyawang RT Marno sawetara suwene. Klebu Bu RT dhewe uga kaget. Sing disawang manthuk.
{{r|Djaka Lodang, No. 40, Th. XXXII, 1 Maret 2003 [ 209 ]Tangga teparone Mbok Kasan wiwit padha ngrasani awit randha mau, sajrone rong wulan iki anggone tampa wesel wis kaping pitu. Kaya ora sebaene. Sanajan wulan-wulan kapungkur tenane ya wis asring tampa wesel, nanging ora deres kaya sajroning rong wulan iki. Kamangka sing kirim mung anake siji. Kuwi kang wusanane dadi critan. Lambe kang seneng ndlewer, wiwit padha ngoceh. Kepetung Parmi tangga tunggal tritis atine wiwit katon umob. Dhasar wasis omong, mula nalika tuku bumbon neng warunge Yu Rubiyem, anggone ngrasani Mbok Kasan punjul rong jam dhewe.
“Yu, neng kana kuwi, njuk nyambut gawe apa? Mongsok kirim dhuwit kok lehe deres.”
“Sapa ngerti, saiki wis dadi juragan.”
“Juragan?” pitakone Parmi karo mencep.
Pancen mokal yen Lastri, anake Mbok Kasan kang nembe lunga mranto durung nganti rong taun saiki dadi konglomerat. Bocah mau anggone sekolah mung tamat es-em-pe, nuli kandheg marga wong tuwane ora bisa ngragadi. Merga nganggur, terus nyemplung dadi penari angguk wadon. Rupa manis, kawuwuhan kulit resik lan awak luwes, ndadekake Lastri klakon minangka penari kang rada kaloka. Penari angguk wadon, dadi incerane wong lanang thukmis. Mula ora mokal, nalika dheweke isih ana ngomah, tamune Mbok Kasan kaya wong antri. Dhasare Lastri akeh guyune, wasis srawung lan micara.
Akehe wong lanang sing sanjan saka endi papan, nemahi padha tawur. Jare merga rebutan Lastri lan anggone tawur ana ngarep bale desa. Nalika semana ana sing ngati tatu abot, kapeksa kudu dirukti neng rumah sakit. Saka kadadeyan mau, Kebayan Pawiro klakon nanting Lastri.
“Tri, kowe mbok milih cah lanang sing tenane kok senengi sapa. Nuli rabi. Yen kaya ngene terus, desa bisa tansah dredah. Saben-saben tawur merga awakmu!”
“Nanging, kula dereng kepengin rabi, Pak Dhe.” [ 210 ]“Yen durung gelem rabi, kowe ya aja gampang nampa tamu wong lanang. Tak sawang, akeh wong lanang sing wis duwe bojo melu padha sanjan mrene. Laporan bab awakmu wis akeh sing dak tampa.”
Lastri ora wangsulan. Trima tumungkul kaya wong isin. Wagino, adhine, sing krungu rembug mau melu nyelani.
“Yu, aku ki ya melu isin. Saben-saben kanca sekolah padha nyindhir aku bab awkmu. Nganti asring wegah upama arep budhal sekolah.”
“Nanging mbakyumu ora nate ngundang wong-wong mau supaya padha sanjan mrene,” wangsulane Lastri marang adhine.
“Bener,” panyelane Pawiro. “Kowe ora ngundang, nanging nampa tekane wong-wong mau, satemah nuwuhake dredah.”
Marga Lastri katon nekad, lan nyatane akeh wong lanang sing tetep padha sanjan, kapeksa Pak Lurah nimbali. Wiwit ditimbali Pak Lurah, dheweke katon isin lan arang sanjan. Ora salin wulan, Lastri klakon oncat saka desa. Ora ana kang dipamiti. Mbok Kasan uga kaget nalika wayah sore Lastri tanpa kenyana kandha.
“Mbok, aku mengko arep budhal adoh, isin mapan neng kene.”
“Lunga menyang ngendi, Ndhuk?”
“Nggolek pangan kanggo nyukupi awak, kanggo simbok lan kanggo ngragadi Wagino supaya anggone sekolah bisa katog.”
Mbok Kasan ora bisa wangsulan. Uga ora kuwagang nyandhet lungane Lastri, kegawa ekonimi sing ringkih. Mula mung trima mangsa borong marang karepe anak. Akeh kang kaget merga ora kenyana oncat saka desane. Semana uga wong-wong lanang kang sakawit padha sanjan mrono, uga katon cuwa merga sing didhayohi wis ora ana.
Nganti setengah taun, tanpa ana kabar. Mbok Kasan rumangsa sedhih. Sawijining dina Lastri klakon mulih karo kancane. Jare nunggal pegaweyan. Sandhangane kaya wong kutha. Gawe gawoke tangga teparo.
“Ndhuk, kowe ki, nyambut gawe apa?” pitakone Mbok Kasan nalika weruh yen dhuwite anake kaya akehe ora kena dietung. Gek awake Lastri kebak perhiasan.
“Wis ta Mbok, sing baku Wagino kudu tutug sekolahe. Omahe Simbok enggal didandani. Ora perlu takon nyambut gaweku. Jaman saiki sing baku entuk kasil kanggo nyukupi kulawarga.”
“Nanging adhimu kaya kurang seneng weruh awakmu sing menganggo kaya ngono.”
“Ora apa-apa, Mbok. Upama Wagino gething marang awakku, kuwi ora apa-apa. Marga dheweke durung ngerti yen kanggo njunjung jeneng kulawarga kadhangkala kudu ana sing gelem minangka kurban.”
Mbok Kasan bisane mbrebes mili krungu rembuge Lastri. Lan wiwit mulih sepisanan mau, saben wulan Lastri kirim dhuwit marang wong tuwane. Anggone kirim akeh lan tansah pesen supaya omahe enggal dibangun. [ 211 ]“Mbok, mumpung aku isih saguh, dandanana omahe dhewe,” pesene Lastri.
Omahe Mbok Kasan sing sakawit gedheg, saiki malih gedhong lan cekli kanthi alat rumah tangga sing jangkep. Sawise rampung ndanani omah, Lastri kirim dhuwit lan pesen supaya kanggo tuku sawah. Anggone kirim, cacahe akeh lan deres. Kuwi sing gawe kagete tangga teparone. Ora mung trima semono. Malah Pak Lurah uga kaget.
“Mbok Kasan,” ngendikane Pak Lurah nalika arep ngecap wesele. “Lelakon kang ora lumrah ki kadhangkala nuwuhake kahanan kang uga ora lumah. Semono uga asal-usule marga tumindak kang ora lumrah.”
“Kula mboten mangertos pangandikanipun Bapak.”
“Ngene Mbok, tenane anakmu wadon kuwi nyambut gawe apa? Coba gagasen, mongsok sajrone rong wulan iki kok anggone kirim dhuwit kaya tanpa etungan akehe.”
“Kula piyambak ugi dereng mangertos, Pak. Awit nalika kula takeni mboten ngaken.”
“Kejaba kuwi, alamate uga ora cetha. Atiku rumangsa ora kepenak. Merga piye wae, Lastri ya anakku. Ya rakyatku.”
“Lajeng kersanipun Pak Lurah?”
“Wesel sing loro iki durung bisa tak wenehi cap. Aku kepengin ngerti alamate Lastri sing cetha. Kudu ngerti apa pegaweyane kok nganti bisa kirim dhuwit semana akehe.”
“Menapa Pak Lurah cubriya?”
“Aja kleru tampa, aku ora cubriya. Nanging ngati-ati iku perlu.” Marga ora bisa distempel, Mbok Kasan kapeksa mulih nglenthung. Kamangka dheweke perlu mbayar sawahe Sodikin kang wis dirembug. Wondene Wagino ngerti wong tuwane bingung merga ora bisa njupuk kiriman nuli kanda.
“Mbok, aku dhewe uga cubriya marang Yu Lastri. Geneya gampang temen anggone nggolek dhuwit. Apa kok kira aku seneng yen saben dina tampa wesel kaya ngana?”
“Nang, ngertiya ya, yen mbakyumu kuwi mung duwe pengangkah keluwargane dhewe bisa munggah drajade. Ora kanggo pangewan-ewane wong akeh. Mbakyumu anggone lara lapa wis suwe. Anggone diina lan kanggo cacadan meh saben dina.”
“Aku ngerti rasane Yu Lastri lan kekerepane Mbakyuku. Nanging ora cocog karo cara sing dienggo.”
“Apa mbakyumu laku ngiwa? Mbakyumu laku sing ora bener satemah awakmu ora seneng?”
Wagino ora mangsuli. Mripate mandeng wong tuwane nganti sawetara wektu, wusana ora krasa eluhe ndlewer nelesi pipi. Weruh kahanan [ 212 ]mau Mbok Kasan kaget. “Kowe nangis, Nang?” Bocah mau panggah durung bisa wangsulan. Wong tuwane nyedhaki kambi takon lirih.
“Nang, apa sing kok tangisi?”
“Mbok, aku ora mentala marang mbakyu,” wangsulane banjur malyu mlebu kamar lan ungkeb-ungeb kambi nangis sesenggukan. Bocah kuwi tansah eling lan rungon-rungonen critane Pak Hadi, tanggane, kang nate weruh Lastri neng Jakarta. Pak Hadi nalika semana crita marang Kasirun bab pagaweyane Lastri.
“Mesakake,” kandhane Pak Hadi. “Lastri kuwi cah ayu tenan, nanging uripe trima dodol awak.”
Nalika kandha ngono, Pak Hadi ora nglegewa yen Wagino lagi lungguhan cedhak kono karo anake lanang. Mesthi wae bocah mau kaget nuli pamit mulih.
Kabar mau tenane wis dimangerteni setengah taun kepungkur. Nanging Wagino ora wani kandha marang wong tuwane. Saiki, Mbok Kasan kaya kepengin banget ngerteni apa pegaweyane anake wadon. Wagino kang dianggep wis ngerti dioyak. Dheweke melu mlebu kamar karo nyedhaki anake takon, “Nang, critoa bab pegaweyane mbakyumu!”
“Aku ora bisa, Mbok. Ora bisa!” wangsulane Wagino setengah mbengok.
Senajan anake lanang ora gelem kanda, nanging Mbok Kasan wiwit bisa nggagapi apa tenane sing dilakoni Lastri. Randha mau nuli melu nangis sesenggukan karo metu saka kamar. Dheweke nuli lungguh ijen neng emper omah, sinambi nyawang langit kang abyor lintange. Angin saka kidul wetan tumiyub santer nggawa swarane jangkrik sing ngengkrik tanpa kendhat. Wektu semana dheweke sesambat karo ngundang jenenge bojone kang ninggal kulawargane puluhan taun kepungkur. Pak Kasan nalika semana rabi maneh karo bakul jamu, megat dheweke. Sawise rabi, lunga karo bojo enom embuh menyang endi nganti saiki tanpa kabar. Kepeksa Mbok Kasan urip ijen. Nggedhekake anake.
Mbok Kasan uga isih eling nalika Lastri isih cilik melu derep neng sawah. Melu golek gabah, ngangsag ana sangisore langit lan srengenge kang panase sumelet. Lara lapane anake kaya rasa njarem mlebu pulunging ati.
Nembe saiki, anake wadon klakon ngangkat uripe kulawargane. Ndadak anggone nyambut gawe kanthi cara kang kurang pener. Mbok Kasan klakon ngruntuhake eluh. Sesambat marang Gusti Kang Murbeng Dumadi kaya nyuwun pengadilan. Nuli rumangsa keduwung ngadhepi urip kang nyatane kebak sandhungan.
“Ndhuk, upama kowe panganan, klakon kowe tak mamah meneh. Supaya bali mlebu weteng satemah ora kanggo critan.” [ 213 ]Wengi tansaya sepi. Mbok Kasan mlebu ngomah, perlu njupuk rong lembar kertas wesel kang durung distempel. Kertas wesel mau disawang. Nalika semana kaya gawang-gawang praupane Lastri kang nyatane batine ajur-sumyur. Sanajan tata lair, katon branggah lan tansaya mundhak ayu.
“Ndhuk, muliha ta, Ndhuk. Simbokmu ora kuwat nandhang kahanan mangkene,” pasambate Mbok Kasan.
Ora watara suwe tukul pitakonan, “Apa ya ala banget ta, wanita sing pegaweyane kaya anakku? Apa pancen najis, pakaryan kaya mangkana? Najis endi karo tumindake wong-wong gedhe sing padha korupsi?”
Kabeh mung dhapur pitakonan lan Mbok Kasan ora bisa wangsulan. Eluhe tansaya nrocos kaya grimis lan wengi tansaya sepi.
Sepine wengi tansaya cetha saben keprungu swarane walang bajang kerek sing nandhes jero.
Djaka Lodang, No. 46, Th. XXXII, 12 April 2003 [ 214 ]Lagi milang-miling arep tuku apel, aku kaget weruh bocah wadon lagi tuku uga. Sakala jantungku geter kaya dierog-erog. Bocah iki sapa, anake sapa, teka persis kaya dheweke biyen. Njinggleng anggonku nyawang, kaya eman yen ilang saka pandulu. Wiwit rambut sing ireng ketel kumlawer tekan gegere, sinom sing pating jleprik ing ndhuwur bathuke, mripat sing bening kolar-kalir, irunge sing ngrungih, lathine sing dhemes rada mlengkung mudhun ing pojoke, dedege kang sedheng, pawakan sing sedhet lan singset, nganti tekan panganggone, rok dawa tekan kemiri, warna putih mawa kembangan kerep cilik-cilik warna biru, gelang perak renteng telu, iki kabeh jebles karo dheweke biyen kae. Apa iki pancen anake? Mokal, ora tinemu nalar. Dheweke biyen bocah Surabaya, kok ana kene ki ngapa lan nalare kepriye.
Ora kuwat rasaku, bocah iku tak cedhaki.
“Sakilo pira, Ndhuk?” takonku kanggo nyambung gunem.
“Gangsal ewu, Pak. Menapa badhe mundhut?”
Krungu swarane, atiku saya trataban. Kok persis dheweke biyen.
“Aku dak melu tuku rong kilo,” kandhaku.
Tanpa dak atak, bocah iku aba marang bakule, “Bu, pun timbangaken malih kagem Bapak menika.”
“Iya, regane nem ewu, sekilo.”
“Mmm …, boten. Sami kula wau, gangsal ewu.”
“Ya wis,” ucape bakule buah karo wiwit nimbang.
Karo ngenteni aku takon maneh, “”Ndhuk, kowe kok ayu tur wasis. Jenengmu sapa lan omahmu ngendi?”
Rada klincutan bocah iku mangsuli, “Bapak ki, kula Setyaningsih, griya kula Sumber. Lha, Bapak kok blanja piyambak, Sibu wonten pundi?”
“Sibu ora ana ngomah,” sauranku goroh. “Lan yen pasa ngene iki aku kulina blanja buah dhewe.”
Karo ngetokake dhuwit rong puluhan ewu, aku kandha, “Ndhuk, banjanmu dak bayare pisan.”
“Ah, boten Pak, boten mawon.” [ 215 ]“Aja nampik, Cah Ayu, aku ora duwe niyat ala. Tuwaku semene aku durung tau duwe anak, lan weruh kowe ki aku kok ngangen-angen, iba mulyane uripku upama kowe ki anakku. Dakbayare wae ya, blanjanmu kuwi?”
Aku krasa yen gunemku ki keladuk lan bisa nuwuhake tandha pitakonan ing batine bocah iku. Nanging rasaku kaya ora bisa dak sayuti weruh bocah iku. Aku kepengin ngerti luwih cetha, bocah iki anake sapa lan apa ana gandhenge karo Dhik Retna biyen kae. Tenan, bocah iki mandeng aku sajak ngemu pitakonan. Nanging wusanane mesem karo kandha, “Matur nuwun, Pak.”
Nalika bocah iku mungkur numpak Honda-ne, sakala atiku sumedhot, kaya-kaya aku rumangsa kelangan dheweke. Aku dadi ora ngerti marang awakku dhewe, geneya rasaku dadi kaya ngene. Bocah iku dudu apa-apaku, ketemu wae ya lagi tuku apel iku mau. Dumadakan wae atiku kok kaya kebak rasa asih marang dheweke. Ora kuwat nahan notoling atiku, aku mbuntuti lakune bocah iku saka kadohan. Ing pojok lapangan desa Sumber, dheweke menggok ngulon nurut dalan aspal cilik kang mlebu desa sisih kulon. Lan ing omah nomer telu saka pinggir desa, dheweke menggok mlebu latar. Mesthi wae bareng aku liwat kono dheweke weruh. Banjur alok, “Lho, Pak, panjenengan kok ugi miyos mriki?”
Aku sengaja mandeng. “Yen menyang pasar Pedan pancen aku liwat kene, Ndhuk. Luwih-luwih yen pinuju pasa ngene iki. Golek dalan sing eyub turut tengah desa.”
“Oh. Lha, mangga pinarak.”
Aku pancen kepengin mampir. Mula rindhik asu digitik, aku mlebu plataran omahe. Aku mung kepengin ngerti luwih cetha perkara bocah iki.
“Apa bapake ana ndalem, Ndhuk?”
Bocah iku ora mangsuli, mung gedheg thok.
“Lha, ibumu?”
“Ibu nembe tindak Sala, mangke bakda Maghrib nembe tugi.”
“Lha, njur kancane sapa? Sedulurmu?”
“Kula namung piyambak, kok, Pak. Kula boten gadhah sedherek. Mangga ta, pinarak.”
“Nek mung dhewe, mesthine kowe repot arep mangsak kanggo buka. Ya wis, liya dina wae aku tak dolan mrene.”
“Boten kok, Pak,” ucape bocah iku. “Kula sampun mangsak kok. Kantun nyawisaken buwah menika wau.”
Aku sida mampir. Nalika wis lungguh ing ruwangan tamu, aku kandha kanthi ngati-ati marang bocah iku.
“Aja dadi atimu ya, Ndhuk. Wiwit weruh kowe ana pasar buwah mau, aku ki njur kelingan bocah sing tau dak kenal ing Surabaya, awit [ 216 ]bocahe ya persis banget karo kowe. Aku mung butuh ngerti, apa asalmu saka Surabaya, lan duwe sedulur ana kana?”
“Boten. Kula asli kelairan mriki. Maksud kula kelairan Klaten. Nalika kula taksih alit rumiyin, Ibu manggen wonten Pedan, mondhok, lan wiwit klas sekawan es-dhe, Ibu mundhut griya menika lan manggen wonten ngriki.”
“Ibu? Kok ibu, lha Bapkmu ana ngendi?”
“Kula boten gadhah bapak, kok,” ature bocah iku karo tumungkul.
Aku dadi saya ngangseg kepengin ngerti.
“Apa bapake wis seda?”
“Ngendikanipun Ibu ngaten. Nanging saben kula nyuwun pirsa perkawis bapak kula, Ibu mesthi lajeng muwun. Kula namung kepengin ngertos ing pundi kuburipun bapak kula, kula kepengin ziarah. Nanging Ibu boten nate kersa maringi pirsa.”
Atiku saya notolkrungu ature bocah iku.
“Dadi kowe ki mung urip karo ibumu wiwit cilik?”
“Inggih, Pak.”
“Ibumu ngasta apa?”
“Dados guru es-dhe.”
“Pindhahan saka ngendi?”
“Boten nate pindhah. Wiwit kula alit Ibu ngasta ing es-dhe Karangdawa, ngantos sepriki. Namung manggenipun ingkang pindhah. Rumiyin mondhok wonten Pedan, celak peken nika wau. Lajeng mundhut griya menika lan pindhah ngriki.”
“Asmane ibumu sapa?”
“Retnaningsih.”
Mak tratab atiku. Retnaningsih. Yaiku dheweke. Nanging kok ora mulih nalar yen Retnaningsih njur dadi guru ana Karangdawa. Upama dheweke biyen njur nglamar dadi guru, mesthine ana Surabaya utawa saora-orane ya ana Jawa Timur. Ah, bisa uga mung kapinujon wae jenenge padha, lan ndilalah anake ya mirip banget karo Retnaningsih biyen kae. Gusti Allah iku Maha Kuwasa, wenang gawe lakon sing aneh-aneh.
“Wonten menapa, Pak?” ucape bocah iku ngagetke aku.
Rada gugup olehku mangsuli, “Anu kok, Ndhuk. Ya kuwi mau, aku ki tau kenal bocah wadon sing rupane mirip banget karo kowe, nganti kesenengane menganggo barang kok mirip, seneng nganggo gelang perak renteng telu kaya sing kok enggo iku.”
“Oh, inggih ta?” ucape karo ngangkat lengene ngatonake gelange.
“Menika gelangipun Ibu nalika taksih enem rumiyin. Ngendikanipun Ibu, ingkang mundhutaken Bapak saderengipun seda.”
“Ha?! Sing mundhutake Bapakmu?”
“Inggih. Rumiyin tansah dipun agem Ibu. Wiwit kula mlebet es-empe, gelang menika kaparingaken kula, lan kula angge ngantos sepriki.” [ 217 ]“Kowe seneng nganggo gelang kuwi ya, Ndhuk?”
“Remen sanget, awit menika ingkang mundhutken Bapak kula. Menawi kula kepengin ngertos sinten bapak kula, lan ing pundi kuburipun, inggih gelang menika ingkang kula sawang, awit ibu lajeng mbrebes mili.”
Atiku kaya didhodhog dhemit. Batinku nggraita, yen nitik gelang iku, wujude bocah iku, lan jenenge ibune Retnaningsih, ora mokal bocah iku anakku. Nanging yen ngelingi bocah iku kelairan kene, wis genah iki wong liya sing kapinujon wae madha jeneng. Atiku dadi semengka banget kepengin weruh ibune bocah iki, supaya genah perkarane lan banjur sumeleh atiku. Nanging iki wis arep manjing buka lan aku mengko kudu ngimami tarweh. Mesthine bocah iki uga kepengin enggal nyawisake buka kanggo ibune yen kondur mengko. Mula aku enggal-enggal pamitan.
Bubar sholat tarweh aku kethal-kethil ijen ing omahku sing pancen mung dak enggoni ijen tanpa kanca. Babuku wae yen sore mulih turu omahe dhewe kumpul kulawargane. Angenku nggrambyang, bali marang lelakon rong puluh taun kepungkur, nalika aku lulus kuliyah ing Surabaya. Dhek semana aku sambung tresna karo bocah aran Retnaningsih, lulusan guru sing urip karo bapakne kuwalon, aran Pak Parta. Bapake dhewe wis seda nalika dheweke isih cilik. Duwe sedulur lanang tunggal bapa ibu, aran Mas Kukuh, guru SMA ing Malang. Rehne bapak kuwalone ora setuju sambung-tresnaku karo bocah iku, kanthi meneng-meneng aku sakloron dinikahake dening kangmase mau minangka waline sing absah. Bareng bapak kuwalone ngerti, aku sakloron dipeksa pisah, jare arep dientukake dhirektur perusahaan, sing mesthi wae luwih sugih lan mapan tinimbang aku. Ngrumangsani ringkihing awakku, aku trima mundur ngagwa ati growah kelara-lara. Tujune aku enggal oleh gaweyan, diangkat dadi guru ing Pekalongan. Wiwit kedadeyan iku aku ora tau ngerti kabare.
Nanging aku ora bisa nglalekake dheweke. Aku tansah eling prasetyaku biyen karo Retnaningsih, salawase urip bakal setya tuhu ngugemi katresnan kang tulus. Lan aku ngerti banget yen dhek semana Retnaningsih wis mbobot rong sasi. Rong puluh taun aku tansah takon-takon jroning batin, kepriye lelakone Retnaningsih, kepriye dadine bayi sing dikandhut. Bola-bali aku kirim layang Mas Kukuh ing SMA Malang, ora tau ana balesan. Wekasan aku mung bisa pasrah marang Gusti Allah, kanthi pangajab muga sawijining wektu aku ditemokake karo anakku sing durung tau dak weruhi wujude.
Muncule bocah wadon aran Setyaningsih kang mirip banget karo Retnaningsih biyen, temen-temen nggodha rasaku. Nanging rehne iki lagi nedhenge pasa, notok atiku dak peper, sakuwate, dak sumenekake mengko sawise rampung pasa.
Nadyan rasane ngantu-antu kaya ngenteni abad anyar, nanging wekasane tekan wancine. Mbarengi dina riyaya kupat, nalikane wong-wong [ 218 ]padha anglur selur menyang riyaya kupatan ing Jimbung, aku malah mangetan marani desa Sumber sing nggodha atiku.
Ing ngarep lawang omah cekli iku, aku uluk salam. Bocah ayu iku lagi katon nata dhaharan kupat ing meja sisih pojok. Renyah swarane nyauri aku.
“Oh, Bapak. Mangga Pak, pinarak.”
“Ibu ana?” takonku.
“Wonten. Mangga lenggah rumiyin,” saurane karo mangkat menyang mburi.
Rada sauntara aku lungguh ngenteni.
Lan nalika ana wong wadon patang puluhan taun njedhul saka ruwang mburi, mripatku mlolo nyawang tanpa kedhep, kaya-kaya ora percaya marang kahanan kang dak adhepi. Ora mung aku. Dheweke uga mengkono. Ngadeg njegreg ing tengah lawang, kedhep tesmak nyawang aku. Nganti sauntara. Wekasan mak brabat nyaketi aku karo ngucap setengah njerit, “Mas Setyadi!”
Mung kuwi. Sateruse ambruk ngrungkebi pangkonku, karo mingseg-mingseg. Nanging banjur njenggirat nginggati, mapan lungguh ing kursi sisih kana.
“Nyuwun ngapunten, Mas. Aku emosi. Aku ora ngerti kahananmu wektu iki.”
“Maksudmu apa?” takonku. “Kahananku ya kaya ngene iki.”
“Maksudku, mbok manawa kowe wis darbe wong liya.”
Aku gedheg. “Ora tau ana wong liya ing sisihku, Dhik. Aku isih tetep ngugemi prasetya ing ngarep kandhang macan putih ing jero kebon binatang Surabaya biyen.”
Retnaningsih tajem mandeng mripatku, kaya-kaya kepengin ngerti jeron batinku. Tanggap karepe, aku ngucap, “Dhik Retna, ora ana sing owah ing awakku, kajaba mung tambah tuwa kagawa umur. Aku isih Setyadi rong puluh taun kepungkur, wutuh kaya nalika aku mungkur ninggalake kowe ing omahe Pak Parta, bapakmu kuwalon. Mung atiku sing semplah kelangan pangarep-arep, jalaran bola-bali kirim layang Mas Kukuh ora tau ana balesan.”
Retnaningsih mbrebel eluhe, dleweran ing pipine kiwa tengen. Magep-magep ora bisa kumecap nganti sauntara. Sawise bisa aring napase, dheweke wiwit crita karo mingseg-mingseg.
“Mas, sesasi sawise kowe lunga, Mas Kukuh tampa dhawuh tugas belajar menyang Bandung rong taun lawase. Sawise rampung banjur ditugasake ing SMA Negeri Denpasar, akhire rabi oleh prawan Bali. Aku dhewe Mas, tekadku mung siji, kepengin nggoleki Mas Setyadi ing Klaten. Mulane aku nekad lunga saka omahe Bapak kuwalonku, nggawa surat nikahe dhewe kae, karo nggembol jabang bayi putramu ing kandhutan, [ 219 ]mondhok ing Pedan, saben sasi dikirimi dhuwit Mas Kukuh saka Bandung. Telung sasi sawise putramu lair, anggonku nglamar guru ditampa, tiba ing es-dhe Karangdawa, daklakoni nganti saprene. Mas, bola-bali aku tekan desa Jetis, nggoleki sliramu, nanging ora ana sing ngerti. Wekasan aku mutusake, upama ora bisa ketemu sliramu maneh, aku rumangsa cukup tentrem urip momong putramu ing tanah kelairanmu iki, nganti tekan puputing umurku besuk. Mas, gelang perak sing dienggo gendhuk iku gelang olehmu nukokake nalika padha dolan menyang Blitar biyen kae.”
Tanpa krasa eluhku dleweran nelesi pipi.
“Dhik Retna,” ucapku setengah sambat, “ora ngira limang taun lawase awake dhewe urip sesandhingan tanpa ngerteni.”
“Limang taun Mas? Lha sadurunge …?”
“Ora suwe sawise aku ninggal kutha Surabaya biyen, aku wis oleh pengangkatan guru ing SMA Pekalongan. Limang taun kepungkur, ngrumangsani saya tuwa mangka urip ijen tanpa kulawarga, aku njaluk pindhah Klaten, mulih menyang desaku Jetis, mung patang kilometer ngidul ngulon saka kene. Nanging, ngertenana, Dhik. Ing wewengkon kono iku ana desa telu jenenge Jetis kabeh, lan ora pati adoh. Sing siji, Jetis klebu Desa Wonosari, sing siji Jetis klebu Desa Ketandan, lan sing siji Jetis omahku, klebu Desa Jagasetran. Mesthine sing tau kok parani iku Jetis, Wonosari sing paling cedhak saka kene.”
“Dhuh Gusti nyuwun ngapura ….”
Dheweke ora bisa nerusake, mung tangise sing njebrol maneh. Dumadakan wong loro padha kagete weruh Setyaningsih metu saka ruwang mburi, njranthal nubruk aku karo nangis.
“Bapak …! Oh, panjenengan Bapak kula. Bapak….”
Dheweke ngrangkul kenceng banget, karo mepetake raine ing dhadhaku. Dak elus-elus rambute sing ketel ngrembyak ing gegere.
“Anakku, Nggeeer, Setyaningsih.”
Mung iki kang bisa dak ucapake. Nalika iku batinku ora kendhatkendhat muji syukur marang Gusti Allah, kang wus kepareng ngumpulake aku karo anak bojoku sing wis rong puluh taun ilang, ing dina riyaya kupat iki.
Jaya Baya, No. 15, Minggu II, Desember 2004
Dhadhane Taru krasa lega nalika tekan ngarep gubuge. Gawane sing abot diselehake. Krangkeng loro, sing siji isi anak menjangan, kancil lan bulus, sajodho-sajodho. Sijine maneh isi manuk. Ana drekuku, perkutut, jalak, cocak, kacer, lan liya-liyane, ya sajodho-sajodho.
Sakir sing ngindhik saka pereng gumuk klesik-klesik marang Parta ing sandhinge, “Kae deloken. Taru ki pa sinthing. Kewan-kewan iku arep nggo apa?” wong loro iku gedheg-gedheg.
Sing dirasani sauntara iku ngadeg ing ndhuwur watu, mesam-mesem nyawang lengkehing gumuk kang saiki katon ijo royo-royo katutup witwitan lan gegrumbulan, banjur noleh marang kewan-kewan ing njero krangkeng. “Kowe kabeh ora bakal dak kunjara. Arep dak kon urip mardika ing pagunungan iki, ngancani aku.”
Lawang krangkeng banjur dibukak. Kewan-kewan iku padha metu, lan buluse diculake ing sendhang wetan gubuge.
“Rak saya nemen ta sinthinge? Kae adoh-adoh digawa mrene, diculake maneh. Wis, ra sah ngurus wong sinthing. Gek ayo, ngethok kayu wae.”
“Ra ngurus piye. Wiwit dheke ana kene, awake dhewe ora bisa adol kayu lan areng. Saben a rep ngethok, mesthi dielikake.”
“Mulane ra sah direken. Rancangane wingi kae wae ditindakake.”
Parta banjur wiwit ngrekel pereng, ditutake Sakir. Tumuju alas sanakeling ing ndhuwur kana.
Sadurunge, pancen wis sarembug karo sawatara kancane, arep nyolong kayu maneh. Yen Taru elik-elik arep dikroyok, yen perlu dipateni. Tekan papan kang dituju, kancane telu wis ngenteni.
“Piye, wis mantep?” takone Parta karo nyaketi.
“Wis, ning yen ndadak mateni Taru ki dhasare apa?” saure Timan sing sendhen wit sana.
Dheke ki mung wong biasa ngono lho. Dudu mantri alas, dudu polisi alas. Mung tukang nggambar karo gawe reca. Ana kene mung wong neneka. Ngreksa alas sukarila. Iya kana entuk hadhiyah akeh saka [ 221 ]Menteri, ning yen ngene iki, apa sing arep kanggo ngiseni wetengku lan wetengmu? Iki perkara mati uripe awake dhewe sakeluwarga!”
“Yen awake dhewe mengko diukum?” takone Timan.
“Ya direka nganggo cara sing aman. Dikroyok, diglundhungake jurang kono, njur awake dhewe ethok-ethok nulungi. Salah siji lapur. Beres ta?”
Kabeh setuju, banjur pating glathok padha ngethoki kayu.
Nalika iku Taru lungguh ana ing pinggir sendhang. Sedhela nyawang lukisane kang lagi dadi mau bengi, banjur ganti nyawang sendhang bening ing sandhinge. Lagi kaya mangkono krungu swara glathok-glathok wong ngethoki kayu. Taru nuli ngrekel lambunging gumuk marani wong-wong sing lagi padha salah gawe kuwi. Satekane ing papane wong-wong mau, atine krasa perih, “He, leren!” wuwuse karo malang kerik.
Ning, sing dielikake sajake pancen njarag. Mung toleh tinoleh sedhela, sajak ora nggape, anggone kethok-kethok malah saya diserokake.
“He, Parta! Leren dhisik!” tembunge Taru luwih sora.
Parta noleh, “Apa karepmu, Taru?”
“Lerena olehmu negori kayu!”
“Apa iki duwekmu?” Parta ngece.
“Dudu.”
“Kok, elik-elik?”
“Sik ta, genti aku dak takon, apa kayu-kayu iki duwekmu?”
“Ya, dudu.”
“Geneya kowe ngethoki?”
“Dudu urusanmu, Ru,” tembunge Parta santak wiwit ngancam. Kanca-kancane uga melu-melu.
“Alas iki darbeke negara. Aku ki warga negara, mula aku wajib melu ngreksa.”
“Supaya oleh hadhiyah, terus mateni sandhang panganku?”
Hadhiayhe awujud kewan, wis dakculne bali nyang alas kene maneh. Aku neng kene melu ngreksa alas iki murih ora rusak. Murih isa nahan lemah, nandho banyu, nyegah banjir, lan kali-kaline ajeg mili.”
“Ning iku mateni sandhang panganku. Kowe luwih mentingke menjangan tinimbang anak bojoku. Taru, wong kaya kowe kuwi pantese ya dipadhakake karo kewan wae!”
Karo alok mengkono, Parta tangane kumlawe. Kanca-kancane banjur padha ngrubut Taru. Ditlikung. Titaleni tangan lan sikile.
“Taru! Dina iki pungkasaning uripmu. Sedhela maneh kowe mesthi remuk kebentur watu-watu ing jurang ngisor kae. Siap, kanca …,” tangane Parta kumlawe ngabani kancane, ning kanca-kancane isih padha njegreg wae.
“Ayo, saiki!” abane Parta mindhoni. [ 222 ]Ora ana sing obah. Mung Sakir sing mangsuli, “kari ngglundhungake we, glundhungna dhewe ta.”
“Ya wis kana, padha mudhuna. Tak glundhungake ….”
Wong papat jumangkah ngudhuni pereng, ning jegagig! Jangkahe kandheg dening jumedhule polisi loro. Wong-wong iku, uga Parta sing isih malang kerik ora ngerti yen Polisi iku dhewe satemene ya kaget weruh ana wong dibanda iku.
“Endi sing jenenge Pak Taru?” pitakone Polisi.
Ora ana sing wangsulan, awit wong-wong iku uga ngemu pitakonan. Taru kok digoleki Polisi. Parta wiwit rada ayem. Sajake Taru iki buroning Polisi, mula ndhelik ana ing alas iki. Wis kebeneran olehku nlikung iki mau, batine Parta sing banjur wani miterang.
“Panjenengan madosi Taru, ta?”
“Iya.”
“Niki tiyange!” ature Parta karo nudingi wong bandan ing ngarepe.
“Kok ditlikung?!” Polisi loro iku mlengak, ndudut pistul, diancamake marang wong-wong iku karo muwus, “Nek ngono kowe kabeh iki sing gawene nyolongi kayu alas! Ayo, diuculi bandane!”
Kanthi wedi Parta nguculi tangan lan sikile Taru. Polisi loro iku saya gamblang anggone nyawang. Wong-wong iku kabeh nyekel bendho, lan ing kana ana pang-pang sana keling pating blengkrah mentas ditutuh. Sajake Taru iki mau elik-elik, banjur dikroyok.
“Kowe mentas nyolong kayu, ya?”
Kabeh tumungkul. Malah Taru sing kumecap, “Punapa Bapak badhe nangkep tiyang-tiyang punika?”
“Inggih, Pak. Keleresan kula nampi tugas ing wana ngriki, lan kadhawuhan njujug sanggaripun Pak Taru.”
Bubar ngomong ngono Polisi mrentah wong-wong iku, “Ayo, gamane diselehake kabeh! Lan melu aku menyang kantor Sektor!”
“Nyuwun pangapunten, Pak,” tembunge Taru gawe gumune wongwong mau.
“Tiyang-tiyang niku wau mboten nyolong kajeng. Namung salah paham.”
“Salah paham dospundi?”
“Leresipun sedherek-sedherek menika wau kula sambat damel kandhang sandhing gubug ngrika, kangge ngawinaken kewan-kewan ingkang badhe kula umbar wonten wana ngriki. Sajakipun nginten bilih kula badhe ngginakaken kajeng wana ngriki. Terus tanpa taren-taren ngethoki kajeng. Mesthi kemawon kula srengeni. Jebul malah dados sulaya. Mbok menawi sami serik, rumaos mbantu kok malah kula srengeni.”
Polisi iku sajak mandheg-mangu. Ning sing omong iku Taru dhewe, mula wekasane ya bisa nampa. [ 223 ]“Pak Polisi,” sambunge Taru maneh, “Sampun kalih taun wana ngriki aman, amargi tiyang-tiyangipun sami sadhar lan purun tumut rumeksa. Kula aturi taken dhateng Mas Mantri, utawi mirsani piyambak. Wit-witan lan gegrumbulan sami wetah, tuwuh ngrembaka nutupi pereng-perenging gumuk. Kewan-kewanipun wiwit bebranahan, tanpa wonten ingkang ngganggu. Kanthi kesadharanipun pedunung lan masyarakat, gangsal taun malih wana menika badhe dados taman alam ingkang ngelam-elami. Mangga, samenika sami pinarak ing gubug kula. Saking ngrika sesawangipun langkung sae.”
“Pak Taru, sampeyan pancen cocog manggen wana ngriki,” tembunge Polisi iku, “Saniki kula percaya yen Pak Taru lan sedherek-sedherek ing ngriki sami purun mbantu rumeksa alas saisine niki. Sing bisa lan kudu njaga niku pancen nggih masyarakat dhewe, sanes Polisi. Rak nggih, ta?” Wong sing wiwit mau bungkem iku sumaur, “Nggih, Pak.” “Pang-pang sing empun dikethoki nika dirawati sing becik. Kula badhe dhateng Kemantren rumiyin.”
Sapungkure polisi-polisi kuwi, Parta sakancane nyaketi Taru, “Taru geneya kowe malah ngayomi aku?”
“Lha kudune aku kepriye? Upama tak laporake, kowe ditangkep, anak bojo lan kulawargamu bakal kleleran. Weruh wit-witan koktutuhi iku wae atiku wis lara, apa maneh yen weruh kulawargamu padha sengsara. Menungsa iki satemene isih perangan isen-isening alam gumelar. Yen saperangan ana sing lara, perangan liyane ya katut lara.”
Wong-wong iku padha nyaketi Taru sing saiki katon agung ing pandulune. “Ora ngira jebul atimu beninge kaya banyu sendhang, wicaramu ayom kaya mendhung. Gusti Allah isih ngayomi awakmu. Saiki tuduhna apa sing kudu tak tindakake.”
“Ngene ya, yen kowe gelem, turahan dhuwit hadhiyahku kae wae padha enggonen pawitan bakulan. Ning wis aja bakul areng sing njalari kowe nyolongi kayu alas. Bakula liyane wae.”
Wong-wong mau nuli iring-iringan ngetut lakune Taru menyang gubug senine. Gawe wedang, ngombe-ngombe lan mangan pacitan, sinambi nyawang pereng-pereng gunung kang ijo sumringah. Ngrasakake kaendahane alam gumelar. Kekayon kang seger godhonge, gegrumbulan kang ngemuli gumuk. Manuk-manuk kekablak. Mega-mega mayungi. Watuwatu ing selaning banyu mili. Bening banyune sendhang, kumricik anjog mangisor, nggawa kabar kasuburan menyang tlatah ngare.
Jaya Baya, No. 48, Minggu I, Agustus 2004
Jam loro bis Jaya jurusan Surabaya—Ponorogo mlebu terminal Jombang. Penumpang papat munggah bebarengan. Sing siji klambine biru lengen dawa, lungguh rong kursi samburine sopir. Ing larikan tengen sing sakbangku kanggo penumpang telu, njejeri cah wadon menganggo rok kembang-kembang terusan. Sijine nganggo hem kothak-kothak soklat, topi biru ing larikan kiwa sing sabangku mung kanggo rong penumpang. Sijine meneh kaosan klawu, lengen lan gulone abang, nyangking tas kresek ireng. Manggone telung bangku pernah mburine klambi kothak-kothak soklat. Sing pungkasan dhewe, klambine kuning tela lengen cekak. Kiwatengene krah direnggani kancing ireng. Rambute klimis, nganggo sepatu ireng. Nyangking tas ireng lan nyekethem handphone. Lungguhe rong kursi sangarepe kursi sing mburi dhewe. Saliyani kuwi mung pedhagang asongan sing ndlidir munggah-mudhun karo nawakake dagangane.
Persis tekan ngarep stasiun, keprungu swara kaya swarane anak asu kepidak. Supir, kondhektur, lan meh kabeh penumpang nyawang pernahe swara mau.
“Apa iki, Mas?” pitakone si klambi kothak-kothak soklat, marang si kaos klawu lan lengen abang sing sajak kerepotan ngrungkebi tas kreseke.
“Manuk!” wangsulane karo ndhingkluk. Keprungu swarane manuk ngoceh menyanyi lagu Indonesia Raya.
“Lho, beo ya, iku?” sepisan maneh sing klambi kothak-kothak takon. Sing ditakoni ora wangsulan. Nanging beo ing njero tas kresek iku malah genti ngoceh lagu Cucak Rawa Dawa Buntute.
“Ngedloki Mas!” panjaluke klambi kothak-kothak soklat sajak ora sranta. Tas kresek diulungake. Klambi kothak-koyhak soklat ndhungkluk. “Assalamu alaikum,” beo ing njeron tas kresek iku ngoceh maneh.
“Wah, manuk wis dadi iki!” sumambunge karo ngulungake bali. Beo njeron tas kresek ngoceh, “Cewek, cewek, cewek ….”
“Oleh saka ngendi, sampeyan?”
“Kancaku duwe utang nem atus dikeki manuk iki.”
“Untung sampeyan.” [ 225 ]Tekan laladan Perak bis mandheg. Penumpang loro munggah, ditututi pedhagang buku-buku wacan lan bakul omben-omben. Manuk beo ngoceh maneh, narik kawigaten.
“Kate sampeyan gawa neng ndi?”
“Tak dadekna dhuwik, Mas.”
Klambi dawa lengen biru nginguk memburi, beone ngoceh maneh.
“Lho?” klambi biru wiwit melu-melu kepranan.
“Patang atus, tapi tak bayar nang ngomah!” klambi kothak-kothak soklat nyoba nganyang.
“Gak, Mas!”
Sing nyangking tas lan nyekethem handphone ngalih lungguh rada cedhak. “tak ijoli handphone!”
“Gak, Mas. Aku butuh dhuwik.”
“Handphone tambah satus ewu.”
“Gak, Mas!”
Bis mandheg ngedhunake penumpang. Bakul asongan medhun, digenti bocah ngamen cacah telu. Siji nyangklong gitar, sing loro keplok-keplok. Anggone nyanyi karo jegigisan. Rampung menyanyi, ngathungake topi diwalik karo maido penumpang sing sumendhe liyer-liyer kumudu turu.
“Sayang gak nggawa duwik, rek. Sampeyan berminat ta Mbak?” pitakone klambi biru marang bocah wadon sing dijejeri. Sing ditakoni mung klecam-klecem. Klambi biru nyedhaki sing duwe manuk, sawise bisik-bisik sedhela, bali njejeri bocah wadon. Beo njeron tas kresek ngoceh,
“Ndang baliya, Sri. Ndang Baliya, Sri ….”
“Lho!” wuwuse klambi biru, lan bocah wadon iku melu-melu nginguk.
“Telung atus paling diculna,” aloke klesak-klesik. Bocah wadon iku mecucu.
“Ruh bosku, iku sak juta gak kathik nganyang! Sampeyan dhuwiki sik mari. Lek sampeyan dol meneh, tak tebuse, tak batheni seket. Iki lho, nomer tilpunku,” pandheseke karo ngulungi nomer tilpun.
“Sampeyang mudhun ngendi, sih?”
“Ponorogo.”
“Padha. Wis, sampeyan dhuwiki sik. Temen, eman iku!”
Nganti mlebu terminal Kertosono prasasat ora ana sing cemuwit, kejaba ocehe beo sing menyanyi nirokake sawernane lagu.
“Yak apa, handphone tambah satus?” klambi kuning tela ngambali panganyange.
“Gak, Mas!”
“Mudhun nggonku, tak golekna pembeli,” klambi kothak-kothak soklat nembung maneh.
“Sampeyan makelari?” Pokoke, dadi gak dadi, saiki!” sing duwe manuk negesi, disambung ocehan beo. [ 226 ]“Penasaran aku!” klambi kothak-kothak soklat cluluk maneh. Pindhah bangku njejeri wong wadon setengah tuwa. Kaos lan clanane abang bata. Lengen kiwa-tengen gelange sak rante kapal, drijine enem direnggani ali-ali kabeh. Nekep tas soklat.
“Sampeyan seneng ta, Bu?”
“Ayahe Silvi.”
“Sakniki ajenge teng pundi?”
“Wangsul Saradan.”
“Wah, kenek digawe oleh-oleh.”
Lan durung nganti entek omonge, ngadeg nyedhaki sing duwe manuk. Mbisiki karo tudang-tuding banjur bali njejeri wong wadon setengah tuwa iku.
“Telung atus,” kandhane semu bisik-bisik.
“Dhuwike mboten teka.”
“Pinten sih?”
“Rong atus skeet.”
“Kula tomboki sik nggih?”
“Mboten!”
“Lek padha-padha rong atus seket, wani tak tebak dhewe!” klambi biru nyela, ngadeg lan ngrogoh sak clana sisih mburi.
“Iku jeneng ngajak elek-elekan, Mas. Mesakna ibuke iki, no,” klambi kothak-kothak soklat alok rada sora. Manuk njeron tas kresek ngoceh maneh. Bis Jaya mlebu Sukomoro. Klambi kothak-kothak soklat lungguh sedhela ing sandhinge wong wadon, bubar kuwi nyedhaki sing duwe manuk lan bisik-bisik. Bali sedheku nyedhaki wong wadon setengah tuwa iku maneh.
“Pundi dhuwike?”
“Angsal, ta?”
“Pun ta, pundi!”
Mbarengi wong wadon iku ngulungake dhuwit, beo ing njeron tas kresek ngoceh, “Assalamu alaikum, Cewek-cewek, Ndang Baliya Sri, Ndang Baliya Sri.” Klambi kothak-kothak soklat marani sing duwe manuk.
“Tulung Mas,” panjaluke karo nyalami, ngulungake dhuwit lan semu meksa, tas kresek dirayah.
“Lho. Lho!” sing duwe manuk nyoba ngalangi.
“Wis ta!”
“Jangkrik! Kalah dhisik! Sampeyan Mbak, gak cekat-ceket,” klambi biru nutuh sing njejeri.
Ing Pahlawan Trip bis mandheg, penumpang lanang mudhun. Sing duwe manuk nyedhaki wong mentas nuku manuke.
“Kula mandhap ngriki, Buk,” pamite. [ 227 ]Sing dipamiti manthuk karo ngguyu sajak kalegan. Tekan terminal lawas ngarepe stasiun, klambi kothak-kothak soklat mudhun, ditututi klambi kuning tela, nyangking tas nyekethem handphone.
Wiwit metu saka terminal nganti laladan Guyangan malah nganti Bagor, ora keprungu swarane beo ngoceh. Ora keprungu swara anyanganyangan rega, ora keprungu pangalembana. Sing mentas tuku manuk sedhela-sedhela nginguk njeron tas karo mincing ocehan. Penumpang lanang, jakete abang biru, wiwit krungu kaya anak asu kepidak mau, nganti wong wadon ngulungake dhuwit, sejatine wis ngerti yen pawongan papat iku tukang ngglembuk. Pakaryan kaya mangkono iku kerep ditindakake ing angkutan Surabaya. Tuku manuk ing Pasar Kembang rega limang ewonan, diwadhahi kanthongan kertas dirangkebi tas kresek, banjur nyegat bemo. Carane golek memangsan ora beda kaya kang mentas dicakake. Lan racake kabeh wasis nirokake ocehe sawernane manuk. Mung wae penumpang lanang iku ora kuwawa tumindak apa-apa. Bisa seling surup lan nyilakani, jalaran tukang-tukang glembuk kuwi mentalan.
“Ngimpi napa wau dalu, Bu?” pitakone penumpang lanang liyane. Sing ditakone plenggang-plenggong, praupane suntrut mertandhani yen atine gela.
“Cobi, sampeyan angkat manuke!”
“Mengke mabur?”
“Kula ijoli.”
“Niki manuk pinter!”
“Kula ijoli sing luwih pinter!”
Sawise manuk diangkat saka njeron tas, wong wadon sing mentas tuku iku, meh wae njerit. Penumpang liyane nyawang, padha mlongo. Dudu manuk beo sing pinter ngoceh, nanging jalak uren gering sing wulune mbrodholi, lengih-lengih sajak keluwen. Bisane mung muni, “krek-krek”.
“Niki dos pundi genahe?” aloke serak, raine saya pucet.
“Genahe ngaten, sampeyan niki pun kebujuk.”
“Mateng aku! Ayahe Silvi mesthi ngamuk!”
Sabanjure penumpang kuwi njlentrehake kaya crita batine penumpang jaket abang biru, wong wadon iku manthuk-manthuk cuwa.
“Gak masuk akal, wong rega nem atus ewu diculna rong atus seket. Diijoli handphone ditomboki satus gak diculna,” wong lanang iku kojah.
Tekan Wilangan bis mandheg, jalaran sepur ngulon arep liwat. Penumpang wadon setengah tuwa iku ngadeg. Tas kresek sak isine diuncalake liwat cendhela. “Krek-krek” jalak uren iku mbrobos, banjur ora nywara. Manuk sing wis ora kuwat mabur kuwi kira-kira diplindhes trek sing wiwit nggremet, mbarengi sepure liwat.
Jaya Baya, No. 50, Minggu III, Agtustus 2004
Angin pesisir Candi Dasa nampeg raine. Rambute sing rada gondrong montang-manting ndilati pundhak sing dibuntel kaos warna putih kanthi gambar leak ing pernah ngarep. Ing pundhak kiwane sumampir andhuk warna abang jambu. Sikil sing diclanani jeans jumangkah tumuju papan panginepane Wangi.
“Yek, gung adus,” cluluke Wangi
“Kentekan banyu. Aku nunut kene,” kandhane sing mentas teka.
“Sik kanggo.”
“Sapa?”
“Fung Fung.”
Sing mentas teka banjur lungguh ing kursi kosong sing ana panginepan. Wong loro, Wangi lan dhayohe, padha lelungguhan. Ing antarane wong loro ana meja cilik. Ing sandhuwure cumawis asbak saka kayu kanthi pepethan wong sing lagi pepasihan.
“Suwi men ta,” panggresahe priya sing dadi dhayohe Wangi.
“Sabar ta, Gus. Ra adus ya ra papa kok.”
Ora let suwe keprungu lawang jedhing ing njero panginepan dibukak, banjur ditutup maneh.
“Wis rampung kae lho,” kandhane Wangi ngemu sasmita supaya dhayohe age-age adus. Sing disasmitani menyat.
“Adus kok suwi banget,” kandhane sing arep nalika papagan karo Fung Fung sing mentas saka jedhing.
“Suka-suka dong, jedhing-jedhingku dhewe,” wangsulane kenya mripat sipit iku karo ngencepi sing arep nunut adus.
Angin pesisir tumiyub banter. Gegodhongan ing taman ngarep panginepan lunjak-lunjak sajak kaya nyenggaki jumlegure ombak segara sing dohe mung sawetara jangkah saka panginepan.
“Ngapa Gusti adus mrene, Mbak?” pitakone Fung Fung karo nyeleh bokonge ing kursi sing mau dilungguhi priya sing saiki lagi gebyar-gebyur ana ing njero jedhing.
“Kentekan banyu.” [ 229 ]“Alesan! Ngapeli sampeyan paling.”
“Aku? Akh, apa dudu sampeyan dhewe?”
Wong loro sawang-sawangan, banjur padha-padha mesem. Sing siji pamer sipite, al sijine pamer gingsule. Nanging loro-lorone padha-padha ora ngerti isi atine sowing-sowang.
“Interupsi! Interupsi!” kandhane Gusti sawise metu saka jedhing. Kenya loro sing lagi gayeng anggone rembugann banjur meneng, nyawang Gusti sing kalungan andhuk, ngenteni sing arep dikandhakake.
“Iki mau sing mentas adus rak Fung Fung,” kandhane Gusti.
“Enek apa?” pitakone Fung Fung ora kanten.
“Iki ngene. Neng jedhing mau ana barang berharga, bahkan sangat berharga, keri. Iki rejekiku. Saiki takgawa lan bakal taksimpen ben dadi jimat!”
“Barang apa? Endi barange?” pitakone Wangi.
“Barang apa ora perlu padha ngerti. Sing jelas, manut keyakinanku, barang mau duweke Fung Fung, sebab sing keri dhewe neng jedhing sadurunge aku, Fung Fung. Seksine awakmu ya, Wang!”
“Barang apa ta, Gus?” pitakone Fung Fung semu bingung.
“Rahasia!” wangsulane Gusti sinambi jumangkah ninggalake Wangi lan Fung Fung sing isih ora mudheng marang kandhane Gusti mau. “Matur nuwun ya, jedhinge ....”
Lembaran-lembaran memori nalika isih ana SMA kabukak satleraman. Kadadeyan wayah surup ing Candi Dasa iku jumedhul ing angen-angene.
Nalika semana rombongane Gusti skanca lagi plesir menyang Pulo Kadewatan. Plesire murid-murid SMA iku minangka sembulih anggone kasil dadi juwara lomba paduan swara antar SMA sapropinsi.
Kedadeyan ing Candi Dasa mau lagi ginelar ing pengangene nalika esuk iki Gusti ketemu Wangi ing acara paduan swara antar perguruan tinggi tingkat nasional ing Surabaya.
Sasuwene iki, sasuwene kuliyah, Gusti wis ora tau nggodha Fung Fung nalika kenya mripat sipit iku budhal menyang greja liwat ngarep omahe. Uga babar pisan oraa ngerti kabare Wangi.
Sarampunge SMA biyen, Gusti ninggalake Blitar neruske kuliyah ing Bali, memisan kumpul bapak lan ibune ing Denpasar awit simbahe wadon saka bapake sing ana ing Blitar, sing dikancani, seda sawetara dina sadurunge Gustiujian akhir SMA.
“Piye kabare Bali?” pitakone Wangi sing sengaja lungguh njejeri Gusti.
“Kabar sing endi?”
“Ya sakabehe.”
“Nek sakabehe, kabare ya macem-macem. Sing jelas, isih tetep akeh turis, sing jaremu ‘wong wuda’, turut pesisir, turut toko, turut dalan.” [ 230 ]“Fung Fung ya melu mrene lo,” kandhane Wangi ngagetake Gusti
“Endi?”
“Coba digoleki dhewe! Mosok pangling karo primadona SMA. Ora adoh saka kene kok.”
Gusti clingukan, noleh ngiwa lan nengen. Larikan mbaka larikan dijingglengi. Ora ketemu!
“Endi?” pitakone Gusti maneh.
“Mosok gak eruh?”
Gusti clingukan maneh. Noleh ngiwa lan nengen. Larikan mbaka larikan dijingglengi. Ora ketemu! Sawetara iku ing panggung sisih kana, kelompok paduan swara gilir gumanti ngetog kabisane, kabisan ing babagan olah vokal.
“Endi, Wang?” pitakone Gusti karo ndudul lengene Wangi.
“Iki!” kandhane Wangi karo ngulungake kertas sasuwek marang Gusti.
“Apa iki?”
“Diwaca wae!”
Weruh tulisan ing kerts iku atine Gusti kumesar. Dheweke apal karo tulisan mau. Gusti ora lali, tulisan kuwi tulisane Fung Fung. Ana ngendi menungsane?
Sepisan maneh ukara sing ditulis Fung Fung iku diwaca Gus, barangku sing kok gawa saka Candi Dasa balekna!
Gusti dheleg-dheleg. Wah, iki genah pasekuthone menus loro kuwi, batine Gusti. Ngapa Fung Fung ora katon?
“Fung Fung ngerti apa sing takgawa?” pitakone Gusti marang Wangi.
“Jane barang apa ta, kuwi? Wangi genti takon.
“Barang sing takgawa saka Candi Dasa kae lo, Wang.”
“Lha iya, barang apa?”
Gusti bingung.
“Apa Fung Fung durung ngerti?” panlesihe Gusti.
“Kira-kira wae durung. Awit sabubare awakmu nunut adus kae, Fung Fung mbingungi, nlesih-nlesih, ndhedhes aku. Dikira aku bersekongkol karo awakmu. Dikira aku ngerti barang sing kokgawa …, barang apa ta sakjane?”
“Hmh,” Gusti mesem karo isih clingukan nggoleki Fung Fung sing jare Wangi ora adoh saka papan kono.
“Wis, ngene ae, Wang. Nek mengko ora ketemu maneh, aku pamit pisan. Titip iki kanggo Fung Fung,” kandhane Gusti karo menyat, salaman, lan jumangkah ninggalake Wangi.
Wangi nampa kartu nama saka Gusti lan ndlesepake kertas warna ireng kuwi ing sak klambine.
Gusti mestas wae saka pura. Nalika sikile jumangkah mlebu omah, HP-ne celuk-celuk. [ 231 ]“Hallo ..., hai, awakmu, Fung .... Adhuh ..., ngapa ra ngetok ..., mripatku meh coplok nggoleki awakmu ..., apa? Kejem? Sing kejem awakku apa kowe? Ya wis, padha kejeme .... Sorry ya, sorry .... Apa? Barang apa? Awakmu apa ngerti barang sing takgawa? Lha, ora ngerti kok kon mbalekake? Lho, kok meksa ta? Iya wis, bakal takbalekake, waton ana syarate .... Pengin ngerti? Syarate mayar. Waton awakmu gelem dadi ....
Sawise nampa telpun saka Fung Fung sing pancen diarep-arep, Gusti kelingan album kenangane. Album dijupuk, banjur dibukaki. Mandheg tekan lembaran sing ana fotone Fung Fung. Ing ngisor foto mau ana kanthong kertas cilik warna coklat. Kanthong mau ditulisi ‘Jem’ lan ana cathetan tanggal nalika Gusti nunut adus ing pondhoke Fung Fung ing Candi Dasa dhek semana!
Drijine Gusti banjur ndudut isine kanthong kuwi. Rambut brintik sealer. Watara mung rong sentimeter. Rambut kuwi nalika semana tumemplek ana ing sabun sing mentas dinggo sabunan Fung Fung. Saiki ing tangane Gusti. Dililing. Sanajan sing disawang rambut brintik sealer, nanging sing katon malah praupane oval kang rinengga mripat sipit lan rambut poni ing bathuke.
Jaya Baya, No. 47, Minggu VI, Juli 2004
Suharmono K.
Mudhun saka bemo gegancangan dheweke mlaku menyang stren kali iku. Wektune wis rada bengi. Mesthi kanca-kancane wis akeh sing padha mangkal ana kono. Ing salon mau akeh sing potret (potong rambut). Mula tekane ing kono rada telat. Malah dheweke ora kober makasar (mangan). Wetenge luwe sengaja ditahan, sing penting enggal bisa ketemu pemudha brondong pepujane iku. Salon panggonane nyambut gawe pancen lagi cucok (laris). Akeh wong potret (potong) ing kono. Perkara mangan, bisa mangan ing warung naspro (sega) ing stren kali iku.
Jam tangane wis nuduhake jam sepuluh. Ing ngisor lampu PJU (Penerangan Jalan Umum) dheweke mandheg, njulup benges, celak, lan kaca. Dheweke ngaca, mbenakake celake lan bengese ing lambene sing wis wiwit luntur. Saka ngisor lampu mercuri ketok praupane kanthi cetha. Sawise dirasa pantes, dheweke bali nglebokake celak lan bengese ing tas cangklong sing digawa, banjur mbenakake behane. Papan kono wis katon rame.
“Lagek teka Mbak Noni?” pitakone Eni sing ngadeg ijenan pasang aksi ing papan kang rada peteng.
“Iya, lho En, salone lagek Ramayana (rame),” wangsulane cekak.
“Akeh lho sidhune (dhuwite).”
Dheweke nyebek, “Sing akeh ya juragan,” wangsulane.
“Isih duwe rokok, Mbak?”
Dheweke mandheg, banjur mbukak tas cangklonge. Eni marani nampani rokok, njupuk sealer banjur dirokok. Dheweke nglirik dandane Eni, pancen rada montok amarga suntik silicon. Kabeh wong kaya dheweke pancen kepengin duwe dhadha kaya dhadhane Eni. Nanging yen kudu suntik silicon ya mikir-mikir dhisik. Akeh efek sampingane kang mbebayani.
“Mbak Noni, arep menyang ngendi?” pitakone Eni sawise nyedhok rokoke.
“Aku lapangan (luwe) En, arep belalang naspro (tuku sega) ing warung naspro (sega) kono. Mawar (gelem)?”
“Gak Mbak, aku isih warsek (wareg).” [ 233 ]Dheweke banjur njujug warung langganane.
“Kok bengi lho, Non?” pitakone Mak Imah sing duwe warung iu.’
“Iya Mak, salone rame kok. Nganti ora kober leren sedina mau. Mas Puja durung rene?”
“Mau ya rene. Dienteni kowe ra teka-teka. Dheweke pesen, kowe kon ngenteni ana kene. Jare ana perlu. Mangan pa piye?”
“Iya, Mak.”
Bakul sega iku ngracikake sega. Dheweke apal banget sega sing disenengi langganane. Sega pecel, sambele rada akeh, nganggo endhog ceplok lan tempe goreng.
Karo mangan sega pecel dheweke nonton kahanan sakupenge kono. Tambah bengi papan kono pancen tambah rame. Kanca-kancane padha dandan menor banjur pasang aksi. Ing pojok sisih kidul sangisore wit keres katon remeng-remeng Windy lagi pepasihan karo pacare. Ing sangisore wiwit sana sisih kulon Sari ngadeg ijen, lagi ngeber (golek mangsa). Sari pancen ora tau gelem nduwe pacar, nduwe bojo-bojoan. Marga akeh-akehe pacar mung gawe bangkrut bae. Samubarang panjaluke kudu tansah dituruti. Mula Sari luwih seneng ijen. Isih akeh kancane liya sing ngeber (golek mangsa) kaya Sari ing panggonan kang dirasa cocog. Sawetara kancakancane liyane padha pating grombol ngrumpi.
Dheweke ambegan landhung. Ya ing papan kaya ngono kuwi papan hiburane wong kaya dheweke. Manggon ing stren kali, papan kang kiwa. Padha-padha umate Gusti Allah, sakancane rumangsa kasisih. Sarwa repot. Akeh wong-wong kang nganggep ina marang golongane. Wong-wong lanang padha ngedohi. Yen ana wong-wong kang padha teka ana ing salon, ora liya mung ketarik marang prigele anggone ngrias lan nyulap wong-wong kang teka dadi nggantheng-nggantheng lan ayu-ayu. Iku bae. Ing kendharaan umum bae, ing bus utawa sepur meh ora ana wong sing gelem lungguh sebangku karo wong kaya golongane. Kabeh-kabeh padha ngedohi.
Nalika dheweke lagi enak-enak mangan karo ngalamun kuwi, Weni teka lungguh njejeri, “Yak apa se Non, Koen mau dienteni gak teka-teka,” kandhane Weni.
“Endi wonge, Wen?” pitakone.
“Ya polonia (mulih). Koen se dienteni gak teka-teka,” kandhane Weni sing asli Surabaya.
“Gak kesindhang maneh?”
“Kandhane se, kesindhang. Entenana bae,” kandhane Weni.
Noni nyawang Weni sing mapan lungguh karo pesen kopi. Ing antarane driji-drijine sumlempit rokok sing keluke kumebul sawise disedhot. Ora teka karo dheweke, rokokane Weni uga nglepus. Pancen ya mung rokok kuwi minangka kanca sing paling setya ing wektu susah lan [ 234 ]bungah. Ya mung rokok kang bisa ngancani wong-wong kaya dheweke nalika lagi kasepen. Rokok uga minangka sarana tepungan karo wongwong kang ketarik marang wong-wong kang kaya golongane. Wiwitane saka rokok, “Mas, nduwe rokok Mas?” Tembung sakecap rong kecap kuwi bisa nuwuhake sesambungan kang luwih jero.
“Piye kabare Tanti?” dumadakan dheweke kelingan kancane sing tau diireni wong akeh iku.
“Genah awake entek kaya wong kematus ngono kok. Saiki nglimpreg ana rumah sakit, kaya jrangkong.”
Krungu wangsulane Weni iku dumadakan keteg jantunge tambah banter. Arep ngomong rasane kaya blangkemen. Weni mujudake kanca sing paling semok, paling kenes, paling ayu. Mula ya ora aneh yen pacare gonta-ganti. Sing pungkasan Tanti gandheng karo wong bule, banjur digawa menyang Bali, awake dadi lara-laranen, tambah kuru, tambah kuru.
Dheweke ambegan landhung. Wis ana sawetara kancane sing lara kaya Weni. Menur biyen ya ngono. Awake saya suwe saya kuru, banjur nglimpreg kaya jrangkong. Koran-koran geger. Meh kabeh Koran sa Indonesia ngemot fotone Menur sing kaya jrangkong. Menur keserang penyakit sing nggegirisi sing durung ana tambane. Menur banjur kapundhut dening Gusti Kang Maha Wikan. Setaun candhake giliran Prapti sing uga kena penyakir kaya ngono. Prapti uga ora ketulungan. Rong taun maneh banjur Yeni sing kena penyakit nganeh-anehi iki, AIDS!
Wektune sangsaya nyengkrek. Angin sumbirit ing stren kali iku nggawa rasa atis. Lan atise kahanan malah gawe semarake kahanan ing kono. Swara musik ndhangndhut saka warunge Pak Joiman sing pasang salon, gumonthang nambah semangate kang padha omben-ombenan. Ing pojok kana katon Eni lagi rerangkulan karo sawijining pemudha. Ing papan liya maneh katon remeng-remeng wong loro lungguh empet-empetan, mbuh sapa. Ing kahanan kaya ngono iku dumadakan krungu swara, “Obrakan …! Obrakan …!”
Noni ndengengek kaget. Weni uga mencolot kaget. Wong-wong padha mlayu-mlayu. Lan tanpa dikomandho maneh, dheweke lan Weni nyincingake roke dhuwur. Nanging cilaka, lagi bae arep mlayu, tangane wis dicekel dening Polisi Pamong Praja.
“Mandheg aja mlayu!” kandhane Polisi iku karo nyekeli tangane Noni kenceng. Kenthese dicaantholake ana sabuke.
Noni mberot. Nalika tangane sing dicekeli Polisi iku ditarik krasa abot amarga digandhuli, tangane sing digandhuli dijokake banjur disendhal. Polisi Pamong Praja iku tiba kejengkang. Noni banjur mlayu sipat kuping golek slamet. Sing dipikir mung siji, bisa slamet saka cakupan. Bisa kalis saka tindak tipiring (tindak pidana ringan). Mula playune diseputake, nuju papan sing lindhuk, lan nyoba ngedohi papan kono saadoh-adohe. [ 235 ]Ana satengah kilometeran anggone mlayu Noni. Nalika ana bemo liwat, dheweke nyetop bemo iku banjur nyengklak. Kringete dleweran. Ambegane krenggosan, dadi kawigatene penumpang-penumpang bemo liyane.
“Slamet ya, Mbak. Mau aku siwed (wedi) banget! Mbak Noni mau njrongkrokake Polisi ngasi njekengkeng.”
Noni noleh. Eni jebul wis lungguh ana pojok, iya adus kringet kaya dheweke. Make-up-e sing merok-merok luntur dening kringet. Sanajan mangkono, kaya dheweke Eni uga rumangsa lega atine. Rumangsane kaya lagi bae bebas saka pidana pati.
“Sia, En!” celathune Noni.
“Mbak Noni, terus arep menyang ngendi?”
“Polonia (mulih) En, terus situr (turu),” wangsulane cekak.
“Ora ngeber (golek mangsa)?”
Noni ora wangsulan. Bemo terus ngenthit nuju terminal kanggo mandheg sauntara, sadurunge nerusake laku maneh. Kaya lakune manungsa kang tansah ngalami godha rubeda sadurunge mandheg ing terminal akhir panguripan. Sauntara wengine terus nyengkrek. Kelap-kelip atine Noni kaya kelap-kelipe lampu sadawane dalan.
Teka kost-kostan Noni terus ngebrukake awake ing amben. Ujug-ujug awake dadi sayah, dadi lungkrah. Rumangsane kabeh-kabeh padha ngedohi. Wis ora ana papan maneh kanggo wong-wong kaya dheweke ing donya iki. Kamangka dheweke uga pengin urip lumarah ing satengahe bebrayan. Nanging ana tembok kandel kang misahake. Yen wong-wong kae duwe rasa tresna lan pengin ditresnani, dheweke mangkono uga. Yen wong-wong kae bisa nindakake akad nikah, dheweke mengkono uga. Nanging pengulu ngendi sing arep gelam nikahake dheweke karo wong sing banget ditresnani?
Noni ambegan landhung, kelingan kakange ing desa. Biyen kakange katon asih banget. Luwih-luwih yen ulangane oleh satus. “Kowe kudu luwih sregep Le, suk ben dadi guru, ora kaya Kakang sing saben dina mikuli gamping digawa menyang tobong. Aku sing bakal ngragadi, sanajan uripku Senin-Kemis.”
Mung prasaja gegayuhane kakange iku. Mung dheweke bisa dadi guru, dadi priyayi. Nanging rasa asihe iku banjur malik grembyang, nalika kakange weruh dheweke seneng macak, celaka, lan kanthi sesidheman nganggo klambine mbakyune. Sepisan pindho dheweke mung dielingake, nanging sawijining dina nalika dheweke bengi-bengi metu nganggo klambine mbakyune maneh, tekane dipethukake kakange kanthi mata abang angetirah.
“Kowe aja nyalahi kodrat, No!” kandhane, “Wis ping pira anggonku ngelingake?” Lan kakange nyaut pikulan. Pikulan sing saben dina dianggo [ 236 ]mikuli gamping iku digebugake awake pisan pindho, ping telu …. Embuh kaping pira dheweke ora ngerti, nganti pikulan iku tugel dadi loro. Tugelane isih panggah kanggo nggebugi dheweke.
“Adhimu mati nek kokgebugi terus!” kandhane emake. Kakange lagi mandheg anggone nggebugi bareng krungu kandhane emak-e iku.
Noni ambegan landhung, “Apuranen aku, Kang! Rumangsaku, aku ora nyalahi kodratku, kok. Ngene iki pancen wis kodratku. Aku ora bisa minangkani gegayuhanmu!” pangrintihe.
Dheweke bali kelingan nalika kanca-kancane padha nggoda dheweke ing sekolahan biyen, “Parno wandu …, Parno wandu ….” Lan wiwit iku dheweke wis terus ora gelem sekolah.
Jaya Baya, No. 01, Minggu I, September 2004
SAJERONING LENG
SunarkobaIng jaman reformasi iki kabeh pawongan bebas ngetokake unegunege ati. Saben uwong wani ngomong, saben uwong wani nylonong. Anggere bisa nggemprong-nggemprong atine rumangsa bombong. Ora mawas apa sing dituturake, butuhe mung nuruti hawa nepsune.
Wiwit wong pangkat nganti wong kesrakat, konglomerat apadene wong mlarat, akeh kang nalingsir saka paugerane Gusti Sing Gawe Jagad. Butuhe akherat ora dirumat, sing siperdi bangsa maksiyat, drajat, lan pangkat.
“Taun ngarep aku kudu nyekel panguwasa ing tingkat kecamatan. Mbuh nyekel Koperasi apa pengurus PGRI. Golongan tuwa ben ditutugake dhisik olehe nyekel panguwasa. Sedhela maneh rak wis out dari udara,” kandhane Pak Jupri karo sajak kemlinthi.
Pak Jupri sing dadi kepala sekolah anyaran, yen ngendikan pancen rada mlekitik. Jumbuh karo pawakane kang cilik, rambute brintik, senenge sok gawe serik. Nek utege pancene pinter, tandang gawene ya prigel, nanging tingkah polahe sing marakake mangkel.
“Taun ngarep apa wis wayahe pilihan ta, Pak?” pitakone Pak Marsaid karo nyedhaki Pak Jupri.
“Lha iya no. Masa jabatane rak wis telung taun, wis wayahe ganti. Karo meneh wong-wong kuwi rak wis padha pensiun,” wangsulane Pak Jupir karo nguwasi pengurus PGRI sing kebeneran liwat.
“Coba sawangen lan pikiren! Para penggedhe kae awake rak saya klimis tur begrak-begrak. Uripe bisa mblegedhu, awake nganti thiplu-thiplu. Kepriye kok arepe ora mbruwah iku, karang gaweyane ya mbelehi uwong.”
“Mbelehi uwong kepriye ta Pak, aku kok durung mudheng?” pitakone Pak Gik karo ndomblong nguwasi Pak Jupri.
“Lha, njenengan ki dibelehi saben sasi pa ra krasa ta, Pak?” wangsulane Pak Jupri tansaya semangat.
Krungu prekara beleh-belehan wong-wong padha nggrombol ngrubung Pak Jupri sing saya seru olehe kojah. [ 238 ]“Saben wulan, gajine awake dhewe iki dipotong kanggo urusan kesejahtraan. Kamangka gunggune guru lan penjaga sak kecamatan ki ora kurang saka patang atus uwong. Ping rong ewu mangatus, sak wulan wis nglumpuk pira? Iku yen sak wulan, menawa setaun, nggo wira-wiri apa ora mubra-mubru?”
Pak Gik sing wiwit mau mung meneng wae sumela atur, “Dhuwit semono iku rak kanggo ngurusi SK ta, Pak? Nggo wira-wiri lan akomodasi karo nggo mbeseli sing ana meja, rak ya wis klop ta, Pak?”
“Ngurus SK rak ora saben sasi ta, Pak? Karo maneh sing wayahe ngajokake tingkat kan ora bareng. Paling banter sak rombongan wong selawe utawa keh-kehe seket uwong. Kamangka tarikane ajeg saben wulan,” Pak Jupri nyoba ngyakinake.
Para guru sing padha ngrubung Pak Jupri padha meneng anteng, kabeh padha ngumbar gagasane dhewe-dhewe. Ana sing sarujuk karo gagasane Pak Jupri, nanging uga akeh sing ora setuju. Ngelingi yen Pak Jupri iku wong sing pinter gawe urikan.
Weruh kalodhangan sing apik iku, Pak Jupri saya ndadra olehe nyebar wisa, “Karo maneh, saben wulan wong-wong sing kawogan iku ya wis nampa blanja dhewe. Kok sik mentalane nyowok blanjane kancane, mung pawadan ngurusi nasib.”
Bu Sutambah sing yen nngendikan seru melu nrambul, “Nggo wirawiri lan nggo yasa blangko rak ya butuh ragat ragat ta, Pak? Karo maneh olehe ngurus rak ya ora sepisan dadi. Butuh bola-bali Malang—Surabaya. Yen arep diurus dhewe ora tambah sara?”
“Bener nggo ragat. Ning apa ya nganggo dhit sakmono kehe kuwi. Nek ditarekne anggota, wah …, wis mesthi dha ra sarujuk.”
Meruhi glagatsing ora kepenak, Pak Jupri tanggap ing sasmita, “Panjenengan ora susah sumelang, mengko aku dhewe ragate sing nanggung. Calon pemimpin kudu wani berkorban.”
“Inggih, Pak!” wong-wong mangsuli kanthi polatan sumringah.
Dina Minggu esuk, Pak Jupri olehe dandan jan necis, penganggone mlipis, rambute klimis. Bu Jupri sing ora pati sarujuk karo gegayuahne Pak Jupri nyoba ngelikake, “Pak, mbok ora sah ngaya-ngaya ta olehe kepengin dadi Ketua PGRI kuwi. Nek pancen rejekine mbesuk rak ya oleh wahyu dhewe, rasah dauber-uber kaya ngono kuwi.”
“Wis, wong wedok ra sah ngurusi butuhe wong lanang. Sing penting kendhile ra nggoling, gelase ra nganti garing. Ra usah muring-muring,” Pak Jupri mangsuli kanthi polatan mbesengut terus nggeblas nyengklak sepedha.
Tekan ngarep regol rumah makan Bojana Puri, Pak Jupri wis dipapag karo para Ketua perwakilan sing wis padha rawuh wiwit esuk. Kabeh [ 239 ]padha nyalami. Sepedhane dituntunake Pak Lamijo, diparkiake. Wah, pokoke jan disambut kadidene pemimpin temenan ngana kae.
Karo gumujeng seneng Pak Jupri ngacarani tamune, “Kene, ayo terus pinarak njero wae, njur pesen dhaharan sak kersane! Rasah sungkansungkan, sing ana ndalem dipesenke pisan nggo ndhodhog lawang. Rasah kuwatir, paling ra ngentekake tebu sak hektar wae kok ….”
Saliyane ngasta guru, Pak Jupri iku pancen sregep nyewa tanah kanggo nandur tebu. Mula, sadina-dinane sangune ya rada kandel. Olehe dhahar, nalika iku sajak sengkut banget. Batine sing padha dhahar, lumayan oleh gratisan, thik ra tanggung-tanggung. Budhal-mulih sangu diijoli, kathik isih digawani oleh-oleh. Wah, jan rejeki nomplok temenan iki.
Pak Jupri dhewe atine ya rumangsa kelegan. Awit manut palaporane ketua kelompok, kabeh wis ora ana sing nguciwani. Pilihan pengurus PGRI minggu ngarep mesthi bisa dimenangake.
Acara pemilihan pengurus PGRI tingkat kecamatan lumaku kanthi lancar. Panitiya olehe ngatur jan pinter tenan, karang wis padha pengalaman. Sing padha magang dadi pengurus pinarak ngarep jejerjejer kaya yen pilihan lurah ngana kae. Pak Jupri pinarak ana kursi nomer loro, jejer karo Pak Harsono, sing pinarak ing kursi nomer siji.
Bareng kabeh wis padha nyoblos pilihane, acara penghitungan suara enggal diwiwiti. Pak Jupri sajak ayem wae, kaya-kaya wis mesthi menange. Karo mirsani penghitungan oleh-olehan swara, Pak Jupri wis mikirmikir golek paraga sing kira-kira bisa diajak dadi pengurus PGRI.
Nanging, bebasan luput saka embanan, mrucut saka gendhongan. Asile penghitungan suara pranyata adoh saka pangangen-angene Pak Jupri. Saka patang atus swara luwih, pranyata sing milih Pak Jupri mung kurang saka satus swara. Ora cocog babar pisan karo palapurane tim suksese Pak Jupri sing wis keraya-raya diragadi.
“Kurang ajar! Aku diapusi!” Pak Jupri muring-muring karo nggoleki ketua perwakilan tim sukses.
Nanging sing digoleki wis ora ketara irunge, awit sadurunge penghitungan suara diwiwiti wis padha bali ndhisiki. Kabeh wis padha ngerti manawa Pak Jupri mesthi ora bakal menang ing pamilihan. Palapuran kang diwenehake marang Pak Jupri mung lapuran asal bapak senang. Sing baku kabeh wis oleh uang makan lan jajan.
Pak Marsudi banjur nyedhaki Pak Jupri sing lagi dheg-dhegan ana ngarep lawang, “Oalah … Pak, Pak …. Andekna oleh sampeyan umuk kok nganti kaya arep mecahna kendhangan kuping. Jebulane kok mung ngomplong tanpa wuwungan. Ngendikan panjenengan sing sok gembedhe kuwi mung tak ibaratake kongkang mangungkung sak njeroning leng. Swarane sora, ning babar pisan ora ndayani.
Jaya Baya, No. 52, Minggu V, Agtustus 2004
Angger byar padhang, presasat ora ana wong ana ngomah. Pating blesar mrana-mrene, pinangka tengere wong urip. Wong urip kang merlokake kecukupan. Ora ketang ya mung mangan sewaregan. Nyandhang apa anane. Maneka werna obahe wong-wong ndesa iku. Ora nggagas ndhekok ana ngomah, jare. Omah mung kaya dene selembar godhong jati sing kanggo ngaso sawatara.
Ngerti wong-wong padha sumebar dhewe-dhewe iku Trimo malah mung ndomblong. Mripate cowong. Ora mikir apa-apa. Arep golek apa wong-wong iku, batine. Wiwit metu saka anggone nyambut gawe ing panggonane juragane tobong gamping kulon kali kae, angger byar padhang dheweke mung thenguk-thenguk ana ngemper, nyawangi wong-wong kang padha liwat. Wong-wong mau ya sok ana sing ngaruh-aruhi. Ewa dene Trimo ora mangsuli. Yen wis sepi wong, banjur nggloso ana ngemper iku, nganti sedina keceput. Ora eling adus, ora eling mangan, ora eling apa-apa. Trimo pancen nandhang lara dhepresi wis telung taun iki.
“Gek piye ta, Tri! Awakmu iku isih jaka. Yen ngono terus gek piye mbesuk. Kabeh wong ngandhakake awakmu. Lha wong enom kok saben ndina wiwit esuk tekan sore kok mung ngonoooo wae. Apa gek ya ora mikir omah-omah, mbesuk. Apa ora mikir kepiye olehe arep nyukupi butuh?”
Emboke, Mbok Sutik angger-angger nguneni Trimo. Saben nyawang anake lanang sing thonga-thongo iku rasane pancen semremet. Kon ngresiki jogan malah terus jedhar-jedher, nyabet-nyabetake lawang. Nyelehke kursi ya dhar-dher. Ndokok sapu ya sruwung. Mbalekake jungkat ya klothak. Tebah-tebah uga kemrompyang. Kaya oreks bambu kae.
“Cara wedoka ngono wis takkon nyang planyahan kana wae, Tri! Ngapa! Angger-angger mung megog-megog. Nggagas sing ora nyata. Mikir sing ora ana. Nggetuni sing wis kelakon kaya wong amleng. Huh! Ke, kanca-kancamu wis dha dadi uwong kabeh. Bagong dadi DPR, Werta dadi bupati. Huh, ngowoh!” [ 241 ]Trimo panggah meneng wae. Suwe-suwe malah luwe terus tumetes tas-tes. Ndlewer menyang pipi. Banjur bali nggloso karo kethap-kethip. Wingi kumat bingunge. Lungguh ngadeg, lungguh ngadeg, mubengmubeng. Ora jenak lungguh. Sawengi ora bisa ngliyep. Sambat-sambat, ning sapa sing arep nulung. Resepe dhokter wis entek pirang puluh lembar wae? Dhukun? Embuh pirang bal, teh karo rokok. Menyang kiai? Pirang puluh kebet donga karo pirang puluh jrigen banyu putih, iya wis dientekake. Anggere lingsir bengi, Mbok Sutik uga nganti kentekan sebut.
“Gusti Allah, gek ya dosa napa sing tak sandhang niki. Ndhisik aku sing lara nganti pirang-pirang taun. Njur saiki? Lagi sedhela wis genti Trimo. Ya wis, yen pancen kudu kaya ngene panandhangku,” Mbok Sutik mingseg-mingseg, najan biasane judhese kaya bledheg.
Jane kuncine ya ana dheweke dhewe. Angger dheweke isa sadhar marang kanyatan, penandhange enggal bakal entuk tamba. Lha ning ngerti bocah lara kaya ngono, karo mboke kuwi malah kerep digetak-getak. Diunek-unekake, dileh-lehake. Dadine, ditambanana entek pirang kwintal kae, ya tetep kaya ngono kuwi. Ya piye maneh wong mboke ngertine mung sawah. Besik suket. Nggendhongi rabok. Nganti kuluk. Rambute sing wis putih pating slawir kaya riwug. Kathik sing lanang ya wis ndhisiki ninggal donya.
Bedhug-bedhug Mbok Sutik bali saka sawah. Gawane ngregiyeg. Senik semono gedhene kebak mencep-mencep. Isine lethong garing ditutupi godhong mlandhing setekem.
“Isih mblenjer wae kuwe kuwi, ya Mo? Ora krungu wedhus pating glembor kae? Nggadhuh cempe wae lanang. Mbok ya disenggrutsenggrutake godhong gedhang kono! Iki, brukana godhong mlandhing kana! Wong kok ora nggagas Triii, Trimo. Kok kebangeten. Mungguhna wetengmu sing ngelih ngono apa ya ora klabakan. Dadi wong ki mbok ya sing kaya wong. Pilangmbara wong gerang teka mbok ya dilerke wedang. Gek arep dadi apa ta Mo, kowe mbesuk? Lara ya lara. Ning kapan marine nek mung kok enggo turu karo kethap-kethip, ndlongop…. Adus, nek rung bedhug rung adus. Nyapu-nyapu jogan meneh gelema. Sambate mung le bingung. Jude, mangan ya doyan! Judheg, aku ngrasakake awakmu!”
Karo ngebrukake senik ing tritisan omah pawon embokne wis ngunen-uneni maneh. Ora nggagas rambute sing awut-awutan. Kringete sing kaya wong adus. Roke sing wis suwek kesempyok angin. Sedheng kotange wae wis pethot sesisih gantilane. Lethong dibrukake neng latar kareben garing, kena-kena kanggo urub-urub. Senik diuncalake natap lincake Trimo. Godhong mlandhing dibrukake wedhus.
“Trimo! Krungu ora, enek wong muni-muni ngene iki?” jelihe mbokne Trimo. [ 242 ]“Krungu lho, Yung! Witikna piye aku iki. Awakku lara, rasane kaya dijur-jur. Turu ae, ra isa lho. Aku iki bingung arep ngapa. Dhadha gemeter, sirahku abut klepyur-klepyur kebak barang kemrembyah. Mlaku ae, genah senthawingan ngene lho, Yung,” sambate Trimo.
“Mula ta mula. Dadi wong ki ra sah neka-neka. Nyambut gawe wae metu. Gek ya apa. Jebolan SMP wae. Thonga-thongo saben dina. Salahe sapa lara. Garapane nangis. Tangi nek srengengene durung segenter durung tangi. Njelehi. Ya wis gek rabi kana wae yen anu!”
“Rabi! Sapa sing gelem karo aku!”
“Ya, miliha dhewe kana, sapa?”
“Pa ya ana, Yung. Nyambut gawe ora. Biyung ya mlarat ngono!”
“Ya golek bojo sing sugih no!”
“Wong sugih iku jarene jodhone ya wong sugih.”
“Ya wis nasibmu, Tri. Kawit cilik nyat mung enek-enek wae. Arep mlungker wae, ya wis karepmu kono. Rep ngempeng terus biyungmu ya karepmu. Aku wis ora sabar ngurusi kowe. Bola-baline ya aky dhewe sing luput. E…, bapakmu dhek emben kok ya ninggal ta, Tri. Wong lanang ora tanggung jawab. Bojone rekasa, anake lara, kok ya mati. Apa nek wis ngono iku penak?”
“Apa, Yung?” takone Trimo.
“Eh, lambe … lambe! Lambeku dhewe iki lho, Tri. Iya …, iya…, iki maeng rak Ahad, ya? Ahad Pon, he?!”
“Iya Yung, jare arep ana sesorah carane coblosan. Mengko biyung durung bisa nyoblos.”
“Gene mudheng?”
“Ning, apa ora wis telad, Yung?”
“Ya ben. Sing penting entuk moto karo sabun. Ra sah aneh-aneh. Wong cilik wae arep ngapa.”
Rumangsa wayahe wis telat, Mbok Sutik age-age menyang kolah. Njur wat-wet kathokan dawa, nganggo baju kurung lan kudhungan telesan saka Bu RT. Nyaut sega sekepel, njur budhal.
Tekan apapn sing dituju pancen wsi telat tenan, dheweke mung mandheg ing kerun. Lawange Ketua RT-ne wis tutup. Mung ketok gambare kandhidhat kadhus cacahe telu gedhe-gedhe. Ngisore diwenehi tulisan werna-werna. Mbok Sutik mandengi gambar kuwi ora kedhepkedhep. Ujug-ujug wetenge mules. Njur mlayu bali.
Durung nganti tekan ngomah dumadakan gumebrug. Awake diroyong-royong wong pirang-pirang, digawa menyang ngeyupan. Ana sing golek lenga karo dhuwit kerokan. Dikeroki. Ana sing ngepeti nganggo capil. Ana sing mung nginguk sedhelet njur bali lunga. Ana sing nguyeg-uyeg dhengkule nganggo remason. Lan ana sing mijeti dlamakane.
Mbok Sutik mungkuk-mungkuk, ning njur bisa muntah. [ 243 ]Lho! Mbok Sutik kok mutah-mutah. Mengko gek …. Mbok Sutik!” kandhane salah siji wong ndesa iku.
“Iya, ya! Kamangka wis ora duwe wong lanang …,” penyaute liyane.
“Lirih-lirih wae! Sapa maneh nek ora Kadhuse. Aku wis apal. Wis kaping papat dheweke ora ditarik pajek. Dhek entuk borongan hibah sekolahan kae meh saben sore mrono. Jaman wis owah barang kok ya isih kaya ngono wae olehe ndandani. Ben, ben akeh turahane. Mang iki nyalon maneh. E …, wong ya ben isa mblanja Mbok Sutik terus!” sambunge liyane maneh.
“Wis, uwis! Saiki kabeh wis bubrah. Mawut, kabeh wis sarwa ngawut. Jan edan-edanan tenan …!”
“Ilatmu ndower iku apa!”
Dumadakan Mbok Sutik mak gregah. Terus nggetak-nggetak, “Minggat kana, dha minggat kana! Minggaaat …! Ora kok upakara aku ora apa-apa. Ilat nek ilat turah. Reka-reka ngrukuni, rak mung arep nyekel awakku ta? Kae nek arep kepengin mendem, entukku mbenem tela mblubukan kae maeng. Entekna! Ben ora ndoweeeer …!”
“Sepurane lho, Mbok!”
“Sepura-sepurane apa! Tuman! Wong ndesa senenge nek ra rasanrasanan ya gawe-gawe. Sudi pa aku karo bedhugel kae!”
Nyawang Mbok Sutik nesu kaya ngono, wong-wong padha wedi. Njur padha bubar nglungani sawise Mbok Sutik ngadeg karo malang kerik.
Tekan emperan, nesune tambah-tambah bareng weruh Trimo sambatsambat. Lungguh, niba nyang lincak, tangi, pindhah mlebu, njenggelek maneh, menyang emper, niba maneh nyang lincak, njur bali tangi.
“Yung, piye ta Yung, iki?”
“Kumat!?”
“Yung, yuh …, yuh …. Piye iki?”
Mbok Sutik saya ora sabar ngurusi. Tangane Trimo terus digeret.
“Tung, yuh …, yuh …. Piye iki, aku aja digeret. Yuh …, yuh ….”
“Budiya sakarepmu!”
Trimo sing digeret kang polahe kaya wedhus arep diguyang. Nganti tekan ndalan. Ing dalan-dalan kebak poster, foto-fotone kandhidhat Kadhus. Seminggu engkas ing desa kepencil iku pancen arep enek coblosan, milih Kadhus anyar. Saben calon wis ngentekake wragat yutanan kanggo nglumpukake dhukungan. Embuh mengko, yen wis dadi apa cucuk karo kelangane. Paling-paling mengkone rak golek pulihan.
“Wis, gek ayo. Ra sah nyowang-nyaweng. Arepa si Bodong apa si Monyong kae sing dadi Kadhus, nek ra eker-eker dhewe pa isa kisenan sega wetengmu!” swarane Mbok Sutik isih nggetak-nggetak.
“Yuh …, yuh …, yuh …. Iki arep menyang ngendi, Yung?”
“Kowe arep tak guwak!” [ 244 ]“Kok ora biyen, bareng aku isih bayi? Sokur dicithes sisan, Yung!”
“Criwis!”
Tekan saweneh papan. Mbok Sutik nothok lawang. Lawang menga.
“Pak Dhokter, beloken wae bocah iki!”
Dhokter iku nggeret Trimo. Dilebokake kamar mburi sing madhep menyang kebon, lan lawang iku banjur digembok!
“Nek pengin pipis lan apa-apa, menceta bel iki ya!” kandhane dhokter iku.
Trimo ora wangsulan. Lemes, awake njur dibrukake ing dhipan. Ora kober nyawang kebon mburi sing remik-remik, sing ana manuke dara rebutan jagung. Mripate mung kethap-kethip. Lan ya wis ora bisa takon geneya kok ….
Jaya Baya, No. 03, Minggu III, September 2004
Urip lan panguripan manungsa kuwi, gampang banget malih rupa. Kaya kadadeyan ing impen. Mengkono kang dirasakake Tajud nalika diundang Pak Lurah, dikon mara menyang kantor desa. Dheweke babar pisan ora ngira yen bakal entuk undhangan resmi saka kelurahan. Ora nyangka yen Pak Lurah bakal meruhi jenenge ing antarane maewu-ewu warga. Ndadekake rasa mongkog jroning dhadhane. Luwih-luwih bareng ngerti kekarepane Pak Lurah.
“Sampun gojeg ta, Pak. Menapa nggih patut kula dikersakaken ndherek mbagekaken rawuhipun Pak Menteri?”
“Paedah apa ngajak kowe gojeg, Jud. Aku ora goroh. Pak Menteri pancen arep rawuh neng desa kene, seminggu maneh. Yen ora percaya, iki wacanen layang saka kabupaten,” Pak Lurah ngulungake kertas saksuwek, sing ditampa lan banjur diwaca dening Tajud.
“Nanging kenging menapa ingkang kajibah mbagekaken Pak Menteri menika kula? Ing desa mriki rak kathah tiyang-tiyang ingkang langkung pinter-pinter. Malah ingkang kagungan gelar sarjana mboten namung setunggal kalih.”
“Iki wis dadi mupakate krawat lan sesepuh desa. Kabeh wis sarujuk yen kowe mengko sing dadi wakile nom-noman.”
“Kula menika saged dipunwastani pengangguran lho, Pak. Pendhidhikan nggih namung tamat SMU.”
“Nanging kuwi nduweni kaprigelan ing babagan seni peran. Aku weruh dhewe, merga nate nonton anggonmu main drama rikala acara lepas pisah murid-murid sekolah. Aktingmu istimewa!” pangalembanane Pak Lurah.
“Lajeng sesambungaipun kaliyan rawuhipun Pak Menteri menika, punapa?”
Krungu pitakone Tajud, Pak Lurah banjur mbeberake sawernaning rancangan kanggo mahargya rawuhe Bapak Menteri. Ora lali nerangake jejibahan kang kudu diayahi Tajud, yaiku dadi Ketua Karang Taruna, jabatan sing babar pisan durung tau diimpekake. Ora merga dheweke [ 246 ]ora seneng melu organisasi, nanging merga organisasi karang taruna, wiwit dheweke durung lair nganti tumekane saiki, durung tau ana ing desane, kejaba mung ing laporane Pak Lurah marang ndhuwurane.
“Tugas iki nantang bakat kaliuwihanmu main sandiwara. Mula kowe mesthi bakal seneng nindakake. Kejaba saka iku, mengko yen kowe kasil, kowe bakal antuk pakurmatan dadi warga teladhan amarga wis melu ngangkat jenenge desa kene ing forum nasional, lan aku ora bakal nglalekake sakabehing lelabuhanmu,” janjine Pak Lurah.
“Kadospundi bab unit kerja lan usahanipun Karang Taruna, Pak?”
“Kuwi sepele. Kawrat desa mengko sing ngatur, methuki kabeh warga sing nduweni usaha. Banjur kanggo sawetara wektu papan usaha mau disilih desa, lan diwenehi plang kanthi tulisan Unit Usaha Karang Taruna Desa,” ujare Pak Lurah njelaske. “Tugasmu mung siji, ngapalake naskah skenario, sing isine ngenani sembarang kang kudu kok aturake ana ing ngarepe Pak Menteri, mengko wancine acara temu wicara!”
Tajud ngumbar eseme nalika ninggalake kantor desa. Atine marem, seneng nampa kesempatan lan rejeki sing tekane ora dinyana-nyana iku. Kamangka, sadurunge dheweke ora tau nampa wangsit , ora nate entuk sasmita, apa maneh ngati meruhi tumurune pulung.
Tajud babar pisan ora ngira, keprigelane main sandiwara sing disinau nalika sekolah biyen, saiki migunani, lan bisa ngangkat drajate. Ndadekake dheweke bisa kepilih dadi Ketua Karang Taruna, makili nomnoman sadesa, methuki lan bakale wawan rembug kelawan Pak Menteri.
Swara slendrone bocah kuwi keprungu alon, nembangake lelagon sing ora karuwan judhule ing sadawaning dalan mulih. Pikirane nglambrang, mbayangake prastawa gedhe sing bakal dilakoni. Sauntara iku, tengane ora leren-leren anggone ngusuk-usuk sak clana sing saiki kisenan dhuwit pawewehe Pak Lurah.
Gancaring crita, prastawa sing diantu-antu kuwi klakon teka. Skenario sing wis diapalake nganti nglothok, kelakon dimainake nalika adhep-adhepan karo Bapak Menteri. Mesthi wae dikantheni improvisasi ing kono-kene, kareben bloking, obahe awak, iramaning swara, uga ulate katon nyakinake, lan ora ketara digawe-gawe.
Nalika teka wancine temu wicara, kanthi swara mantep Tajud mbabarake sawenehing potensi, kaluwihan sing diduweni para mudha ing desane. Uga sawenehing cara kang wis ditindakake Karang Taruna kanggo menehi ajang para mudha. Kabeh iku ukara apus-apusan kaya sing ana jroning naskah skenario.
Tajud ora ngerti apik orane sandiwarane sing dimainake. Ora ngerti sampurna orane anggone mragakake tokoh Ketua Karang Taruna. Nanging dheweke rumangsa lega bareng krungu swara keplok sing mbata rubuh, saben dheweke nggedhegake ukarane. Apa maneh Bapak Menteri [ 247 ]manthuk-manthuk, sajak nggatekake. Ndadekake bocah nom kuwi sangsaya semangat anggone ngobral ukara.
“Kanthi rekadaya piyambak, sarta pitedah saking kerawat desa, utaminipun Bapak Lurah ingkang mboten waleh-waleh paring pambiyantu, wiwit saking moril dumugi materiil, ndadosaken sedya unit usaha binaanipun Karang Taruna, saget lumampah kanthi sae. Nanging sedaya usaha ingkang sampun lumampah menika, pranyata dereng saget nyukani wadhah dhumateng sedaya potensi lan kreasinipun para mudha ing desa mriki. Amargi saben taun sangsaya kathah para mudha ingkang namataken sekolah lan mboten saget nerusaken dhateng pawiyatan luhur, amargi mboten nggadhahi biaya. Ndadosaken Karang Taruna rumaos perlu ngedegaken unit-unit usaha enggal malih. Pramila, kula nyuwun kawicaksananipun Bapak Menteri, supados kersa paring pambiyantu, arupi sarana utawi prasarana, kangge ngrembakakaken unit usaha enggal menika,” ora beda karo bakul obat ing pinggir dalan, Tajud ngobral omongan kanthi makantar-kantar, kaya sing dadi pesene Pak Lurah.
Tajud sing ora ngira babar pisan yen panyuwune bakal kinabulake, gage-gage nyusun rancangan kanggo migunakake barang-barang bantuwan pemerintah iku. Dheweke kepengin ngedegake Karang Taruna sing temenan. Dudu mung Karang Taruna fiktif kaya sing ana jroning lapurane Pak Lurah sasuwene iki.
“Apa dikira gampang ngurus barang semono akehe?” kandhane Pak Lurah nalika Tajud mbabarake rancangane.
“Kersanipun Pak Lurah?”
“Anggepen wae panyuwun sing kokwedharake nalika acara temu wicara sasi kepungkur kae ora dikabulake. Kowe ora usah mikir wernawerna. Luwih becik mikir awakmu dhewe sing isih durung duwe pegaweyan. Lan dhuwit iki mbokmenawa bisa kokgawe tambahan modhal,” ujare Pak Lurah sinambi ngulungake sepuluh lembar dhuwit atusan ewu.
“Lajeng barang-barang bantuan saking pemerintah menika, kados pundi, Pak?”
“Kuwi urusanku!”
“Nanging barang-barang menika rak gadhahanipun Karang Taruna, Pak?”
“Karang Taruna sing endi? Ing desa kene iki apa nate ana organisasi sing jenenge Karang Taruna? Anane rak ya mung ana njero kertas-kertas lapuran.”
Tajud kamitenggengen krungu ukara-ukara iku. Senajan ora diterangake luwih dawa maneh, dheweke ngerti apa maksude. Pak Lurah arep ngehaki barang-barang duweke desa iku. Tajud rumangsa mangkel, nanging dheweke ora ngerti carane ngudhar rasa mangkele. Dheweke pengin protes, nanging sapa sing gelem ngrungokake pangudarasane [ 248 ]bocah enom sing durung nyekel pegaweyan kaya dheweke iku? Salahsalah protese malah njlomprongake awake dhewe.
Kapeksa Tajud mung bisa mendhem rasa mangkele, kanthi nuhoni apa kang didhawuhake Pak Lurah. Mikir golek gaweyan, golek dalane urip, kanthi migunakake dhuwit sayuta rupiyah paweweh saka Pak Lurah, amrih bisa dienggo modhal nyambut gawe.
Tajud pengin nglalekake kedadeyan sing nganyelake mau. Mung arep mikir kahanan pribadine, kareben enggal mentas, lan ora ngriwuki wong tuwane. Dheweke wis arep lunga menyang kutha, golek gaweyan.
Nanging, sadurunge rancangan kuwi kaleksanan, awan-awan omahe ditekani dhayoh loro sing nggawa surat penangkapan. Tajud sing durung ngerti salahe mung plenggang-plenggong sinambi takon, “Lepat kula menapa, Pak?”
“Ndadak takon barang! Apa kowe ora ngrumangsani yen wis nate ngapusi Bapak Menteri, banjur nggawa mlayu bantuan pemerintah kanggo Karang Taruna.”
“Sanes kula ingkang nylewengaken bantuan menika, Pak. Nanging Pak Lurah!” kandhane Tajud ngengkel.
“Kowe kuwi wis nyolong, isih arep gawe-gawe omong. Ayo! Melu menyang kantor Polisi.”
Kanthi dikawal Polisi loro, Tajud lumaku ninggalake omah. Sepisan iki, sing dialami Tajud dudu sandiwara.
Jaya Baya, No. 46, Minggu III, Juli 2004
Pawakane sedheng, ora gedhe ora dhuwur. Lemune lumrah wae. Dakkira yen maem biasa ora akeh ya ora sethithik. Soinah mono randha ayu tur isih enom, mula diarani dadi kembang desa. Sakrunguku akeh jaka sing ngayunake, pengin ngrengkuh diajak omah-omah. Apa sebabe kok ora ana sing ditampa, aku ora ngerti. Kesugihane sedheng-sedheng wae. Senajan ora moncer banget ya ora kalah karo tangga teparo sing sesomahan. Soinah iku nginang, yaiku mamah suruh, jambe, injet, utawa apu, lan susuran mbako. Lambene tansah abang mblenger. Untune ireng rintik-rintik. Sehat ora tau lara untu. Dadi untune utuh, yen mesem nambahi ayu lan pantese, mula akeh sing dhemen karo Soinah.
Soinah iku gaweane bebakulan ing pasar-pasar. Dina Pon kulakan menyang pasar kutha, dina Wage pasaran dodolan ana pasar sacedhake omahe ing Kecamatan Pule, dina Kliwon ing pasar Dongko. Dodolane Soinah sandhangan dadi, kathok, klambi, kebayak, sarung, lan sapiturute. Nalika jaman semana durung ana tetumpakan kaya dene sepedha montor apa maneh mobil. Yen menyang pasar isih kudu mlaku dalan setapak, dagangane diburuhake mikul utawa dimanolke. Soimah sing dadi bos nginthil ing mburine sing manol. Lelorone sedalan-dalan ngganyik omongomongan sakecandhake, dadi ora kasepen beda yen mlaku padha ijen.
Dina Kliwon pasaran menyang Dongko budhal jam 03.30 utawa jam 04.00. Tekan pasar jam 07.00. Pancen lakon saka Pule tekan Dongko watara telung jam iku lakune santai, yen rikat ya rong jam utawa rong jam setengah. Baline jam 12.00 tekan omah jam 15.00 utawa jam 15.30. Bisa molor utawa mungkret manut kahanan lan mulus orane lakune, bisa uga kewengen. Sing penting ora kesurupan utawa ora nganti nginep, senajan wengi kudu ditekakake ngomah.
Pengalamane Soinah cukup jembar. Ora akeh bedane karo wong lanang, kayata, main kertu, udhu dhadhu, kertu listrik, ceki, lan dhomino. Iku kabeh wis dadi pakulinane. Yen ana jagongan Soinah ora tau absen, iker saklasa sameja karo botoh main wong lanang-lanang senajan Soinah dhewe ora dadi botoh. Yen togel dheweke ora kenal awit nalika semana [ 250 ]sing ana SDSB. Dheweke ora dhemen kepara ora gelem nembak awit SDSB iku songkak tegese sing kosong dibukak, mulane sing udhu utawa sing nembak akeh lupute lan kerep kalahe katimbang menange. Senajan yen menang entuk-entkane tikel ping 75, Soinah ora kepengin udhu utawa nembak. Diiming-imingi kanca ya ora kenyut gah melu.
Nalika semana mbeneri dina Akad Kliwon pasaran Dongko. Jam 13.00 Soinah bali saka pasar, manole dikon bali dhisik, dheweke arep mampir omahe kanca bakul.
“Kang Mangil, sampeyan baliya dhisik, mangane njupuka dhewe ora sah ngenteni aku. Aku mampir nggone Yu Jumilah, jagong sunatan,” kandhane marang si Manol Mangil.
“Nggih, Yu, mangke napa nginep? Nek kewengen mangke kula susul.”
“Ah, ora. Mung sedhela, kok. Apa maneh awakmu rada kesel, perlu ngaso sing cukup,” mangkono semaure Soinah kalem nyenengake sing krungu.
Wis cedhak omahe, olehe jagong wis cukup. Soimah enggal bali, ora nganti kewengen. Saka kadohan ketara wong krompol-krompol, embuh apa sing dirubung.
“Napa, Kang sing dirubung nika?” takone Soinah marang wong kang mentas melu ngrubung. Lakune direkatake supaya enggal weruh ana apa kok akeh wong. Mengko gek ana bab sing penting sing perlu pitulungane. Pancene mono Soinah iku wong loman, seneng tetulung.
“Ana apa Kang kok akeh wong, ngarep kae?” pitakone marang wong kang lagi ninggalake papan kono.
“Niku lho, Bu. Enten tiyang kitha sugih yatra mbandar Doleh—sing landa sing oleh—. Tiyang-tiyang niku sami kalah. Bandare menang terus. Banjete pinter omongane menarik. Milane tiyang-tiyang sami kepencut njur sami udhu.”
Lakune Soinah dirikatake supaya enggal tekan panggonan doleh iku. Bandare doleh dhuwite akeh sing udhu kalah kabeh, ewa semana sing ngrubung isih akeh. Soinah satekane kono saya ngangseg olehe nyedhak. Terus uwak-uwik ngetokake dhuwit melu udhu. Pisan, pindho udhune dikukup bandare. Soimah tenang wae ora duwe rasa emosi senajan kalah. Disengaja udhune mung sithik-sithik.
Bandar doleh nglirik kanthone Soimah sing akeh isine. Tembunge sajak ngece lan nyepelekake, sajak mancing-mancing supaya Soimah olehe udhu luwih akeh.
“Wong wedok kok udhu doleh, apa ya isa, mbok dhuwite dingehne bandare kene wae. Sokur karo wonge pisan!”
Soinah isih tenang-tenang wae, malah genti takon, “Mas, upamane sing gambar Landa niku kula bukak dhewe napa angsal?” takone.
“Lho, angsal mawon! Napa malih sing mbikak wong ayu. Wah …, mesthi oleh.” wangsulane si Bandar kelegan atine. [ 251 ]Soimah sing wis pengalaman nekek prekara kertu, sing gambar Landa dibukak alon-alon nganggo drijine sing abang kena dubang kanggo nengeri kertu Landa mau. Mung lamat-lamat nanging ana rupa abang ing kertu iku. Sing weruh lan ngerti ya mung Soinah dhewe. Anggone main doleh lumaku terus tanpa ana sujana si Bandar. Soinah udhu mbaka sithik dipenerake kertu sing ora nganggo tenger kanggo ngawoni si Bandar ben ora dicurigani olehe nengeri nganggo dubang mau.
“Mas, niki kula pun kalah kathah, paling mboten ben udhu kula mbalik, nggih kalaha sithik, napa nggih dibayari nek udhu kula pener?” takone Soinah.
“Lho, mesthi mawon, empun ta pinten angsale udhu nek pener mesthi kula bayari, apa maneh sing ayu, nek perlu ditambahi dienggo bonus,” pangecene bandar kuwi. Kanthi sareh Soinah mbukak kanthong, ngetokake dhuwit kanggo udhu maneh, cucuk karo dhuwit sing diadhep bandar. Tenger abang disetitekake tenan aja nganti kleru. Bareng wis mantep tenan banjur diudhoni saakeh-akehe.
“Pun, sampeyan bukak piyambak, nek samar kula apusi,” kandhane bandar, sajak kelegan ngira Soimah yen mesthi kalah, dhuwite entek. Soinah mbukak kertu alon-alon ora duwe rasa was-was babar pisan. Pranyata sing diudhoni pener, dadi dheweke menang. Bandar doleh slemengeren sedhela, banjur ninggalake papan kono karo grenengan. “Wah, jaian edan tenan! Mosok wong ayune kaya ngana lha kok tukang main sing nekek. Ora ngira babar pisan yen udhune pener. Anggitku mesthi kalah, lha wong aluse kaya ngana, kaya piyayi solah bawane lan tetembungane.”
Bandar doleh lunga semprung. Ubarampe mainan lan dhuwite ditinggal ora disrahake sing udhu. Malah sing menang banjur ngringkesi dhuwit lan ubarampe mau. Dhuwit dietung, pranyata luwih akeh katimbang dhuwite Soinah dhewe. Mula saperangan saka kaluwihane mau banjur didumake marang wong-wong sing padha kalah sadurunge Soinah tekan kono.
Wong-wong senenge ora karuwan merga ora sida kalah, kalahe dibalekake karo Soinah. Lan sanadyan akhire menang akeh, nanging Soinah ora sombong. Ora ngedir-ngedirake yen duwe dhuwit akeh.
“Matur nuwun Bu, matur nuwun Bu, kula mboten sida kalah, Ibu sing mbalekne. Sepisan malih, matur nuwun, Bu,” kandhane wong-wong mau.
“Nggih, padha-padha, liya dina nek enten Bandar doleh malih, ampun diudhoni, nggih. Tiyang niku ngoten pintere mboten ilok. Nek sampeyan mboten pinter-pinter tenan, dhuwit sampeyan lha mbok nggih sacikrak mesthi telas. Banjete lek ngomong lemes lan manis. Arang-arang tiyang sing mboten padha dadi kepencut. Mula sampeyan wau nggih bola-bali [ 252 ]nggih mung tansah kalah-kalah mawon. Kalah sedaya, mboten enten sing bisa menang,” kandhane Soimah karo pamitan arep ninggalne papan kono mbarengi wengine saya cedhak, lan kahanan sakiwatengene kono wiwit dadi sangsaya saya peteng.
“Enggih empun, kula pun kapok saestu, Bu. Mpun mboten ajeng nomboki Bandar doleh niku malih. Sakniki kula sampun ngerti yen diapusi kalih tiyang nika wau. Liyane niku, kula nggih empun mboten ajeng mainmain malih. Kula pun pitados sakniki yen mainan napa kemawon niku mboten badhe kenging kangge ngingoni anak bojo. Napa malih kok bakal bisa ndadekake sugih,” kandhane wong-wong mau meh bebarengan.
“Lha nggih sokur nek ngaten, bumi kalih langit empun sami nekseni lho, nek sampeyan empun sami mboten ajeng sami main malih. Sing langkung sae pancen nggih ngoten niku. Mpun mboten sisah main mawon, boten usah udhu SDSB. Sampeyan sedaya kajenge uripe saget tentrem,” kandhane Soimah sadurunge ninggalake wong-wong mau.
Jaya Baya, No. 02, Minggu II, September 2004
Bocah cilik iku isih rumangsa gela marang kahananing omahe sing kosong tanpa bapak lan emak, sing lunga tanpa kandha. Lunga embuh menyang endi. Gegeran kaya mangkene iku satemah wis asring disekseni. Mung sing nembe saiki kahanane dadi bubrah temenan. Tanpa dingerteni jalarane. Mangka wong-wong iku wis sepuh, mangkono pamikire bocah iku.
Nganti ora krasa jebul wengi wis sangsaya wengi, mangka wetenge sing kroncongan uga wis saya luwe. Bocah iku kaget. Kaget ya gene kok wiwit awan mau wetenge durung kelebon sega. Arep jajan ora duwe dhuwit. Dumadakan sumedhot atine. Krasa perih, perih yen ngelingi dinadinane sing wis kawuri.
Iya, wengi iki, wengi sing marakake bocah iku kaya mentog pamikire. Mikir piye carane golek pangan dhewe tanpa wong tuwa. Akhire bocah kuwi bali mlebu ngomah, lan nemu glathi kang kumilat kena cahyaning listrik. Sajak kaya nemu wisik yen glathi iku bisa kena kanggo golek pangan, goleh sandhang lan bisa keturutan apa sedyane, dheweke banjur metu saka ngomah.
Banget bungah atine, makantar-kantar semangate. Angin nyisir rambute lan ngelus pipine kang pucet. Kendharaan sing gereng-gereng, klakson sing pating crothet, pratandha yen dheweke wis mlebu wewengkon terminal. Sakehing menungsa lan kendharaan kang sarwa sibuk, kang sajak ana sing lagi dioyak, kanggone bocah iku marakake bingunging pamikir. Ora ngerti babar pisan apa jalarane wong-wong lan kendharaan iki kok nganti kaya ngene sibuke?
Bocah iku banjur nyedhak. Jangkahe kandheg sawatara jalaran ana petugas ing peron sing njaluki karcis marang wong-wong sing liwat. Bocah iku mundur ngedohi. Lungguh ana papan sing ora sinawang petugas jaga peron. Ana agas mabur saka bokonge. Ana ganda badheg saka got sing mampet. Ana lawa mabur ngliwati sirahe, muter-muter banjur cemlorot adoh embuh menyang endi parane. Nalika rembulan ing langit lagi gegojegan karo lintang, eseme narik kawigatene bocah iku. [ 254 ]Senajan wetenge lagi kroncongan, nanging bisa rada kasirep nalika dheweke mikir lan rumangsa yen kanthi glathi iku bengi iku dheweke bakal bisa entuk dhuwit. Iku tegese ora bakal mati kaliren. Mula mripate kang maune sumunar landhep, malih anyep. Ngrasakake kekuwatane kang kaya dilolosi alon-alon saka njero awake. Sing pungkasane banjur dadi lemes. Puyeng sirahe.
“Yen mbulan iku dadi wingka utawa permen utawa sega, mesthi dakpangan,” mengkono panggremenge.
Swara-swara bis, dirasakake sangsaya suwe sangsaya nglarakake kupinge. Kaya bledheg mangsa kasanga. Senajan bocah iku mbudi daya amrih bisa ngantuk kanggo ngilangake rasa luwe, ning mripate tetep mentheleng, wetenge tetep kroncongan.
Dumadakan ana swara sing nyedhak. Kanthi wewayangan sing dawa… cilik, banjur amba, ning malih cedhak lan ….
“Kok lungguhan dhewe Le?” pitakone Mbah Kakung. “Lagi apa kok sajak ana sing digoleki?”
“Okeh Mbah, sing arep dakgoleki,” wangsulane.
Mbah Kakung kuwi mesem. Jroning ati pengin ngrangkul bocah iku sing persis banget karo putune.
“Mbah Kakung saka nendi?” pitakone bocah iku nungkak karma.
“Nembe mulih saka Jakarta. Ngenteni anak lan putu, sing mau telpun arep methuk ing terminal kene. Ning nganti saiki kok durung ana ….”
“Dadi Mabh Kakung iki mung dhewe?!”
“Bener. Ning kowe katone ya mung dhewe ngono?”
“Pancen. Ning aku ki preman ing terminal kene.”
Mbah Kakung iku ngguyu. Krungu pangakuan sing lucu iku. Rasane kaya yen lagi ngrungokake kojahe putune sing paling nakal. Putu saka anak sing paling disayang. Sejatine angel anggone arep mbagi katresnan karo adil, merga jroning rasa mesthi ana sing paling disihi utawa palking digethingi.
Tanpa dinyana-nyana bocah iku ngadeg. Nyedhak. Banjur nyublesake glathi menyang arah wetenge Mbah Kakung iku.
“Apa-apanan iki! Lha kok nganggo glathi barang!”
“Ora usah kakeyan omong, Mbah! Yen pengin slamet, serahna dhuwitmu iku kabeh!”
“Sik ta Cah Bagus. Yen prekara dhuwit, ora perlu nganggo nyublesake glathi kaya ngene!”
“Bisa meneng pora!”
“O, yen mung meneng. Mbah Kakung bisa. Ning aja seru-seru anggonmu nyublesake glathi iki. Lara!”
“Ya ben!”
“Sik ta, putuku Cah Bagus. Satemene apa apa ta, kok kowe ki malih kaya ngene. Apa mau bubar nonton filem penodhongan?” [ 255 ]“Meneng!”
“Ya. Yen butuh dhuwit, kuwi dhompete jupuken dhewe ing kanthong mburi.”
“Ora bisa, Mbah sing njupuk lan ngulungake ing ngarepku kanthi alon. Ora kena macem-macem. Yen ora nurut bakal mbrodhol ususmu. Ayo!”
Mbah Kakung iku nurut. Dhompete didudut alon banjur diulungake kanthi alon. Lan disaut dening bocah iku. Satemene yen Mbah Tuwa iku kepengin uwal saka todhongane bocah iku, mesthi wis bisa. Mung sajake dheweke penasaran ya gene bocah cilik iki nganti nekad temen anggone nodhong? Apa dipeksa wong tuwane? Apa malah merga ditinggal wong tuwane banjur nekad? Apa lagi niru-niru filem sing bubar ditonton?
Nalika bocah cilik iku mbukak dhompet—sing isine dhuwit puluahn ewon lan eketan ewon—tetela mung ndudut selembar sing puluhan ewon. Dhompet banjur diulungake marang Mbah Tuwa iku maneh.
“Matur nuwun MBah,” mengkono pangucape bocah cilik iku.
Mak tratap atine Mbah Tuwa iku. Satemene iki ana prekara apa, dene kok bocah cilik kang sajake durung ngerti dosa iki nganti wani nodhong mung merga butuh dhuwit sepuluh ewu?
Mbah Kakung iku nglolos dhuwit eketan ewon saka njero dhompete, banjur diulungake bocah iku. Nanging ketoke bocah iku malah kaget lan mripate mentheleng.
“Aku ora butuh dhuwit akeh, Mbah!”
“Kanggo jajan sesuk nek din Idul Fitri.”
“Ora, aku ora butuh. Suk ae yen aku wis isa nyambut gawe ngewangi Simbah Kakung, aku gelem nampa dhuwit iku.”
“Yen ngono, ayo … melu aku.”
“Moh. Mundhak dilaporke Polisi!”
“Ora-ora. Mung dhuwit sepuluh ewu bae, mosok dilaporake karo Polisi!”
“Aku ora percaya. Emak sing nglairake aku wae, yen dhuwite takcolong, mangka mung sewu perak, ngancam are lapor Polisi kok, yen ora dakbalekake.”
“Aku ora arep lapor sapa-sapa....”
“Emoh. Pokoke aku emoh!”
“Yen emoh ya wis. Bapak karo ibumu wiwit mau ora ketok-ketok kuwi padha menyang ngendi?”
“Minggat!”
“Minggat?”
“Iya. Sak bubare tukaran, njur luga embuh menyang endi. Neng omahku saiki ora tau ana sega, ora tau ana beras, ora tau ana dhuwit. Anane mung kari glathi iki. Banjur tak gawa kanggo golek dhuwit.”
“Yen ngono .... Apa aku entuk menyang omahmu?” [ 256 ]“Ora kena! Mundhak dilaporake Polisi.”
“Ora!”
“Aku ora percaya!”
“Yen ngono, aku pengin ngambung pipimu. Mengko taktambahi sepuluh ewu meneh.”
Bocah iku nyedhak. Ning, nalika Mbah Tuwa iku kanthi rasa welas arep ngrangkul, tibake wetenge dipapag nganggo glathi. Tumancep pucuk glathi nembus klambi lan kulit. Perih rasane. Bocah iku sangsaya kenceng anggone nyublesake glathine. Getih wis nelesi klambi. Mung Mbah Tuwa iku katone wis kasirep dening rasa welas asih, dadi ora arep nglawan kanthi cara apa bae. Sebab yakin yen ora bakal tumekaning pati mung jalaran saka glathine bocah cilik.
Sawetara mbulan ing langit lagi ndhelik ing dhadhane mega. Ning lintang-lingtang sing patin gkrelop babar pisan ora bisa menehi tetulung. Tumawuring cahya kaya tumawuring ati kang tetangisan. Angin ngisis. Gereng-gerenge bis dadi gendhing kang kaprungu aneh.
Ilining getih kang manthur sangsaya banter. Kekuwatane Mbah Tuwa sangsaya suda. Terminal katon kuwalik, bumi katon obah, lan langit katon arep ambrol. Angin krasa panas. Nalika glathi arep direbut, bocah iku dumadakan mlayu lan nguncalake glathi iku ing got. Getih nggudrahi tangan. Pungkasane, sesawangane Mbah Kakung katon peteng, peteng banget!
Ing sangisore mbulan kang remeng-remeng, lintang kang kumerlop, Mbah Kakung ngrungkebi bumi, ora eling. Sawetara putra-putrane kang nembe wae teka ing terminal, saiki lagi poyang-payingan nggoleki. Ya gene katresnan kang tulus iku mung tumangsang ing pucuke glathi?
Jaya Baya, No. 21, Minggu IV, Januari 2005
Weruhku sepisanan ing Gedhung Gema IKIP Ketintang nalika ana Seminar Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Jawa. Dedege kepetung cendhek. Kulite kuning, praupane bunder, nanging janggute nyathis. Memanike mripat ireng bunder, yen nyawang tajem. Lan rambute? Ya rambut kriting kuwi sing katon manjila. Mung dheweke sing rambute kriting, liyane ora ana.
“Win kowe ngerti, sapa wanita lungguh kursi barisan pener tengah kae? Kae lho, Win, sing rambute kriting?” pitakonku marang St. Winardi (sateruse cukup daksebut Winardi).
“Kowe ki yen nggunakake tembung basa Jawa ya sing pener, Har!” ora mangsuli pitakonku, Winardi malah ngritik. “Kriting kuwi tembung basa Indonesia, Yen basa Jawa ya brintik!”
“Ya wis, brintik. Kowe ngerti, sapa?” pangatagku.
“Kowe kok takon, apa sir?”
“Ora. Mung kepengin weruh jenenge.”
“Lha wong aku sing sir wae durung weruh jenenge!”
Aku kapeksa ngguyu krungu wangsulane. “Gendheng” batinku.
“Asmanipun Ibu Sekar Arum,” dumadakan sawenehe ibu ing sisih tengene Winardi menehi weruh. “Dalemipun Kepanjen, Malang.”
“Sekar Arum? Wah asmanipun sae, nggih?” tumanggape Winardi, “Piyambakipun menapa guru?”
“Sanes, sanes guru.”
“Menapa?”
“Angel anggenipun mastani. Profesinipun kathah.”
“Kathah?”
“Rias penganten, penyiar radhio, ugi pengarang.”
“Mangke rumiyin. Kula dereng nate sumerep asma Sekar Arum ing majalah utawi koran?”
“Menawi nyerat ngginakaken asma singlon, Si Kriting.”
“Ooo ….” [ 258 ]Kancaku kuwi sarjana pendidikan lan iya wis diangkat dadi guru sawetara taun. Wiwit mahasiswa dheweke kuwi aktif nulis ing majalah lan surat kabar. Nganti diangkat dadi guru, aktivitase nulis ora mandheg. Ora aneh yen dheweke wis duwe omah, duwe kendharaan rodha papat, duwe computer. Sing durung duwe mung … bojo.
Winardi klebu jaka tuwa. Nanging jiwa lan semangate mudha. Kejaba ana sekolahan lan forum-forum resmi, dheweke ora gelem daksebut nganggo embel-embel Pak.
Geneya durung duwe bojo? Apa akeh cacade? Apa disirik wanita? Apa pancen ora ‘normal’ kadidene wong lanang? Apa seneng ‘mardika’ kaya umume seniman? Dudu, dudu bab kuwi prekarane. Dheweke wong lanang normal lan iya ora ngagung-agungake kamardikan sing sipate mutlak utawa ekstrem. Uga ora merga disirik wanita jalaran akeh kekurangane.
Idealisme lan gegambaran wanita ideal. Kuwi sing dadi sebab. Dheweke kepengin duwe bojo seniman. Nanging dudu penari, pesindhen, utawa penyanyi campursari. Aku ora takon lan dheweke iya ora kandha geneya emoh duwe bojo wanita kanthi profesi ngono kuwi. Sing diangenangen wanita pengarang, jalaran dianggep nduweni inner beauty. Kuwi wae isih ana tambahane, rambute brintik.
“Pengarang kuwi biasane seneng maca lan sinau,” kandhane Winardi embuh dhek kapan kae. “Wong seneng sinau kuwi sebab ngrumangsani nek dheweke kuwi bodho. Ngrumangsani bodho kuwi sejatine pinter. Yen diajak rembugan kuwi gampang nyaut. Ora thonga-thongo.”
“Lha yen rambut brintik?”
“Rambut brintik kuwi ayune alamiyah. Manise natural.”
Saben nekani seminar basa Jawa utawa sarasehan basa lan sastra Jawa, Winardi mesthi ngajak aku. Aku ya seneng wae diajak lelungan, wong ongkos bis nganti tukon rokok sing nyukupi dheweke. Dadi pengawal ya ora apa-apa, angger bisa kepethuk wong akeh. Bisa kenal pengarang kondhang.
Kepethuk sing kaping pindho ana Taman Budaya Surakarta, mbeneri Kongres Sastra Jawa. Aku ngrumangsani dudu pengarang, dudu wong kondhang, mula ya ora wani neka-neka. Seje karo Winardi. Wong siji iki seneng nggojlogi kanca-kanca pengarang. Ora mung pengarang priya wae sing digojlogi. Selagine marang Sekar Arum, dheweke iya mental nggarap.
Sesi persidhangan Kongres Sastra Jawa mapan ana Teater Arena. Sadurunge sidhang pleno kanthi pembicara Arswendo Atmowiloto kawiwitan, akeh peserta sing padha ngayur ana ngerp lawang. Klebu Winardi. Daklirik dheweke tansah nyawang Sekar Arum karo sawetara kanca wanita, Winardi age-age olehe ngaruh-aruhi.
“Hallo, Mbak Krit ….”
Ora rumangsa disapa, Sekar Arum terus wae anggone mlaku. Kancakanca padha ndomblong, ora mudheng karepe Winardi. [ 259 ]“Mbak Krit …, Mbak Kriting…,” Winardi nekad aruh-aruh.
Geerrr …, kanca-kanca padha ngguyu.
Ora nyana, ora ngira yen Sekar Arum noleh. Malah banjur mbalik, jumangkah nyedhaki Winardi. Sakala aku dheg-dhegan, kuwatir yen nganti Sekar Arum nesu merga kesinggung diundang Kriting. Kancakanca liyane padha meneng. Sajake uga nduweni kekuwatiran padha karo aku. Aku mbatin, “Kapokmu kapan! Yen kulina clebang-clebung ya ngono kuwi oleh-olehane. Rasakna! Kowe bakal kuwirangan tenan!”
Pangiraku kleru. Sekar Arum ngulungake tangane ngajak salaman. Karo mesem manis. Winardi katon glirah-glirih anggone nampani.
“Panjenengan ingkang asma St. Winardi?” Sekar Arum takon.
“Leres.”
“Nyuwun sewu, St. menika nemapa cekakan Slamet?”
“Inggih. Wonten menapa?”
“Kula wastani Sultan ….”
Geerrrr …. Wong-wong ngguyu bareng. Aku ya melu ngguyu.
“Panjenengan rak ngasta wonten SMP, ta? Guru SMP?”
“Mboten klentu.”
“Kula mireng, guru SMP inggih wenang dados Profesor?”
Geerrrr …. Wong-wong ngguyu maneh, luwih seru, luwih suwe. Winardi praupane abang ireng. Sekar Arum sing katone klemak-klemek, jebul seneng guyon. Winardi sing bathuke jembar ngilak-ilak diarani Profesor. Kapokmu kapan, Win! Saiki kowe ketanggor!
Saka wirang dadi padhang. Unen-unen kuwi trep tumrap lelakone Winardi. Dheweke bisa akrab karo Sekar Arum. Dheweke diwenehi alamat lan nomer telpune Sekar Arum. Dheweke ya dikon menyang Kepanjen. Lan sasuwene Kongres Sastra Jawa, Winardi runtang-runtung karo Sekar Arum. Anggone rembugan wis ora basa maneh, nanging ngoko.
Mulih saka Kongres, Winardi kerep telpun Sekar Arum. Saben bubar telpun mesthi dheweke crita karo aku. Winardi uga kirim layang, Sekar Arum ya gelem mbalesi. Malah layang wangsulan saka Sekar Arum dituduhake aku. Ukara-ukarane romantis, sajak menehi pangarepa-arep Winardi sing ngelak sih katresnane wanita. Muga-muga wae Winardi sida kepethuk wanita idhamane. Sajake si Kriting, eh … Sekar Arum ora mung arep dolanan atine Winardi.
“Aku wis mantep tenan, Har. Si Kriting arep daklamar,” kandhane Winardi. Aku ngerti, dheweke njaluk tetimbangan aku.
“Anu, Win. Apa dheweke durung duwe bojo?” panlesihku.
“Apa aku durung crita?”
“Baba pa?”
“Dheweke randha. Bojone guru, telung taun kepungkur wis kapundhut Sing Kuwasa, jalaran lever.” [ 260 ]“Nek ngono ya apik wae nek kok lamar. Waton kowe seneng tenan. Ora mung arep kok nggo dolanan. Kowe dhewe ya perlu enggal rabi ben ora diarani neka-neka. Guru kok mbujang terus ….”
Winardi ora guyon. Sekar Arum sida dilamar tenan. Wanci sore, dheweke budhal menyang Kepanjen nggawa mobil. Dheweke ya pamit aku. Ambune wangi. Sandhangane anyar. Necis. Nalika aku kandha kepengin ngeterke, dheweke nolak. Aku getun kadhung soroh tenaga. Aku kok ya goblog! Yen penglamare ditampa, Winardi rak terus nginep kana (kira-kira lho!). Becike dienteni wae. Ora wurung dheweke rak ya crita menyang aku. Ora-a ngetutke nyang Kepanjen, kepriye wusanane aku mengko rak mesthi weruh.
Kira-kira jam sepuluh bengi, nalika aku lagi arep mapan turu, ing lawang ngarep keprungu swra dhodhog-dhodhog. Banjur kasusul swarane wong undang-undang jenengku. Age-age lawang takbukak. Wis genah Winardi sing mara.
“Waaah, apes! Apes mblebes, Har!” celathune karo lungguh.
Lampu ruwang tamu dakurubake. Daksawang praupane Winardi katon peteng. Luwih peteng tinimbang langit bengi iku. Awake lemes kaya wayang ilang gapite.
“Apes kepriye, Win? KOwe kalah dhisik?”
“Ora.”
“Terus kepriye?”
“Dheweke gelem. Saguh takpek bojo. Ning aku kon sabar ….”
“Maksude?”
“Kon ngenteni yen anake wis omah-omah.”
“Kowe rumangsa kabotan?”
“Ora prekara kabotan. Aku rak kadhung tuwek?”
“Nalare kepriye? Aku kok bingung.”
“Sekar anake mung siji. Lanang. Saiki lagi umur pitung taun!”
“Ha?” aku kaget. Nanging mung sedhela. Aku ngguyu ngakak. “Nek ngono …, padha karo ditolak, Si Kriting …, eh Sekar Arum emoh kok pek bojo!”
Jaya Baya, No. 23, Minggu I, Februari 2005
Satria! Sapa sing gak kenal dheweke. Ing kalangan aktivis, politikus
apa maneh wartawan, kabeh mesthi kenal. Penampilane prasaja, nanging
supel. Kahanan dadi sumringah yen ketekan dheweke. Ana ae sing diomongake lan kabeh mesthi bisa gawe guyu. Mulane, yen lagi liputan
neng Lembaga Pemerintah utawa DPRD, sing kerep kudu nunggu nganti
wektu sing gak isa ditentokake, Satria mesthi diarep-arep.
“Pelawake Malang durung teka? Apa entuk ordher liya?” cluluke Yos, reporter harian politik. Praupane lecek merga wiwit jam wolu esuk nunggu sidhang sing gak bar-bar. Kahanane mboseni, reporter liyane gak ana sing kumecap. Nanging bareng Satria mencungul, kabeh padha keplok-keplok. Sing dikeploki kalem ae, mung klepas-klepus ngrokok. Pancen dheweke duwe kodrat lucu. Isa gawe guyu mung merga disawang.
“Ancene susah dadi arek nggantheng tur pinter iku!” cluluke tanpa dosa. Byeh … byeh, masiha krasa neg akhire kanca-kanca ya ngakak. Bubar ngono iku mesthi ana ae critane sing marakake ngguyu. Iku critacrita sing takrungu saka kanca-kanca wartawan dhaerah ngenani Ksatria Awangga, wartawan harian lan kolumnis iku.
Aku dhewe durung nate ketemu karo dheweke. Nanging aku rumangsa akrab, ora liya merga kerep maca tulisane. Satria iku malik wujud nalika maca tulisane. Gak ana sing nyangka yen tulisane bermutu, cerdhas, lan inspiratif iku digawe saka wong sing kebak guyu lan konyol. Akeh tulisane sing menehi inspiratif kanggoku. Aku kagum!
Tampa daksadhari aku wiwit mbayangake isa cedhak karo dheweke. Saking penasaran, aku nekad ngirim surat via internet. Pengin kenalan lan dhiskusi. Nanging aku gak ngarep-arep dibales. Kanggone wartawan senior kaya dheweke, mesthi ae gaweyane saabreg. Gak bakal mbalesi email “iseng” kaya saka aku iku. Nanging ora nyangka, emailku dibalesi.
“ … senang aku menerima suratmu, Adik. Jangan pernah minder, sebuah perjalanan panjang itu pasti ada langkah pertama. Hanya permasalahannya aku sudah melangkah terlebih dahulu. Aku tunggu surat berikutya. Salam angat, Ksatria Awangga. [ 262 ]Wow! Exciting! Mungkin kaya ngene iki rasane yen arek SMA entuk surat saka sing bintang filem apa penyanyi idolane. Naning aku rak wis ora ABG maneh, malah umure wis arep kepala tiga. Masiya ngono, tokoh iki isih menehi inspirasi kanggo nglairake tulisan. Wiwit email iku, aku lan dheweke sering dhiskusi via internet. Ngati ora krasa, hubunganku kaya-kaya dadi cedhak masiya durung nate ketemu.
“Ayang … Ayang, percaya men kon ambek internet? Kon ngerti tah yen cyber love iku mung imaginasi, ilusi, halusinasi lan sabangsane?!”
komentare Anis, kancaku sakantor nalika aku crita bab Satria. “Aku ora falling, Nis! Trust me! Wong Mas Satria wis merrid kok,” protesku.
“Lhadalah! Malah wis merrid?!” bengoke Anis. “Yang, iki dudu saran ning ultimatum! Aja diteruske ya, Cah Ayuuu! Iku jenenge dolanan geni!”
“Aja ngeres ngono lah, aku mung kagum karo tulisane, karo kecerdasane. Gak luwih kok,” kandhaku kalem.
“Yang, yen aku krungu ngene saka telpun, aku isa ae percaya. Tapi aku isa nonton mripatmu …, mripat iku gak tau ngapusi. Wis, Yang …, aku gak pengin berdebat panjang. Aku gak setuju!”
Anis age-age ngentekake juice jambu, terus ngilang neng ruangane sing adhep-adhepan karo ruanganku. Ah, ora …. Aku kagum karo Satria merga tulisane, merga profesine. Ora luwih saka iku, batinku kanggo ngilangake pikiranku sing tekan ngendi-endi.
Wektu lumaku bisu. Jakarta tambah tuwa rasane. Macete tambah nggilani. Mall, toserba lan sabangsane saya akeh dibangun. Semrawute kutha sangsaya krasa. Nanging priye maneh, kahanan ngono iku kudu takadhepi saben dinane. Jakarta sing kudune rame meriah, malah ndadekake atiku krasa temlawung. Sepi ing tengah keramian. Mungkin merga kahanan sing adoh sedulur, adoh kanca raket, surat-surate Satria dadi obat mujarab. Kanggoku dheweke dadi paket all in one. Kanca ngudarasa, guru sing ngajari dunia jurnalistik sing kadhang abu-abu lan partner dhiskusi sing hebat.
“Ya ngono iku, Yang … sing ndadekake aku betah neng Malang. Aku nate dikon dadi redhaktur nang Jakarta, nanging atiku emoh. Mbayangke kotane ae wis mumet,” kandhane Satria saka seberang.
“Iya, Mas …, Malang kotane asyik, ya?”
“Adhuh, Dhik …, sing jelas adoh yen dibandhingake ambek Jakarta.
Awakmu durung nate nang Malang, tah?”
“Emmm …, liwat si tau. Pas arepe nang Mahameru, taun 2000.”
“Ngene ae, usulan DLK (Dinas Luar Kota-pen) nang Malang. Yen
acc, mrene takterna muter-muter sakatogmu.”
“Serius?” aku semangat banget.
“Serius Sayang!” krungu diceluk sayang rasane kepengin ngakak. [ 263 ]“He … he … he …, aku lak isa dikethak ambek Mbak Ayu tah, Mas?”
“Gak. Ayu wis takcritani kabeh, kok.”
“Dicritani apa ae? Sing elek-elek ya, ha … ha ….”
“Gak kok, Yang. Takcritani yen awakmu pinter, cerdas. Lan takcritani….”
“Apa Mas?”
“Takcritani yen aku sayang awakmu kaya aku saying nang Ayu,” kandhane kalem ning marahi aku gak karu-karuwan. Nanging aku ageage membumi. Sapa se ora kenal karo banyulane Satria?
“Huahahaha,” aku tambah ngakak.
“Yang, aku serius. Yen gak percaya, takona Ayu,” Sableng!
Sadurunge nglantur, aku age-age nutup flip HP-ku. Gak takreken dheweke. Miscall bolak-balik. Aku SMS, “Iya Mas, tak usahakake DLK nang Malang. AKu mulai tertarik ambek Malang”.
Kota Malang pancen kutha sing exciting kanggoku. Kompleks dhaerahe ditata rapi. Misale ana dhaerah sing jenenge nganggo iwak. Ana Gang Ikan Mas, Mujaer, Pari, lan sapiturute. Dadi yen arep nggoleki alamat luwih gampang. Krungu-krungu nate oleh penghargaan kota terbersih.
“Nanging Malang ora beda karo kutha-kutha liyane Yang …, meria diri,” kandhane Satria sing nggawa mobile alon-alon, nlusuri dalan protokol kota iku. Yen saka praupane, jelas dheweke ora kaya bintang filem. Malah sadurunge ketemu, dheweke kerep kon mbayangke praupan sing paling elek, yaiku Satria. Ning jelas, asline ya gak separah iku. Apa ae wujude, aku kagum marang pemikirane lan prestasine.
“Akeh mall, ya Mas?”
“Ya mall, perumahan elite, lan sabangsane. Akeh bangunan bersejarah sing kudu digusur merga iku. Ah, embuh Yang …, aku gak mudheng priye bangsane dhewe iku menghargai sejarah. Beda ambek bangsa Uni Eropa sing duwe apresiasi dhuwur ambek bangunan bersejarah.”
Satria … Satria …, ana cahya sumunar saka praupanmu masiya kulitmu peteng. Cahya semangat yen lagi dhiskusi sing narik kawigatenmu. Ya iku sing njalari aku ngrasakake beda. Rasa sing kadung adoh saka kekancan antarane aku lan kowe. “Apa awakmu gak gelem ngakoni yen sayang karo aku, Yang?” pitakone karo mandeng aku. Angin sore semilir nggawa sedheping kembang apel.
“Apa’e se Mas? Kaya arek SMA ae,” kandhaku sakecekele.
“Yang …, aku serius. Aku pengin ngrabi awakmu.”
Hups! Apel manalagi sing lagi takmamah kandheg ana gurung. Aku ambegan landhung, nata ati. Sajake wis gak isa digawe guyon.
“Mas, aja nglindur! Ya apa rasane Mbak Ayu yen sampeyan pengin rabi meneh?” [ 264 ]“Ayu nate nawani yen aku oleh rabi maneh, angger gak entuk arek Malang. Lan maneh rak poligami iku sah, timbang zina,” kandhane diplomatis.
“No … no! Konsekuensine poligami iku abot. Apa Mas sanggup naggung? Mas, iki ora merga aku egois. Wanita ngendi ae gak ana sing milih dimaru. Kajaba ana alesane sing logis,” kandhaku.
“Ya logis ta alesanku. Aku pengin ngrabi awakmu merga aku seneng lan timbang zina,” protese.
“Halah … iku lak klise banget. Mas kulinitas, jenenge!”
“Apa’a gak nggawa-nggawa gender, Yang? Aku luwih realistis. Saiki aku takon, awakmu sayang aku apa gak? Jujur?” takone sing takrasakake nekak guluku.
Masiya aku gak jawab, aku yakin Satria ngerti apa jawabane. Dhuh Gusti, kene apa ora ketemu dheweke patang taun kepungkur? Nalika dheweke durung dadi bapake Angge lan Anggi. Bocah umur rong taun lan patang taun sing saiki nunggu nang omahe.
Boneka pandha ireng putih takgegem kenceng nalika aku mencet bel omah cet putih ujung gang. Mungkin aku munafik, ngapusi atiku dhewe. Nanging dalan iki sing paling apik kanggoku. Masiya kaya ngapa sayangku karo Satria, aku gak pengin ngrebut saka bojo lan anak-anake. Malah sewalike, aku pengin dadi bagian saka keluwargane tanpa kudu dadi bojone Satria. Paseduluran marang Mas Satria, Mbak Ayu, Anggi lan Angge mungkin bisa dadi crita manis kanggoku. Alesan iku sing menehi kekuwatan teka na omahe.
“Sugeng siang, Mbak. Aku Ayang, kancane Mas Satria,” kandhaku karo ngulungake tangan. Wanita ayu sing saiki ngadeg ana ngarepku ikuketok kaku. Dheweke ngawaske aku saka pucuk rambut nganti pucuk sikil.
Mas, apa ae sing tau sampeyan critakke bab aku. Masiya aku durung nate tepung, nanging aku ngerti apa artine panyawang iki. Merga aku lan dheweke padha-padha wanita. Lan aku ngerti banget kaya ngapa wanita yen lagi sujana. Mas, nyatane sing sampeyan critakae nang aku, yen sampeyan sayang aku iki temenan. Sasuwene iki aku nganggep guyon, nanging bareng nyawang mripate Mbak Ayu sing sujana iku …. Ah, apa aku kudu seneng yen nyatane sampeyan sayang aku temenan? Apa aku kudu dadi penjahat neng ngarepe wanita ayu iki?
“Mbak Ayu, sepuranen aku ya, Mbak …, percayoa aku, aku gak bakal ngrebut Mas Satria. Mung Mbak Ayu sing paling cocog kanggo dheweke,” kandhaku tanpa ditakoni.
Dawa-dawa aku njelaske jenis hubungan kaya apa sing takpengini antarane aku lan Mas Satria. Aku ngakoni, ora gampang mateni geni cemburu. Nanging paling ora, Mbak Ayu wis ora kaku maneh ngobrol karo aku. Malah kepara luwih akrab. [ 265 ]“Mbak iki boneka kanggo Anggi lan Angge. Aku entuk saka menang lomba dongeng,” kandhaku karo ngulungake boneka loro.
“Adhuh Yang …, awakmu kok repot-repot,” kandhane Mbak Ayu karo nggendhong Angge.
“Tlima kasih, Tante …,” suwara beninge Angge, bocah umur rong taun sing mripate bening iku gawe atiku keranta-ranta. Takruket kenceng ing dhadhaku. Muga-muga Mbak Ayu ora ngerti yen atiku banjir luh.
Malang wanci wengi. Alun-alun kota Malang isih nawakake angsle ing sandhuwuring trotoar. Nanging angete wedang khas Malang iku wis ora bisa nawa kekesing ati. Remuk rasaku nalika nemoni praupan sing dadi watu.
“Ngapa awakmu teka neng omahku, Yang? Awakmu wis nglanggar komitmen. Awakmu wis njongkrongke harga dhiriku neng ngarepe Ayu. Tegane awakmu!”
“Mas, sampeyan kudu ngakoni yen aku bener. Mbak Ayu gak bakal lila yen dimaru. Mas, aku gak tega ngrebut sampeyan saka keluwargamu …. Aku sadhar Mas …, yen aku pancen sayang sampeyan. Sayang sing beda, sing ora kaya jamane aku kagum karo tulisan-tulisan sampeyan. Luwih saka iku …,” serak swaraku kaya-kaya eri sing metu saka gurung. Mripat sing wingi edhum, saiki mingis-mingis kaya pedhang. Panyawange nggarit tatu ing jeroning ati, perih ….
Lampu-lampu nembus kabut. Alon-alon kreta Gajayana jurusan Malang—Jakarta ninggalake Stasiun Kota Baru. Tak ringkesi kenangan lan ati sing morak-marik. Muga-muga ambles digiles rodha wesi sadawaning rel Malang—Jakarta. Kanggo sing sepisanan iki aku bisa kangen Jakarta! Kutha sing blas babar pisan ora tau takkangeni sadurunge.
Jaya Baya, No. 22, Minggu V, Januari 2005
Barno Engkol wis ngontak bala-balane. Mbesuk malem taun anyar arep ngerigne balane nonton wayang kulit ing ngarep kecamatan. Dhalange kondhang, Jantur Jangkar Bumi sing lagi ngawiyat jenenge. Maune jenenge mung Jantur. Nom-noman iku mirurut Barno Engkol kemendel. Dupeh dadi dhalang kondhang ngowah-owahi tindak-tanduke. Ora eling sapa sing melu ngumbulne profesine nganti ditepungi masyarakat akeh. Barno Engkol rumangsa udhu panyengkuyung, nanging bareng wis moncer, dheweke lan kanca-kancane dikipatake. Kepara disiya-siya kanthi pitutur liwat antawacana sing nyigar dhadhane.
“Bar, awakmu sing tak percaya sing bisa nglumpukake kanca keh. Saiki aku njaluk tulung awakmu,” tembunge Jantur dhek semana sing rumangsa tangga lan kanca sabarakan, klebu sekolahe bareng nganti teka SMP.
“Gek aku ki isa nulungi apa ta, Tur? Kowe dhewe ngerti pegaweyanku mung hura-hura karo kanca-kanca kaya ngene,” Barno Engkol ngaku jujur.
“Ya njaluk tulung hura-hura kuwi, nyuporteri olehku pentas ndhalang. Yen sing nonton nganti esuk panggah rame, sing naggap rak ya bakal mongkog tur marem atine. Olehku ndhalang uga sansaya laris, merga penonton sing biasane padha mulih bubar Limbuk-Cangik, bakal kepilut ora sida mulih yen katon sing nonton isih akeh. Apa maneh yen balamu gelam surak-surak, wo sansaya gayeng anggonku ndhalang. Aku semangat kanggo ndhalang luwih apik. Pamrihku ngono lho, Bar,” Jantur bombong atine.
“Isa wae. Ning kanca-kanca ya dipikirne ….”
“Kuwi wis takrancang, Bar. Wayah budhal takcepaki kendharaan kanggo budhal lan mulih. Nalika nyuporteri takwenenhi sangu sing paspasan dhisik kanggo sawengi. Awit takajab awakmu sakanca aja hurahura dhisik nalika aku pentas. Bubar aku nampa bayaran saka sing nanggap, awakmu sakanca takwenehi sangu maneh. Soal awakmu mengko hura-hura wis ora ana ngarepe papan nggonku ndhalang.” [ 267 ]“Kowe kok pinter, Tur. Ning kanggoku sakanca ya klebu kerja sama sing nyenengne,” tembunge Barno Engkol katon bingr atine.
“Tegese awakmu sarujuk, Bar?” pitakone Jantur mantebake atine.
“Setuju. Ning, kowe aja khianat lho, Tur. Nek kowe mblenjani sida cilaka selawase, kowe!” pangancame Barno Engkol.
“Ora-ora, Bar. Gek aku iki apa ya wani mblenjani marang balamu sing ora mekakat akehe kuwi,” tembunge Jantur mbribiki seneng atine, trike wiwiti ndhalang kondhang bakal kelakon.
Pasarujukan sing tanpa teken ing ndhuwur kertas kuwi wis lumaku kanthi tetaunan. Kanggone Jantur ora dadi apa bayarane ndhalang kanggo wiwitan mung ngesaki dhuwit sethithik. Pawitan jeneng sing kondhang tur ora gawe kuciwane sing nanggap, bakal ngundhakake rega. Regane awak lan regane tanggapan.
Sindhen-sindhen sing maune kipa-kipa emoh melu, bareng dheweke sansaya rame tanggapane padha sms pengin melu pentas. Jenenge dhalang Jantur Jangkar Bumi sansaya kumlebat ing atine masyarakat. Saben ndhalang sing nonton tansah mbludag, ora ana sing mingset nganti tumeka purnane lakon. Klebu suporter sing paling hobi surak-surak lan braokane gawane Jantur.
Supaya luwih gayeng, Jantur malah uga ngrayuk bakul-bakul. Bakulbakul sing ajeg golek dhuwit wayah ana tontonan dirimuk supaya gelem dodol wayah dheweke ndhalang. Janur nyedhiyani trek siji kanggo ngangkat dagangan, budhal mulih. Bakul-bakul kuwi diideri jadwale Jantur ndhalang. Senajan papane adoh bakul-bakul mau mesthi melu. Kanthi mengkono saben-saben Jantur ndhalang mesthi kebak penonton lan bakule jejer-jejer akeh banget.
Jantur sansaya ndedel kuncarane. Sanajan dhalangane iku jan-jane ora pati istimewa, nanging sing nanggap mbanyu mili. Taripe uga melu ndedel ngranggeh mega.
“Aku isih seneng diingu dhalang Jantur, nyatane awake dhewe diuja dhuwit,” kandhane Komar Jlitheng nalika arep-arepan karo Barno Engkol, “Ning saiki jane awake dhewe iki diusir kanthi alus.”
“Kok kowe kandha ngono kuwi buktine apa?” Barno Engkol durung pana.
“Rungokna yen wayah Limbuk Cangik utawa gara-gara kae! Cangik utawa Semar rak mesthi nuturi anake supaya urip iki aja mung nemplek kaya kemladheyan. Manungsa kuwi cirine nek wis dewasa, yen bisa bawa dhewe, bisa mandhiri. Kuwi tegese rak ngusir awake dhewe, ta Bar!”
“Ora mung kuwi,” Jalal sumambung, “saben-saben nyemoni awake dhewe, dadi generasi mudha kuwi aja mung seneng-seneng, kudu ngendhani ma liama. Lho, ngapa kuwi apa ra saya kurang ajar?” [ 268 ]“Kuwi rak nuturi penonton umume, ta? Dhalang kuwi pancen kudu ajak-ajak urip dadi bebrayan apik, rak ya biasa ….”
“Penontone kuwi awake dhewe, tegese ya nyemoni awake dhewe, ta Bar? Kowe aja goblog! Apa kowe oleh dhuwit akeh tinimbang kancakanca?” Komar Jlitheng isih durung trima.
“Ya, ora!” atine Barno Engkol wiwit kebrongot. “Njur karepmu priye?”
Malem taun anyar iki kalodhangan sing diantu-antu. Barno sakanca bakal ngebyuk pentase Jantur. Bala-balane wis saiyeg sarujuk. Embuh mengko apa sing ditindakake kanggo mapag taun anyar iki, pokoke seneng-seneng sing ngluwihi senenge nalika pista bubar nampa dhuwit saka Jantur. Taun anyar bakal dipahargya kanthi luwih seneng tinimbang taun-taun kepungkur. Pangangene Barno Engkol nalika lungguh ing teras omahe awit taun anyar wis cedhak banget. Dheweke njenggirat, nalika keprunu klakson saka kijang ijo lumut sing mandheg ana dalan ngarep platarane.
Sing metu saka mobil kuwi Jantur. Mung kaosan biru enom mawa gambar gunungan. Rambute rapi lan lakune wis seje karo nalika Barno Engkol kepethuk sepisanan, nalika njaluk tulung kae. Lakune saiki luwih mriyayeni. Eseme uga sansaya larang.
“Ana omah wae, Bar?” pitakone sawise diajak mlebu ing ruwang tamu.
“Lha arep nyang ngendi ta, Tur, pagaweyanku ya mung ngene iki.”
“Anu Bar, aku arep kandha yen suk malam taun baru iki ana gebyaran ing ngarep kecamatan. Iku tegese olehku ndhalang mung gratisan. Pesindhen, pengrawite ya mung njupuk wong-wong saka ndesa kene. Paling karo wong kecamatan mung disediyani mangan lan ngombe. Mula, aku ora isa menehi insentif kaya biasane.”
“Mosok taun baru malah ora ana pestane?”
“Aku nyuwun ngapura tenan, aku ora entuk dhana babar pisan lho, Bar.”
“Lek ngono aku arep gawe pesta dhewe,” tembunge Barno Engkol, nggeget untune, getem-getem merga wis ora entuk subsidi saka Jantur.
“Kuwi luwih becik.”
“Kowe ora getun?”
“Apa sing takgetuni, pancen ora ana dhanane. Ya sesuk yen ana tanggapan bubar kuwi wae awake dhewe bali kerja sama kaya sadurunge.”
“Ya wis yen ngono!” atine Barno Engkol krasa sansaya kobong. Tegese tembunge kanca-kancane ana benere yen dheweke bakal disishake.
Sedina sadurunge taun anyar, Barno Engkol wis nyepakake piranti sing kanggo nyuporteri Dhalang Jantur Jangkar Bumi. Botol-botol diisi lenga tanah, banjur diwenehi sumbu. Botol-botol kuwi rencanane bakal diuncalake saka kadohan. Botole pecah, lengane kutah, genine bakal [ 269 ]mrantak kobar ngobong wayang, kelir, kothak, lan sakabehing gamelan sing dadi pawitane Jantur dadi dhalang.
Sorene Barno Engkol sengaja ngyakinake atine, apa sida Dhalang Jantur arep pentas ana plataran kecamatan. Kanthi nyetir sepedha montor, dheweke mbonceng Sutris kanca sing sregep saba omahe. Barno Engkol lega, bareng ing plataran kecamatan sing wis dipasang tarup seng. Kelire wis dibeber, wayange lagi ditancepake ing debog kanggo ngrenggani kelir. Uga ana pawongan sing nata rancakan gamelan.
“Titenana engko bengi!” tembunge Barno Engkol kaya marang dhalang Jantur.
“Ning kanca-kanca ngajak rame-rame dhisik menyak kutha, lho Bar,” kandhane Sutris sing krungu tembunge Barno Engkol.
“Iya, aku ngerti. Wis dirancang, yen engko bengi ing kutha padha pista kembang api. Awake dhewe uga bakal pista api unggun. Ngobong bandhane Jantur kae! Tegese wiwit taun anyar, Jantur bakal bali dadi wong mlarat tur sekarat!” pangigit-igite Barno Engkol banjur nyendhal gas sepedha montore gawe swara nggember mbrebegi kuping.
Sutris kaget, meh wae nggeblag. Sujune enggal gandholan awake Barno. Sepedha montor mlesat kagawa emosi sing notol ati.
Malem taun anyar akeh banget hiburan sing dipentasake. Ing alunalun sing dikebaki wong kuwi padha pentas ndhangndhut. Ing dalandalan tansah keprungu swarane sepedha montor sing nggember-nggember merga tanpa knalpot, Barno Engkol sabalane klebu ewone nom-noman sing rame-rame mahargya tekane taun anyar iki.
Eman, atine Barno Engkol ora jenjem. Bola-bali ngungak jam tangan. Mengko pas jam rolas kudu wis duwe pesta dhewe. Bareng wis dietung yen bali menyang plataran kecamatan pas jam rolas, Barno Engkol ngajak balane mulih.
Sadurunge budhal menyang kecamatan, Barno Engkol sabalane mampir menyang omahe. Saka omahe Barno Engkol kaprungu swarane gamelan gemonthang banget.
“Nitik ramene kae, mesthi lagi perang kembang,” kandhane Barno Engkol marang kancane, “Ayo padha njupuk botol siji-sisji disumet pisan!” prentahe.
Balane Barno Engkol njupuk botol siji-siji, banjur disulet pating krelip. Kanthi Barno sing ana ngarep dhewe, sepedha montor-sepedha montor sing nggawa obor kuwi mlaku jejer- siji-siji. Wong-wong sing tengah wengi kuwi ana pinggir dalan padha eram. Ora adate Barno Engkol gawe pangera-eram sing gawe senenge wong-wong sakiwa tengene kaya ngono kuwi.
Swara gamelan sansaya seru, awit plataran kecamatan sansaya cedhak. Pangigit-igite Barno Engkol sabalane sansaya menthit. Nanging [ 270 ]isih saka dalan Barno Engkol wis cuwa, ya gene ora ana wong klemiwer utawa lampune bakul sing pating klelip kaya adate kae? Menggok lawangan, kluwer. Balane padha sumusul, nanging kabeh padha mlongo. Pataran kecamatan katon sepi mamring.
“Bar ngapa yah mene lagi teka?” Hansip sing lagi jaga ana ngarep kecamatan nyedhaki Barno Engkol sabalane sing durung ilang gumune.
“Ana apa?” pitakone cuwa banget.
“Dhek mau awan ana wong ngedum dhuwit. Sapa ae sing arep nonton wayang disangoni, banjur dikon mulih. Wah, ya padha seneng banget,” critane Hansip iku.
Nganti sawetara Barno Engkol mung kethap-kethip.
“La wayangane priye?”
“Ya wurung. Sindhen, niyaga, lan bakul kabeh ya mulih. Sing teka mung Dhalang Jantur karo panitia. Gamelan lan wayange ya njur dilulun digawa mulih. Nggo apus-apus aku nyetel tape, kaset rekamane Dhalang Jantur. Wis kana bacutna olehmu pesta obor!” prentahe Hansip iku karo bali menyang pos.
Jaya Baya, No. 20, Minggu III, Januari 2005
DURUNG RAMPUNG
Maryono
Isih digegem kenceng surat sing ditampa wingi awan, najan wis klomoh dening luh lan tangis, lan wis lencu diremet-remet, nanging kaya ora percaya atine karo surasane. Mula masiya wis bola-bali diwaca panggah ora leren-leren anggone maca.
“Mi, baliya sedhela, bojomu kepencut wong pabrikan maneh!” ngono surasane surat saka Kang Parto kakange mbarep, wong kang paling bisa dipercaya sasuwene lunga menyang negarane Mahathir Muhammad bara dadi babu , kang saiki moncere pramuwisma. Nanging kanggone Sumi masiya istilahe diganti ping suwidak jaran, sing jenenge babu kuwi ya panggah babu, buruh, jongos …, gedibal nomer pitulikur sing nampa opah saka nggone ngladeni juragane. Yen mung ngladeni dhahar, umbah-umbah, ngepel, apadene nguras jedhing wae iku wis lumrah, nanging kadhangkadhang ing Negara sing jarene njaga adat ketimuran iki ana juragan sing njaluk diladeni ing tempat tidur. Lek wis ngono iku ya gawat, paribasan sendhen gegere macan, arep ngalih ora wani nanging yen ora ngalih dadi dhaharane mbahe. Tujune sasuwene iki juragane sing dingengeri ora tau mrentah sing aneh-aneh, kepara Sumi digemateni karo majikane.
Giman, bojone jaka lara ora pati dipercaya maneh dening Sumi jalaran nalika rong taun kepungkur dheweke adu nasib ing Hongkong, dhuwit sing dikirim, sing kudune dinggo ndandani omah dientekake tanpa tilas kaya jlantah gorengan balur didilati kucing, ora dinggo mangan, ora dinggo nukokake klambi anake, nanging dienggo ndhekemi Sulastri, randha anyaran kidul buk penceng, saengga nalika dheweke teka mung bisa nangis ngguguk ngrasakake bojone. Simboke kang ngopeni Widhi tansah nutupi salahe ora merga tresnane karo mantune, nanging ngeman rumah tanggane anake kareben ora bubrah. Ajoa eman-eman karo Widhi anake sing meh ngancik SD sing mbutuhake katresnane bapake, Sumi wis njaluk pegat nalika semana. Atine remuk kaya padhas kidul omahe kang dibuldhoser ngalor-ngidul arep digawe villa. Runtik, serik, mangkel, rumangsa ora diwongke karo Giman, bojone dhewe. [ 272 ]“Aku ora arep mulih Kang, atiku bakal luwih krasa lara yen weruh rupane Giman, mbuh piye reka dayamu aku golekna layang prembayun,” ngono surasane surat balesane Sumi menyang kakange.
Dina-dina candhake Sumi wis wegah mikir Giman bojone maneh, dipikira nganti buthak Giman kirane wis ora bisa digawe becik maneh. Tiwas awak kuru dhewe, mula mumpung isih padha enome mesisan pegatan golek wong lanang liya. Mbiyen piye, saiki piye, lek wis ra mathuk apa mesthine, ngono grenenge saben-saben kelingan bojone.
Sumi mesem dhewekan, senthong ati kang suwung ditinggal Giman bakal ana kang ngenggoni. Taman kang bera kebak suket lan rerayutan bakal gumanti taman kang asri rinengga kembang mawar, kembang mlathi, lan kembang manca warna kaya taman Sriwedari kang ana ing crita pewayangan, dudu taman Sriwedari kutha Sala kang wis koncatan pamore lan ditinggal pandhemene. Widhi kang butuh katresnan bapak, bakal klakon digendhong, dibopong bapak anyar. Omah gedheg bakal dibangun modhel spanyolan bareng karo bojo anyar lan direngga tangis bayi adhine Widhi. Sumi, kang saupama wit anggur kelangan rambatan, bakal bali bisa lelendhotan rambatan kang kukuh pengkuh. Mbokne, sing saiki kepengin ndelok tivi gedhe selikur inci, modhel layar dhatar, kaya sing kerep diiklanake ing tivi kuwi, banjur yen sore wong saomah padha ndeleng tivi ing ruwang tengah karo ngadhep gedhang goreng apa tela goreng. Ah …, angen-angene Sumi nggladrah blusukan tekan ngendiendi. Angen-angen kang prasaja, nanging endah, angen-angene Sumi wong ndesa kang mung sadrema dadi babu, angen-angene wong wadon sing lagi kebandhul asmara kesandhung tresna.
Sejatine yen digagas ya rada aneh, wong wis ana rong taun ora ketemu karo pawongane wae ora, mung karana dheweke dijaluki tulung kakange ngrekadaya nggolekake laying prembayun, kang wusanane Sumi kerep nampa telpun saka Sabar, kancane sekolah SD biyen, kang wusananenjalari atine Sumi poyang-payingan. Sabar, sing ndhisik seneng nggolekake kersen, Sabar kang ndhisik seneng ngajak luru bendha ana pinggir sumber, Sabar kang biyene tau diseneni bapake Sumi, jalaran ngajak Sumi nyolong jagung ana sawahe Duk Kamid sing jare ngingu thuyul, Sabar sing saiki dadi dhudha jalaan rangkat karo tukang mendring, Sabar sing saiki dingerteni Sumi dadi blantik montor, Sabar kang sejatine dudu pawongan anyar tumrap lelakon cilikane Sumi.
Handphone kang ngerik enggal wae disaut, mbokmanawa saka pawongan kang dadi kudangane ati, calon bapake Widhi. Jebule mung SMS saka Tutik, kanca nunggal PT nalika ana penampungan ing Surabaya. Biasa, padha-padha TKI, paling-paling nyilih dhuwit kanggo ngirimi bapake sing jare lara asma lan kudu dirawat ana ing kamar sakit, ngragati anake sing arep mlebu SMA, utawa kanggo tuku lemah sawah kanggo [ 273 ]celengan yen mbesuk bali menyang Indonesia. Diwaca satleraman bener pangirane Sumi, Tutik nyilih dhuwit kanggo ngirimi anake njaluk sepedha montor modhel anyar sing jarene lagi digandrungi bocah sapantarane anake Tutik. Arep dikandhani yen ora duwe dhuwit Sumi ora tega yen kudu ngapusi Tutik, nanging yen dhuwite disilihake Tutik, Sumi uga butuh dhuwit dhewe. Sumi kelingan nalika isih ana Surabaya, ya Tutik iki sing kerep dijak nyolong supermi yen sega rangsum saka PT sing rupane blawuk kuwi ora kuwagang mbungkem cangkeme cacing sing ana wetenge. Tutik iku uga sing tau dijak mlayu menyang kantor polisi, nalika Herman instrukture arep ngonjak Narsih calon TKW saka Pacitan. Sidane Sumi blaka karo Tutik yen dheweke arep tilik menyang Indonesia, lan kanggo ngedhem-edhemi atine Tutik, Sumi arep ngindhangi anake.
Sandhangan wis lebokake koper werna ijo, ora lali kaos karo clana kanggo Widhi lan klambi anget pesenane mbokne. Kari hem kotak-kotak rupa biru karo clana rupa ireng kang durung mlebu, hem lan clana kang bakal kanggo oleh-oleh Sabar. Dijereng-jereng, dipatut-patut ana sandhuwure dhipan. Dibayangke kepriye mengko yen Sabar nganggo sandhangan oleh-olehe, mesthine tambah nggantheng, ngono angen-angene sing cumithak ana sirahe Sumi. Apa maneh Sabar, najan wong ndesa nanging manut ukurane Sumi wonge klebu rada resik, ora nggales kaya bapake Widhi. Sawise dilempit mlipis digegem kenceng sandhangan mau kaya nggegem pangarep-arep kang ora kepengin ucul. Sabanjure dilebokake koper. Ora lali tiket kang wis ditukokake juragane dicepakake pisan kanggo njagani sesuk-esuk yen budhal tikete ora keri.
Manuk wesi kang gagah pideksa wis wiwit ngambah awang-awang ninggalake negarane Anwar Ibrahim sing lagi luwar saka pakunjaran lan disubya-subya anggotane, ninggalake ka-el kang dadi jujugane wong blanja sa-Asia. Lan ninggalake juragane Sumi kang wis nukokake tiket mangkat mulih kareben Sumi ora suwe-suwe ana Indonesia. Permen karet kang maune lagi krasa sepa lan mungkret bareng karo lakune montor muluk kang tumuju menyang Surabaya. Beda karo kang ana dhadhane Sumi, tansaya cedhak Indonesia tansaya mekar atine kaya jamur dipa kang direndhem banyu teh kang asring diombe simboke. Sok ngono atine Sumi uga nduwe rasa sumelang, gek-gek mengko Sabar ora mapag kaya kang dijanjekake. Dideleng jam kang nggubet ana lengene isih jam wolu patang puluh menit montor muluk iki ninggalake Malaysia. Mungak menjaba langit katon resik, biru kaya segara kang ora ana ombake, siji-loro mendhung putih katon pating prendhul kaya kapas kang kabungcang angin.
Mudhun saka montor muluk ana bandhara Juanda, srengenge durung patiya dhuwur, nanging hawane kutha Surabaya masiya isih esuk panase wis krasa sumlenget. Beda karo desane Sumi najan awan ndhrandhang isih akeh sing kalungan sarung apa maneh yen mangsane rendheng, udane [ 274 ]riwis-riwis, paling penak ngadhep bedhiyang karo mbakar tela ana kandhang. Sawuse nuduhake surat-surat ana loket, Sumi antri ngenteni tekane koper ijone. Kang antri ana pemeriksaan. Calo taksi pating cruwetpadha nawakake dagangane dhewe-dhewe. Nanging ora ana sing dipaelu dening Sumi, jalaran Sabar bakal nyarter Elsapek kanggo mapag dheweke.Ngelingi sing mapag Sabar atine Sumi tambah kumesar kaya biyung kang ninggal bayine, kumedhap kaya prajurit kang ditimbali komandhane, ndhredheg kaya prawan sunthi kang bakal ketemu kudangane ati.
Metu saka plawangan penumpang manca, Sumi clingukan sedhela. Nanging bareng krungu swarane ceceluk Sumi, banjur nggoleke asale swara. Ing kana Sabar wis ngenteni. Lan kaya orong-orong kepidak, Sumi kang biasane akeh guneme dina iku kentekan tembung saengga mung bisa ho-ah-ho-oh nalika Sabar nampani gawane kang banjur diulungake sopire. Lan kaya bocah TK, Sumi mung manut nalika tangane Sabar kang kukuh nggandheng ngajak mlebu mobile. Metu saka Juanda mobil kang ditumpangi Sumi prasasat ora mlaku, maklum dina Minggu dadi akeh kang padha kepengin plesir utawa mung mubeng-mubeng kutha golek padhange hawa. Beda karo angen-angene sing ana njero mobil kang uber-uberan antarane ngesok katresnan karorasa sungkan. Mung wae Sumi kang maune kaya wong bisu, saiki wiwit crita ngalor-ngidul, Sabar sing maune sabar saiki wiwit rumangsa gemes saengga sepisan pindho tangane wiwit nyiweli janggute Sumi sing jare kaya tawon gumantung. Sumi kang mung prengat-prengut yen dijiwel janggute saiki malah sendhen ana dhadhane Sabar.
Tekan Tulungagung, Sumi ora takon nalika mobil sing ditumpaki ora bablas ngulon, ngener Sendang, desane, nanging pilih bablas ngidul nurut dalan ireng sing ngajak menyang Popoh. Sumi uga ora takon nalika mobil sing ditumpaki mlebu regol hotel. Lan Sumi uga ora takon nalika ana ngarep hotel, Sabar klesak-klesik karo sopire kang sabanjure mobil sing ditumpaki iku mbalik ninggalake Sumi kang nggegem kenceng tangane Sabar. Sabanjure wong loro runtung-runtung mlebu hotel kaya turis anyaran.
Sumi kang wis sawetara suwe mendhem pangigit-igit karo Giman, dina iku kaya diesokake. Tangan pengkuh kuwi isih digandheng kenceng nalika ngliwati taman kang tumuju kamar kang dipesen. Siji-loro karyawan hotel pating jegigis, ngulati tingkahe Sumi lan Sabar, nganti Sumi ilang ana waliking lawang kamar.
Embuh ora genah apa iki dayaning Sang Hyang Jagad Pratingkah, apa pangrimuke setan kang salah, utawa apa pancen manungsane kang kurang waras, Sumi lan Sabar wis nilar ujar, manut nepsu sangarepe entut. Kamar hotel mung dadi seksi nalika Sumi, wit anggur kang lagi entuk rambatan iku ngruket rambatane, kaya cacing kang kepanasen, lan Sabar [ 275 ]kang ngelak lagi weruh wit anggur, kepengin menek wit anggur mau lan nyokot dhompolane ….
“Thok … thok … thok …,” swarane lawang dithothok mecah sepining sore. Sabar lan Sumi kang lagi mbandhul ana kenuring asmara, kaget setengah mati. Kringet kang maune krasa anget saiki krasa anyep njejeb kaya gedebog gedhang kapok.
“Thok … thok … thok …,” sepisan engkas keprungu lawang kamar dithothok.
“Kami dari Kepolisian, Saudara Sabar dan Saudara Sumi kami tahan, karena telah memalsukan surat penceraian!” keprungu swara cetha kang kebak wibawa. Sabar lan Sumi mung bisa pandeng-pandengan.
Lan nalika Sabar lan Sumi metu saka kamar hotel, wis ana polisi loro kang dietutake Giman.
Jaya Baya, No. 18, Minggu I, Januari 2005
Janur ora bisa kumecap. Karo maneh ora ngerti apa sing kudu diucapake. Mula ya mung terus gedheg-gedheg karo ndhingkluk. Nyangga bathuk ing tangan kiwa, nutup mripat lan nggeget lambe.
Nalika Manggar gawe konsep seminggu kepungkur, Janur melu maca lan cetha yen jenenge tinemu ana ing urutan nomer rolas. Ning, sawise dipriksa Kepala Kantor, jeneng kuwi ditutupi spedhol ireng njanges, mertandhani yen Pak Kepala wis ora keduga karo jeneng kuwi. Iku uga ateges yen Janur ora bakal melu nampoa rejeki, dum-duman bebathen tutup buku taunan, kaya taun-taun sadurunge.
“Yen statuse ora cetha ya repot. Apa presidhen dhirektur apa general manager!”
Janur njenggirat. Bali kamirungonen apa sing diucapake Pak Kepala sing nyemoni lan ngabangake kuping iku. Apa maneh olehe ngucapake karo semu mencep. Janur nglenggana yen dheweke kuwi mung golongan sendhal jepit utawa bala dhupakan, wong cilik sing lungguhe mung dhingklik.
Wis limalas taun anggone mergawe ing Biro Iklan Usaha Mandiri kuwi. Abot enthenge ayahan wis melu nyangga. Pait-legine usaha wis melu ngrasakake. Kepala Kantore wis ganti kaping nenem. Lan lagi saiki statuse Janur diongkreh-ongkreh. Kamangka wong-wong mesthine isih padha kelingan yen biro iklan iki tau meh jugrug. Wong-wong njero padha balapan ngeruk rejeki sarana balapan golek ordher lan panjer. Nanging dhuwit panjer digaglag dhewe. Ordher dijarake medhag. Pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, apadene kantor instansi rumangsa dibogog. Wusana mundur siji mbaka siji. Ora nuntut kerugian wae kalebu wis begja.
Sekar, Kepala Bidang Urusan Usaha lan Urusan Kepala Kepegawaian, kelingan marang Janur. Minangka kanca kenthel, Janur kerep disambati nggarap orderan. Janur pancen gamben yen bab milih lan nata basa. Presaja ning mencutake. Ora obral ukara njelehi sing ndakik-ndakik kebak janji lan iming-iming. Saliyane kuwi gambarane apik, katon urip. [ 277 ]Janur sekawit mung karyawan pocokan, sawise dirimuk gelem dadi pegawe biro iklan iku. Pabrik, perusahaan, apadene instansi sing wis mbayar panjer ordher digarap mbaka siji. Ing dina-dina candhake akeh dhirektur perusahaan, kepala instansi, mandhor pabrik padha njomblak nalika krungu radhio nggiyarake iklan sing magepokan karo kantor, instansi, lan perusahaan papane nyambut gawe. Pating plongo nyumurupi spandhuk lan baliho ing pojok-pojok kutha. Pating pencereng njingglengi iklan ing surat kabar. Tanpa ditagih njangkepi kekurangane mbayar ordher. Biro iklan iku terus bali moncer, ordhere bali ndlidir.
Ewasemana jenenge Janur malah durung dicathet ing buku administrasi kepegawaian. Genahe isih kalebu karyawan lepas, ora duwe ancerancer bayar sing gumathok. Mung ngejibake akeh-sethithike garapan ordher lan prosentase saka anggone golek ordher. Untunge iki wis nyukupi, apa maneh pendhak tutup taun keduman bebathen. Mung wae gandheng jenenge durung klebu ing buku gedhe, kalungguhane dadi ringkih.
“Menawi damel repot lan ngregeti, nggih dicorek mawon!” Janur sumlonong mangsuli tanpa dipikir dawa. Merga kegawa saka atine sing kebranang, rumangsa diece lan disepelekake.
Kepala kantore mendelik kaget. Dadi kepala setaun, durung tau mrangguli wangsulan sing miturut ukurane murang tata. Sing kerep dirungu padha nyadhong duka senajan ora luput. Nuwun inggih sendika dalem. Saka pangirane, Janur mesthi bakal ngajak bojone mundhukmundhuk sowan menyang omah, nyangking oleh-oleh. Ngrerepa njaluk kawelasan sawise disrengeni. Ning nyatane Janur kok seje….
Wulan candhake Janur ora nampa bantuan transportasi maneh. Yen ana ordher dipasrahake wong liya sing dudu pegawe biro iklan kono dhewe. Sajake Pak Kepala kuwi wis duwe wong dhewe sing luwih dipercaya. Janur ora dililane golek ordher. Yen mbeneri ana rapat ditilapake. Kanthi mengkono panemu lan gagasan-gagasane ora bisa diwedharake. Dhuwit kang ditampa saben wulane dadi anjlog. Nadyan ngono Janur ora gelem dadi kutu loncat. Ora seneng ngolah-ngalih nggon gaweyan. Ati lan pikirane disabar-sabarake, sapa ngerti sesuk apa mbesuk bakal ana oeah-owahan. Nanging pangarep-arep iku tanpa guna. Janur saya kepepet lan saya kepencil.
Janur banjur nyoba metani awake dhewe. Nyoba nggrayangi kaluputane. Saka rumangsane kaya ora tau gawe kaluputan marang kanca. Ora tau gawe kapitunane sapa wae. Janur wis ngerti sapa kancane singseneng wadul kuwi. Golek rai, pamrihe bisa ketengen.
Nanging kira-kira wae, nesune Kepala Kantor kuwi wis nyundhul mbun-mbunan tenan. Rumangsa dicecamah jeneng lan kalungguhane.
“Yen pancen kaya ngono, nggih mangga mawon!” tekad batine. Janur wegah ndedawa pikir. Banjur jumangkah marani Manggar sing arep mateni komputer. [ 278 ]“Kosong?” pitakone.
“Arep dienggo?” Manggar ganti takon. Janur manthuk.
Sawise mapan lungguh lan mikir sedhela dheweke banjur wiwit ketak-ketik. Mbarengi Manggar bali, anggone ngetik rampung. Sawise ditliti sepisan maneh lan ora ana salah ketik, banjur ngadeg, lan sumingkir.
“Tulung di-print-ke,” panjaluke.
Manggar manthuk saguh. Sepisan maneh layang diwaca. Wusanane banjur tumuju kamar kerjane Sekar.
“Titip!” aloke karo ngulungake layang.
“Apa amenh?!” Sekar miterang. Janur mung ngangkat Pundhak. Sawise melu maca layang, Sekar mencereng nyawang Janur.
“Wis dipikir?”
“Sikil lan tanganku wis disrimpung. Sesuk utawa suk emben guluku sing digorok,” Janur mangsuli mandhes.
Sekar mesem kecut lan kelingan marang jenenge Janur sing dicorek spidhol ireng. Sekar melu cuwa lan gela. Uga bisa ngrasakake kaya ngapa wirange. Sekar kober nyipati sawise weruh yen jenenge dicorek, raine dadakan suntrut lan pucet. Lambene umak-umik kaya ana sing arep diucapake. Sejatine Sekar wis bisa nggrayangi yen Kepala Kantor ora seneng marang Janur, wiwit sawise limang wulan njabat. Nanging Sekar ora kuwawa tumindak apa-apa.
“Nanging sadurunge ana surat keputusan kudu ngantor lho. Aja mbalela!” Sekar meling. Janur mesem semu mencep banjur pamit mulih. Kamangka isih setengah sepuluh.
Lakune mung sakepnake wae, ngiras karo nguja sesawangan. Pambengoke sopir angkutan kota apadene tukang becak sing tawa-tawa mung diwangsuli sarana ngobah-obahake tangan tengene. Saya adoh jangkahe saya kepenak. Ambegane tumata entheng. Raine sumringah mbaka sethithik. Sedhela-sedhela ngumbar esem. Janur rumangsa uwal saka sakabehing panandhang. Uwal saka panyawang-panyawang sing ngemu panutuh. Janur ngreti apa kang bakal dumadi lan Janur arep ngadhepi sakabehing kadadeyan kanthi dhadhag. Janur njaluk leren sadurunge dilereni. Kuwi luwih becik lan luwih aji.
Pancen yen wis omah-omah—malah wis duwe momongan—mangka ora cekel gawe, kuwi ora kepenak. Tansah dadi rerasaning tangga. Bisa mangan saben dina, duwe panganggo sing rada pantes, ngono wae wis disujanani. Yen ana tangga sing kelangan, banjur dadi punjering lirikan. Kosok baline yen urip kesrakat iya diece. Urip prasasat tanpa aji. Nanging cekel gawe yen tansah digawe lara ati, lan kesiksa batine, dicecamah, iya saya ora kepenak maneh. Karodene sing diarani nyambut gawe kuwi ora kudu budhal esuk, mulih sore. Ora kudu menyang kantor apadene menyang pabrik. [ 279 ]Ngepasi jumangkah ing ngarep toko obat “Tamba Teka” ana sepedha montor bebek biru mandheg. Sawise mateni mesin, wong lanang sing numpak sepedha montor iku mlayu-mlayu mlebu toko karo ngempit helm.
Lan weruh kunci kontak isih cumanthel, Janur mencereng, pikirane banjur ora jenjem. Noleh ngiwa-nengen ora ana juru parkir. Ngungak ratan, ora katon polisi patrol. Janur saya goreh. Lon-lonan jumangkah nyedhak. Sepedha montor kuwi dililing-liling. Sepisan maneh dheweke ngawasi kiwa-tengen. Sing cumanthel ora mung kuncine wae nanging mawa gandhul dhompet cilik. Njeron dhompet kuwi mesthi ana SIM sak STNK-ne pisan.
Janur megeng napas. Jroning batin maido wong sing sembrana kuwi. Lan kanthi tangan rada ngewel, kunci didudut. Digegem. Karepe, terus arep mlebu nggoleki sing duwe. Nanging bareng ngelingi yen sepedha montor kuwi ora ana sing ngulat-ulati, pikire dadi gojag-gajeg, banjur trima amping-amping lawang toko.
Watara saprapat jam sing duwe sepedha montor jumedhul, nyangking tas kresek isi obat-obatan. Sadurunge nylingkrik sepedha montor, ngrogoh sak clana, ngrogoh sak klambi. Banjur clilengan. Banjur arep bali njranthal mlebu toko.
“Nggoleki niki ta?” pitakone Janur karo nuduhake kunci.
“Hahhh?” sing nggoleki mlongo. Janur banjur crita apa anane.
“Anakku lara. Aku kesusu-susu golek obate,” sing duwe sepedha montor wangsulan. Banjur ngrogoh dhompet ndudut dhuwit diulungake Janur.
“Gak usah, Mas.”
“Lho?”
“Wis ta gak usah. Liya dina aja sembrana maneh.”
“Alamate sampeyan ngendi?”
“Gampang. Wis, ndang mulih, obate selak dienteni,” kandhane Janur.
“Matur nuwun lho ya,” sing nduwe sepedha montor ngucap karo nguripi mesine.
Nalika sepedha montor wiwit mlaku, Janur nyawang karo mesammesem, karo gedheg-gedheg.
“Ora maido. Uwong yen lagi dauber kepentingan pancen sok tledhor,” alok batine karo wiwit jumangkah.
Janur kepengin ngukur jembaring kutha. Kepengin meruhi umyeke wong nguyak butuh.
Pranyata sumber panguripan iku ora mung saenggon.
Jaya Baya, No. 16, Minggu III, Desember 2006 [ 280 ]LAWAS Sumono Sandy Asmoro
Wanci surup kendharaan sing ditumpaki Ndaru mlebu wilayah Ponorogo. Ing pinggir dalam katon patung reyog, komplit sak jathil lan gunungane, sing pancen mujudake kesenian khas. Weruh iku nom-noman kuwi kok terus eling nalika dheweke KKN ing dhaerah kono, ing wilayah Tonotan sing nganti saiki isih nyimpen kenangan. Mula, ora ketang sedhela, Ndaru terus arep mampir nyang daleme Pak Brojo, sing biyen dadi Poskok KKN. Ndaru rumangsa kepotangan budi marang kulawarga kuwi.
Omah modhel lawas sing dumunung ing kidul dalan kuwi katon sepi. Nanging lawang sisih kiwa menga. Ndaru nyicil ayem, iku tegese sing kagungan ana ndalem.
“Kulanuwun…,” Ndaru uluk salam, ngadeg ing ngarep lawang.
Durung nganti ngambali anggone uluk salam, wis ana wong lanang sing nyedhak menyang arahe lawang. Ndaru rada pangling, apa bener wong kuwi Pak Brojo? Biyen nalika dheweke melu manggon ing omah kono, awake Pak Brojo iku lemu. Nanging saiki kok kuru banget, presasat kari balung kibuntel kulit.
“Mangga, madosi sinten, Mas?”
Bareng wong iku manggakake, Ndaru ora pangling, cethak yen iku swarane Pak Brojo. Dheweke banjur mandeng wong sing ana sangarepe kuwi sinambi ngumbar esem.
“Sampeyan menapa pangling kaliyan kula, Pak Brojo?” Ndaru semu njajagi.
“Oh, Mas Ndaru ta. Saestu Mas, kula pangling. Wah, sakniki ketingal benten kok Sampeyan,” sambunge Pak Brojo grapyak semanak marang tamune.
Dening Pak Brojo banjur diajak mlebu. Kekarone rembugan gayeng. Saka polatane kena diwaca yen Pak Brojo seneng banget disambangi Ndaru. Awit nom-noman kuwi ndhisik wis direngkuh kaya dene anake dhewe. Awit, wis ana lima las taunan anggone Pak Brojo omah-omah karo Bu Tanti nanging nyatane iya durung duwe momongan.
“Niki wau saking Surabaya napa saking pundi, Mas?” [ 281 ]“Saking Pacitan, Pak. Ngawontenaken penelitian kangge skripsi.”
“Lho, ngantos samenika dereng lulus ta?”
“Dereng, Pak. Pancen repot. Kuliah luluse, menawi sampun lulus badhe pados pedamelan ugi angel. Ngantos jibeg kula ngraoske.”
“Nggih, dilampahi mawon. Mbenjang rak pikantuk margi piyambak menawi sampun wancinipun nyambut damel…”
Sinambi terus pirembagan karo Pak Brojo, Ndaru ngrasakake anane owah-owahan ing omah kuwi. Biyen isen-isene sarwa tumata lan kerumat. Nanging saiki pating slengkrah ora pati diurus. Taplak meja wae nganti ora ana. Jogan uga katon yen arang disaponi. Apa maneh awake Pak Brojo kuru banget nganti kaya wong lara. Ana owah-owahan apa ing omah iki? Pitakon iku isih kasimpen primpen ing jroning atine Ndaru. Sing luwih gawe gumune Ndaru, menyang ngendi Bu Tanti kok ora nemoni dheweke? Kamangka nalika dheweke manggon kono, Bu Tanti gemati banget marang dheweke. Saben esuk mesthi nyepaki wedang kopi. Saben bengi uga nyawisi nyamikan, ora ketang mung pohung goreng. Bu Tanti uga ngrengkuh Ndaru kaya anake dhewe. Nanging iki mau kena apa kok durung ketok? Kamangka wis meh sak jam Ndaru anggone mertamu.
“Ibu tindak dhateng pundi, Pak, kok ketingal sepen?” Ndaru nyoba takon.
“Duka Mas, kala wau criyose badhe nyambangi ponakanipun, ning ngantos dangu kok dereng mantuk,” sambunge Pak Brojo semu nyingitake prekara.
Weruh Pak Brojo sajak kurang rena disuwuni priksa prekara Bu Tanti, Ndaru njur ngalihake kawigaten, ngajak rembugan prekara liya. Biyen nalika KKN ing dhaerah kono, Ndaru nate cedhak karo sawijining prawan kembange desa kono. Jenenge Narti. Senajan lagi lulus SMA, nanging Narti wis katon dewasa. Wawasane jembar, ora kaya ABG maneh. Mula, Ndaru kepengin sesambungan serius karo dheweke. Nanging kabeh kekarepan mau gelem ora gelem kudu mandheg satengahing dalan, awit wong tuwane Narti ora setuju.
Tenane, sekawit Pak Wandi, wong tuwane Narti rumangsa seneng yen anake wadon ana sing arep nglamar. Nanging bareng ditlesih, jebul Ndaru iku anak mbarep utawa anak nomer siji. Sedheng Narti anak nomer telu. Manut petungan Jawa, ngono kuwi jenenge lusan besan, ora apik yen dibacutake. Kanthi alesan kuwi Pak Wandi kanthi alus ora nyetujoni sesambungane Narti karo Ndaru.
“Narti sakniki napa sampun emah-emah, Pak?” pitakone Ndaru sajak isin.
“Sampun, Mas. Angsal lare mriki mawon,” sambunge Pak Brojo kanthi blaka. [ 282 ]“Lare ngriki, sinten lho Pak?”
“Darman, yogane Kamituwa Barno nika lho.”
Ndaru kaget. Darman biyen anggota Karang Taruna sing akrab bangetkaro bocah-bocah KKN. Dheweke uga ngerti yen Ndaru sajak mambu ati karo Narti. Yen pancen saiki Darman omah-omah aro Narti, Ndaru kepengin ketemu bocah loro kuwi, arep menehi ucapan selamat.
“Sakmenika Narti manggen griya kilen menapa griya wetan, Pak? Mboten ketang sakedhap kula kepengin pinanggih kaliyan Narti lan Darman.”
“Wonten griya kilen, griyanipun tiyang sepuhe Darman. Lek sampeyan badhe dolan mrika, menawi kula kenging emutaken, ampun sakniki. Gantos wekdal mawon.”
“Menawi sakniki kenging menapa, Pak?”
“Sakniki, rumah tangganipun Narti menika nembe ruwet. Darman kumat nakale. Saben dinten namung main saha omben-omben kalih kancakancanipun. Malah wonten kabar menawi Narti nyuwun pegat. Mangkemenawi sampeyan dolan ngrika, malah dipun wastani nglincipi carang papak. Awit nalika semanten sampeyan rak nate gadhah sesambetan kaliyan Narti.”
Ndaru ngerti apa sing dikarepake Pak Brojo. Mula, dheweke banjur murungake niyat anggone bakal ketemu Narti. Yen nekad, mundhak ana sing ngarani arep ngrusak rumah tanggane liyan, utawa ngrebut bojone wong liya. Sebab yen dheweke ketemu Narti tenan, Darman mesthi cemburu, lan aja-aja kekarone sida pegatan tenan.
Udakara jam sepuluh bengi, Ndaru pamit bali menyang Surabaya. Awit sesuk esuk kudu ketemu dhosen pembimbing skripsi ing kampus.
“Niki pun ndalu lho, Mas. Langkung prayogi nyipeng ngriki kema-won….” Sanajan ora kurang-kurang anggone Pak Brojo menggak kekarepane Ndaru, nanging dheweke tetep nekad bali. Sebab acara ing kampus sesuk esuk penting tenan. Apa maneh rasa kangene marang desa kono wis antuk tamba, senajan ora bisa ketemu Narti, bocah wadon singnate ngisisaperangan uripe.
“Empun nggih, Pak, kula mantuk. Salam kula kemawon katur dhumateng Bu Tanti,” pamite Ndaru, terus jumangkah ninggalake omah iku.
“Inggih, Mas, ingkang ngatos-atos wonten margi. Mbenjang menawi sampun lulus kula aturi dolan mriki malih.”
Ndaru banjur tumuju terminal lawas. Arep golek becak dikon ngeterke menyang terminal anyar. Sadurunge budhal menyang terminal anyar, kanggo ngangetake awak, dheweke golek kopi jahe ing warung kopi ing ngarep terminal lawas. [ 283 ]Ndaru kaget bareng weruh kahanan ing kene. Akeh warung kopi anyar kang bukak bengi. Apa maneh ing kono uga akeh wong wadon sing padha kluyuran. Nanging Ndaru sajak kaya ora perduli, banjur mlebu ing sawijining warung kopi sing ketok sepi.
“Unjukane napa, Mas?” pitakone tukang warung kopi sinambi nyawang Ndaru.
“Kopi jahe, Bu.”
Sinambi ngenteni pesenane, Ndaru terus kebal-kebul rokokan kanggo mbuwang rasa sepi. Bareng karo tukang wedang kuwi ngulungake kopi, ana wong wadon sing nyedhaki dheweke, nyilih korek kanggo nyulet rokok. Ndaru rumangsa risi dicedhaki cah wadon nakal kuwi. Apa maneh njur ngajak kenalan, mancing-mancing rembug. Ning Ndaru tetep puguh, ora kengguh. Nerusake anggone ngombe wedang jahe, sinambi terus sedhal-sedhul rokokan.
Udakara jam sewelas ana sepedha montor sing mandheg ana ngarep warung kono. Sawise ngedhunake wong sing mbonceng, sepedha montor iku bablas bali. Wong wadon sing diudhunake terus mlebu warung kono.
“Bar digawa metu, mesthi entuk dhobel, ya?” aloke tukang warung marang wong wadon kuwi.
“Apane sing dhobel! Malah mung dibayar separo, sing separo nggo losmen. Rada edan wong kuwi. Kepenake dhewe wae,” wong wadon iku nggresula.
Ndaru nyawang wong iku. Sepira kagete, jebul Bu Tanti, garwane Pak Brojo.
Bu Tanti dhewe ya kaget dene Ndaru ana kono. Ora wurung kekarone padha salaman, terus crita werna-werna, awit wis sawetara wektu ora ketemu.
Wis setaun iki, Nak Ndaru, aku nglakoni kaya ngene. Bapakmu awake nganti entek anggone mikirake aku. Kuwatir yen aku nganti ora bali,” kandhane Bu Tanti tanpa sungkan.
“Nanging rak inggih taksih asring kondur ta, Bu?” sambunge Ndaru. “Saben esuk aku bali. Dening bapakmu wis dicepaki wedang. Tenane aku ki ya ora diolehi nyambut gawe ngene iki. Meh saben dina aku dituturi. Bapakmu nganti direwangi pasa-pasa lan golek wong tuwa barang. Ning ya kepriye maneh, jenenge wong nyambut gawe, golek butuh.”
“Bapak rak inggih nyambut damel ta, Bu?”
“Iya, ning wis ora kaya biyen. Saiki wis tuwek, tangane wis suda akeh. Yen mung njagakake hasile dheweke, ora cukup.”
Saka njaba warung keprungu swara wong lanang undang-undang. Sajake langganan sing arep ngajak Bu Tanti. Sapungkure Bu Tanti, Ndaru mbayari kopi jahe-ne, ngawe becak dikon ngeterake menyang terminal anyar. [ 284 ]Saiki dheweke wis ngerti apa sing njalari Pak Brojo dadi rusak awake. Nanging dheweke ora bisa tumindak apa-apa. Atine Ndaru melu kerantaranta. Ndaru terus mlebu terminal anyar. Adheme bengi saya gawe kekesing ati.
Jaya Baya, No. 19, Minggu I, Januari 2006
Mbah Putri
Wis dadi kebiasaan saben pendhak lebaran, bocah-bocah mesthi padha merlokake teka, saperlu ngabekti marang wong tuwa. Endi sing sakaJakarta, Cirebon, Malang, Bandung. Sing jenenge Ibu, senajan repot lan kesel, nanging ati iki seneng, marem lan mongkog. Bisa kepethukanak, matu lan putu-putu sing lucu-lucu.
Ora mesthi setahun sepisan ketemu. Riyaya sing kepungkur uga padha merlokake teka. Wah ramene, bocah akeh, kapeksa yen bobuksebagiyan tak gelarke karpet. Saperangan maneh ana sing nginep hotel.
“Mangga Bu, tindak Jakarta, benjang konduripun dalem dherekaken,” tembunge anakku sing nomer papa ing sawijining sore.
“Ah …, ora, Le. Wong wiwit bapakmu kapundhut kae, aku ki rasane aras-arasen yen arep lunga-lunga.”
“Kersanipun pirsa rumah tangganipun putra-putra. Sampun dangu sanget Ibu mboten pirsa Jakarta. Wiwit lamaranipun adhik Ragil, ngantos anakipun samenika sampun wonten SD kelas kalih. Rak sampun meh sedasa taun!”
“Saiki aku wis tuwa, Le. Mengko malah gawe repotmu. Ngeterna rana, ngeterne rene. Merga yen wis tekan Jakarta kana iku, rak ya kudu niliki sedulur-sedulur, kabeh diratani,” wangsulane semu ngotot.
“Sampun yuswa pinten ta Bu, panjenengan samenika?”
“Suk Desember ngarep iku wis pitung puluh sanga taun. Wong lairku iku tahun 1927.”
“Nanging Ibu taksih klebet awet timur. Nyatanipun taksih ketingal trengginas ngaten kok. Kula kepengin sanget Ibu rawuh Jakarta. Sampun kuwatos, mangke dalem awat-awati,” wangsulane anakku ora kalah ngotot.
Ngiras nglegani panjaluke anak, aku sida nuruti nglencer tekan Jakarta. Dina-dina ana Jakarta, kesibukanku kejaba gojek karoanak putu, uga tak perlokake silaturrahmi menyang sedulur-sedulur. Kabeh tak ratani.
Bubar mangan awan, nalika aku arep sholat Dzuhur, milang-miling nggoleki pernahe jam tembok sing cumanthel ana ruwang makan. Maune [ 286 ]aku ya ora pati nglegewa, ning bareng tak setitekake, atiku kaya ana sing ngosikake ….
Aku banjur kelingan jaman kurang luwih pitung puluh taun kapungkur. Nanging ya wis cat eling, cat ora saking lawase. Nalika semana aku lagi umur sangang taun, yen ora kleru iku taun 1935.
Nalika iku ing sawijining dina, aku ndherek bapak neng daleme Haji Abbas saperlu ndeleng lelang. Haji Abbas iku sugih-sugihe wong sadesakono. Sarehne wis tuwa arep diboyong anake menyang Surabaya, mula barang-barange arep dilelang.
Kebeneran wektu iku bapak kok mentas oleh rapelan, mula banjur arep mundhut apa mengko sing dikersakake. Sidane bapak mundhut jam tembok. Modhel prapatan merek Johan.
Jam iku elingku wis rega pitung rupiah. Jaman Landa biyen Goldhen. Banjur dipasang ana tembok ruwang makan. Aku ya wis ora maelu maneh —wong jenenge bocah—sekolah wae ya terus ana ing liya kutha.
Apamaneh dhek taun 1942 aku ya wis terus diomah-omahake lan terus kaboyong menyang Tuban mengikuti suami. Nganti seprene wis 64 tahun olehku ngoyot, nganti putu-putuku gemrayah akeh. Mung kadhang kala—ora mesthi limang taun sepisan—aku tilik ngomah. Terus bareng wong tuwaku sakarone wis padha kapundhut, tambah blas, aku terus wis ra tau ngambah tanah kalairanku maneh. Omah saisine dipercayakake marang uwong sing kena dipercaya, merga putraputra padha adoh kabeh.
Taun 1995, mbeneri mengeti sewu dina sedane swargi Bapak, aku entuk telpun saka adhiku sing ana Semarang, njaluk supaya dina Sabtu aku menyang Jagorogo. Kejaba slametane dadi siji ana kana, ya arep nganakake rapat keluwarga, sebab ana rembug sing wigati. Lan adhik-adhik liyane uga wis padha dikabari kabeh.
Rong dina sadurunge gawe, aku sida budhal ngajak putuku sing kebeneran prei ora kuliah. Budhalku saka Tuban isih rada esuk. Metu Cepu, tak angkah aja nganti sore-sore tekane Jogorogo. Jam rolas persis tekan Ngawi. Bis Gunung Mas jurusan Ngawi—Ngambe wis siap. Aku wong loro terus munggah. Ora nganti sepuluh menit langsung berangkat. Senajan lakune bis kaya disawatake, ning rasane kaya mung nggremet. Dayane ati selak kepengin kepethuk karo sedulur-sedulur sing wis lawas ora ketemu sarta baya apa sing bakal dirembug mengko.
Ana ing desa Nggenthong leren rada suwe, ngedhunake bakul-bakul saka Paron. Soca, Tunjungsari wis keliwatan, bis bablas ngulon.
Kegawa saka kemajuane jaman, kahanane wis salin kabeh. Embuh wis pirang taun aku ora ngambah desa iki. Omahe Krama Sate sing maune gedheg saiki wis kaya loji. Jarene omahe Sarminah, kanca dolan, saiki ya wis dadi gedhong magrong-magrong. Embuh sepira tuwane saiki, aku [ 287 ]ora ngerti. Aku dhewe saiki wis umur pitung puluh sanga. Omah gebyog ngarep Sinderan modhel kuna kuwi, wis katon regeng.
Aku terus mudhun. Adhik-adhik wis padha teka. Ing pawon wis umyek wong-wong sing padha masak kanggo persiapan slametan. Tekaku disambut gembira, tutug olehe padha kangen-kangenan. Esuke tak perlokake mlaku-mlaku golek hawa seger, ngidul nganti tekan Kali Ngandong. Jam sepuluh esuk, sawise padha nyekar, musyawarah diwiwiti.
Putusane rembug, ing rehning sak sedulur wis padha duwe omah dhewe-dhewe, omah tuwa iki mupakat didol wae. Aku ya mung manutmanut wae. Dene bab barang-barang, sapa sing kersa ngersakake kena nggawa, mengko sisane bakal dilelang.
Sedulur akeh, dadi ya rena-rena. Ana sing terus nggawa keris, album foto, agemane swargi bapak-ibu. Ana sing seneng nggawa bala-pecah. Aku dhewe nggawa wadhah ganten sak paidone saka kuningan. Jam tembok kuwi isih cemanthel ana panggonane sekawit, embuh wis pirang mbegedad taun umure. Ora owah saka enggon. Nanging aku dhewe nalika semana ora duwe minat arep nggawa jam tembok kuwi. Awit kejaba nggawane rekasa, ing omah Tuban wis ana loro, kathik sing siji weton Perancis, oleh-olehe anakku nalika tugas mrana.
“Bu …, Ibu kok ngalamun. Sajak ana sing dipenggalih?” tembunge anakku gawe kaget.
“Mesthi Ibu menggalihomah Tuban. Selak kesusu kondur. Boten kraos ta, Bu?”
“Krasan …,” wangsulane kalem. Aku ambegan dawa. Pikiranku isih durung temata.
“Lha, wonten menapa?”
“Anu …, awakmu iki kok seneng barang-barang antik. Tak delengdeleng bekakasmu kabeh sarwa antik. Jam tembok kuwi olehmu tuku neng ngendi?” pitakonku kepengin ngerti.
“Nggih dahteng Jakarta, ngiki kemawon. Pancen khusus sadeyan barang-barang antic.”
“Emmm ...,” aku meneng. Pikiranku saya kadereng kepengin ngerti.
“Pira kuwi olehmu tuku?”
“Mirah kok, Bu. Tigang yuta,” wangsulane.
“Telung yuta …?!” pitakonku tak ambali aneh semu kaget. Anakku manthuk.
“Nembe setaun kok, Bu, anggen kula tumbas.”
“Merek Johan ya, kuwi?”
“Lho, Ibu kok pirsa?”
“Ngerti …. Merek Johan pancen apik. Jajal jame iki udhukna. Aku kok kepengin ngerti.” [ 288 ]“Sajakipun Ibu kok serius saestu.”
“Iya …, atiku kadereng kepengin ngerti temenan,” wangsulanku. Jam iku sidane sida diudhunake. Lan bareng dak iling-ilingi, dak deleng mburine …. Ora lidhok, mburi sisih kiwa ngisor, ana tulisane tanggal lan asmane bapak swargi, nadyan wis kari lamat-lamat, wis meh ora katon.
“Jogorogo, 12 Desember 1935, Soma Atmaja” ngono unine, nganggo tulisan Jawa, cilik-cilik ngrawit.
Sakala awakku rasane mrinding. Sawise atiku sareh, aku banjur crita nglawer ngandharake asal-usule jam tembok antik kuwi.
Alhamdulillah, jam iki kok ya tiba nyang anakku dhewe.
Jaya Baya, No. 12, Minggu III, November 2006
Nalika pengetan dina kamardikan kae aku oleh remisi sesasi. Kanthi mengkono ukuman sing telung taun iki kari kurang sesasi meneh. Nanging sesasi kang pungkasan iku dakrasakake kaya luwih suwe tinimbang rong taun sangang sasi sing wis daklakoni. Sesasi pungkasan, sing prasasat lambah-lambah karoban eluh sing tansah dleweran mili saka pardoning mripatku.
Yatalah temen awakku iki, ngono sambating atiku rina-wengi. Ingatase bapakku guru agama, dina-dina paring piwulang luhur marang murid-murid apa dene warga masyarakat, jebul aku malah kecemplung ing tindak maksiyat sing dibendu wong sajagad, melu-melu ngincipi narotika. Kecekel polisi. Akibate, telung taun aku kudu ndhekem ing pakunjaran. Mesthi wae kuliaku pothol. Dina tembeku peteng.
Aku bisa maklum ing sajroning telung taun ana pakunjaran mung ping pindho ditiliki bapak lan ibu. Kepara aku matur nuwun banget dene bapak lan ibu isih kersa ngaku anak marang aku. Olehe tilik mesthi ngadhepake sadranan, banjur ngelingake supaya ing pakunjaran aku tetep nindakake pasa Ramadhan lan solat taraweh, sarta ngakeh ngakehake istighfar, nyuwun ngapura sakehing dosa.
Ngadhepake sadranan taun iki aku wis dibebasake. Bungahku tumpuk undhung. Dene bisa bali urip ana ing njaban pakunjaran, bisa sadranan, ziarah ing makam leluhur lan bakal ketemu lan kumpul maneh karo sanak sedulur.
Lan sing luwih wigati dene aku wis bisa bebas saka kecadhuan narkotika. Nalika aku metu saka gapura pakunjaran, sing dhisik dhewe dak ucapke: Aku sumpah dhemi Allah, arep melu mbrantas narkotika. Sikilku entheng jumangkah napaki dalan. Ngawe ojek dakkon ngeterake nyang terminal bis. Banjur numpak bis jurusan Klaten. Mudhun terminal. Melu bis pedhesaan sing liwat desaku, Trucuk. Akhire makcles kaya siniram banyu wayu rasane atiku nalika sikilku tumapak ing tanah kelairanku. Anehe, atiku kok dheg-dhegan kaya arep ketemu malaikat. Anehe maneh jangkahku kedher kaya dierog dhemit. [ 290 ]Anehe maneh, wiwit metu saka pakunjaran nganti wis tekan ngarep desaku, batinku kok tansah takon, bapak-ibu isih ana kono apa ora?Luwih dheg-dhegan maneh nalika saka kadohan weruh omah-omah ing desaku akeh sing rubuh kabrubuh dening krodhaning lindhu gedhe kae, lan seprene durung bisa diedegake maneh. Ing kana-kene katon tendha biru, ijo, jingga, lan putih padha diedegake ing kebon-kebon. Sajake seprene isih padha urip ing tendha-tendha iku.
Nalika aku wiwit mlebu lurung desaku, sesawangan dadi saya cetha lan genah. Pinggir dhewe kiwa-tengen lurung iku omahe Lik Dirsa lan Mbah Sani. Loro-lorone rubuh rata lemah. Omah candhake, omahe Pak Sarkam, isih ngadeg nanging temboke rengka-rengka kaya dirajang, dituwak-tuwak pring amrih ora jugrug. Candhake maneh omahe Pak Lurah, tembok sisih kidul jugrug separo lan payone mlosok sisih. Ing pajok prapatan, omahe Lik Modin sing rong wuwungan iku megar dadi loro, omah wetan bengkah dhoyong ngetan, omah kulon dhoyong ngulon, sajak kaya tangan megar munggah, nyenyuwun marang sing ana ndhuwur kana supaya enggal diudhuni dhuwit bantuan kanggo mbangun. Seprene omah kuwi tetep megar nyenyuwun, tetegse seprene dhuwit bantuan iku durung mudhun-mudhun.
Aku menggok ngetan nggawa pitakon jroning batin. Lho, omahku dhewe kepriye nasibe? Jantungku saya kedher lan atiku trataban nalika wis ngancik pojok pekaranganku. Omahku wis ora ana, kari katon jogan tegel keramik tanpa aling-aling tembok apa maneh payon. Ing sisih kulone katon ngundhuk-undhuk tumpukan brangkal, bata pecah-pecah lan remukan tembok, sisihan karo tumpukan usuh, balungan omah lan kusenkusen sing wis ora genah wujude. Dhuh Gusti, nyuwun ngapura ....
Aku meleng nata atiku. Bisa tumata sawetara katitik batinku nguwuh. Omah iku mung barang mati gaweyane manungsa, swanci-wanci isih bisa dibangun yen wis ana rejeki. Nanging bapak, ibu, lan adhi-adhiku padha kepriye, saiki padha ana ngendi? Jumangkah mlebu ana pekarangan, rasaku kaya mlebu njaratan. Sepi mamring ora ana glibede uwong. Kanthi rasa nggrantes aku munggah menyang njrambah omahku sing wis blakblakan tanpa tembok lan payon iku. Isih bisa daktitik jrambah tilas kamar pribadhiku dhek semana, ing sisih pojok kidul kulon. Aku lungguh dhelegdheleg ing kono, nyawang lemari lan mejaku sing wis semplok kabeh, gumlethak ing ngisor wit pelem kidul omah. Batinku takon, sandhangan lan buku-bukuku padha ana ngendi? Apa disimpen ibu? Njur ibuku ana ngendi wektu iki?
Aku njenggirat kaget nalika dumadakan keprungu swara wangsulan, kaya-kaya ngerti pitakon jroning batinku.
“Buku-buku lan sandhanganmu daksimpen, Le, ben ora kodanan.”
Aku noleh. Jebul Pak Cilik Ahmadi ngadeg ana mburiku tanpa dak ngerteni tekane. [ 291 ]“Pak Lik …,” aruh-aruh aku.
Rasa sedhih katon ing pasuryane sing kuru.
“Bapak, ibu, lan adhik-adhik wonten pundi, Pak Lik? Takonku ora sranta.
Nanging Pak Lik ora enggal mangsuli, malah eluhe katon mbrebel, dleweran ing pipine. Let sauntara lagi krungu ucape.
“Bakri, sarehna atimu dhisik, Le, lan tatanen rasamu, sebab lagi wae kowe teka dhog, weruh omahmu kaya ngene. Sedhela maneh mengko daktuduhi ing ngendi papane bapak-ibu lan adhi-adhimu.”
Sakala atiku geter, getihku kaya anjlog mudhun kabeh. Ing batin aku netepake, bapak-ibu lan adhi-adhiku mesthi dadi wong cacat merga kembrukan omah iki. Saya ora sranta atiku, kepengin enggal-enggal weruh kulawargaku, kepengin ngerti sanyatane, kepriye kahanane saiki.
“Mangga saniki mawon Pak Lik, kula selak kepengin semerep. Kula sampun sawega ing manah, kados pundi kemawon kawontenanipun bapak-ibu lan adhik-adhik.”
Pak Lik ora ngucap apa-apa, mung tanganku banjur digandheng, dituntun kaya bocah cilik lumaku ngetan nurut lurung. Batinku, mesthine bapak-ibu lan adhik-adhik padha nunut ana omahe Pak Lik sisih wetan kana. Sajake omahe Pak Lik ora rubuh kaya omahku lan isih kena dienggoni.
Nanging atiku kumesar lan getihku kaya mandheg nalika Pak Lik nggeret tanganku menggok mlebu makam. Aku arep takon nggenahake, nanging lambeku kaya dibungkem dhemit makam kono. Pak Lik uga ora kumecap apa-apa, mung terus nggandheng aku mlipir ing sela-selaning kuburan sing kabeh sinawuran kembang lan isih katon seger. Aku lagi eling yen dina iki dina sadranan. Ing sisih wetan katon akeh kuburan anyar jentrek-jentrek, kabeh mawa maejan sing meh padha, kanthi tulisan jeneng lan tanggal kematiane, kang tetela meh kabeh padha, 27 Mei 2006.
Tekan larikan angka telu, Pak Lik mandheg. Tangane nuding kuburan anyar jejer papat. Dakwacani siji-siji urut saka kulon, Kiai Irfan, Nyai Syarifah, Arief, Shalihah.
Sakala sikilku lemes ora kuwat nyangga awakku. Wekasan aku tiba ndheprok, ora ana barang kang bisa daksawang, awit ing panduluku mung katon wewayangane bapak, ibu, lan adhiku loro pisan, sing saiki padha mapan ana njero kuburan jejer papat ing ngarepku. Deres wetune eluhku kaya dineres, ora bisa dakbendung maneh. Nganti sauntara. Nganti aku wis kasatan eluh. Nalika iku Pak Lik ndhodhog ana sisihku, ndemek pundhakku karo ngucap, “Anakku, Ngger, ora mung kowe sing urip ijen. Aku kadangmu sing nunggal nasib, kalebu Pak Likmu iki.”
Aku noleh nyawang Pak Lik ....
“Dados …?” [ 292 ]“Iya,” saute Pak Lik munggel tembungku. “Bu Likmu lan adhi-adhimu uga tiwas, kari aku ijen. Mula kuwatna atimu, gemblengna tekadmu, kanthi rasa sabar lan tawakal, sateruse gumregaha ngleksanani welinge bapakmu.”
“Bapak meling napa Lik?”
“Sadurung ninggal, bapakmu isih bisa titip weling marang aku, mangkene. ‘Lik, mbesuk yen Bakri wis mulih, dhawuhana supaya ndandani omahe, nggarap sawahe, lan neruske bakulan kiose ibune, ing pasar kae. Nadyan kapeksa ora tutug kuliahe, kabeh welingku mau yen ditindakake kanthi temen, insya Allah bakal bisa dadi cagaking panguripan nganti salawase’. Ngger, iku ucape bapakmu kang pungkasan sadurunge seda. Yen kokleksanani kanthi tumemen, insya Allah bakal maujud lan dadi kasunyatan.”
Eluhku mbrebel maneh, kelingan blegere bapak yen pinuju nuturi aku. Kaya ora dakjarag tanganku loro pisan nebak kubure bapak, kayakaya aku lagi gondhelan sikile bapak kang lagi lungguh ing ngarepku. Kawetu ucapku kang mrentul saka telenging batin.
“Bapak, nyuwun pangapunten Pak, kula damel kuciwa ing pungkasan yuswanipun Bapak. Kula janji Pak, badhe sumingkir debih saking sedaya tumindak maksiyat lan badhe ngleksanani sedaya welingipun Bapak. Mugi Bapak tentrem lan mulya ing alam akhir sesarengan Ibu lan adhik-adhik.”
Tanganku nggegem lemah kuburane bapak kang isih mawur, dakremet ing dhadhaku karo ngucap, “Bumi sing nyangga sikilku, langit sing mayoni sirahku, lan kabeh makhluk sing ana kono, padha seksenana, aku arep nyambung sejarahe wong tuwaku sing kebak kautaman.”
Jaya Baya, No. 11, Minggu II, November 2006
Wis meh jam sanga bengi, nalika hp-ne bojoku muni, mratandhani ana sms sing mlebu. Aku lan bojoku sawang-sinawang klawan tegang, sadurunge dheweke nyandhak hp-ne sing banjur dibukak. Aku nyedhak melu maca isine sms sing lagi wae mlebu kuwi.
Samudi KPPN Sekayu, Suryanto KPPN Tanjung Pinang....
Mung kuwi sing bisa dakwaca. Sateruse mripatku blawur dening eluh sing makbrebel tumetes sanalika. Bojoku dakrangkul kenceng, eseme sepa, praupanne tanpa ekspresi.
“Ngendi kuwi, Pak?” pitakonku klawan swara gemeter.
“Embuh. Sik, daktakon Ndaru,” wangsulane bojoku njur mijeti keypad hp-ne, kirim smms maneh. Sauntara iku aku thenger-thenger lungguh ing sisihe. Kaya ora percaya. Impen ala sing sasuwene iki tansah disingkiri lan diajab aja nganti ana kuiwi, jebul saiki, dadi kanyatan tenan. Sekayu, kutha ing pulo ngendi kuwi? Sak jeg jumleg aku kok durung tau keprungu.
Sakjane wis ket sore mau bojoku bola bali nampa sms saka Ndaru, kanca kuliahe sing saiki nyambut gawe ing Departemen Keuangan Pusat. Jarene SK mutasi kanggo lulusan Prodip Anggaran angkatane bojoku wis resmi mudhun. Mutasi rutin kaya adate sing klakon saben limang taun sepisan. Kaya sing uwis-uwis, pegawe sing dhines neng Jawa bakal dipindhah nyang luar Jawa, semono uga suwalike sing saka luar Jawa genti pindhah nyang Jawa.
Yen nem taun kepungkur nalika nampa SK mutasi aku lan bojoku sujud syukur amarga bisa pindhah saka Palu menyang Surabaya, saiki ora. Jantungku rasane kaya arep ngglundhung nalika maca sms-e Ndaru dhek sore mau. Ketir-ketir nadyan kudune aku wis siap jer bojoku pancen wis taun suwene neng Jawa lan saiki gelem ora gelem gentenan karo kancane sing isih neng luar Jawa. Ning rasane kaya wegah wis kadhung ngrasakake kepenake manggon ing Jawa, cedhak wong tuwa lan sedulur. Kamangka, resiko kaya ngene iki wis dakweruhi nalika bojoku nglamar aku pitung taun kepungkur, resiko duwe bojo Departemen Keuangan [ 294 ]sing bakal pindhah-pindhah panggonan, ora kaya pegawe pemda sing panggah, manggrok salawase.
Banjur bojoku genti mbaleni sms-e Ndaru karo takon, “Aku pindhah nyang ngendi?” Ndaru genti mangsuli, “Jeenengmu jik dakgoleki, kok durung ketemu.”
“Jenengku ketlisut, beke, Buk,” kandhane bojoku nyoba guyon. bareng ngerti rupaku sing malih kaya kesaput mendhung.
“Ah, bapak ki ngawur. Apa ya isa ana pegawe siji kok kliwatan?” wangsulanku.
“Isa wae ta Buk, wong telung taun kepungkur kae aku rak ngejokake permohonan pindhah saka Surabaya nyang madiyun. Mbokmenawa kuwi sing dianggep SK terakhir, ddi dikira durung wayahe pindhah.”
Dakajab sakjane uga mengkono. Muga-muga jenenge bojoku ketlisut embuh nang ngendi, dadine ora sida katut mutasi periode iki. Wong mundhak jik dadi staf wae kok ndadak pindhah nyang endi maneh. Upama pindhaha suk wae yen wis duwe jabatan.
Nanging jebul ora. Sms sing saka Ndaru kuwi mau jebul wis mbusak angen-angenku. Bojoku sida pindhah tenan nyang KPPN Sekayu. Gek kutha ing sisih ngendi ya kuwi?”
Let sedhela Ndaru mbalesi sms, “Sekayu kuwi masuk wilayah Kanwil Sumatra Selatan, jarene kancaku kira-kira rong jam saka Palembang.”
“O, Palembang kono. Gak pati adoh kok Buk,” kandhane bojoku karo ngelus-elus pundhakku, nyoba nemtremake atiku.
Aku ora mangsuli. Batinku ngudarasa, ora patia adoh ritek, nek wis jenenge luar Jawa iki panggah krasa adoh. Apa bedane Palembang karo Aceh utawa Irian? Padha adohe. Lan kuwi ateges kanggo sauntara wektu aku kudu pisah panggonan maneh karo bojoku.
“Njur aku lan cah-cah kepriye Pak? pitakonku klawan swara gemeter. Genti bojoku sing ora mangsuli, awakku dikekep kenceng.
Pancen abot nglakoni urip pisah panggonan karo bojo. Kuwi biyen wis tau dakrasakake sasuwene telung tahun nalika bojoku saka Palu pindhah nyang Surabaya, dene aku pindhah nyang Mediyun merga ora bisa pindhah nyang Surabaya. Sasuwene telung tahun iku aku manggon neng omah kontrakan, wiwit bayine Ardi, anakku mbarep, nganti adhine lair tekan umur setaun. Bojoku ijen neng Surabaya, kos cedhak kantore ing Jalan Indrapura, saben dina Jumat sore mulih nyang Madiyun.
Iya, biyen ngono Surabaya-Madiyun isih kena ditempuh numpak bis mung patang jam. Saben Minggu isih bisa ketemu lan kumpul kulawarga, ora ketang mung rong dina, telung dina. Bareng saiki bojoku pindhah maneh nyang Sekayu ? Apa bisa sesasi, rong sasi pisan ketemu. Kamangka bocah-bocah wis kadhung kelet karo bapake merga wis telung taun iki kumpul. Anakku ragil, Lia, yen turu mesti nyuwun dikeloni bapake. Maem uga karo baapake. [ 295 ]“Apa aku melu pindhah pisan ya, Pak? Aku kok ketoke abot pisah karo Bapak,” pangudarasaku sawijining wengi, nalika anakku loro wis padha turu. “Pancen kudune ya ngono, Bu. Nanging nek ibu lan cah-cah melu pindhah, urusane bakal sansaya ruwet. Sing paling repot rak masalah aturan kepegawaian. Upama saiki Ibu isa pindhah nyang Sekayu, njur embuh pirang taun engkas aku pindhah maneh, apa ibu isih bisa ngetutake pindhah? Saya suwe pangkatmu bakal sangsaya dhuwur lan nadyan ibu wis trima nonjob angger isa pindhah, kuwi uga dudu barang kang gampang. Salawase aku bakal pindhah-pindhah terus. Malah mbokmenawa suk nek wis entuk jabatan pindhahku luwih cepet maneh, rong taun pisan isa wae pindhah. Ibu mesthi bakal keponthal-ponthal ngetutke,” kandhane bojoku.
“Dadi terus kepriye, Pak?” Eluhku wis dleweran maneh mbayangake aku bakal ditinggal bojoku, nunggoni cah-cah ijen neng ngomah anyar sing lagi dakenggoni setaun kepungkur.
“Ibu sing sabar ya. Awake dhewe pancen kudu pisah sauntara wektu. Iki kabeh pancen wis dadi garising urip sing kudu dilakoni klawan ikhlas, nadyan abot kaya ngapa. Awake dhewe wis diparingi wektu telung taun bisa kumpul, paling ora bapak wis marem bisa nunggoni cah-cah wiwit isih cilik-cilik nganti saiki wis sekolah kabeh...”
Dina-dinaku rasane malih peteng ngenteni budhale bojoku, rasane sing ana mung sedhih lan kudu nangis wae. Nanging enggal-enggal dakpupus. Bojoku kari pirang dina engkas neng ngomah, mosok arep daksuguhi ulat peteng lan tangisan terus? Mula kesempatan sing ana dakenggo seneng-seneng karo cah-cah lan bojoku. Dolan-dolan nyang mal, nyang alun-alun njur mulihe tuku martabak, utawa ngejak cah-cah renang. Neng omah uga tansah rame, kruntelan neng kamar lan bocahbocah tansah seneng nsdysn jroning batinku sedhih merga sedhela engkas bojoku bakal lunga adoh.
Ewasemono ora bisa diselaki, bocah-bocah panggah kaya yen bapake arep tindak suwe. Apa maneh Lia, anakku ragil, sing sasuwene iki cedhak banget karo bapake malih nakal lan aleman, ngluwihi adate.
“Ibu suk sing sabar nek momong cah-cah lho, ya, apamaneh Lia. Sajake dheweke kok abot banget pisah karo bapak,” welinge bojoku sedina sadurunge budhal.. “Bapak sakjane ora mental ninggal, mesakake Ibu nek mbesuk Lia rewel panggah nggoleki bapak terus...”
Sasuwene iki aku pancen ora pati tlaten momong Lia, amarga dheweke beda karo kangmase sing tansah manut lan anteng, Nadyan cah wadon ning ora gelem meneng lan aleman, tur sembarang karepe njaluk dituruti. [ 296 ]“Ibu janji, Pak, embuh mbesuk piye caraku ngatasi, sing baku bocah-bocah bakal suda katresnane. Muga-muga wae padha isa ngerti lan ora rewel. Sing penting Bapak dhewe neng kana ngati-ati merga ibu ora isa ndherekne. Maeme dijaga, aja nganti keladuk, istirahat sing akeh, aja kakehan mikir ben tensine ora mundhak,” kandhaku.
Bojoku mesem, “Nek Ibu tatag, bapak malih lega lila…” kkandhane karo ngelus-elus sirahku.
Bandara Juanda Surabaya, jam pitu esuk wis rame dening calon penumpang sing wira-wiri arep lunga. Pesawat Lion Air sing bakal ditumpaki bojoku budhal jam songo mengko. Saka Madiyun, aku sakeluarga bakal budhal jam telu esuk nyarter mobile tanggaku, saperlu nguntabake bojoku budhal pindhah nyang Palembang.
Sadurunge check in, bojoku iisih kober jagongan karo anake. Cah loro dipangku kiwa tengen. “Suk yen Bapak wis tindak, Mas Ardi njaga Ibu karo Adhik lo ya. Ora pareng nakal, adhike ora pareng ditukari. Kudu manut ngendikane Ibu. Nek kangen Bapak, telpun ya. Rak wis isa maca ta. Nek Bapak kirim sms, suk diwaca dhewe.” Bojoku nuturi anake. “Terus Dhik Lia ya ngono, ora pareng rewel, ora pareng nangis nggoleki Bapak merga Bapak tindak, golek dhuwit nggo sekolah adhik.”
“Aku gak nangis kok, Pak. Ngko bengi aku bobok karo Ibu,” kandhane Lia cemlewo.
Sakjane aku ora kepengin nangis, ning eluhku angel dak ampet wetune. “Bu...” swarane bojoku alon, meh ora keprungu. Sajak ngerti yen sedhela engkas bapake arep budhal, anakku loro pisan ya terus padha prembik-prembik melu nangis. Bapake dikekep kenceng. Wong papat sidane tangisan bareng.
“Ngati-ati ya Pak.” welingku klawan swara serak. Bojoku manthuk. Bathukku diaras alon. Anake loro disun siji-siji. Banjur tangane ngaweawe sadurunge mlebu ruang tunggu. Aku unjal ambegan landhung karo ngelapi eluhku. Bocah loro dakgandheng metu. Bojoku wis ora katon.
Lan nalika pesawate take off rong jam candhake, mak syiutt rasane separo nyawaku melu katut mabur menyang bumi Sriwijaya. Jroning batin tansah dak dongakake, enggal balia maneh, Pak. Aku lan anak-anakmu tansah ngantu-antu tekamu...
Jaya Baya, No. 22, Minggu IV, Januari 2007
Dalan ing kidul kampungku kuwi dijenengi dalan Pace. Ora merga akeh wite pace, nanging mung kanggo tetenger wae. Perlu kawuniungan yen dalan-dalan ing kampungku pancen dijejengi nganggo jenenge whowohan. Ana dalan jambu, salak, pete, manggis lan sapiturute. Dalan sing dakcritakake iki kabeneran diwenehi jeneng dalan Pace.
Kanggoku, dalan Pace iku pantese disebut gang. Ora pas yen disebut dalan amarga sepi tur ciut. Wong-wong ing kampungku padha nyebut gang kuwi katelah gang “maut”. Saka ngendi mula bukane, aku dhewe ora ngerti. Mung manut cathethane warga pancen wus akeh pawongan kang nemahi tewas jalaran ngliwati gang iki. Saora-orane wis ana wong telu: Pak Masduki, Bu Rohanah, lan Mbah Marsudi kakung. Kaya adate gugon tuhon kaya ngono kuwi sumebar kaya virus flu burung. Tanpa ngerti asal-usule, ngerti-ngerti wis sumebar warata sakampung. Nggumunku kabeh wong kok ya percaya yen gang Pace kuwi nyebabake tiwase pawongan telu. Kamagka, sing jeneng pati mono rak ana astane Gusti kang Maha Gesang. Apa ora kebangeten yen nganti nyalahke gang pace. Dakwenehi tetimbangan kaya ngono kuwi kabeh padha menjeb. Kang Giman malah wangsulan sengol, “Kowe kuwi bocah wingi sore ngerimu apa ta Le?! Ya benenr pati urip iku wis tinakdir. Ning sing jeneng ngatiati kuwi rak luwih utama?! Sapa ngerti apes paranmu!”
Krungu wangsulane Kang Giman kuwi, aku rada mangkel. Diajak nggunakake nalar kok ora gelem. Rumangsaku kok wis bener dhewe. Ning kepriye maneh, jejere wong enom iku trima ngalah. Jare kandha wani ngalah bakal luhur wekasane. “Ya taktrimak-trimakne wangsulanmu, Kang. Ning coba ayo dibuktekne apa bener gang pace kuwi gang maut temenan apa amarga sebab liya?” jawabku takbatin.
Kapeksa daktiliki maneh kedadeyan-kedadeyan sing wis kawurigegayutan karo sedane Pak Masduki, Bu Rohanah, lan Mbah Marsudi Kakung. Sing sepisan, yaiku Pak Masduki. Nalika seda, yusmane lagi skeet taun. Ning, kanggoku, bab umur kuwi ora kena dienggo pathokan. Sing jeneng mati kuwi luwesa. Bayi lagi lair, bocah umur setaun, bocah [ 298 ]isih sekolah, bujangan, dewasa, setengah tuwa, nganti tuwa thuyuk-thuyuk kabeh luwes mati. Dadi yen Pak Masduki yuswa skeet lima taun mati ya luwes-luwes wae.
Critane wektu kuwi Pak Masduki bubar lek-lekan jagong bayen ana omahe Pak Muharun. Kesenengane Pak Masduki mono main kertu cina. Saking senenge main kertu nganti diparabi Pak Masduki Bedor. Kok dijenengi Pak masduki bedor iku piye critane? Jare Pak masduki kuwi karemane munggah gunung, ngoyak-oyak kucing, pengin dadi ratu malah kebedor. Kabeh kuwi amarga kekaremane anggone seneng main kertu. Bubar main kertu meh ngebyar, Pak Masduki lewat gang Pace wong omahe pancen kudu ngliwati gang kuwi. tekan gang kuwi ndilalah Pak Masduki tiba. Mung jalaran tiba kuwi, Pak Masduki semaput. Bareng ditulungi wong malah mati separo.
Kulawargane Pak Masduki nyarawidekake perkara kuwi ana panggonane “wong tuwa”. Ndilalah sing digoleki dudu wong tuwa sembarangan. Yen wong tuwa sembarangan, bapakku kae ya wis tuwa. Ning ora kanggo. Sing disowani Bu Masduki sakeluwargane kuwi Mbah Samin gun, dhukun kondhang wetan desa. Manut pangandikane Mbah samingun, Pak Masduki kuwi kesambet dhemit sing manggon ana gang Pace kono. Becike, kulawargane slametan ana gang kono. Temenan dileksanani. Wengi candhake diadani kenduri ana gang pace. Ning garise ora isa diendhani. Seminggu sawise mati separo kuwi, Pak Masduki murud ing kasidan jati. marak ing ngarsane Pangeran. Kabeh mung bisa kandha cuwa lan gela.
Seminggu sawise kedadean kuwi ana maneh kedadean kang gawe cingake warga ing kampong kono. Bu Rohanah kang yuswane seket telu uga ngalami kacilakan kang meh padha karo Pak Masduki. Bedane, Bu rohanah wektu kuwi tiba saka sepedhah motor nalika diboncengake anake wadon, sunarsih. Tibane kok ya ngepasi ana gang Pace kono. Wektu kuwi wancine wis sore, Sunarsih mboncengake Ibu Rohanah arep blanja menyang toko kidul desa. Langite rada mendhung, Sunarsih kesusu selak kodanan mula sepedhah motore diobanterake. Ndilalah ana watu ana tengah dalan Mbokmenawa wae ana bocah dolanan ana kono mau awan. Karana kesusu kuwi, motore Sunaresih nabrak watu, nggronjal, sanalika Bu Rohanah kontal tiba mlumah. Mung karana tiba kuwi, Bu Rohanah opname ana rumah sakit sepupuh dina. Usahane kulawarga lan dhokter ora kurang-kurang, nanging Gusti Allah kagungan kersa sing beda. Ngepasi dina kasepuluh ana rumah sakit, Bu Rohanah puput yuswa.
Wiwit iku wong-wong wiwit jubriya ngenani gang Pace sing dianggep angker. Keladuke kandha gang pace mau diarani gang maut. Ngawekani bab iku, Pak Ketua RT wis pasang pepeling ana pucuking gang, “Awas hati-hati gang maut sering membawa bencana!” Pepeling kuwi [ 299 ]ditulis ana papan triplek sing gedhii, terus dipaang ana pucuking dalan. Ora lali, Pak RT nggambar cumplung disilang balung. Anggone masang ppepeling iki disarujuki kabeh warga. Ora mung kanggo weden-weden, nanging kanggo ngelikake kabeh warga supaya luwih ngati-ati yen lewat gang kono. Sapa ngerti kena sial, sida dadi kurban.
Lagi seminggu dipasang ana pucuke gang, wis ana maneh kedadean sing ngeram-eramake. Mbah Marsudi sing yuswane wis luwih saka sewidak lima taun tewas bubar mlaku-mlaku lewat gang Pace. Sekawit aku wis jubriya, esuk-esuk Mbah Marsudi kok kadingaren melu jogging kaya aku. Kayane lagi sepisan iki Mbah Marsudi melu jalan-jalan pagi. Tekan gang Pace, aku menggok. Ora merga wedi ngliwati gang Pace, nanging aku golek dalan liya ben ketemu karo Umi sing lagi daksir. Aku malah sempat ngluruhi Mbah Marsudi sadurunge pernah kacilakan kuwi.
“Mbah, kok kadingaren keresa tindak-tindak?” pitakonku wektu kuwi.
“Iya Mas pengin golek hawa seger. Huk!...huk!..huk! wangsulane Mbah Marsudi karo watuk-watuk.
“Lha rak tenan. Panjeenengan mesthi cekoh, Mbah!”
“Ya...yaiki Mas, oleh-olehane nggonku seneng udut klembak menyan. Saiki kari mengkis-mengkis kaya ngene. Dhadha ampeg yen ambegan melar mingkus!!”
“Kondur nggih Mbah?”
“Ora Mas, manut nasehate dhokterku, aku kudu melu jalan-jalan pagi, yen perlu melu mlayu kaya sampeyan kuwi!”
“Nggih. Sae niku, Mbah. Kula tak ngrumiyini nggih, Mbah?” kandhaku njaluk idin.
“Iya, Mas. Huk!...huk!...huk!..”
Sidane Mbah Marsudi mlaku-mlaku ijen. Embuh apa daya tarike, Mbah Marsudi belok liwat gang Pace. Mbokmenawa wae pengin golek dalan sing sepi, seger hawane, tur ora kabeh kendharaan lewat gang kuwi. Lagi entuk separo gang, watuke kumat, dhadhane Mbah Marsudi saya seseg. Mbah Marsudi nekad mulih. Tekan ngomah, bojo lan anakanake isih padha turu angler. Dhasare dina Ahad mula turune padha ngepluk. Mbah Marsudi sing wis duwe lara napas kuwi arep mlebu kamar. Karepe arep nggoleki obat asma semprot sing ketinggalan ana ing kamare. Nanging, durung klakon nemokake semprotan ashma kuwi, Mbah Marsudi wis tiba njrebabah ana ngarep lawang. Esuke keluawargane Mbah Marsudi padha kekitrang kelangan wong tuwa sing ditresnani.
Mbah Marsudi kecathet dadi kurban gang Pae sing angka telu. Wongwong tambah yakin yen gang Pace nyata gawat keliwat-liwat. Yen manut pocapane dhalang mono, “Janma mara janma mati, sato mara prapteng lampus.” Gang Pace pas yen diarani gang maut awit kurbane wis kecathet ana wong telu. Panemu kuwi dipercaya banaget dening para warga. Ana [ 300 ]sebageyan sing ora percaya, nanging luwih akeh sing percaya. Sing ora percaya ditantang lewat gang kuwi tengah wengi ijen. Wani aapa ora? Nyatane ora anaa sing wani siji-sijia.
Aku dhewe sakjane ora pati percaya. Mosok ana gang maut sing gawate kaya kuwi. Ning arep mbuktekake carane kepriye? Aku isih ngenteni wektu kannggo golek sisik melik. Aku arep mbuktekake kanyatan sejatine. Sing bener panemuku apa panemune Kang Giman lan sebagian warga kampong liyane. Pirang-pirang dina pitakonan iku daksimpen ing pikiranku. Aku keepengin mbuktekake dhewe mlaku-mlaku lewat gang Gang Pace. Mula, wiwit sesuk-esuk anggonku lari pagi lewat gang pace.
Esuk iku nalika aku playon ijen dadak daksumurupi Pak Zaelani karo Bu Zaelani melu jalan-jalan pagi. Ya wektu kuwi Pak Jaelani tiba. Amarga sing ana dalan kono mung aku karo Bu Zaelani mula Pak Zaelani daktulungi. Dak dhabyang, dakgotong minggir, lan dakaturi lungguhan pinggir dalan ditunggoni Bu Zaelani. Kulawargane enggal dakceluk. Ora let suwe wis teka mobil lan nggawa Pak Zaelanmi menyang rumah sakit.Krungu kuwi, warga kampong was-was. Aja-aja bakal ana maneh kurbane Gang Pace aut. Kabeh mbatin lan ngira yen Pak Zaelani bakal dadi korban kang angka papat. Nanging, pandugane wong-wong bakal mleset.
Nalika aku tilik ing rumah sakit, kahane Pak Zaelani saya becik. Aku ngunjukake syukur Alhamdulillah. Saka putra-putrane aku entuk katerangan kang banget wigati. Manut katerangane Pak Dhokter Siswandi sing ngrawat Pak Zaelani, Pak Zaelani kuwi wis telad anggone jalanjalan pagi lan olahraga. Kudune nindakake olah raga kuwi wis wiwit enom. Ora susah ngenteni tuwa lan pikun lagi gelem lari pagi utawa jogging. Jogging, lari pagi lan olahraga liyane penting banget kanggo kesehatan mula perlu dikulinakake. Udut klembak menyang, lek-lekan kliwat wayah, aras-arasen olehraga kuwi pakulinan kang ora becik. Mula, Pak Dhokter Siswandi meling supaya ngulinakake urip sehat.
Saiki aku lagi entuk wangsulan pitakonan sasuwene iki. Anggone piyayi-piyayi sepuh kuwi cepet-cepet seda, ora merga gang Pac sing gawat, ning merga padha telad anggone wiwit olahraga lan kurang ngatiati njaga kesehatan.
Jaya Baya, No. 27, Minggu I, Maret 2007
Pak Midin iku sawijining tukang kebon SD ing Semanding. Wonge jujur lan dhisiplin. Mula, ngarepake pensiyun nampa piagam saka pemerintah lan nganthongi dhuwit sayuta. Setengah enem esuk dheweke mesthi wis budhal, numpak sepedha onthele sing setya ngancani nlusuri dalan padhesan. Sawise resik-resik kelas, kabeh ditata rapi. Lawang-lawang cendhela dibukaki, plataran disaponi nganti resik. Plataran ngarep ditanduri kembang mancawarna ngresepake pandulu. Ing buri sekolahan ditanduri Lombok, tomat lan terong. Yen pinuju awoh katon banget ndhemenakake.
Bapak-bapak sarta ibu-ibu guru padha erring lan ngajeni Pak Midin. Semono uga para siswa padha ngalem merga Pak Midin pancen wong sabar. Kejaba nuking kebon, dheweke nyambi tani. Tegal sawahe patang kedhok tinggalane wong tuwane digarap kanthi tumemen. Mula, uripe tentrem ora nate kekurangan.
Omahe, kanggone omah padesan ya ora nguciwani. Pak Midin mung kari urip dhewekan. Sisihane wis ndisiki kepundhut nalika anake, Si Karsiyem, isih kelas lima SD. Saiki ana ngomah sing ngancani Karsiyem saanak-bojone sing uga dadi guru SD. Dene, anake mbarep lanang, Karsono, nyambutgawe ana Jakarta. Kena diarani wong gedhe, ketara saka glagate. Embuh pangkate apa, Pak Midin dhewe durung mangerti.
Nuju sawijining dina, naalika Karsono oleh tugas ninjo menyang Surabaya, disempatake mampir niliki wong tuwane. Budhale saka Jakarta numpak pesawat sajam wis tekan Surabaya. sarehne keperluwane wis rampung, dheweke niyat niliki bapake. Marcedhes kinclong-kimnclong wis ngambah laladan Semandhing. wayahe wis rada repet repet. Tangga teparo padha pating cranguk, lumrah wong padesan.
“Anake Mbah Midin teka...”, swarane pating craek.
Tangga ngarep omah sing luwih akrab ndisiki metu. Terus marani omah karo cluluk, “Wa...Wa...Wa Midin, niki lho yogane ndugi king Jakarta!” [ 302 ]Pak Midin sing lagi iwut ana mburi gage-gage mengarep. Wong loro terus gapyuk ketang anggone padha kangene.
“O, Bapak, lak sami sugeng ta Pak?”
“Iya, Nang… slamet. Lha awakmu piye? Rak ya padha kuwarasan, ta?”
“Pangestune Bapak, nggih sehat-sehat,” wangsulane karsono karo ngulungake tas kresek isi roti karo jeruk marang bapake.
“Lha bojomu endi, kok ora mbok jak mrene?” pitakone bapake.
“Inggih, wong menika wau kula tugas dhateng Surabaya terus mampir mriki,” wangsulane Karsono, “Bapak taksih sibuk wonten sekolahan?”
“Ya wiwit sasi iki wis pensiyun. Malah iki aku oleh hadhiah sayuta, takenggo tuku bebek. E, kanggo tambah-tambah penghasilan. Lha kae kandhange ana mburi omah wis dadi.”
Sopire diacarani mlebu. Meruhi adegan mau, dheweke mung plonga-plongo nuruti lakune pikiran. Karsiyem metu ngetokake teh panas karo limping-limpung telo goring.
“Panganan ndesa, Kang. Mangga dirahapi!” pakone Karsiyem.
“Iya Yem,” wangsulane Karsono karo nyruput teh lan terus ngetokake oleh-oleh saka tase. Bapake ditukokake hem lan ponakane kaos.
Sawise reresik awak lan mangan sore, terus padha ngaso ana papan kang wis disedhiyakake.
Dina esuke yen biasane Pak Midi nana wae kesibukane, nanging dina iku disempatake ora nindakake kegiatan apa-apa. Saperlu njagongi anake lanang sing ora mesthi setaun pisan teka kuwi.
Sawise amem sawatara, Karsono mbukani rembug, “Pak...!”
“Heh...!” Pak Midin mangsuli rada kaget, sajake kok arep ana rembug kang serius. “Ana apa, Nang?” tembunge.
“Anggit kula, Bapak ajeng kula boyong teng Jakarta. Rak nggih kersa ta Pak?”
Rada suwe wong tuwa iku ora aweh wangsulan. Wusana.... “Nek aku arep kok boyong nyang Jakarta kuwi kanggone aku abot, Nang,” wangsulane Pak Midin tanpa penjelasan.
“Gek sing diawrati niku napa ta Pak? Simbok nggih mpun mboten enten. Sak niki bapak empun pensiyun, kantun saksenenge manah mawon. mengke kula klencer-klenceraken!”
“Gak isa, Nang...gak isa. Senajan embokmu wis ora ana, aku ora isa ninggalake desaku,” wong tuwa iku ngotot.
Sateruse mung padha meneng-menengan. Karsono golek akal, kepriye carane supaya bapake gelem diboyong menyang Jakarta supaya melu ngrasakake urip kepenak, ora pijer nyambutgawe kasar ana tegal-sawah wae. Suwe-suwe nemu akal.
“Nggih sampun, Bapak enten Jakarta sakbosene mawon. Mangke yen Bapak sampun bosen kula dheweke wangsul.” [ 303 ]Bareng wis mikir suwe, wong tuwa kuwi nuruti karepe anake lanang, ngiras pantes ben weruh kahanane kutha Jakartasing durung tau diweruhi iku. Karsono lega atine, malah ing batin ngira yen baapake mengko bakal luwih krasan timbang urip ing padesan.
Sawise ninggal wekas akeh-akeh marang anake wedok, Karsiyem lan mantune, Pak Midin nuruti karepe anake lanang budhal nang Jakarta. Ing rehning budhale uga numpak pesawat, dina iku uga jam telu awan wis teka ngenggon.
Sawise mudhun ora nganti ngenteni suwe, langsung mlebu mobil sing wis ditelpun sadurunge. Lan mobil iku yaw is terus tleser-tleser ninggalake Cengkareng. Sadalan-dalan Pak Midin anane mung gumun dene ing dalan-dalan kok kendharaan ora tau ana pedhote sarta kiwa tengen gedhong-gedhong sungsun.
Ana ing ngarep omah mewah, mobil mandheg. Sawise dibukakake lawang, Pak Midin digandheng anake lanang, dijak mudhun.
“Iki mampir neng ngendi?” pitakone wong tuwa kuwi.
“Niki mpun dugi, Pak. Nggih niki griya kula,” wangsulane Karsono.
“Heh…? Omahmu?” Pak Midin gumune ora entek-entek. “Mah...,mah... ini Bapak,” cluluke Karsono marang sisihane, Kenalkan, ini orang tua saya.”
“Bapak, iki mantumu, Pak...”
Wong loro kuwi salaman, nanging sang mantu katone anyep tanpa greget, ketara saka polatane. Wong tuwa iku terus digandheng dijak mlebu-mlebu, dituduhi kamar-kamar, ruang makan, ruang tidur, pawon lan liyane maneh.
“Lha Bapak mangke sare kamar mriki. Sebelah menika kamar mandhi. Dados mengke nek dalu kedah dhateng kamar mandhi, mboten sisah mbikak kori.” Karsono nggenah-nggenahake. Kanggone Pak Midin rasane kaya ana sajroning pangimpen wae. Merga sajege urip, lagi iku mrangguli omah mewah kaya ngono.
Dina candhake Sabtu disambung Minggu. Karsono ora ngantor, nglencerake wong tuwane. Sawise katog mubeng-mubeng kutha, wong loro rumangsa marem. Dina-dina sateruse, yen pinuju anake lanang libur, dheweke seneng ana kancane ngobrol. Swasanane regeng. Nanging ing dina-dina biasa, Karsono tekane ngomah nganti jam pitu jam wolu. Pak Midin rumangsa kasepen. Karo anak mantu ora tau ngomong. Apameneh mantune kuwi tansah sibuk mrana-mrene, arang dsbs omsh, snsk siji sing momong baby sitter.
Seminggu ana Jakarta, merga ing desa tansah ana kesibukane, mangka saiki ana ngomah wae, awake krasa kaku kabeh. Kabeneran ing mburi omah ana tugelan pring, terus disisiki, arep digawe pager mburi sing ditanduri bayem. [ 304 ]Nalika iku omah kono kanggonan arisan ibu-ibu PKK. Regeng, padha ngomong ngalor ngidul. Bareng Bu Dewi anguk-anguk mburi, weruh Pak Midin sing lagi sisik-sisik pring.
“Siapa tuh Jeng?” pitakone.
“Itu kenalan Mas Karsono dari desa. Mau cari kerjaan di Jakarta sini,” wangsulane nyonya rumah.
“Cari kerjaan?!”
“Sttt...”, komentare nyonya rumah karo penudinge ditempelake lambe.
“Lho, kenapa Jeng?”
“Udah…udah… mari duduk kembali,” nyonya rumah semu gugup. Pembantune sing krungu padha mencep...
Kabeh iku dirungokake Pak Midin, dhadhane terus kaya didhodhog. Ning, nadyan atine murup diampet sabisa-bisane. Batine, “O, genahe isin duwe maratuwa aku. Pancen aku wong ndesa. Dheweke rumongso banget kecenthok atine. Dheweke terus kelingan cilikane Karsono. Arep mlebu SMP wis ditinggal mati emboke. Kepeksa ngopeni dhewe. Tujune bocah iku pinter sekolahe, lan akhire bisa dadi wong kaya saiki. Ning saiki iki bareng dirasak-rasakake, dheweke kok rumangsa saya ora krasan melu anake kuwi. Kok kaya ancik-ancik ing pucuke eri wae.
Dina setu candhake karsono neng ngomah. “Dos pundi Pak? tindaktindak malih napa dos pundi?” pitakone.
Wong tuwa kuwi terus ngebrolne niyate sing wis dirancang thariktharik bengine. “Ora Nang, iki anggitku ngene. Rehne olehku ana kene iki wis sawetara dina, takdelok kahananmu ya wis kepenak, mbok aku ki gek bali terna mulih wae,” kandhane Pak Midin.
Karsono kaget, kok bapake wis njaluk diterke bali, Apa ana sing ora beres? Ning bareng dipikir-pikir, kekarepane bapake iku becike dituruti. Mula, minggu esuk sawise sarapan lan tata-tata, banjur budhal ngeterake wong tuwane kuwi.
Bali urip ing dea, esuk-esuk langit wetan katon sumburat abang. Pak Midin manggul pacul budhal menyang sawah. jagunge wis wayahe ngundhuh, parine wis bubar tandur, katon ijo royo-royo. Atine wong tuwa kuwi krasa cles...
Sorene, nalika lagi jagongan saanakputune neng jrambah, dikagetake tekane sedhan menggok ing plataran omah. Kato nana pawongan lanang wadon mudhun nggandheng bocah cilik, langsung terus padha mlebu ngomah, saperlu ngabekti.
Pak Midin ora bisa kumecap apa-apa. Gorokane kaya kecengkalan watu sawungkal. Ing pipine tumetes eluh bening, eluh kabungahan. “O, Karsono, kowe gelem teka sakbojomu pisan, Nang…” pangudarasane wong tuwa kuwi.
Jaya Baya, No., 21, Minggu III, Januari 2007
Tekade Ratih wis gembleng, ora bisa diluluhake dening pangariharihe eyange kakung, emoh mulih. Ibune wis kirim SMS bola-bali ngelingake yen rong dina meneh wis wiwit mlebu sekolah supaya enggal mulih, wangsulane cekak, “Inggih.” Bubar ngrungokake siaran berita TV jam songo, Ratih enggal mapan turu nusul eyange putrid sing wis mapan dhisik. Pak Dwija, eyange sing pensiyunan PNS, lenggah ijen, niyate arep nonton hobine giyaran bal-balan Liga Italia sing wis sawetara menit kawiwitan. Parandene, pikirane ora tumuju nang layar TV, kebidhung niyate putune sing perlu dadi penggaliha.’
Diwolak-walik, dilimbang-limbang kanthi wening, akhire mbenerake niyate Ratih. Dhasare putune emoh mulih, merga isin. Yen wong bodho bisa dituturi, kepetengen diwenehi obor, wong wedi bisa dikancani, ning yen isin kepiye nggone nanggulangi? Panguneg-unege putune iku wis disuntak ora ana kang kecicir. Yen niyate emoh mulih ora pati dadi penggalihan, ning niyate mogok sekolah sing dheweke durung bisa nampa. Gragap, Pak Dwija kaget rungu surak saka TV jalaran nembe ana sing kebobolan gol! Disrantekake ora wurunga bapake Ratih mesthi nusul.
Temenan dina candhake watara jam loro awan, Handi, bapake Ratih, ya mantune teka numpak mobil kijang metalik. Niyate methuk ratih jalaran sesuk wis wiwit mlebu sekolah. Wektu iku Pak Dwija neng dalem ijen. Pancen wis ditata sadurunge Ratih lan eyange putrid kon lunga pawadan diutus. Jejere piyantun sepuh sing wis kebak pengalaman, arep nyapih swasana nggone ngrampungi perkarane putune, aja nganti nuwuhake dredah.
Alon wijiling pangandikan, rereh, ruruh, Pak Dwijjo mbabarake kandhutane atine Ratih kanthi tuntas. Handy sakecap durung nyauri, mung sedhela-sedhela unjal ambegan karo ora leren-leren anggone udud. “Ya ngono mau Han, tekade anakmu Ratih,” pak Dwija mungkasi pangandikane. “Wis ora kuwat nandhang isin ana sekolahan awit mung tansah dadi pocapane kanca-kancane. Rumangsane saben kancane rubung-rubung [ 306 ]klesak-klesik dianggep ngrasani dheweke. Ngono mau apa ora jeneng kesiksa lair lan batine.” “Nuwun sewu Pak,” sambunge Hhandy sinambi neceg awu rokok ana asbak, “punika rak nembe isu, praduga menawi kula katut kesangkut korupsi. Dados dereng wonten bukti inglang akurat.”
“Kuwirak panemune para politikus kaya sliramu,” jawabe Pak Dwija. “nanging, tumrap bocah saukurane Ratih rak durung nyandhak. maca warta kang dimot nang Koran sing cetha nyebut jenengmu melu kesangkut, wis dudu wewadi maneh tumrap masyarakat. Coba nang sekolahan wae wis dadi critan. Ora mokal yen ratih nandhang wirange.”
“Leres Pak, nanging sedaya wau wonten ing proses pengadilan mangke ingkang badhe nemtokaken. Prosesipun panjang tur dangu,” Handy isih ngeyel mbela dhirine.
“Aku ngerti karepmu,” maratuwane emoh kalah, “sliramu sakancamu bisa wae dolanan hokum. Golek celah-celah hokum kanggo endha, upamane bar divonis njaluk banding, ditolak bandhinge kasasi, rak ngono ta karepmu. Kuwi rak kowe sing wis njarag. nanging welasa anak lan keluargamu. Rungokna tangise Ratih yen ana kancane sing nylethuk, “Ya wae bayare SPP lancer, sandhangane apik, sekolah numpak sepedhah motor, wong bapakne koruptor. Sapa wonge sing ora kejojoh atine,” Pak Dwija saajak mojokake mantune.
Handy meneng nggeget untu, rumangsa melu kenyunyuk atine krungu panyakrabawa saka kanca-kancane ratih. Keparat, ngono batine.
“Bapak dhisik wanti-wanti, sing ngati-ati, aja keli ombyake jaman. Sing teguh imanmu, aja mendem jabatan, aja kesengsem bandha donya, aja melu ngedan ing jaman edan iki. Pira suwene dadi anggota DPRD, orang wurung ya bali neng tengah-tengahing masyarakat maneh. Yen leren mambu wangi iku apik, ning yen mambu bathang, sing nyangga wirange ora mung awakmu. Kulawargamu, anak-bojomu sing ora ngerti kenthang kimpule iya melu sengsara. Buktine Ratih kuwi.” Isih akeh maneh pangandikane Pak Dwija marang mantune sing sajak wis ora bisa ngunggahi rembug maneh kuwi.
“Punika sampun ngajjengaken ujian akhir, rak inggih eman-eman menawi Ratih mogok sekolahipun,” Handy ngenggokaken rembug.
“Pancene ya ngono, ning wis ora kena dieluk,” wangsulane Pak Dwija.
“Cobi, mangke kula wicanten piyambak kalihan Ratih,” ujare Handy.
“Kena, iku hakmu wong Ratih ya anakmu. Mung poma dipoma aja nganti nganggo tembung sing kasar, salah-salah bisa nuwuhake akibat kang kurang becik,” welinge maratuwane. Meneng sedhela tanpa sabawa, keli ana pangangene dhewe-dhewe.
Dumadakan keprungu gumerite rim becak ana latar, Ratih lan eyange teka. Sawise salaman karo bapakne, ratih enggal memburi njupuk unjukan [ 307 ]kanggo eyang lan bapakne, kanthi praupan kang panggah sumringah sajak ora ngadhepi apa-apa,Nalika arep memburi nglebokake nampan, Ratih dicegah eyange supaya lungguh sacedhake eyange. Eyange putrid ya nunggoni.
“Bapak dak kandha rungokna Rat, niyatku methuk kowe jalaran sesuk wis mlebu sekolah,” Handy mbukani kandha, “nanging iki mau Eyang wis ngendika werna-werna ngenani apa sing lagi kok adhepi. Baapak wis ngerti kabeh. Ning apa bener kowe arep mutung sekolahe?”
“Leres, Pak,” jawabe Ratih tegas, “jalaran kula isin sanget.”
“Nanging pikiren, sedhela maneh ujian. Sabara, lulus ujian nerusake kuliah rak wis ora kumpul kancamu maneh, bar perkarane.”
“Nanging nengga ngantos ujian, kula sampun boten kiyat, Pak. Isin.”
“Njur nek ora sekolah kowe arep ngapa, lan arep dadi bocah apa besuke. Apa ora kepengin kaya Masmu kae sing wis gelar sarjana?”
“Kula nrimah Pak, najan kados pundi kula boten badhe wangsul.”
Jane mono Handy nesu banget, ning merga wis dicegati welinge wong tuwane, nesune mung nyumpeli dhadhane nganti seseg. Dumadakan Hp-ne muni, Handy banjur omong-omongan karo kancane sing sak fraksi karo dheweke. “Ya, ning iki aku isih ana Magelang, kabeh berkas-berkase daktinggal nang kantor. Okey, ya mengko jam pitu.” Handy mungkasi omongane lewat Hp.
“Yen wis ngono tekadmu, suk aja nutuh Bapak. Ning dakjaluk wengi iki kowe mikir-mikir maneh. Sesuk dakjalukake ijin nyang sekolahan. Nuwun sewu, Pak,” tumuju marang maratuwane, “Kula kapelksa nyuwun pamit. Borong keng Wayah sagedipun lilih,” ujare semu kogel.
Let sedina, Koran kang metu dina iku ngemot bab korupsi sing ditindakake anggota DPRD sawijining kabupaten pengaji 24,9 milyar sajrone tahun 2003. Katulis paraga lima kang ditahan minangka terdakwa. Salah sijine Handy. Bubar maca, Ratih wis ora kaget maneh jalaran wis nggraita sadurunge. Dheweke rumangsa sukur dene wis ana Magelang, uwal saka wirang-isin ing sekolahan.
Koran diaturake eyange karo ngulungake kaca tingale sing gumlethak ing meja TV. Ratih lungguh ana sandhinge. “Iki jjeneng ngundhuh wohing panggawe,” ngendikane eyange sarampunge maca.
“Rahayunipun kulak ok sampun wonten mriki, nggih Yang.”
“Iya, Ndhuk, ning melas ibumu, ora wurung melu prihatin. Mula, sesuk tak mrana kanggo nggedhekake atine.”
Jam sewelas Pak Dwija niliki Retna, putrane sing guru SD, ibune Ratih. Kejaba ngertakake Handy, sing wigati ngrembug amrih Ratih bisa pindhah nang Magelang, murih bisa ujian akhir SMA. Sasuwene ana ing bis, Pak Dwija mung tansah ndedonga muga-muga Retna tatag ngadhepi pacoban iki. [ 308 ]Rasa sumelang sing ngemuli penggalihe, kaya musna bareng wis sapatemon karo Retna. Swasana ing omahe panggah katon bisa wae. Apa iku mung samudanane Retna wae? Ning sajake ora, awit sawise sapejagong sawatara suwene, Retna malah terus matur mengkene, “Pun kersane Pak, awit Mas Handy niku pancen mpun mboten kenging diemutaken. Rak sampun wonten tigang wulan mboten wangsul. Gadhah WIL randha enem, malah kula miring mpun dinikah siri. Kleresan anake randha niku rak sak SMA kalih Ratih. Mila lingseme Ratih teng sekolahan niku saestu tumpuk undhung.”
“Ya wis bejamu, duwe bojo wae kok kaya ngono. Genah urusan karo pengadilan iku mengko.”
“Kersane. Kula nggih gadhah asil piyambak, kok, kula nggih boten kecipratan asil korupsine niku. Prekawis ratih, kula mpun matur Pak Budiman, kepala sekolahe, ratih saged istirahat seminggu kangge nemtremake manahe sing nembe goncang niku.”
Dina Minggu jam sanga, Ratih karo adhine wis siyaga ing plataran LP, arep tilik bapakne sing wis ngringkuk seminggu ana LP nunggu siding pepriksan, jalaran asil papriksane rumet, mbulet akeh pejabat sing kesangkut. Nalika sapatemon iku, bapakne katon rada kuru lan pucet, sajak wis anjlok morile.
“Ratih, bapak njaluk maaf dene wis gawe susahe keluarga kabeh,” mung iku kang bisa diucapake Handy. Ratih ora semaur tumungkul nyawang adhine sing dipangku bapakne. Arep matyur, ya arep matur apa. kabeh saiki iki wis kebanjur.
Durung tutug anggone kangen-kangenan ketungka tekane wong wadon. Ratih ngerti yen iku wanita sing pinjunge nyrimpet bapakne. Ratih banjur pamit karo untun adhine. Ora ana tangis, ora ana eluh kang tumetes. lelakone menungsa [pancen werna-werna, bungah lan susah. Menungsa kaparingan kebasan kanggo milih dalan kanga rep ditempuh, sing padhang apa sing peteng, sing lurus apa nyimpang saka bebener. Manungsa dhewe kang akhire ngundhuh wohing panggawe. Yen Handy milih cara kang sasar, ibarat numpak prau kang ringkih. Kalane ketempuh ombak, gampang kerem, kang dayane nyempyok ngiwa nengen ora wurung uga nyempyok kulawargane.
Jaya Baya, No. 26, Minggu IV, Februari 2007
Udan deres, Kolip meksa budhal nyang tambangan Pocuk. Sak ben kepethuk wong mesthi menggak, “Wong udan-udan koyok ngene kok nekad ae se Cak Kolip, rika iku?” Kolip nek meengsem thok gak nyauri. Pancen dhasare Kolip iku gak patek ngrekenan nang uwong sing dianggep mek abang-abang lambe ae. Butuhe budhal nggawa sepedha montor katene ngojek, pikirane mek siji: Udan-udan mesthi onok wong botuh ojek, utamane sing kadhung lelungan.
Torut tanggul Bengawan Solo Kolip nyendhali sepedha motor ojeke merga dalane koyok bobur lemah, sampek sleyat-sleyot keplorot-plorot, Kolip tetep nekad, setirane pancet tegen, pikirane manteb nuju tambangan koyok-koyok onok sing nyeluki, yaiku wong sing kadhung nambang, mungguhe mesthi golek ojegan. Upama wong liya udan deres koyok ngono ya mulih mlungker ae neng omah. Kolip ya tau ae ngrasajne males, tapi Kolip wedi nuruti males, wedi nek disingkiri rejeki.
Tekan tambangan Pocuk, Kolip weruh wong tuwek lanang gegere bongkuk ngebak neng babakan gedhek katene nyabrang. Kolip bengokbengok nggoleki Matolan sing duwe prau, gak ana wong semaur.
“Lan....Mantolan, Lan...onok wong nambang I lo....” Tetep gak onok sing nyauri. Kolip gak srantan, sepedha montor dijagang, prau disaut, tambang digayuk, prau dijejeg dhewe karo mbengoki wong tuwek sing ketok kesusu iku.
“Yai...Yai! Ojok ngebak sik Yai, entenana sik, bak-bnakan wis kelem ngono kok hoooeee…! Yai ...miline banter lho Yai..kentir temen lo pena engkuk...” wong tuwek iku gak ngreken. Nek gak ngono ya pancen wis tuno rungon.
Kolip gak betah ngempet kuwatire nang wok tuwek iku. Mara mak jleburr..Kolip njegur bengwan Solo sak mono jerune iku, perlune ngalangi cekat-ceket ndang nyaut wong tuwek sing wis budheg tur pekun iku.
Kolip kaget, banyu bengawan asat ndadak, malih ngadeg nang tengah dharatan amba, sukete ketel ijo royo-royo padha ngembang pating pletik, onok wong tuwek rupane persis koyok sing kate nyabrang mau, [ 310 ]tapine sandhangane sarwa potih, iket-iketan parang potih kaya pangeran-pangeran ndhuk critane Kangjeng Sepuh Sedayu.
Onok dalan cilik apik ditatani krekil alus-alus. Dalan cilik iku dawa, adoh, tapi asri disawang, paranne neng sakwijine regol eling regole kraton nang Indhia Mahhabharat. Wong tuwek iketan parang potih iku mbagekna tekane Kolip, ngejak Kolip mlaku torut dalan alus iku neng regol mau. Regol mbukak dhewe, Kolip mlebu. Kolip melok wong-wong liyane sing ngadeg jejer-jejer koyok wong ndelok arnaval nang kampong pas pitulasan ngokok ika.
Gak onok sing tolah-toleh, kabeh ngadeg jejeg madhep mengarep ndelok prosesi sing liwat nggal siji, orot tharik-tharik gak ana sing gontokan rebut ngarep. Kolip malih sungkan, melok meneng anteng ngetutna barisan wong liwat koyok karnaval iku.
Kolip ngucek mripate, gak percaya ambeg sing didelok. La kok onok Cak Su sing panggaweyane dadi tukang patri nang Pasar Bungah. Pas liwat kono ya mekul pirantine wong matri koyok biyasane ika. “Lo Cak Su lak wis mati biyen?” batine Kolip. Dorung mari olehe gumun, dadakan kacek wong papat ngono, Wak Gus Tiar sing mlaku alon-alon, tangane tengen nenggoluk pacul, sing kiwa nyangking arit, persis koyok sing diwerhi Kolip patang taun kepongkur.
“Kesah sabin, a, Wak Gus?” Kolip nyapa. Nik biyen Wak Gus Tiar nyauri, “Enggih Dhik Kolip, ndhangir jagung kajenge ageng uwohe.” Tapi saiki Wak Gus Tiar gak nyauri, Meneng ae. Mlaku terus gak noleh gak barang. kolip malih kamitengggengen.
Mburine Wak Gus Tiar onok wong wolu, onok sing pincang, onok sing wuta, onok tukang cakur, bakul jamu, onok sing ngendhit boran, onok sing mekul uyah, onok sing nyongun tampah, onok uga sing nyangking tas kathik sepaton barang. Kolip koyok tau eling wong iku. Sapa yak kok raane tau kepethuk? Apa Wak Gus Mantri? Batine Koip. Mara Kolip kaget maneh nyawang sing nang mburine wong koyok mantra mau.
Nik wong iku Kolip gak pangling, iku genah Man Kadis, nggawa jala, mlakune rodok ngoncog, pancen ya ngono iku Man Kadis. Gak patek ngomong tapi nek njala mesthi paling akeh olehe.
“Nde, Man Kadis! Kate njala nang endi pena iku?” sing disapa gak nyauri, Kolip mbengoki maneh tambah karo ngawe-awe barang, “Nde Man, Man Kadis! Bruwok! Kathik ipok-ipok gak krungu, rek?” Kolip sampek lunjak-lunjak.
Dadakna Yuk Rom sing gawene ngutangi dhuwik anakan ya melok mlaku nang mburine Man Kadis, melok karnaval iku. Yuk Rom mlaku ngidit megal-megol nggawe jarit cekak, kudhungan jonir apu, nyangklong tas kolit imitasi isine buku cathetan, polpen, wedhak, benges karo dhompet [ 311 ]nyempluk gedhe kebek dhuwik olehe nagihi sak ben dina. Tangane tengen nggawa paying tekukan.
“yuk Rom! Nde, noleha Yuk Rom, aku Kolip Yuk…!” Yuk Rom gak ngreken, tambah ngempit payunge, terus mbukak tas, njokuk dhompete, dibukak, dhuwike ditukokna, dieting torut dalan ambek dhiluk-dhiluk ndilati drijine cik gak garing gawe ngosut dhuwik kertas sakmono akehe iku.
Kolip tambah gemes ndelok tingkahe Yuk Rom, randha sogih sing bengesan mblenger iku. Kolip langsung nrombol maju miyak wong sing nang ngarepe, kate nyablek Yuk Rom. Lagek oleh sak jangkah, Kolip diseret wong tuwek iketan parang potih mau. Kolip krasa dijungkrakna sampek tiba mencelat metu teka regol.
Ddadakna njabane regol malih dadi banyu bengawan maneh. Bengawan Solo sing nepaki banjir gedhe, miline banter. Kolip lali nek iso nglangi, bengung kate ngobahan sikile gak isok, awake lemes, wetenge mlembung, kudu mutah. Bengok-bengok njaluk tolung , tapi matane abot gak ketok apa-apa, Awak rasane mbedhedheg kadhemen, ndhase ngelu, dhadhane ampeg, cengele kaku. Tibake mara-mara krasa onok sing irunge, nyedhot cangkeme.
Kolip glagepan, keselak-selak sampeh mutah banyu buthek sak jogan. Kolip melek, nyawang kiwa tengene, onok wong akeh, kabeh padha surak.
“La…orip areke…hore….Kolip orip, rek…”
“La…sokur koen jik orip Lip…Kolip!”
“Lip, Kolip! Slamet koen Nak, kok gak dipangan bajul lak ngono?”
Oalah Lip..koen ngono mari mati klelep meh sak jam koen Lip..!”
Bojone Kolip mara nggapyuki Kolip karo nangis mbungahi sing lanang jik orip. Anake loro ya melok ngrangkul kolip.
“Hore,…bapakku slamet, bapakku gak sida mati, hore…” jare anakanake Kolip.
“Wis ndang selametan lo sesuk Dhik Kolip, jik diparingi panjang omuir, sepedha montor ya jik slamet, jik kenek digawe golek dhuwik!” kandhane Wak Petinggi.
“Enggih Wak Inggi, matur kasuwun lo Nggi…?!” bojone Kolip nyauri.
“Ya wis Dhik Kolip, dhik Yah, aku tak balik dhisik ya? Mbesuk maneh diati-ati!” Wak Petinggi molih diuntabna Komariyah, bojone Kolip. Tangga-tangganne ya padha entek molih kabeh. Kolip jik lenger-lenger koyok wong mari ilang disengitna wewe ae. Bengi iku, sakwise ngalami mati klelep sedhiluk, Kolip malih gelek meneng ae. Gak brawokan kaya biasane. Kolip jik iling-ilingen karo olehe kepethuk Cak Su, Wak Gus Tiar, Man Kadis, uga Yuk Rom. Kabeh iku [ 312 ]mau gak onok liya ya tangga-tanggane sing wis mati pirang-pirang taun kepongkur.
Kolip ya kober crita nang sing wedok, “Dhik, aku mau wis ndelok akherat, tapi aku ngramen-ngrameni mulane aku dijungkrakna nang donya maneh…” terus nangis.
“La olah apa pena kok nangis Cak Kolip, laky a tambah kebeneran pena jik isok ngopeni arek-arek, wong arek jik cilik-cilik ngono?” Komariyah ngelus bojone.
“Aku wedi Dhik, tibake apa ae sing dilakoni menungsa nang donya, nik nang akheraat ya dipratekna kabeh, didelok wong akeh, gak onok sing kenek disengitna!”
Jaya Baya, No. 23, Minggu I, Februari 2007
Sore sing klawu. Udan mentas wae mendha. Udan deres sing sing kliwat wates, banyu kaya disokake saka langit. Saiki isih ana sisa-sisane. Sanadyan ora nuwuhake banjir, nanging banyu ngecembong ing papanpapan kang ledhok. Plataranku sing mung saumprit uga ora luput saka kuwi. Kebak banyu! Bocah-bocah sing kesenengen. Akeh kang padha koceh, dolanan sirat-siratan lan oyak-oyakan ing banyu. Kala-kala diselingi swara ing guyune sing renyah. Ah, rasane aku kepengin bali dadi bocah maneh. bebas tanpa sanggan.
Aku mlebu omah lan lungguh tenguk-tenguk ing ruang tamu. Dak eling eling kapan sing paling pungkasan aku bisa ngguyu los kaya bocah-bocah kuwi. Ah, embuh aku wis ora kelingan. Soale sak plok Mas Heru ninggalake aku, rasane aku wis kelangan guyu. Sing salah pancen aku. Aku paling ora tahan karo sepi. Nalika Mas Heru lunga menyang Jakarta, ngadu nasib ing kana, aku kagodha karo mahasiswa sing kos ing cedhak omahku. Embuh sapa sing ngandhani, pungkasane Mas Heru ngerti yen aku kerep runtang-runtung karo dheweke.
“Hm...” aku unjal napas. Kenangan mangsa remaja bali jejogedan ing tlapukan mripatku. Aku mung bisa mesem perih.
Ah, Mas Heru. Aku kudu kandha apa marang sliramu? Akeh sing kepengin dakcritakake. Kanyatan urip sing dakliwati kebak dalan rumpil, sing mahanani aku kudu pinter-pinter nyiasati amrih urip tetep lumaku imbang, ora kelem jroning nakhodani panguripan sing absurd iki. Kena apa aku kandha nakhodani? Kamangka aku jejering wanita sing ora samesthine dadi wong nomor siji jroning ngemudheni urip iki.
Garise lelakon pancen kudu lumaku kaya mengkono. Pinangka konsekwensi saka kegagalanku jroning mbangun bebrayan. Senajan maune aku wong loro sing mutusake kanggo omah-omah. Bareng wis klakon jebul ora saendah kaya sing tak bayangake. Ora ana dina sing lowong tanpa padudon. Kahanan bale wisma tansah gonjang-ganjing. Pradondi terus kaya asu lan kucing. Pungkasane bale somahku bubar. Anehe, aku bisa duwe anak nganti telu. kebutuhan biologis kadhang-kadhang ora [ 314 ]bisa dinalar kanthi logis. Anak-anakku kabeh melu aku lan aku ngopeni ijen. Kanthi meres kringet lan ngetog tenaga kanggo nyukupi kebutuhane wong papat, kalebu aku. Masalah siji bisa tak tanggulangi, banjur mecungul masalah liyane. Mangkono gilir gumanti. Ya abot pancen. Pranyata aku bisa nanggulangi nganti anak-anakku gedhe.
Saiki anakku sing loro wis mentas. Wis omah-omah. ya mung sing ragil sing durrung. Isih kuliah ing semester pungkasan. Aku rumangsa mulya bisa nggedhekake anakku kanthi becik senajan mesthi wae ana kekurangane. Prahara panguripan sing wis daklakoni wis nguwohake asil sing apik ing pungkasane. Lan anakku, mutiaraku bisa kasil lulus ing satengahe panguripan sing kebak prahara kuwi.
Tugasku saiki wis rada entheng. Wragad kuliahe anakku ragil saperangan gedhe wis ditanggung dening kangmas-kangmase sing wis nduwe gaweyan mapan.Ing kalane aku dhewekan kaya saiki iki pikiranku kerep nrawang adoh. LLan kenangan mangsa kawuri kerep kumlebat. mencungul gilir gumanti. Maangsa-mangsa kang kebak kaendahan bebarengan karo sliramu. Ing sawijining wektu, nalika kita pacaran ing kali bening sing akeh watune. Tresna pancen endah kaya merpati Bisa keblabak. Lan ati bisa mabur dhuwur ing awing-awang. Kadya nonton sesawangan khayali sing nengsemake.
Tresna aweh katentreman marang jiwa. Rumesep ing dhadha.Nukulake mutiara-mutiara tembang panguripan. Tresna uga nuwuhake rasa tresna asih jroning spectrum-spektrum sing sorote maneka warna. Wirama-wirama gumbira sing banget mranani ngrasuk telenging ati tumekane saiki. Kaya tumetese bun sing nelesi garinge ati iki.
“Apa awake bakal terus?” kandhamu wektu iku.
“Iya!” aku manthuk mantep.
Langit nglangut. Hawa adhem njekut.
“Kowe yakin?”
“Ho-oh!”
Uripe manungsa pranyata ora bisa diatur miturut kekarepaning ati. Akeh faktor sing nyebabake cita-cita ora kasembadan. Kuwi nasib, jarene. Uga iradat kersaning Allah.
Bumi bisu . Seksi lestari sadawaning wektu.
Separo umurku wis dakliwati. Anakku wis padha dewasa lan singloro malah wis mentas. Nanging geneya aku isih tetep durung bisa nglalekake siramu? Sawijining tresna sing ora bisa dakpahami kejaba dakrasakake. Ah, kenangan sing nggodha aku ing kalane ati iki garing aking. Sliramu mujudake melodi endah sing bisa nentremake atiku, perasaanku. Sliramu mutiara sing tembung-tembunge banget nglelipur lan nentremake atiku.
Mas heru, apa sliramu krasa yen wektu iki lagi takangen-angen? Sliramu asring takangen-angen saderma kanggo ngisi rasa sepiku sing [ 315 ]krasa njendhel iki. Atiku dadi anget saben mbayangake sliramu. Aku tresna marang sliramu. Apa bener kaya mangkono? Mbakmanawa bener. Nanging rasane aneh. tetep nresnani priya mangsa kawuri, saunatara priya iku saiki wis duwe kulawarga kayadene aku.
Tresna ora kudu nyawiji. nanging liwat khayalan, malah krasa luwih endah. Luwih nikmat tinimbang ing kasunyatan. Alam fantasi mujdake alam sing sarwa bisa. Sawijining bab sing ora bisa karanggeh ing alam nyata, bisa maujud ing sajroning alam impen. Luwih asyiek!” swara kuwi keprungu adoh banget ing telenging atiku.
Aku merem. Nglaras lan nggagas swarane atiku sing ora tau goroh kuwi. Dakrasak-rasakake pancen ya bener kaya mangkono.
Ah, Mas Heru. Dina-dinaku keri-keri iki krasa dawa banget. Akeh crita sing bisa dakronce jroning lamunanku. Crita ngenani merpati kanthi sakabehing kaendahane. Merpati sing mabur dhuwur ing awing-awang. Merpati, merpati. Lambang tresna kang suci lan aku merpati kang kelangan swiwi.
Urip iki wis taklakoni kanthi maneka rasa. Pait, getir, asem, manis...pokoke komplit. Panguripan sing aneh. Meres pikiran jroning nglakoni. Iku mau critaku, Kangmas. critane wanita kesepen sing kangen marang dina-dinane kang wis mungkur. Dina kawuri sing wis liwat. Nanging apa salahe yen wis mangkono? kaendahan ing ngendi endi pancen ana. Nanging kaendahan mangsa remaja nduweni nilai dhewe. keasyikan dhewe sing bisa dirasakake dening sadhengah uwong. Mangsa remaja sing wis mungkur.
Aku ngadeg. Mbukak cendhela karo nginguk latar apa banyune wis asat apa durung. Jebul durrung. Nanging bocah-bocah sing mau dolanan sirat-siratan wis ora katon irunge lan ya wis ora keprungu swarane. Mbokmenawa wis padha bubar. Bosen utawa kadhemen.
Aku mesem sepa. Merga kadhemen, tumrap bocah cilik karo wong diwasa iku konotasine iku sok beda. Kaya saiki iki, temene aku uga kadhemen. Kadhemen njaba njero. Aku dadi kelingan maneh marang sliramu, Mas Heru. Biyen kita nate kejebak udan lan kepeksa ngeyup ing gazebo nganti udane terang. Kita lungguh empet-empetan lan tanganmu kala-kala gerilya ing anggaku. Ana rasa anget. Rasa nikmat sing tansah take ling-eling nganti tekan seprene. Rasane aku kepengin mbaleni lelakon kuwi, nanging apa mungkin?
Dumadakan angin tumiyup banter. Kordhen cendhela nganti sumeblak. Aku rada nggragap. Angin sing tumiyup iku kaya-kaya nuwuhake surasa kang aneh. Ujug-ujug wae aku diencoki rasa miris. Kaya-kaya aku kelangan kuwanen kanggo bgadhepi dina tembeku sing saya cedhak merga dipangan umur. Dina tembe sing bakal nggawa aku tumuju ing [ 316 ]alam kalanggengan, embuh kapan. Aku nduweni panyuwun. muga-muga ana keajaiban sing bakal nggathukake aku karo Mas Heru.
Tak bayangake, rasane aneh. Soale wis padhadene tuwane. Saupama bisa gathuk tenan, aku seneng. Nanging uga sedhih. Sedhih merga jroning panguripan iki aku ora bisa urip sesandhingan karo dheweke. Seneng merga aku bisa crita akeh marang dheweke.
Angin bali tumiyup. Luwih banter tinimbang sing mau. Adhem gawe mengkorog.
“Angin, apa kowe nggawa pesen kanggo aku? Pesen saka dheweke?” Aku migatekake angin kang tumiyup. Sanajan wung liwat angin, aku bisa nangkep geter-geter iu. Nanging, apa sliramu isih kelingan marang aku, Mas Heru? Ah, mbokmenawa sliramu wis ora tau ngeling-eling aku. Aku uga ora ngerti. Nanging kenangan ing mangsa remaja biyen banget pengaji kanggoku. Sliramu ngerti Kangmas, kenangan iku tansah aweh kekuwatan marang aku saengga aku bisa tatag ngadhepi urip iki, Tresna pancen endah. Mengkono uga tresnaku marang sliramu.
Jaya Baya, No. 28, Minggu II, Maret 2007
Lek ngene iki kabeh dadi katon. Dhuwit sing dhek sesasi kepungkur disilih Yu Jem, sing rong sasi kepungkur disendhal Kang Gimun, lan sing lagi wae rong minggu kepungkur dienggo adhiku kanggo nambakne ponakan sing mlebu rumah sakit, kabeh dadi katon. Bareng awake dhewe butuh ndadak, babar pisan ora ana sing tetulung.
Lagi esuk mau anakku telpun yen butuh dhuwit kanggo budhal njupuk dhata akhir skripsine. Quesioner sing kudu diisi dening PPL kang dadi obyek penelitiane kudu enggal diisi. Kaamangka pangonane adoh, ana Wonosobo. Yen njupuk dhata ora cukup sedina rong dina. Paling sithik ya patang dina. Lan iku ora cukup yen mung sangu satus, rong atus ewu, nanging paling sithik kudu nggawa dhuwit setengah yuta.
Saliyane iku lagi wae oleh warta yen adhine bojoku arep mantu. Kaamangka mantu anak mbarep, dadi rada gedhen-gedhen, kathik naggap wayang kulit amarga ngiras mbukak lan ngruwat. Iki ngono diutamakake dening keluwargane bojoku sing ngugemi adat Jawa tus. Yen anak telu wadon kabeh kudu diruwat.
Mesthi wae aku rada moncat-mancit merga nalika aku mantu anakku sing mbarep biyen sing moncat-mancit.ngurusi ya adhine bojoku iku. Mula, saiki ganti aku sing moncat-mancit. Wiwit saka persiapan pawon nganti ngarep babagan undhangan sing bakale cacahe sewu wong kuwi.
Mumet! Nalika bojoku dak kon nagih mmenyang omahe Yu Jem, semaure entheng, “Urung duwe lho Kang Parmin. Telungane Dhik Guru sing nampa bayar saben sasine. Wis ta, mengko yen panen ngarep iki kasil dak saur,” mengkono semaure Yu Jem.
Kang Parmin mung unjal ambegan dawa, arep kepiye maneh, wong pancen panen sasi iki gagal. Hasile ora cucuk karo olehe ngetokake ragad kanggo rabuk. Mulane Kang Parmin ya ora bisa nesu.
“Tenan ya, Yu. Dhuwit kuwi arep kanggo tambah ragad mantu adhiku sing ana desa Mbroto kae lho...” kandhane bojoku karo pamit.
“Ya, pokoke panen ngarep ya. Dongakna kasil...” [ 318 ]Kang Parmin banjur tumuju omahe Kang Gimun kanthi pangareparep dhuwite rong yuta sing disendhal Kang Gimun nalika bojone ngamar ing rumah sakit rong sasi kepungkur dibalekake. Nalika iku kang Gimun janji yen anake sing ana Hongkong kirim dhuwit, dhuwit sendhalan iku arep dibaalekake. Kang Parmin nalika iku ora mental amarga Yu Gimun kudu operasi usus buntu lan butuh ragad ndadak. Merga urusan nyawa yen isih kena ditututi ya yen isa ditututi. Mula, dhuwit jagan buku tabungan diwenehake Kang Gimun kanggo nututi nyawane Yu Gimun.
Tekan ngarep omahe kang Gimin, montore dijagrag. Sepi…plataran sing kebak tanduran tela iku sepi mamring. Lagi thinguk-tinguk, saka iringan omah Kang Gimun mak pecungul.
“Wadhuh, Kang Parmin…Arep marani dhuwit, ya? Wah, sepurane Kang, Linda durung kirim dhuwit. Dhek wingi daktelpun, jarene sasi ngarep. Wis ta Kang, dakbalekake tenan sasi ngarep,” kandhane kang Gimun. Kamangka bojoku durung guneman apa-apa.
Kang Parmin njur pamitan. Saka omahe Kang Gimun banjur bablas menyang omahe adhiku. Tekan omahe adhiku, Kang Parmin ora mental nagih. Lha durung-durung adhiku wis wadul. Rumangsane tekane Kang parmin mrono iku arep ngendhangi ponaakane. “Alhamdulillah, Kang. Aku mau arep mrono nyendhal dhuwit rong atus ewu wae. Dina iki Rinda kudu control...aku blas ora nyekel dhuwit lho, Kang. Tulung silihana dhisik, Kang...”
Dhasar Kang Parmin, nyawang ponakane sing kudu control sore iki, ora kakehan omong banjur ngetokake dhompet saka kanthonge, terus
“Mung satus lho Dhik...”, ngono kandhane.
“Ora apa-apa Kang, Maturnuwun.”
Kang Parmin banjur mulih. Tekan ngomah banjur nyritakake sakabehane. Aku mung mlongo. Lha saiki wae anakku butuh dhuwit. Kok...? Piye ta Kang...Kang. Awake dhewe saiki lagi butuh dhuwit...”
“Ya...tapi kan isih ana wektu kanggo golek sendhalan ta, Bu,” semaure Kang Parmin karo lungguh ana sandhingku.
“Rong dina, Kang… Kamangka Dia kudu budhal mmenyang Wonosobo. Durung becek manten cacahe telu. Pak Dullah olehe ndekek becek akeh lho, Kang. Bu Dullah wae gulane sepuluh kilo. Durung rokoke rong slop.... Dadi butuh dhuwit akeh....”
“Sesuk tak njajal nyendhal Pak Danang. Dakkira ana dhuwit. Dheweke rak sing ngurusi Koperasi Makmur?” Lai wae bar ngomong, dumadakan bel muni. ANA TAMU.
“Aku bae sing mbukak. Wis panjenengan ngunjuk kopi dhisik,” aku enggal menyang ngarep. Lawang dakbukak. Ana ngarepku ngadeg sawijining bapak sing wis sepuh banget. Rikmane wis putih kabeh. Slirane kuru, umur-umurane dakkira wis ana yen pitung puluhan taun punjul. [ 319 ]“Assalamu alaikum...”
“Wa alaikum salam...”
“Leres dalemipun Bu Dewi?”
“Inggih. Mangga pinarak...”
Aku nyawang sepedhah pancal sing diparkir ana pinggir dalan. Sapa wong lanang tuwa iki? Aja-aja uwong sing arep golek sumbangan?! Biasane yen golek sumbangan ben kasil sing dijokake iku wong tuwa-tuwa ngene iki. Wadhuh... pas bokek ora nduwe dhuwit, akeh becek, durung mbayar listrik, tilpun, athik anak njaluk kiriman. Tanggale wis tuwek pisan. Ah....
“Matur nuwun. Wonten mriki mawon. Mmenika lho…wonten titipan saking anak kula Ida Lamongan, kagem Bu Dewi.” Wong tuwa kuwi ngetokake amplop soklat saka njero klambi.
“O, Mbak Ida? Lha panjenengan punapa bapakipun?” Aku nyawang wong tuwa iku. Apa bener iki pak Imam? Bapake Mbak Ida kanca raketku anna SMP? Wis rong puluh tahun punjul ora kepethuk, dadi aku pangling. Biyen nalika isih sekolah sabaku ana daleme. Saiki…?! Kok aku bisa pangling?
“Leres, Bu...”
“Ya Allah, Bapak! Dalem Dewi, Pak. Ingkang sok dolan wonten dalem mrika rumiyin. Nyuwun pangapunten kesupen…” Aku enggal-enggal salim lan cium tangan.
Pak Iman katon seneng. semono uga aku… Sepurane Pak, tiwas dakkira wong golek sumbangan, mengkono unine atiku.
“Lha aku ya lali, slirane biyen lemu lan bunder...Saiki kok ninthing,” Pak Imam mesem.
“Mangga Pak, mangga lenggah...” aku manggakne Pak Imam.
“Wis, ana kene wae. Iki titipane Ida kanggo slirane…Wis ngono wae. Aku dak bali dhisik,” Pak Imam ngulungake amplop coklat. Sajak laying, sak suwene iki isaku mung SMS liwat HP. Sakwise rongpuluh taun pisah, riyaya tahun kepungkur kepethuk lan ijol-ijolan nomer hp. Mbak Ida saiki wis sukses dadi wong sugih. Bojone juragan mebel sing pasarane tekan ngendi-endi.
Sakwise Pak Imam kondur lan aku maturnuwun, lawang banjur dakkancing.
“Sapa lho Bu?” Kkang Parmin wis ana mburiku.
“Layang saka Mbak Ida, Kang,” semaurku karo lungguh ana kursi tamu. Aku kelingan riyaya kepungkur kepethuk Mbak Ida. Dheweke bengine banjur mampir menyang omahku. Dheweke takon, nyang apa awakku saiki kok kuru? Ya dakcritani yen aku kena penyakit komplikasi, yaiku diabetes, liver, jantung, kolesterol lan mag. Mulane aku diet ketat. Kabeh mau ndadekake awakku susut. [ 320 ]Mbak Ida lan garwane nalika mulih ninggali dhuwit limangatus ewu. Aku maturnuwun banget amarga wektu iku pancen aku butuh dhuwit kanggo nebus obat. Saiki riyaya lagi pirang sasi?
“Bukaken, apa wartane?”
“Iya, Kang.”
Amplop dakbukak, banjur isine daktokake saka amplop. Aku karo Kang Parmin ora bisa guneman. Jebul isine dhuwit sakyuta. Ana kertas cilik sing nylempit ing antarane dhuwit iku ngemu tulisan sing nrenyuhake ati.
“Ndhuk...dhuwit iki enggonen tuku obat. Muga-muga tansah diparingi sehat dening Gusti Allah. Amiin!”
Aku karo Kang Parmin mung bisa pandeng-pandengan. Ora sranta luh tumetes ana pipiku. Allaahu Akbar!
Jaya Baya, No.24, Minggu II, Februari 2007
Jam tembok ukiran Jepara iku wis keprungu gemonthang kaping sewelas. Syukuran prasaja katampane Wimar dadi dosen ing sawijining instansi pendidikan wis rampung watara setengah jam kepungkur. Tamutamu wis padha bali. Nanging lampu robyong ing tengahing ruwangan iku isih kencar-kencar. Iya, isih katon padhang nyunari ruwangan kono. Lampu iku minangka seksi tumraping Wimar, ibune lan sedulur-sedulure kabeh sing isih padha gojek ing ruwangan iku.
Sauntara iku, ing sofa ruwang tamu sing mung diwatesi sketsel ukiran, Darmadi lungguh ijen. Sorot mripate sing getir sok-sok nembus sela-selaning sketsel nyawang anak-anak lan sisihane sing isih padha gojeg ing ruwangan tengah.
Jujur wae, dheweke pancen rumangsa meri lan kesisih ... nyawang sesawanga ing ngarepe iku. Batine wong lanang setengah umur iku kaya kejojoh-jojoh nyawang gojege anak-anak lan sisihane ing ngarepe. Batin iku mencungul saka rasa-rumangsane dhewe sing wis tumindak luput ing wektu-wektu kang wus kawuri. Ah, saupama wae kaluputan kae ora tau ditindakake, tamtu wengi iki dheweke uga bisa gojeg ing tengah ruwangan kasebut. Ora kudu dhewe ing ruwangan seje kaya ngono kuwi.
Darmadi mengo menjaba. Katon abyore lintang ing ndhuwur kana. Sajake kanthi cara mengkono, dheweke kepengin ngipatake gorehing batine. Mung wae, ing batin dheweke isih rumangsa begja duwe Wuri, sisihane lan Wimar gelem methuk dheweke ing kantore rong dina kepungkur. Beteke mung kepengin ngandhani anane syukuran Wimar iki mau.
Nanging dikaya ngapa Darmadi krasa yen tetep kaya ana sing kurang jangkep. Ana sing ilang ana dhasaring batine. Kang ndhisik tau nduweni bebarengan karo sing padha ana sing ana ruwang tengah iku, nyatane saiki kapeksa ora ana. Saupama, ah, saupama dheweke ora nindakake kaluputan kaya sawetara taun kepungkur kae ....
“Pak ..., ayo ta, nyang ruwang tengah. Bocah-bocah kepengin foto bebarengan ...” Dumadakan Wuri wis ana ing sisihe. Darmadi kaget [ 322 ]njur mlengak. Sakala anggone nglamun jugar. Wanita sing tau raket bangeting uripe iku disawang kanthi kedhep tesmak.
“Bocah-bocah ..., kae lho.”
“He-em,” Darmadi suamur kanthi pangrasa luput. Njur dheweke gage menyat saka lungguhe.
Darmadi bali sendhen ing sofa ruwang tamu. Ndhisik dheweke karem banget lungguh ing kono, nganti pirang-pirang jam. Amrih suda ngeluning sirahe sing sedina muput dikuras urusan kantor. Awit, sanggane mau banjur mendha. Awit, Wuri ora tau gothang ngancani karo nyuguhi kopi karemane. Wuri ora tau sambat lan nggresula nalikane ngancani nganti lingsir wengi. Nganti Darmadi ngantuk.
Yen dientung-etung, akeh banget peranane Wuri ing uripe kuwi. Dheweke iku sawijining wanita sing jejeg lan tabah-tanggon. Bekti marang wong lanang. Nanging iku ndhisik kok njur ditinggal ngono wae marga ana wanita liya sing ngiseni batine Darmadi. Wanita sing rumangsane luwih pinter srawung, luwih modhis lan luwih samubarange.
Pancen nalikane pethuk Wuri, Wuri lagi kena PHK saka pabrik papane nyambut gawe. Darmadi dhewe nyambut gawe ing usaha sablon. Nalikane kekarone omah-omah pancen ekonomine banget nyenin-kemis. Saben bubar nampa gajian mesthi terus entek kanggo nutupi utangan. Nanging Wuri ora tau sambat. Apa maneh njaluk sing ora-ora. Wuri duwe akal nggawe jajan pastel utawa lumpia sing banjur diiderake menyang kampung-kampung.
Krenahe Wuri pancen mung sithik bisa ngowahi ekomonine kulawarga. Ewasemana kekarone wis rumangsa begja. Wuri wis bisa nuduhake bisa dadi sisihan sing tanggon lan bekti marang wong lanang.
“Gusti Allah ora bakal maringi pacoban ngluwihi kekuwatane kawula Ne,” ngono panglipure Wuri yen ngerih-erih sisihane. Sawijining dina juragane Darmadi lara nganti ora bisa ngemudeni manajemen perusahaane. Pirang-pirang sasi juragane kuwi ngamar ana rumah sakit. Sajake kahanan iku banjur dadi sumber mencoronge nasibe Darmadi. Nalika juragane mbukak kalodhangan kanggo ndanani administrasi perusahaane, Darmadi sing kebeneran tau melu sinau manajemen gage tandang maju. Nyatane, kabeh banjur owah. Darmadi kasil ndandani pembukuan lan administrasine perusahaan iku nganti panguripane Darmadi dhewe saanak-bojone uga banjur dadi apik.
Bareng papane nyambut gawe wis bali jejeg, Darmadi malah milih metu. Dheweke malah milih ngedegake usaha dhewe. Nyatane, pilihane ora luput, Darmadi bisa mbangun omah lan bisa tuku isen-isene omah sing larang-larang regane. Relasine uga saya akeh.
Nganti sawijining dina ketekan relasi wanita sing pinter banget ing babagan marketing. Merga kerep cecaturan, kekarone banjur raket, nganti [ 323 ]lali wewatesing kekancan lan usaha. Nganti sawijining dina Darmadi nembung marang sing wadon yen dheweke kepengin omah-omah maneh. Alesane, kepengin duwe turun lanang sing bisa nerusake usahane. Awit anak wadon bisane mung nangis lan dandan, ngono jarene. Lan, bale wismane Darmadi ajur nalikane Darmadi ngrembug yen Wuri bakal dimaru. Wuri pilih pegatan wae. Bale wismane mung bisa umur 17 taun.
Saiki Darmadi lagi bisa mikir kanthi wening. Nyatane anak wadon mono ya bisa njunjung drajade wong tuwa. Emane pamikir mau mencungul kok sawise pepisahan 12 tun kepungkur.
Nilam, anak mbarepe, saiki dadi pengusaha iklan sing sukses. Ratri, anake sing nomer loro, ya dadi wong kasil. Dheweke nyambut gawe ing babagan marketing alias pemasaran ing sawijining perusahaan. Bakate kasebut jan manjilma temenan. Pelanggan perusahaane saya dina saya mekar. Mula lumrah yen Ratri dadi wakile bos-e.
Dene Wimar, anake wadon sing ragil, sing lagi umur sepuluh taun nalikane ditinggal Darmadi, mentas diwisudha lan bakal kaangkat dadi dhosen ing kampuse. Kajaba Wimar, anak wadone loro wis padha omah-omah. Padha entuk sisihan sing mapan lan padha menehi putu sing lucu-lucu.
Lan Tika, ya wanita sing pantese dadi anaka Darmadi, sing banjur dadi sisihane, nggenteni kalungguhane Wuri iku, pancen ya duwe anak lanang temenan. Emane, anake iku mekar kadewasane ora sabaene. Tinakdir dadi bocah idheot sing bisane mung ngompol lan ngengek ngenggon, sanajan umure wus wolung taun.
Sing nganyelake, Tika sajake isin nyawang anake dhewe. Anake tansah didhelikake wae ana ing njero kamar. Tika ora tau ketok momong anake. Aja kok momong, wong nggendhong wae ya ra tau. Apa maneh nglela-lela ing ngarepe bapake.
Jujur wae, Darmadi rumangsa keduwung. Saupama wae wiwit biyen kae dheweke wis mangerteni nek anak-anak wadone bakal dadi pawongan pinunjul! Satemene wae dheweke ya wis mangerteni nek Wuri kuwi sawijining wanita sing jempolan. Mesthine, anak-turune ya ora adoh karo ibune. Kudune, dheweke ya ngerteni. Saengga ora perlu nganti ninggal anak lan sisihane. Lan, Darmadi kudune ya percaya yen anak-anake ya bisa nerusake usahane.
Menawa kaya mengkono, mesthi kahanane saiki ora kaya saiki. Usahane saiki mundur merga dheweke kerep lara. Tika dhewe sing biyen digegadhang bisa majokake usahane malah saiki wis ora nggape maneh. Karemane mung paes lan ngobral dhuwit kanggo shoping. Seje banget karo Wuri. Tur maneh, anak lanang sing digegadhang bisa dadi sulihing bapakne, jebul mekaring kadiwasane ora normal. Aja maneh dadi pimpinan tumraping atusan karyawan, lha wong ngurusi kebutuhane dhewe wae ora bisa. [ 324 ]Sing marakake Darmadi rumangsa dosa, dene sikepe anak-anak lan tilas sisihane iku panggah ngajeni dheweke. Sethithik wae ora katon nesu utawa gething. Kamangka ora luput yen Darmadi digethingi lan diunenuneni. Nanging Wuri ora mengkono, dheweke panggah aweh conto marang anak-anake yen panggah kudu ngajeni Darmadi. Sajake kabeh wis padha nglalekake anggone tau ora netepi bebener.
“Wis ta lah, awake dhewe ki wis umur. Wis ora trep yen tansah nguthik-uthik apa sing wis njlaret ing batin. Wis ayo padha dilalekake wae kang kedadeyan kepungkur iku,” kandhane Wuri sore mau.
Ora mung kuwi thok, Wuri wiwit mau uga tansah ngancani dheweke kanthi crita werna-werna. Sajake wanita iku pancen nyimpen crita mligi kanggo dheweke, crita sing wis sumlempit ing atine mataun-taun lawase.
Lan ing waliking batin sing keduwung mau, ana pangrasa anget kang mrambat ing batine Darmadi. Dheweke rasane wis wegah bali. Dheweke kepengin wengi iku ora ana enteke. Kepengin terus cecaturan karo tilas sisihane lan anak-anake.
“Pak ...,” iki sing dirungu kaping pindho wiwit Darmadi lungguh dhewe mau.
Darmadi bali mlengak bareng krasa ana sing ngepuk-epuk pundhake. Wimar wis ngadeg ana ing sisihe.
“Apa, Wi?” pitakone Darmadi kanthi swara geter.
“Ayo, dakterke bali, wis jam rolas kliwat ....”
Dumadakan ana banyuteles mblereti pipine. Darmadi ngerti, sedhela engkas banyu iku bakal nelesi pipine. Ah …, saupama dheweke ndhisik ora njaluk neka-neka. Mesthi wengi iki dheweke isih isa panggah ana kono. Nganti sesuk. Nganti kapan wae. Lan, Wimar ora usah kerayaraya wengi-wengi ngeterake dheweke bali. Ah ..., saupama wae ....
Jaya Baya, No. 20, Minggu II, Januari 2007
“Kulanuwun” uluk salame nalika ana ngarep lawang. Durung ana jawaban. Dibaleni, karo notohok lawang. Keprungu swara sandhal tumuju lawang. Disawang saka ngarep ora katon, merga kaca teras kaca ribe. Kang uluk salam mundur nalika lawang arep dibukak saka njero.
“Punapa leres dalemipun Pak Pandaya?”
“Inggih leres”
“Bapak wonten ndalem, Bu?”
“Dereng kondur, mangke jam kalih. Wonten kersa punapa?”
“Dipun utus Ibu ngaturaken kintunan menika.”
“Menika menapa?”
“Sekul.”
“Sekul,?” Sing dikandhani semu kaget, kok ana wong nonjok, ki sapa, wong ora ana undhangan, lan bojone ya ora ngomong utawa pesen. Merga isih ragu-ragu, banjur takon, “Griyanipun pudi?”
“Ngraho.”
“Mangke gek mboten kangge mriki.”
“Leres kok, Bu.”
Lho, Bapake kagungan kersa menapa?”
“Mboten gadhah damel, naming anu, Ibu maturnuwun, amargi awit pambiyantunipun Pak Pandaya, warungipun rame lan laris.”
“Bantuan pripun, ta?”
“Duka nggih. Wong kula naming kapurih ngaturaken dhaharan menika.”
“Niki leres Bapak ingkang dipun kintun?” pitakone Bu Pandaya isih tidha-tidha karo utege kebak pitakon.
“Inggih, leres.”
“Mmangga, pinarak rumiyin.”
Baskom gedhe dibungkus taplak meja ditampani, banjur digawa memburi. Bareng bungkus dibukak, lan weruh iisine baskom, Bu Pardaya tambah kaget. Sega karo panggang ayam wutuh, tambah lalaban. Karo ngelih sega menyang wadhah liya, batine isih ngudarasa, “Aweh bantu- P [ 326 ]wan apa bapake bocah-bocah.Yen dhuwit ora ngarah, wong gandhengane karo kelarisan olehe dodolan...”
Rampung ngelih sega menyang ething, bali nemoni sing ngirim karo kandha, “Wah, baline kothong.”
“Mboten menapa-menapa, Bu.”
“Inggih, mangke dipun aturaken sinten asmane Ibu, bilih Pak Pandaya sakeluarga sampun nampi kintunanipun lan ngaturaken panuwun.”
“Inggih Bu, ngendika Bu Tum, warung makan Padha Wareg, ngaten rak sampun priksa. Pareng Bu, nyuwun pamit.”
Sapungkure tamu sing ngirim tonjokan mau, Bu Pandaya isih nggagas gek bantuan apa, mengko gek kleru tenan. Ning nitik anggone langsung njujug omahe lan tangga-tanggane ora ana sing jenenge Pandaya, ya bener. Kiiriman iku nuli disinggahake ing lemari makan. Ora wani nguthakuthik yen sing lanang durung trka. Nalika putra-putrane teka sekolah, ya ora dituduhi.
Jam loro seprapat sing diantu-antu teka. Sing wadon langsung kan-dha, “Kae, entuk kiriman panggang ayam, durung dak kapak-kapakke.”
“Panggang ayam saka sapa?”
“Lha embuh jare Bu Tums aka Ngrabo ngono.”
“Bu Tum Ngrabo,” sing lanang sajak kaget.
“Lho, kok sajak kaget, mengko gek kleru tenan, ora nggo kene.”
“lha, sing ngeterke mau kandha piye?”
“Jare kkagem Bapak, marga saka bantuan njenengan, nggone dodol Bu Tum jare malih rame lan laris.”
“He, wah, gawat.”
“Gawat piye.”
“Mengko wae takcritani. Aja dipuruk dhisik, aku tak ngundang wong-wong.”
“Ngundang sapa? Piye ta jan-jane?”
“Pak Mashari, Pak Sabas karo Mas Imam Supari. Mengko rak ngerti larah-larahe.”
Pandaya ngetokake hp, banjur kirim sms. Hp aweh tengara kaping telu pratandha sing dikirimi SMS wong telu. Nuli ana kodhe mlebu. Sijine malah langsung telpun, nggenahake, “Ana apa, sajake kok penting banget,” pitakone Imam Supari lewat hp.
“Iya, pokoke wong telu takenteni saiki uga. Ana masalah berita sing ora bisa ditundha. Pak Mashari karo Pak Sabas sampeyan ampiri,” Pandaya nandhesake.
“Bu, karo ngenteni wong-wong siapna unjukan. Panggange deleh meja tengah kene wae, karo piringe pisan,” kandhane Pandaya marang sisihane, banjur cucul klambi dhines ganti nganggo kaos. [ 327 ]Lungguh ana kursi tamu, karo maca Koran sinambi ngrokok. Pikirane ngrambyang, kelingan anggone munggah merapi sesasi kepungkur wong papat saperlu ketemu Mbah maridjan.
Bali ska Kinahrejo, daleme Mbah maridjan wis sore lan tekan Ngraho bengi. Marga Sabas sing nyekel setir kesel, kebeneran ing Ngraho warunge Bu Tum iisih bukak, wong papat leren saperlu mangan lan ngopi.
“Saking pundit a Mas, kok dalu temen,” pitakone Bu Tum marang Pandaya katon ya wis kulina njajan ana kono.
“Saking merapi, niki napa murugi Mbah Maridjan,” jawabe Pandaya karo ngingeti Mashari sing nganggo udheng sulung ing sisihe.
“Who, omongane wong ra mbeneh kok digugu,” Immam Supari nanggapi omongane Pandaya sing sajak serius iku. Sing dijak omong ketok percaya, apa maneh mimike Pandaya ora ketok yen mung gawe-gawe.
“Mpun, yen pengin laris, nyuwun sawab Mbah Maridjan niki, mumpung rawuh. Tebih-tebih kula aturi saperlu kula suuwuni sawab berkahe badhe gadhah damel njing wulan ngajeng,” kandhane Pandaya mbacutake.
“Nggih napa, Mbah?” pitakone Bu Tum marang Mashari sing disebutake Mbah Maridjan.
“Lheh, kok nggatekna wong ngomong ngayawara,” jawabe Mashari karo ngiling wedang kopi, tanpa nggatekake sing takon.
“Sampeyan niku nggih ngaten, pundi enten tiyang pinter ditakoni ngaku. Sing gelem ngaku niku nggih tiyang sing ngaku-ngaku pinter. Sampeyan rak nggih nyetel televise ta, Merapi ngutahake lahar, tiyangtiyang sami ngungsi. Ning Mbah Maridjan malah minggah ten kawah , bawarasa kalih panguwasaning Merapi. Asile napa, desane aman, mboten napa-napa. Niki wau meh mboten kersa marga badhe wonten acara ing mrika. Lajeng kula semadosi mbenjang-enjang kula dherekaken kondur,” Pandaya sayangethuprus.
Sing diomongi nganti ndomblong, karo bola bali ngingeti Mashari sing udheng-udhengan wulung persis kaya dhukun ndesa, karo ngempet guyu. Imam supari nganti keseleg anggone ngempet guyu, sedeng sabas mung mesam-mesem, malah nambahi umuke Pandaya. “Pun, yen sampeyan pengin laris lan warunge tambah gedhe, mrika mundut toya pethah wonten gelas kalih sarem, bene disranani Mbah niki...”
“Hreng...hreng dhin..dhin... Pandaya kaget. Mapag wong telu sing marker sepedhah motore ing ngisor pelem.
“Ana apa, ngganggu wong arep turu wae,” takone Imam Supari.
“Wis, mlebu dhisik. Wis padha dhahar durung,” jawabe Pandaya karo mlebu ngomah. Wong telu kaget nyawang meja tamu wis ana tatanan dhahar. Pandaya mbukak wadhah iwak pitik panggang sing ditutupi lembaran Koran. [ 328 ]“Kagungan kersa menapa Bu. kok manggang ayam?” pitakone Sabas marang sisihane Pandaya.
“Niku, Bapake Diyah sing gadhah kajat.”
“Perkara kajat lan dongane mengko, sing penting mangan dhisik. Bu, jupukna peso,” kandhane Pandaya.
“Ora ta, jan-jane bar entuk rejeki saka ngendi iki? Takkira ana berita penting apa ta apa,” semantane sabas karo nyidhuk sega.
Rampung olehe padha mangan, Bu Ppandaya metu karo nggawa unjukan kopi. Wis apal, wong-wong iku padha nggathok kopi. Kopi diseleh banjur ngukuti pirring-piring lan wadhah liyane.
“Wis wareg ta? iki mau rejeki saka sawab sarta berkahe Mbah Maridjan,” Pandaya mesam-mesem. Sing diomongi isih durung mudheng. Aku ora kolu arep mangan dhewe. Karo maneh wedi kuwalat, dosaa yen disangga bareng.”
“Kok ndadak Mbah Maridjan barang?” pitakone Mashari.
“Iki mau kirimane Bu Tum.”
“Bu Tum warung makan Padha wareg Ngraho?”
Pandaya ngguyu, kasusul wong telu uga padha ngguyu bareng ngerti asal-usule kiriman iku.
“Lho, piye ta kok guyon ki? Niki wau rak ngaten ta Mas Imam, jam kalih welas wau wonten tamu. Criyosipun kengkenanipun Bu Tum Warung Makan Ngraho, ngintun bapake Diyah, marga saking pambiyantunipun warung makan dados laris. Lha kula rak bingung, mbantu napa Bapake Diyah, kalih malih mangke gek mboten kangge mriki, mila kula ngrantos kunduripun Bapake Diah niki wau, mboten wanton nguthikuthik,” kandhane sisihane Pandaya sing durung mudheng larah- larahe.
“Ngaten lho Bu,” Sabas nerangake, “Dhek emben wangsul saking Merapi nika, rak mpun dalu. Luwe, ngantuk dugi Ngraho, warung makane Bu Tum kok tasih bikak. Lajeng sanu kendel ngopi. Lha, niku Pak Mashari niki rak ngangge udheng wulung kados pacakaane dhukun. Pak Pandhaya sajar teng bakule yen niku Mbah Maridjan, juru kunci merapi. Yen kepengin laris kapurih mendhet toya pethak kalih sarem ben didongani Mbah Maridjan. Kok nggih manut Bu Tum niku. Jane kula tiyang tiga niku mpun ngempet guyu, lha kok Pak Pandhaya nggih tenang mawon, malah sajak mpun ta pripun ngaten anggenipun ngyakinaken Bu Tum.”
“Lha kok terus ngirimi niki wau?”
Lha niku, sareng mpun nyedhiakaken banyu putih kalih sarem, kula nggih mbumboni. Mpun Mbah, ndang didongani, terus pripun niku. Pak Mashari ketok umak-umik, lajeng mrentah Pak Pandaya supaya uyahe disebar ana ngarep warung, banyune kapurih ngombe Bu Tum.”
“Ika kok dongani apa ta, Kang?” pitakone Panndaya marang Mashari nganggo sebutan Kang, kulina jaman interkoman biyen. [ 329 ]“Umak-umik kae jane aku nglairake batinku, nyuwun ngapura marang Mbah Maridjan, kok asmane nggo sembarangan,” jawabe Mashari.
“Dadi ora kok dongani?”
“Kapan awakmu ngerti aku bisa ndonga?”
“Nanging ya mandi ngono. Mau jare sing ngeterake kiriman, warunge saiki rame lan laris. Perlu ditiliki mrana maneh iki,” panylethuke Imam Supari.
“Ya ora marga dongaku, pancen ya lagi ketiban pulung laris.”
“Lha yen aku ya percaya, iki marga sawabe lan berkahe Mbah Maridjan tenan. Lho masiya aku nyathut asmane, ning rak ora tak nggo tindak duraka utawa ngremehake, malah dakluhurake. Mula, ya diberkahi, warunge Bu Tum kelarisan tenan,” pambelane Pandaya, banjur nylethuk marang Mashari, “Wis Kang, wiwit saiki nganggoa jeneng Mashari Maridjan. Sing luwih penting awakmu aja njaajan dhisik ana warunge Bu Tum, yen konangan.”
“Wis, wis wong tuwa-tuwa padha sembrana, yen nganti kesiku tenan terus piye?” panyelanne sisihane Pandaya bareng ngreti dudukselehe kiriman panggang ayam.
Wong papat padha ngguyu bareng, Imam Supari nganti keselakselak, dene Pandaya kang dadi sutradar mripate nganti mbrebes mili marga anggone ngguyu.
Jaya Baya, No.25, Minggu III, Februari 2007
Yen lagi usum duren kaya ngene iki, aku mesthi kelingan Bapak. Bapakku dhewe, dudu bojoku utawa bapake anak-anakku. Njur apa sesambungane Bapak karo duren? Erat banget amarga ngrembug bab duren lan Bapak mesthi ngelingake marang jaman cilikanku, sing diarani masa kecil bahagia....
Bapak remen dhahar duren. Lan karemenane kuwi nurun marang aku, anak ragil saka sedulur cacah loro wadon kabeh. Eman kok ora nurun marang mbakyuku, apadene nular marang Ibu. Wong saomah cacah papat sing seneng dduren mung aku lan Bapak. Aku isih kelingan jaman cilikanku biyen, angger usum duren, Bapak mesthi ngejak aku tuku duren neng pasar Sleko, sentra bakul duren ing kutha Madiyun Leh ngejak mmesthi wayah wengi, sawise dhahar.
“Mengko durene dimaem neng nggone bakule wae, gak usah digawa digawa mulih,” ngendikane bapak karo nggonceng aku numpak sepedha motore sing lawas, suuzuki abang tahun ’80-an. “Ibu gak dioleh-olehi Pak?” pitakonku.
“Gak usah, wong ibu ora kersa dhahar duren. Gek mbakyumu barang nek mambu duren malah muntah-muntah. Wis, mengko maemen sakwaregmu....”
Aku lan Bapak njur pesta duren, nganti mblenger.
Ngono kuwi lumaku saben usum duren, saben taun wiwit aku isih cilik nganti gedhe lan lulus kuliah. Bareng aku budhal nyambut gawe menyang Palu, pakulinan mau ilang karepe dhewe merga aku adoh karo Bapak Neng palu aku tuku duren dhewe, dakpangan dhewe. utawa di-tukokake kanca-kanca dipangan rame-rame. Embuh, neng Madiyun nalika semana Bapak nek mundhut duren karo sapa. Apa iya Bapak mundhut dhewe njur dipangan dhewe?
Mbok menawa mokal, merga Bapak ora tau kersa dhahar ijen. Nanging bab-bab kaya ngono kuwi mau ora tau dakpikir. Kabeh lumaku kaya adate ing taun-taun candhake.... [ 331 ]Ndhilalah saiki aku bali maneh manggon sakkutha karo Bapak, nanging ora saomah. Gek bojoku adoh pisan, amarga dhinese pindhah nyang Palembang setahun kepungkur. Minangka anak sing bekti marang wong tuwa, saben dina aku panggah wira-wiri nyang daleme Bapak, nginguk apa ta apa sing dikersakake, senajan ing daleme bapak uga ana Ibu lan Mbakyuku.
Nalika sore kuwi aku dokan karo anakku loro, Bapak ketok rada gerah. Adate nek sore ngene iki tindak-tindak karo mirsani cah-cah sepedhahan neng dalan, iki mau kok sareyan neng sofa ruang tamu.
“Bapak gerah, ta?” pitakonku.
“ora papa, mung rada lemes,” ngendikane Bapak njur mak nyat lenggah nalika pirsa tekaku.
“Kepengin dhahar gule apa piye?” aku takon maneh minangka anak kesayangan, aku wis apal karo pakulinane Bapak. Nek rada gerah ngene iki adate tensine suda. Mengko nek wis dhahar gule lan sate kambing, biasane njur dhangan maneh.
“Gak usah. Ibumu mau wis masak rawon, kok. Piye acarane neng ngebel mau? Bapak genti ndangu aku.
Dhek wingi aku pancen pamit Bapak merga ana undangan pertemuan pengarang ing Panaraga, diterusake rekreasi mmenyang Tlogo ngebel. Sak jeg jumbleg manggon neng madiyun aku pancen durung tau nyang Ngebel, mulane bareng ana sing ngejak aku njur sumrinthil melu. Pengin ngerti kaya ngapa wujude Tlogo Ngebel kuwi, sing jarene uga kondhang akeh durene.
“Yaw is kaya ngana kae Pak. Sakjane panggonane apik, ning rada sepi. Nek kanggo cah-cah dolan jik penak nyang Sarangan, isa numpak jaran la nana praune barang. Nneng Ngebel kana mung ana bandhulan lan plurutan. Nanging maeme enak, Pak, ditraktir iwak goring nganggo sambel lan lalap. Wah, maemku akeh tenan,…” wangsulanku njur ngethuprus crita.
Ket cilik pakulinanku ora ana sing owah. Angger suwe ora ketemu Bapak, mesthi critaku ora ana enteke. Kamangka sakjane ngono meh saben dina aku ketemu Bapak.
“Kowe ya tuku duren neng kana? Apa wis usum?” pandangune Bapak.
“Ora Pak. Males, wong aku wis wareg bar maem sega rong piring karo iwak loro. Arep nggawa mulih ya wegah, wong regane ora kacek okeh karo sing didol neng Sleko. Luwung tuku neng kene wae suk kapan-kapan....”
Bapak ora ngendika apa-apa. Aku dhewe njur ibut ngurusi anakku sing tiba saka sepedhah nganti bundhas sikute.
“Tante wingi neng Ngebel gak mundhut duren ta?” saiki sing takon genti Dhanny, keponakanku cewek sing umure limang taun. [ 332 ]“Gak, Ndhuk. Suk kapan-kapan ae, kowe pengin maem duren pa piye? Suk dipundhutke Tante ya,” kandhaku . Ponakanku siji iki pancen raket banget karo aku, amarga bapake wis seda nalika umure isih nembelas sasi. gek ndilalah hobine jibles karo swargi bapake, aku lan yangkunge, ya kuwi duren.
“Dudu aku, tante, Yangkung kuwi lho sing pengin maem duren,” kandhane Dhanny karo nuding Yangkunge sing isih sareyan neng kursi. Aku genti noleh marang Bapak.
“Iya ta, Pak? Bapak ngersakake mundhut duren pa piye?” pitakonku maneh.
“Lha wong Dhanny kuwi lho sing pengin duren,” ngendikane Bapak genti nutuh putune..
“Aku saiki duwe langganan bakul duren cedhak omah kana, Pak. Penak, nek tuku gak ndadak nganyang kaya neng pasar Sleko, ek duene ya lumayan enak. Suk kapan-kapan ae pa piye, nek Bapak ngersakake,” kandhaku.
“Iya wis, kapan-kapan ae…”
Rembugan bab duren njur mandheg tekan semono. Saelingku, ket cilik, Bapak durung tau nganti nulak panjalukku. Apa wae sing dakjaluk mesthi dituruti, sauger ora nyimpang saka aturan. Ndilalah panjalukku uga ora tau neka-neka, kabeh isih laras karo kahanane Bapak. Lagi rasan-rasan pengin maem tahu campur wae, sorene meshi terus dijak Bapak tuku tahu campur tenan. Utawa yen aku alok neng toko kae ana rok apik, ora ndadak ngenteni sesuk-sesuk mesthi karo Bapak enggal dipundhutke, merga dhasare aku ki ora tau nyuwun rok.
Sing ora klakon mung siji, biyen lulus SMA aku pengin kuliah neng ITB nanging ora klakon ketampa. Ketampane malah neng UGM kaya sing dikersakake Bapak....
Njur nek saiki genti Bapak sing kagungan pamundhut, kamangka aku bisa nuruti, geneya kok ndadak ngenteni sesuk suk kapan-kapan wae?
Pitakon kaya ngono kuwi rasane ngoyak batinku terus saulihku saka daleme Bapak. Mung perkara duren. Geneya nganti tak tundha suk kapankapan wae nalika Bapak ngersakake? Kamangka jaman cilikanku biyen, lagi wae mingkem leh ku kandha Bapak mesthi njur nyetarter seppedha motore, budhal mundhutake apa sing dakkarepake. Kamangka saiki aku wis dudu bocah cilik maneh, aku bisa dadi pegawe merga saka panggulawentahe Bapak lan ibu, tur bayarku wis luwih akeh timbang pensiunane bapak, geneya aku wegah ngaturi apa sing dikesakake Bapak? Kebangeten tenan aku iki. Muga-muga ora klebu golongane anak durhaka.
Mula nalika lakune sepedha motor ngliwati bakul duren langgananku, enggal-enggal dakenggokake mandheg. Njur milih duren sing kirakira enak, ora akeh merga maega paling-paling sing dhahar mung Bapak. [ 333 ]Loro wae cukup. Sawise dak bayar, montor alon-alon dak lakokake maneh menyang daleme Bapak.
“Lho, Bu, arep nyang ngendi maneh iki?” pitakone ardi anakku mbarep nalika weruh lakune montor ora sida mulih.
“Nyang daleme Yangkung maneh. Le. Lha iki, ngeterke duren ben ndang didhahar Yangkung,” wangsulanku.
Anakku ora cumuwit maneh, najan jroning batin mbokmenawa dheweke mbatin, “Ibu ki kok nganeh-anehi. Dhek mau wis bar saka daleme Yangkung, saiki wis meh tekan omah, lha kok mbalik maneh mrana....
“Pak! bapak!” lagi njagang montor neng ngisor wit pelem aku wis bengak-bengok ngaturi bapak. Baapak miyos karo sarungan lan ngagem baju muslim. Sajake wis siap-siap arep tindak sholat Maghrib nyang mesjid.
“Lho, ngapa kok mbalik maneh? Apa ana sing keri?”
Karo mesam-mesem aku nyangking duren loro sing gedhe-gedhe. Anakku ngetutake neng mburi.
“Iki lho Pak, dak pundhutake duren. Ayo ndang didhahar sik, sadurunge tindak masjid. Mau pas ngliwati bakul langgananku kok durene ketoke enak-enak. Dhan! Dhanny! Kene maem duren karo tante, Ndhuk!” aku ngundang ponakanku pisan. Bocahe semrinthil marani.
“Oalah, kok ora sesuk-sesuk wae lehmu nukokne. Yaw is, wong wis dituku, ayo ndang dimaem pisan, selak Maghrib,” karo ngendika ngono Bapak mundhut peso, njur mbukak duren sing sakjane wis meh mlethek saking tuwane. Duren loro telap-telep didhahar, klebu aku, Dhanny lan anakku loro pisan mmelu mangan.
“Kok enak-enak iki mau durene. Regane rak ya larang?” ngendikane Bapak sawise rampung dhahar duren. Aku ora mangsuli. Ora ana tembung larang. Kanggo Bapak kudu dak aturi barang sing paling apik, amarga Bapak wis maringi sembarang kalir sing apik-apik kanggo aku. Wiwiit jaman cilikanku biyen nganti saiki, aku wis omah-omah, Bapak ora tau leren maringi apa wae minangka wujud katresnane marang aku. Aku sing durung bisa ngaturi apa-apa minangka wujud katresnanku marang Bapak.
Jaya Baya, No. 13, Minggu V, November 2008
Wiwit sore udane ngreceh. Sasi Desember pancen wis mangsane udan. Malah wong Jawa duwe pangothak-athik tumrap jjenenge sasi karo kahanane mangsa. Agustus, banyune wiwit dietus, September, asat-asate sumber, Oktober, wis ora ana sumber, Nopember, wiwit ana sumber, Desember, gedhe-gedhene sumber lan Januari udan sehari-hari.
Othak-athik amrih gathuk, nanging yen nonton kahanan kok ya rada bener. dadi, yen Desember terang ora ana udan, malah jenenge salah mangsa, kaum tani sing susah.
Bu martinus mbukak lawang, ngungak njaba. Udane durung clengkreng, kamangka wis saya peteng. “Bocah iki mau nggawa mantel apa ora. Yah mene kathik durung teka,” grenenge karo mlebu ngomah nutup lawang.
“Menawa Cepu udane luwih deres ta Bu, bocahe isih leren ana greja,” tumanggape Pak Martinus bareng krungu grenenge sing wedok.
“Lha iya, iki mau nggawa jas udan apa ora.”
“Lha ana kamar jas udane ana apa ora. Biasane diseleh meja”
“Ngono ora ngawekani dhewe. Wong dheweke iku yen kena udan terus masuk angin, sok banjur watuk,” jawabe Bu Martinus karo mapan lungguh ngadhep mesin jahit. Banjur kasusul suara mesin jahit.
Ora let suwe keprungu suara sepedha motor mlebu teras Sing diantuantu mlebu ngomah karo njedhindhil kudanan, klambine kebes.
“Lha, rak tenan ta, nglucut. Wong wis karuan mangsa udan, emoh nggawa jas udan,” kandhane ibune marang kang lagi teka.
“Lha, mau terang kok Bu.”
“Wis mangsa udan iku, ya jaga-jaga ta. Karo dene yen udane deres, ngeyub dhisik, ngenteni terang.”
“Ngendikane Ibu jare ora pareng nganti peteng. Apamaneh yen ngenteni terang, wong Cepu deres.”
“Yaw is kana, ndang ganti. Bubar adus awake diblonyoh lenga putih, ben ora masuk angin. Apa adus nganggo banyu anget kana.” Sing diabani ora mangsuli, terus mlayu memburi. [ 335 ]Pak martinus mono ora kagungan putra dhewe. Ana sing jangkepe Yuliana iku putra angkat, sing sabenere anake adhine, dipundhut putra wiwit lair. Juliana lair kembar, adhine Yuliani ndherek Bapake dhewe karo ibune sambung. Ibune Yuliana kapundhut nalika nglairake Juliana lan Yuliani. Angone nglairake ana puskesmas, kekurangan getih nalika iku kentekan, kapeksa golek menyang RSUD ing kutha singadohe 50 km. Nanging durung nganti sing nggolek dhonor teka, ibune Yuliana kedhisikan kapundhut Gusti.
Senajan dudu putrane dhewe, nanging pangrengkuhe Pak Martinus lan Bu martinus ora beda karo marang putrane dhewe. Semono uga, Yuliana nadyan ngerti yen ibune iku sabenere budhene, nanging pangrengkuhe ibune dhewe.
Adhike Yuliana ndherek bapake ana semarang. kekarone padhapadha kelas telu SMA. Yuliana sore iki mau latihan koor kanggo pengetan Natal Mudika. Dheweke aktip ana Mudika. Wiwit cilik wis digladhi sregep sowan Gusti. Nalika SD lan SMP aktip melu Misdinar.
Adhine ana Semarang uga klebu aktip ana greja. Ya mung bapake, sawise karma maneh arang-arang menyang greja. Marga ibunesambung Yuliani durung katolik. Bener ijabe entuk dispensasi saka greja, nanging isih durung kagugah timbalane Gusti. Malah mangaribawani bapake Yuliani, Pak handoyo melu keset sowan Gusti. Ing Natal iki, Yuliani arep melu natalan mbakyune, marga ana Semarang mengko kuwatir ora ana kancane, yen bapake ora tindak. Yuliani wis kirim es-em-es marang mbakyune yen arep Natalan ana Cepu. “Mbak, preinan suk aku arep ana Budhe bae nganti natalan. dadi bisa natalan ana Cepu karo Pakdhe-Budhe lan sampeyan, merga yen ana ngomah semarang suk aku ora ana kancane. Tanggal 23 aku teka, Mbak Ana mapag ya,” mangkono antara liya unine es-em-es sing dikirim Yuliani.
“Buk, Anmi tekane rak sesuk?”
“O, iya, ya. Sesuk numpak apa jare?”
“Numpak kertajaya”
“Ben dipapag Bapak wae, Kertajaya tekane rak isih peteng.”
“Sepur saiki ora kena dijagakake, jadwale jam papat, nanging sing mesthi ngluwihi jam setengah enem. Ana wae Buk, yen wis tekan setasiyun ben telpun, yen wis padhang, aku sing mapag, yen isih peteng ben Bapak.”
“Yaw is yen ngono. Coba iki dijajal, kurang piye,” kandhane ibune karo njereng klambi sing bubar dijait. Klambi anyar arep kanggo natalan. Yuliana nampani, banjur dicoba, karo mejang-mejeng.
“Pas Bu.”
“Kari menehi itik karo benik. bisa ora kowe?” kandhane ibune.
“Ibu wae.”
“Wuus, kowe. Olehmu arep bisa tandang kapan.” [ 336 ]“Ora tlaten aku,” wangsulane Yuliana.
“Kana, ndang tata dhahar. karo Bapak gawekna kopi dhisik, aku nggarap iki mau durung sempat nggawe.”
“Oke, Bos!” jawabe Yuliana karo ngungkurake ibune. “Ah, bocah saiki,” grenenge Bu martinus bareng krungu jawabe Yuliana. Rampung anggone tata dhahar, Yuliana ngaturi bapake karo ibune. “Pak dhaharipun sampun siaap.”
“Yaaa…”
“Kowe An sing mimpin doa makan,” ngendikane ibune.
“Anu, Bapak wae Bu.”
Nengah-nengahi lagi ngrahapi maem, keprungu bel telpun.
“Kae angkat An, bele Ani.”
“Hallo,” suarane Anna karo tutuke isih kebak sega.
“Mbak Ana,” keprungu suara saka kana.
“Heh, ana apa Ani?”
“Sesk aja lali lho.”
“Ora, ora. Sesuk yen teka randhublathong ngebel ya! Yen ora aku ya Bapak besuk sing mapag.” Ngono wae ya aku lagi maem, daa!”
“Ani,” pitakone Ibune.
“Iya Bu, kuwatir yen ora dipapag.”
Esuke jam setengah lima, Yuliana wis tangi ngenteni telpun saka adhine, wis tekan ngendi. Nganti jam lima isih durung ngabari. Dihubungi hp-ne ora sambung. Sajake dipateni. Jam enem kurang sepapat adhine ngebel yen sepure lagi mlebu Randhublathung. Gandheng wis padhang, Yuliana dhewe sing mapag menyang setasiyun. Jam enem luwih sepur mlebu setasiyun Balun. Bocah loro rerangkulan, ngesok rasa tresna lan kangene.
Semono uga bareng tekan ngomah, Yuliani uga banjur ngruket Pakdhe lan Budhene. Pancen kekarone menyang Pakdhe lan Budhene kaya menyang bapak-ibune dhewe.
“Piye, bapak-ibumu rak ya padha sehat-sehat ta?”
“Pangestunipun Pakdhe kaliyan Budhe.”
“Wis, kana ndang leren-leren.”
“Mbak iki kanggo natalan, dipundhutne klambi Ibu, ukuran lan wernane padha. Dadi sesuk seragam wong loro.”
“Wow, lha aku wis digawekne Ibu ki.”
“Ora sah dienggo, Mbak Iki bae, ben padha.”
“Ya malah kebeneran ta yen dipundhutke padha, kena nggo seragam sesuk bengi. Lha klambimu nggo suk natalan Mudika,” ngendikane ibune Ana.
“Yaw is. Lha sesuk kanca-kancaku yen kleru piye,” kandhane Ana.
“Malah apik ta,” jawabe Ani.
“Misane jam pira, Mbak?” [ 337 ]“Jam sewelas, saiki pasture kene loro.”
“Iya, ta?”
“Iya, siji Rama Vikep. Biyen Vikep 4 saiki diganti dadi Vikep Cepu.”
“Oh, tambah maju…”
“Lha apa bapakmu saiki arang-arang marang greja ta Yul..?” pitakone bapake Ana marang Yuliani. “Inggih, yen dalem aturi ngendikane suksuk, yen wis longgar. Ngaten ta Pakdhe.”
“Ya arepe piye bae, iku wong tuwamu, wajib mbok bekteni. Aja kendhat olehmu nyenyuwun marang Gusti muga-muga bapakmu krungu timbalane Gusti.”
“Inggih Pakdhe.”
Dina kang dianti-anti, yaiku wiyose Gusti Yesus sang Juru Pamarta wis teka. Kaya pandugane sakawit, nalika tekan greja, akeh kanca-kancane Yuliana kang padha kleru, nubruk Yuliani dikira Yuliana. Dadi ger-geran sadurunge misa. Misa agung lumaku rancag, rampung jam siji bengi. Umat ora terus bali, isih padha sesalaman ngucap sugeng Natal ana plataran greja. Nganti sawatara swasana ing ngarep greja regeng.
Watara jam setengah loro Pak Martinus sabrayat bali. Tekan ngomah, Bu Martinus banjur tata dhahar pesta cilik mahargya rawuhe Gusti. Senadyan mung dikembul wong papat, nanging swasanne ngresepake. nengah-nengahi nikmate mangan, keprungu bel telpun. “Yul, angkat! Sapa ngerti yen saka bapakmu,” dhawuhe Pak Martinus.
“Hallo, selamat malam,” ucape Yuliani bareng nyandhak gagang telpun.
“Ani?” suara pitakon saka sabrang kana.
“Oh, Bapak?”
“Iya.”
“Wonten menapa Pak?”
“Aturna sugeng natalku marang Pakdhe lan Budhe. Piye misane Cepu rame?”
“Inggih, wah Cepu regeng sanget, wong saamenika Rama-nipun kalih.”
“Oh, iya ta. Bapak ya lagi mlebu ngomah.”
“Lho, saking tindak pundi?”
“Saka greja.”
“Bapak tindak greja?”
“Iya, karo ibumu barang.”
“I…ibu tindak greja?”
“Iya, iki ibumu arep omong.”
“Iya nDhuk, aku melu menyang greja. Selamat Natal ya Ndhuk, suk yen kowe wis bali menyang greja karo bapak-ibu.” [ 338 ]“O, Ibu…! Panjerite Yuliani karo nangis ngguguk. Ora sadar yen nyekel hak telpun lan ora bisa nnerusake omongane. Dheweke semparet mlayu nubruk mbakyune, ngruket karo ngguguk.
“I..bu, ibu kersa menyang greja.” Krungu kandhane adhine, mripate Yuliana kembeng-kembeng lan uga banjur ambrol tangise.
Bu Martinus marani bocah loro dielus-elus sirahe, banjur ngendika, “Berkah Dalem, ibumu antuk timbalaning Gusti.”
“Iki berkah Dalem kang tanpa pepindhan ajine. Awit ing dina kanga gung iki, ibumu mirengake timbalaning Gusti. Wis, ayo bebarengan ngunjukake kidung kagem kamulyaning Gusti sing wis paring berkah Natal,” ngendikane Pak martinus.
Kang rerangkulan padha ucul, banjur padha lungguh maneh.
“Ayo padha ngidungake lagu Gusti kersaa rawuh.”
Wong papat b anjur padha mbukak buku kidung Adi. Ing sajroning lingsir wengi kang atis lan tintrim mau ngumandang lirih kidung pujian, kang dipimpin Pak Martinus.
“Gusti kersa ngrawuhi krana ekartisti; abdi dangu ngantu-antu ngantos boten sabar; Gusti mangga rawuh estu paring binger; Gusti kersaa ngrawuhi krana ekaristi; rawuh ing manahing abdi nunggil raketyekti Gusti kersaa ngampingi ing salami-lami.
Lagi bae Yatik lungguh, bel telepon saka kamar tengah muni. Kapeksa cah kuwi mlayu marani. Batine, sapa bengi-bengi ngene kok nelpon. Sajake ana kabar penting saka ndesa. Ing kana pancen akeh krandhahe: wong uwane, adhi, lan Pakdhene. Yen ana kabar penting, tengah wengia pisan terus ngebel.
“Inggih, inggih kula Yatik. sinten ta niki, kulak ok radi kesupen swantene. O, Paklik Marno. Sugeng dali Paklik. Wonten menapa kok dalu-dalu? O, inggih ta. Kaleresan menawi badhe tindak Surabaya. Mangke kula jemput kaliyan Bapak.”
Keprungu swara saka njero telepon, “Bapakmu kabarana ya aku kangen banget. Wis meh 10 tahun ora ketemu. Isih no ndesa apa wis kok boyong nyang Surabaya?”
“Taksih wonten ndhusun, Lik. Wong teksih awrat nilar ayam-ayame niku lho. Kok dingaren tindak Surabaya, Lik?”
“Biasa, bisnis.”
“Kados pundi kulawarga Jakarta?”
“Ya, kabeh seger waras. O, iya nomer telephone pakmu iku pira ta kene takcathete.”
Sawise Yatik Andhiktekake nomer telpune bapake marang Paklike, nggone omong-omongan sigeg.
Yatik, anake Pak Djija ing Maja Sambisari iku klebu cah pinter. Lulus Akademi Kebidanan Program DIII kanthi Cum laude, terus oleh prioritas lan sawetara fasilitas saka yayasan Akbid, kalebu manggon asrama lan bebas biaya nempuh S-1 Kebidanan. Wong tuwane mung kari nambahi uang saku sithik-sithik.
Lha yen Paklike sing asma Sumarno iku ing Jakarta jare dadi bos gedhe. Kabare sugih banget. Yen rawuh Surabaya kuwi mengko mesthine rak ngasta dhuwit akeh. “Suk emben tak papage ana stasiyun Gubeng, tak carterke taksi. Yen Bapak barang rawuh, tak jak mapak terus sarapan ing depot stasiun,” batine Ytik ngentha-entha, nganti bengi iku dheweke keturon ing kursi tamu. [ 340 ]Esuke tenan, Pak Djija rawuh saka desa. Ijen tanpa Mbok Djija sing lagi repot ngopeni wong ereg. Sawise crita-crita, Pak Djija ngajak budhal mapag menyang stasiun.
“Mangke riyin, Pak. ngrantos Taksi. Mpun kula bel kok,.”
“Kok nganggo taksi barang. Rak larang!”
“Mpun ta, kula wingi rak pikantuk HR saking Bu Bidhan, dhosen kula sareng kula tulung bayi nika.”
“Wis bisa tulung bayi barang ta kowe iki?”
“Nggih pun ta, wong malah nggih mpun wongsal-wangsul.”
“E, ya sokur. Wis ping pira olehmu tulung bayi?”
“Enten kinten-kinten ping wolulas.”
Pak Djija njomblak. Ora ngira babar pisan yen anake wedok sing cilikane tansah digendhongi dolan nyang gedhung juang, gedhung wanita, nyang pasar lan pemandian kae, saiki wis dadi bidhan sing pinter tulung bayi.
“Kowe ki yaw is pinter nyuntik barang, Ndhuk?”
“Pun damelan kula, Pak...”
“E, lha, jajal saiki suntiken. Wiwit wingenane kok mumet wae. Tekanan dharahku munggah maneh beke.”
“Ngga, bapak mlebet ruang priksa mrika...”
Pak Djija terus ditensi putrane. “Tekanan dharahipun Bapak normal kok,” ature Yatik. “Niki marga padharane mbokmenawi. Sajake bebucale kirang lancer, nggih mergi kirang dhahar buah-buahan. “
“Iya Ndhuk, wong mbokmu kuwi yen dak kon nyedhiyani gedhang ngono wae, emane karo dhuwit eram, kok! Yaw is. Iki ngeluku bar kok tensi, kok ya wis ilang.”
Ing plataran keprungu swarane klakson taksi. Kekarone terus padha budhal arep mapag tamu saka Jakarta menyang stasiun. Ana ing njero sedhan taksi bareng Bapake arep ngrokok, Yatik ngaruh-aruhi, “Paak, enten lebet mobil mawi AC ngeten niki mboten pareng ses.” Pak Djija terus wurung anggone arep udut.
Satekane parkiran ing stasiun Gubeng, Yatik nuntun bapake menyang emperan, maca jadwal tekane sepur saka Jakarta. Sarehne isih ana wektu rong jam, Yatik ngajak sarapan bapake menyang depot.
Ing batin bocah wadon iki ngudarasa, kapan maneh bisa nraktir Bapak yen ora dhong oleh rejeki lumayan ngene iki. Nanging bapake ngpmentari, “Nyang warung wae, Ndhuk. Nang depot panganan serba mahal.”
“Sekali-kali, Pak. Ben ngerti. Kadar ra mben dina wae.”
Pak Djija kepeksa manut digeret mlebu depot. Yatik pesen kopi loro. Pak Djija ditari sarapan dhahare apa? mung gedheg-gedheg wae. Ora kersa kuwatir mengko mbayare larang. sarehne ora kersa dhahar, Yatik mung pesen donat loro, siji wedhang karo bapake. [ 341 ]Pak Djija ngincipi donate karo ngendika, “Panganan apa ngene iki?Njur regane pira?”
“Mpun ta Pak, mangga didhahar.”
“Hm, isih enak tempe karo tahu goring nang warunge Mbah Saikun. Kopine y aces-pleng. Ora kaya ngene iki, kaya uyuh jaran....”
“Pak, nek kepireng bakule!”
Ora lidok bareng mbayar, kopi susu loro, donat loro, regane Rp20.000 Pak Djija misuh-misuh jroning batin. Terus nggrundel sawise metu saka depot, “No warunge Mbah Sikun, kopi sak cangkir karo tempe entek siji, tahu loro gedhe-gedhe, gur rong ewu lima atus. Wareg tur marem...”
Sepur sing dienten-enteni teka. Wong loro lingak-linguk nggoleki Pak Sumarno ing antarane penumpang-penumpang sing mudhun. Bareng ketemu Pak Djija langsung rangkulan karo Pak Sumarno. Yatik salim cium taangan karo Paklike, wong telu njur padha runtung-runtung metu saka stasiun. Taksi sing dicarter isih nunggu jalaran wis dicarter PP pisan. Ora let suwe kabeh padha banjur numpak taksi iku.
Satekane ing asrama papan panggonane Yatik, taksi mandheg. Yatik sing mbayari. Pak Djija ngerti lewat argo, mbayare Rp75.000,00. Ing mbatin misuh-misuh maneh. Ning beda karo sing diangen-angen Yatik . Mengko yen Paklike pamit, dheweeke rk diparingi sangu luwih akeh.
“Mangga Paklik, pinarak. Istirahat-istirahat rumiyin. Rak mboten kesesa ta?”
“Jane ya kesusu, Ning yen nurute repote gaweyan, ra ana enteke. O, iki ta asramamu. Sing manggon kene memsthine rak putrid kabeh, ya?”
“Nggih, mesthi ta Paklik”
“Wah, kaya pulo Nusa Tembini wae.”
Ing ruang tengah sing jembare kaya aula, akeh cewek. Rame, ratarata ayu. Padha guyon, sing nyetel tape iya ana. Pak Djija omong-omongan karo Pak Sumarno Bab werna-werna minangka tamba kangen.
Rada awan, Yatik ngaturi dhahar. Bareng tekan ruang makan, Pak Djija mlengak maneh, priksa pasugatan kang kepara mewah. Ana ingkung, sambel goring ati, dadar eendhog. Batine, wah, gek sapa sing masak iki mau?Saungkure Paklike, Bapake bisik-bisik, “Ora ta Ndhuk, iki mau olehmu nyugata Paklikmu kok mewah timen. Apa ben ndina jatah saka asrama kene ya ngono iku?”
“Mboten, Pak. Jatahe nggih lawuh pindhang, sambel korek, sayur lodhheh...”
“Ddadine iki mau ya ragad dhewe?
“Entek pira?”
“Empun ta Pak, mboten saben ndinten mawon kok. Kalih dereng kantenan sataun sepindhah pinanggih Paklik.”
“Dhuwitmu ki pa pancen akeh tenant a?” [ 342 ]“Nek terus teranage mawon Pak, kula niki malah taksih gadhah ampilan teng kanca, wong waune etungan kula mangke mesthi angsl ijol langkung kathah saking Paklik…”
“He! Aja blajar utang. Karo aja seneng njagakake endhoge si blorok ngono iku!” kanndhane Pak Djija. Ning bubar ngono kok ya banjur meneng amarga eling sanguine dhewe anggone menyang Surabaya iku iya mung pas-pasan kanggo ongkos ngebis sakjalan. Etunge mulihe mengko rak bakal disangoni Yatik.
Ning iki kahanane kok kaya ngene. Mula, terus alon keprungu kan-dhane, “Yaw is ta. Ning suk-suk meneh aja dibaleni. Aku sesuk tak nglen-cer-nglencer sik, nyambangi Elok karo Obet...”
Elok karo Obet kuwi putra-putrane bulike Yatik ing menanggal Karepe Pak Djija arep mrana iku arep sambat nyilih sangu marang adhine, suk yen panenan jagung arep dibalekake.
Bengine Pak Djija nyenyuwun muga anak putu sabrayat pinaringan rejeki kanggo nutup kebutuhan sadina-dinane. Tengah weni keprungu swara bel, ana pasien arep babaran. Yatik diutus Bu Bidan supaya enggal tetulung. Pra let suwe keprungu cenger-cenger tangise bayi lair.
Esuke Pak Djija ora sida budhal menyang omahe adhine wadon jalaran arep pamit Yatik durrung bisa ketemu. Laagi bar bedhug Yaatik mencungul kannthi polatan sumringah.
Ora lali Yatik mblesekake dhuwit kanggo sangu bapake yen arep bali kondur menyang ndesa.
Jaya Baya, No. 15, Minggu II, Deseember 2008
“Mak, mau apa lali ora nggodhog banyu?” pitakonku marang Mak Rah bareng arep nggawekake kopi bojoku kok tibake thermose entheng. Tak angkat sijine ya entheng. “We Lha?!...”
“Sampun niku, enjing wau. Lha napa mpun telas, Bu?” karo setengah malyu Mak Rah marani aku.
“Lha iki Mak, kari separo gelas.”
“Pancen wau mah etan enten tamu. Kados biasane nika lho, Bu.”
“Lha taamune ki pira, kok nganti rong thermos ki?” takonku maneh rada anyel.
“Duka, ning kadose kathah, wong mobile kijang niku kebak kok. Tur kados biasane nika lho…Gendhis, the kalih gelas nggih saking mriki. Duka ngantos sepriki kok nggih dereng diwangsulne, wong biasane nika terus langsung kengkenan kula pisan angsale isah-isah,” pratelane Mak Rah saya lengkap-kap.
“Tuman tenan mbokgedhe kuwi,” kandhaku saya mangkel. “Nek ngoten kula tak nggodhog malih mawon, nggih Bu?”
“Wis ra sah, Mak. Wis jam lima. Gek ndang muliha wae, selak kewe-ngen!” Pancen wis jam lima sore, wayahe Mak Rah mulih. Omahe rada adoh udakara limang kilonan saka omahku. Dheweke ki anak ragile Mbah Ponijah, aabdine simbah kakungku wektu jaman semana. Nganti anak turune Mbah Ponijah isih panggah melu ewang-ewang masiya wis dipenging. Jarene ngugemi dhawuhe kakung biyen, lan supaya bisa mbales budi marang kabecikane kakung. Ya mung Mak Rah iki sing rada manut, masiya ngrewangi aku, nanging wis ora turu ana ngomahku.
Krompyang...glodhag....
Wis apal, wayah ngene iki mbokdhene Ririn mesthi saba pawonku. Mlebune ora nyuwara, ning bareng mulihe ndilalah mesthi ninggalake bukti. Embuh ana irus sing nyeblok, swara tutup saji sing nutup keban-teren. Utawa kaya iki mau… nutup lawang kaya karo dibanting. Nek kudune, wong jenenge mlebu njupuk meneng-menengan ki aja ninggalake bukti. Rak malah kepriye ora arep diarani nyolong, coba?Wong njupuk [ 344 ]tanpa nembung sing nduwe, masiya isih budhene dhewe alias mbakyune bojoku, nek njupuk-njupuk tanpa nembung kuwi jenenge apa? Sing luwih hebat ki operasine ngenteni yen aku rada lena utawa aku lagi metu saka ngomah. Lan ssing paling hebat dhewe angger wis entuk, baline njur karo mbanting lawang. Pa rag awe mangkel?
Kaya saben malem minggu, mesthi Denok karo bojone sing nyambut gawe ana Salatiga mulih. Wis ta, sega saklawuhe mesthi stock saka omahku. Ora kok medhit, ning nek mben minggu, mben dina malah lawuhe mesthi nunut ki apa ya ilok? Wong istilah negarane wis dhewe-dhewe ta? Nek jenenge wong omah-omah rak wis duwe wilayah territorial dhewe-dhewe. Urusan logistic-e ya kudu dhewe-dhewe. saupama sok nunut ki mbok ya sakadare wae.
Saben aku rasan-rasan bojoku njaluk lawang mburi sing kancingane rusak kae didandani, mesthi “Rasah Buk, ora kepenak karo Mbakyu,” kandhane bojoku karo nglirik aku e ora.
“Ya ben mlebu liwat lawang ngarep lho. Mosok bludhas-bludhus liwat mburi, tur mesthi nyangking. Nek nembung ngono...”
Ning bojoku ora ngerti wong korane ya ijik dipaandengi wae. “Wis ta Buk, mbok sing sumeleh. Sing ikhlas, wong ya mbakyumu dhewe, kepriye maneh. Idhep-idhep nulung dulur…” Wis cep klakep janji wis kaya ngono kuwi, aku wis ora bisa kojah maneh, wong wis dimentahi kaya mengkono. Nulung piye, coba? Wong saben ndina, tur sing ditulung ora ngrumangsani, kaya mengkono kepriye nggonku arep ikhlas? Wong kono bandha ya torah-turah, malah rong ndina kepungkur bar nuku sawahe Lik Sur, jarene kanggo ragile- Denok sing durung entuk bageyan sawah dhewe. Lha kaya mengkono lho! Sawah sak hektar wae kuwat tuku, lha kok jangan lawuhe nunut. Kopi, teh, banyu panas, lenga klentik…, soksok yen dong masak dhewe, bumbune genti sing nunut. Apa ora kebacut ngono kuwi?
Aku manggon ana omah iki, merga pancen ana kene iki lemah bageyane bojoku. Ana kiwane mbakyune. Jarene bojoku, kudu ndang didegi omah ben ora kecaplok terus. pancene luwih ciyut tinimbang Mbokdhene Ririn, merga wis puluhan tahun keluargane budhe ana omah kuwi, sithik mbaka sithik anggere mbangun mesthi mengiwa, mula ya kebablasen tenan.
Biyen nalika lagi anyaran manggon ana omah iki lan durung apal jadwale Mbokdhe, angger keprungu swara klonthang…, gage-gage mlayu neng pawon. Wah, iwakku digondhol kucing iki…, batinku wong mau lagi bar nggoreng layur. Tibakke kok isih wutuh. E, tibake irus cedhak jangan sing mau ana ing ndhuwur ompreng wis nglekar ‘dengan santainya’ ana ing jobin. Bareng tak bukak omprenge, ... we lha dalah, kucing iki [ 345 ]tibake doyan mangan tewel! Iku nalika Ririn durung lair. Lan lha kok terus dadi tuman temen. Nganti Ririn kelas V SD barang kok penyakite isih panggah wae, durung mari-mari.
“Bu, napa boten tindak peken kok kulkase kothong?”
“Ora, Mak prei!” semaurku karo mesem.
“Prei pripun ta! Lha sakniki masak napa?” Mak Rah katon bingung.
“Wis, ra perlu masak, Mak Sampeyan leren-lerena kono. Nonton TV aapa ngapa ngono. Pokoke telung dina iki ra sah masak! Mengko nang nggone Mbak Sri wae ya? ngenteni Ririn mulih sik.”
“Lha wonten napa ta? Terus mangke sonten pripun? Terus sarapane mbenjing”? Mak Rah tambah mbingungi.
“Wis ta, sampeyan ra sah melu mikir. Pokoke beres kabeh, mengko!”
Mak Rah ijik ndomblong, malah luwih amba. Ya ben! Mangkel aku.... Mumpung Pakne Ririn diklat ana Malang telung dina, mbakyune arep tak-”ajar”. Eit, ora kok arep takantemi, ning arep tak gawe supaya isa kapok. Muga-muga wae aku bisa kasil.
“Lha telung ndina niki kula nggih prei nek ngaten? Kula mriki boten?”
“Sekarep sampeyan Mak, nek pengin ewang-ewang mrene ya mreneya, ning pokoke ra sah masak!”
Tenan, jam lima sore, wayah aku ngrumat mawar lan adeniumku, Mbokdhene Ririn jinjit-jinjit mlebu pawon. Tak rungok-rungokne, sajiku dibukak. Terus… glodhag!!! Mesthi dibanting, pancene mung isi wadhah jangan kothong sing maune isi untup-untupe Ririn. Jelas wis kothong, wong jangan karemane Ririn kok.
Neng ati aku ngguyu nyekikik karo terus ngrungokake sinambi me-thiki godhong mawar sing wis rada kuning. Let sedhela keprungu kulkas dibukak. Mesthi arep golek endhog. Ora bakalan ketemu Dhe, kae lho neng warunge Mbak Wiji ijik pirang-pirang, batinku karo nyekikik. Let sedhela genti lawang mburi sing dibanting.
Ririn njedhul terus muni. “Buk, Budhe napa nesu ta, kok sembarang kalir dibantingi?”
“Wis ta togna wae!”
Nek arep nesu ki, apane lho sing dinesoni. Wong pancen wis saklumrahe ta? Wong karo adhine dhewe ki mbok ya blaka wae, kok senenge slinthutan ana mburi.
“Mangke siyos nyate ta Buk?” Ririn ijik eling janjiku mau awan. “Iya, mengko bar maghrib. Saiki gek mbukak-mbukak buku sik kana!” Ririn banjur mlebu maneh karo mesam-mesem sajak kalegan...
“Bu, Mbak Riorin mangke saraapan napa?” Jam setengah enem Mak Rah wis mencungul.
“Mau bengi rak nyate ana nggone Pak Dul, sisan wae tak bungkusake thengkleng. Kae mau wis taknget, Mak. Segane yaw is beres kae lho!” [ 346 ]“Nggih sampun nek ngaten,” Mak Rah banjur klunuh-klunuh nang sumur, terus nguceki klambi sing wis tak kum wiwit subuh mau.
Rampung sarapan karo Ririn, tak delok jame wis setengah pitu. Ba-reng aku mlebu jedhing, let sedhela keprungu swarane Mbokdhe:
“Rin...Rin!” kaya biasane kae, basa-basi. Wong wis ngreti adat paku-linanku, angger jam setengah itu mesthi mlebu jedhing. Mula operasine nek esuk ya jam semono kuwi.
“Nika, siram Bu,” keprungu swarane Mak Rah nyauri.
“Glodhag..”, mesthi iku mbukak tutup sajiku sing kothong, wong thengklenge kari bageyane Mak Rah sing wis dakdhelikake.
“Kowe apa ra masak ta Rah?” keprungu pitakone Mbokdhe.
“Mboten Bu, Pak Aji tindak Malang, gek Ibu kaliyan Mbak Ririn seg mboten kersa dhahar. Mula nggih mung langganan teng warunge Mbak Sri, ben ngirit sanjange.”
“Tuku nang warung kok ngirit!” saurane Mbokdhe. Mesthi karo mencep, kuwi batinku.
“Apa, Dhe?” rampung adus takpapagke mbokdhene Ririn kuwi.
“Ora pa-pa, arep kongkonan Irah. Tak kon nang pasar tuku bakalan jangan. Mengko sore Denok mulih, mesakake nek ora duwe apa-apa.”
Alesan! ngono batinku. Ngono kuwi angger operasine gagal. Saupama sing diincer anal an tanpa sengaja gabrusan karo aku , tembunge mesthi: “Nyilih sik ya Rin, Pakdhe mau arep sarapan gek janganku durung mateng! Ngono. Sip ta?! sing penting angger muni bae. Wong nyilah-nyilih wiwit jaman mekiklak ya durung ana sing dibalekake, kok!”
Mulih saka kantor, Mak Rah wadul, “Bu, mesake wau nggih teng mriki lho!”
“Lha kok kepinuk, men?” sauranku.
“sanjange ngriku gase telas. Ajeng tumbas mboten wonten sing dikongkon, Pak Parmin nembe teng sabin. Gek bumbone nggih saking mriki sedanten, mung omprenge mawon sing mbeta saking mah etan,” Mak Rah njlentrahake.
“Wah jan... nek ngene iki sapa sing tenane ‘diajar’ iki?” dhasar wis tuman!!!
Jaya Baya, No. 12, Minggu IV, November 2008
Esun lair ndhuk Surabaya 1932. Ndhuk Rumah Sakit Omum Simpang, bsa landane CBZ. Sakniki CBZ iku dadi kompleks Surabaya Plaza. Dolin, sekolah, nyambut gawe, rumah tangga, sampek pensiyun, tetep ae ndhuk Surabaya. Cumak nalika geger 10 Nopember 1945 sampek tahun 1950 aku merat saka Surabaya, mergane ngungsi gak gelem dijajah mbarek Inggris-Gurkha-Landa.
Omahku Gersikan II/23. Kancaku dolin Kuknan, Matali, Pasal, anak-anake tangga, anake tani utawa boruh rendhahan, omahe gobuk utawa sesek. Cumak omahku sing tembok. Dolinanku ngolukne layangan ndhuk sawah Bronggalan, benthic thokthir, oluk gambar wayang, gamparan. Mesthi adu kalah-menang, ngotot, omong dhebatan telek menang. Omongane rame pendheke. Tapi lek wis,… rokun maneh. Seser telek iwak bethik, gogo yuyu, mincing adus kali. Byur-byuran. Sering ae mari oluk ndhik latar omahe Kuknan, langsung adus kali. Esik ndhuk gang wis mlayu, cocul kathok kathok ditinggal, — kancaku dolin biasane gak nganggo klambi, kathokan cekak thok – wuda, mlayu balapan ambyur kali. Byur! Byur! Byur! Uenak tenan!
Nate, kebacut ambyur byur-byur ndadakna jenggelak, eruh Bik Maraid lagek nesing ngguk plangkringane, mbarek Misri, arek celik anake Ning Mai sing dodolan rujak petis. Temene ana taek kemambang dhuk kali, kene adus, ya gak papa. Disingkiri ae. Taek kemambang liwat, dislulupi ndhuk ngisore. Tapi ngonangi metune saka pabrike –mbok, gak kaop rasae!
“Bik! Sampeyan empuni nopok anisinge!” Kuknan nglaruhi.
“E, jamput kon iku sing nggarahi taekku wedi metu! Nyengkrih!”
Kuknan terus diewangi mbarek kene kabeh. Dhebate rame. “Krama ingile metu: taek, dobol. Misri nangis, nguwisi nesinge, njopuk seweke sing nglombruk ndhuk penggir kali, diubetna awake sesih ngisor. Padha arek lanang gak kathik klambi. kene esik gak lega. Mbalah bokonge Bik Said dibajongi. keppeksa cawik cepet-cepet, terus ngadeg. Madhep ndhuk nggone kene, karo muni-muni mesuh-mesuh. “Iku! Anake priyayi iku! [ 348 ]Kandhakna ibuke!” Arek-arek cekikikan. Gak mendha sirat-sirat banyu mbarek mbengoki ngosir, kaya arek bronggalan ngosir manuk mangan pari ngguk sawah.
Molih totuk omah, aku dijewer mbarek sibu. Ibu wis dilapuri, “Gak oleh adus kali!”
“Opok-a?”
“Arek-arek iku lak gak sekolah. Koen sekolah.”
Cumak esun ancene arek sing sekolah. Nduk ploso. Sekolahe omah sesek amoh.
Sampek jaman Jepang, esun omur 10 tahun, esuk sukak adus kali ngono iku. Tau kuknan nemu karet plembungan kentir. Dicekel. terus disebul. Kene ngguyu-ngguyu. Ana Cak Delar liwat duk embong. Ngelokna, “Kuk! Buwang! Iku duduk plembungan ! Iku kapocec!” Tembe buri esun ngerti gunane kapoces. Jaman sakniki jenenge kondom. Weruhku sepisan ya disebut Kuknan jaman Jepang iku. Mari jaman Jepang, jaman siap. Merdeka lepas sedhiluk saka penjajahan Jepang. Ana landa – inggris—Gurkha—Nica ndharat ndhuk Surabaya. “Siaap! Siaap!” rame arek-arek nanggapi jaman. saben krungu wong mbengok “Siapp!” terus ae ditotugna, arek-arek ya mbengok “Siaap!” Mbarek cagak-cagak listrik dithuthuki, then-theng theng! ngono ae. Isok bahayane wong eruh pasukan Landa-Gurkha ndhuk Kapasari, sing mbengok “Siaap!” sampek sampek arek Pacarkeling—Tambangbaya.
Sidane perang temen Inggris-Gurkha nembaki Surabaya liwat dharat, laut, mbarek udara. Peluru mriyem, mbarek mortar bleng-bleng-bleng ngacurna omah tengah kutha. Gak ketok wonge, bome ae sing ciblok lan mbledhos. Duduk manungsa, sing maju thank raksaa. Gak ndelok, nginceng. Ndhedhepi, Katene eruh ae yok apa hebate mosuh!
Tau esun mbarek Kuknan asik seser iwak bethik ndhuk kali watese Tambangboyo—Gresikan. Ancene bom bledhos utawa peluru syiuuutt nyabrangi langit ya ana, tapi aduoh kana. Gak kira mbebayani. Bengokbengok ‘siaap’ ya gak ana baneke. Ndadakna syiuut glarr!Glar! Glar1 udan boom—utawa pelurune mriyem tah mortar—ngguk kebon sayur, terus mrembet ngetan, marani nggonku! Glar! Glar! Grog! Siaapp1 Siaap! mlayu kuk!” Esun sing nggawa iwake langsung malyu marani kampungku, Gresikan. Kuknan sing nyemplung kali esik kudu mentas dhisik saka kali mbarek nggawa sesere. “Tooo! Partooo! Tolunggg!”
Esun noleh. Ndadakna Kuknan kleset-kleset ndhuk tengah embong. Gak isok mlayu. Getih mancur ndhuk pupune. Glar! Omah gedhong sing ana asu herdere, Tambangboyo nomer 200, keno bom. Pas cedhake Kuknan glangsaran. Esun mlayu mbarek nangis mlebu kampong Gresikan gang buntu, terus ae torut plengsengan kali. Kepethuke Cak Delar, terus ae esun lapur mbarek nangis. [ 349 ]Kuknan gogur. Jisime dipetak sore iku uga ndhuk makam gang Loro kono. Bik Pasiani, emake nangis golung koming. Sak-aken! Inggris iku janjukan teemen! Esik arek-arek Kuknan iku, dibom, dipateni!. Dina dina totuge bom mortar saya rame. Kampung sowung, ditinggal ngungsi. Ibuk, Cacak mbarek esum yaw is katene ngungsi. Cuma ngenteni Bapak sing nyambut ndhuk Marine. Kampung wis sowung, sidane Cacak – wis nyambut ndhuk Listrik Gemblongan – ngajak kene ninggak bapak, Gak wani liwat embong Tambangboyo, liwat omahe Atmogurdi, Kebon sayur, terus stasiun Gubeng. Gawanku abot, mlakune aduooh! “Inggris—Gurkha Nika iku, ya awas! lek sampek bapak gak ketemu maneh, esunsumpah , sumpahe Arek Surabaya. Esun gak katene ngambah Surabaya lek esik dijajah Landa. Mene-mene lek esun wis wani nggawa bedhil, tak osir penjajah iku teka Surabaya! Sumpah Surabaya kudu merdeka!” sumpahku mbarek mlaku gentoyongan nggawa barang abot .
Totuk stasiyun, sepur angkutan ngungsi wis brangkat. Mbarek sing jaga stasiyun kene dikon numpak truk ing cepak nduk ngarep stasiyun. truk BOO, Barisan Oesoeng-oesoeng! Diosung ndhuk Sidoarjo. Mbarek wong akeh!
Temen! Esun gak ketemu mbarek Bapak maneh. Sumpahku, sumpahe Arek Surabaya, kudu dilakoni. Taketing-eting temen. Lek esun wis cekel bedhil, penjajah takosir teka Surabaya!
Dadakna njlekethek 5 taun tutuge, 1950, Surabaya merdika. Gak dijajah Landa maneh. Esun, Ibu, Cacak, balik omah Gresikan maneh. Prabote wis gusis dirayah uwong, mbalah kayu lawang lan jendhelane yaw is amblas. Dhesikane dienggoni ya ditambah sesek ae lawangcendhelane. Esun notugna sekolah ndhuk SMPN jalan Kepanjen, biyek jenenge Tempelstraat. Sekolahanku ngarepe onok greja, mburine onok mesjid. Apane gak suci!
Tahun 1960, esun wis kerja ndhuk Kantor Pos. Cacak wis kawin, ndhuk Bandung. Ibu melok mrana, melok mrene. Sering nggresula, “Kowe iku, lo, Tok. Rabia opok-a!”
Iya ancene. Omur wis cokup, omah wis ana, wis cekel gae mapan. Kancaku dolin matali, wis kawin mbarek Misri. Pasal mbarek baiyah, arek jagiran, padha-padha arek kampong. La esun mosok ya kawin mbarek arek kampong, Rek? Matali kerjane ider dodolan manuk dara. Pasal, dadi manol ndhuk plabuhan. La esun arek sekolah, e. Ya telek arek sekolahan.
Sidane ana arek wedok mondhok ngguk nomor 17, wis nyambut ndhuk BPM. Dakkenal jare arek Solo, jenenge Sri. “Sri iku lo, arek sekolahan!” jare Ibu n gojok-ngojoki. Saking ae kabelet botuh cepetan oleh bojo, usrung-usrung pedekate. areke langsung daktari rabi. Dadakna gelem. Esun dikon gage ae nembung ndhuk wong tuwane, ndhuk Solo. Pokoke dilamar dhesik, lagek sir-siran, jarene. [ 350 ]Esun Arek Surabaya, sogih dorung karuwan sombunge didhesikna. Calon bojo esun putri Solo, Rek! Apane gak sombung! Langsung ae budhal mbarek Sri nang Solo. Lek gak salah Jalan Ronggalawe, cedhak kraton Mangkunegaran, omahe ‘ramane’ Sri. “Iki le, mangkunegaran, kratone wong Jawa!” Sri nonjuk tembok beteng nalikane numpak becak teka ndhuk Solo. Terus, totuk omahe calon maratuwa.
Wis daklamar, areke wis gelem mathuk, ‘ramane’ aweh wejangan. Gak isok aku nerokna basane, pokok basa Surabayane ngene, “Suk ya sing rokun, ojok bengkerengan. Koen arek lanang marang bojomu Sri ya ojok cengkilingan, ojok dimunasika, ojok ditaboki, ojok digitiki, ojok digendir wong iku bojomu dhewek....!”
“Yok napa? Yok napa Sampeyan bangsuli!”
“E, Sri iku bojomu dhewe, ojok dimunasika…!”
“Sing wau! Ojok dinapake melih…?”
“Ojok ditaboki, ojok digitiki, ojok disabeti, senajan wong lanang iku wenang...!”
Cekekal esun ngadeg! Mbok! Gak genah temen maratuwa siji iki! Langsung daktinggal lunga. Tas cangklongku dakgawa. Metu nyang embong, Sri berok-berok menggak, gak tak gape. Telek becak, nyang tasiyun! Mbok! Gak genah nemen bangsawan Solo iku! Esun sumpah! Suwwr! Sumpah temen! Sumpahe Arek Surabaya! “Gak kawin mbarek putrid Solo, gak patheken!” Mosok Sri wis dadi bojoku, wis daknikahi, gak oleh digetik! Gak main! Merat eson molih ndhuk Surabaya gak kathik Sri! Gak kathik Sri-Sri-an! mosok wis dadi bojo gak oleh digetik!
Jaya Baya, No. 10, Minggu II, November 2008
Rampung nandangi pegawean ngomah, Siti nginguk putune sing isih angler turu ing kasur kang digelar ana ing ngarep tivi. Kringet ing bathuke diusapi alon. Bocahe ora obah. Saben esuk nganti awn putune sing lagi siji kuwi sasat mung tansah karo dheweke. Sebab wong tuwane sakeloron kudu nyambutgawe. Mantune Siti baline malah mung seminggu pisan karana nyambutgawene ana kutha.
Siti njur mbukak lawang ngarep sing mesthi ditutup yen ditinggal tandang gawe ana mburi. Angkahe arep blanja kanggo masak sesuk. bakul blanja langganane ajeg mara wan, jam sewelas luwih. Siji loro wong sing liwat ana ndalan ngarep omahe. Lurung desa iku pancen rada sepi ing wanci-wanci ngene iki,
Lagi wae lungguh, siti weruh Aris, anake tanggane, mlayu-mlayu metu saka omah sing ana ngarep omahe Siti. raine abang ngempet tangis.
“He, ana apa?” takone Siti karo nyedhak.
Bocah umur loro setengah tahun kuwi noleh njur mangsuli kanthi aksara sing durung teteh, “Dithot lah, aku dhitotlah,” saure bocah mau karo terus mlayu.
Siti rada kaged bareng krungu wangsulane bocah sing jeneng Aris iku. Dheweke mudheng karo sing dikarepake Aris kuwi. Sing dikarepake Lah iku mbah Saroh tanggane.
Saka omahe Mbah saroh ikuAris mlayu wetu. Wong kiwa tengene kono kulina ngundang Mbah Rah ngono wae. Nanging, marga durung bisa omong cetha, pangucap mau dadi Mbah Lah yen metu saka lakmbene Aris. Siti pra ngisa lamun Mbah Rah tegel mara tangan marang bocah cilik.
Wis dudu bab anyar yen Mbah Rah dadi rada sengit yen karo bocah, kejaba bocah sing diemong dhewe. Mbah iku ora duwe turun mula banjur ngopeni anak saka salah siji sedulure wiwit bocah durung mlebu esdr. Jenenge anak, ora aneh yen wong tuwane si bocah njur ngimbangi gati nyang wong tuwa kang urip ijen iku. Bareng wis omah-omah, Anik duwe anak wadon. Bocah cilik sing jenenge Sonya iku ganti dadi gantilane atine [ 352 ]Mbah Rah. menyang ngendi wae kaya-kaya tansah kumanthil. Sonya pantarane karo ranti, putune Siti.
Rasa sihe Mbah Rah kaya disuntak mung karo Sonya. Ngalahake rasa sihe simbahe Sonya sing pancen wis duwe putu akeh. Putu wdon iku tansah didama-dama. Emane bocahe rada jirih senadyan wis kerep kepethuk. Sonya isih sok wedi karo uwong sing wis ditepungi.
Nyatane, nagnti seprana-seprene watake Mbah rah ora tau owah. tetep ora bisa ngerti ngenani bocah kejaba nyang Anik wektu isih cilik lan Sonya. Nganti kuwawa nyethot bocah sing durung njawa. Tanpa mikir kepiye mengko kepiye tangkepe wong tuwane bocah cilik iku. kamangka Saumur-umurane Aris kuwi wis bisa ditakoni lan mangsuli.
Siti ngetutake bocah cilik iku nganti tekan latar omahe. Sawise Aris mlebu ngomah, Siti enggal-enggal bali. Kuwatir yen putune nganti nglilir. kadhangkala Ranti nangis yen nglilir ora ana uwong sing cedhake. Ranti tibane isih turu angler. Siti unjal ambegan njur bali lungguh. Sedhelasedhela putune diinguk. Bocahe lagi nglilir nalika bocahe rampung blanja.
Dina iku lumaku ayem. Ora ana bab-bab kang narik kawigaten nganti dina-dina sabanjure. Siti ngerti yen kepiyea wae sing jeneng wong tuwa iku mesthi ora lila yen ana wong liya mara tangan nyang anake. Meneng-meneng, Siti ngelem yayuk, Ibune Aris. Dibiji Ibu kang wicaksana. Nadyan isih enom ora gampang kegawa panasing ati. Ora terus ngumbar omong bab Mbah Rah, apa maneh nganti nglabrak.
Tukaran bocah padha bocah iku kudune diangep bab sing lumrah sauger ora nganti mbebayani. Yen mbebayani kudune ya dielikake wae wong bocah kuwi durung ngerti mala. Sing baku, sing tuwa aja melu banget-banget cawe-cawe campur tangan, luwih-luwih mbelani salah siji. Merga yen nganti ganti sing tuwa sing adhep-adhepan, critane bisa malih dawa. Bocahe wis bali dolanan bareng, wong tuwane isih durung akur.
Rong ndina sabubare diethot Mbah Rah, Aris wis katon dolanan maneh karo Sonya lan Ranti. Aris ditutake ibune, dene Mbah Rah ngetutake putune. Olehe dolanan ana ing wedhi-wedhi ngisor pelem sing ana latare Siti. Saka rumangsane Siti, ora ana owah-owahan ing tangkepe Yayuk. Sajak ora ana rasa mangkel marang wong sing wis nglarani anake.
Yayuk tetep grapyak nalika dijak omong Mbah Rah.
“Wis rampung kabeh ngene iki?”
takone Siti abang-abang lambe.
“Dereng, nembe adang kalih resik-resik. Aris pun rewel ngajak dolan niki wau,” wangsulane Yayuk.
“Sampeyan tutugne masak sik.lho Mbak. Aris ben neng kene tak awat-awatane. Pegaweyanku wis rampung kabeh kok, “ Siti tawa-tawa,
“Mumpung bocahe meneng’” singditawani mung mesem.
“Anu, Aris niki tambah nakal…” pungkasane Yayuk nyuwara. [ 353 ]“Nakale bocah wae lho, sepira? Apa ora luwih nakal aku...”
Yyayuk nggleges. Tenane Aris wis tau dititipake nang Siti nalika lagi padha katrem dolanan karo Ranti. Ning, sajake merga anane kedadeyan karo Mbah Rah, njalari yayuk rada samar. Eling-eling dheweke iku durung suwe olehe manggon kono, lagi setengah tahunan, dadi durung ngerti tenan karo watake tangga siji lan sijine.
“Nggih mpun menawi ngaten. Titip Aris nggih, Mbah,” pungkasane yayuk sarujuk.
“He-eh,” wangsulane Siti.
“Dolanan neng kene wae ya. Ibuk arep masak dhisik,” kandhane yayuk nyang anake.
Durung nganti bocah sing diajak ngomong iku wangsulan, Siti nambahi, “He-eh. Dolanan kene ae karo Dhik Sonya lan Dhik Ranti. Ibuk ben mantuk dhisik, masak, ya!”
“He-eh,” Aris manthuk. Yayuk terus ninggal anake.
Sanadyan katone spele, ning satemene momong lan ngrukunake bocah-bocah cilik sing padha dolanan bareng iku angel. Apa maneh yen sing diemong iku bocah-bocah Saumur-umurane Aris utawa Ranti. Jan, ora tau bisa meneng. Mloka-mlaku, mloya-mlayu mrana-mrene, sem-barang kalir dienggo dolanan.Dienggo rebutan, salah siji ora ana sing gelem ngalah. Dolanan sing maune gumlethak ora digape, bareng dijupuk kancane ora oleh. Siti bola-bali kudu mbujuki Ranti, Sonya utawa Aris supaya aja tukaran. Ning jenenge wae cah balita, sijine durung njawa, sijine durung ngerti, ya tetep wae tukaran.
“Sing gedhe ngalah..., sing gedhe ngalah...,” kandhane Mbah Rah nalika Aris lan sonya rebutan sendhok plastik sing kanggo ngeruki wedhi. Tanpa mikir sing luwih dawa yen bocah sing dianggep gedhe mau mung luwih tuwa setengah tahun tinimbang putune.
“Iki...iki...Mas Aris ngeruk wedhine nganggo iki wae...” Siti age-age nyedhak, nyoba ngijoli sendhok sing dicekel Aris nganggo cepuk plastik. “Iki bisa kanggo gawe gunung…”
Cepuk diisi wedhi sing isih kambon telese udan wingi, sing bareng dikurepake lan didudut, nyisakake wedhi mungkrug kaya gunung, “Lho, rak apik, ta!” Ranti melu ngawasake. Terus sendhoke bisa diwenehake Sonya.
Yayuk ya ora suwe anggone ninggal anake. Sarampunge masak, anake langsung diinguk. “Kok cepet Mbak?” ujare siti.
“Nggih. Niku wau sedaya mpun cemepak kok. Kantun nyemplungake.”
Ning jebul Aris durung kena diblithuk supaya dolanan ana ngomah wae. “Aku dolanan neneae, Buk,” saure bocah kuwi nalika dijak mulih.
“Wis ben dolanan neng kene wae. mengko yen wis jeleh lakya gelem mulih...” [ 354 ]Nyatane nggedhekake pangapura lan watak wicaksana kuwi ora gampang kaya yen mung diomongake. Siti saiki nglakoni dhewe. Dheweke kudu banget mbudidaya supaya ora nuruti nafsu. Yen nuruti rasaning ati ngono, dheweke genah pengin nesu, muni-muni ngesok gembolaning ati marang wong sing dianggep murang tata.
Siti ora ngira yen Mbah Rah iku kok ya mbaleni tumindake. Lan pisan iki sing kena malah ranti. Kedadeyan lumaku cepet. Ranti sing do-lanan ana ing latare Mbah Rah karo Sonya maune diitinggal mulih sedhela saperlu ngentas sega. nalika arep balik, embuh perkara apaSiti weruh Ranti Nggepok sirahe Sonya. Langsung wae Sonya nangis. Ora nganggo angkan-angkan, tangane Mbah rah mampir ing kentol cilike Ranti. mesthi wae njur ana swara tangis siji maneh.
Mbah Rah ora ngerti yen Siti mrangguli kedadean iku. Omahe Siti sing rada dhuwur nyebabake dheweke bisa nyawang apa sing lagi dumadi saka teras omahe.
“He, ngapa kok nangis?” Siti ngrikatake lakune.
“Ranti ngeplak Sonya, bareng dibales terus nangis!” ujare Mbah Rah karo mondhong Sonya sing isih nangis.
Siti ora nanggapi ukara dora iku. Ranti enggal-enggal digendhong dijak ngalih saka papan kono tanpa kumecap. Atine lara. Nganti luwih saka seminggu, Siti ngedohake Ranti saka Sonya. Sejene kuwi, Siti iya isih wegah ketemu karo Mbah Sarah...
Jaya Baya No.16, Minggu III, Desember 2008
Swarane mesin-mesin kendharaan kang dipanasi keprungu padha nggereng. Pating cuwet swarane bocah-bocah sing arep padha mangkat sekolah. Esuk iki, kaya biasane kompleks perumahan sing dipanggoni dening keluwarga-keluwarga mudha kanthi anak-anake sing racake umur-umurane padha sebarakan iku, iya wis kaya ora tau ana lerem-lereme wae. Gumremeng swarane ibu-ibu sing padha nguntabake budhale anak-anak lan bojone.
Ing antarane ibu-ibu iku ana Ibu Karyo sing kalebu warga pisanan manggon ana ing kompleks perumahan kono kuwi. Ndhisik, sawise diaba yen kompleks perumahan kono iku wiwit kena dipanggoni, kulawarga sing nalika iku duwe anak lanang siji iku banjur enggal-enggal pindhah saka omahe wong tuwane Bu Karyo lan wiwit manggon ana kono kanthi kebak pangarep-arep. Pak Karyo bungahe ora jamak. Sebab sadurunge iku, patang taun suwene ngenger melu mara tuwa, rasane kaya-kaya wis ora betah maneh.
Esuk kuwi sawise bocah-bocah padha diterake budhal sekolah, swasana lagi wae dadi luwih tenang sedhela, nanging ora suwe banjur disusul keprungu swara-swara kesibukan rutin liyane.
“Sayur ...,” swarane bakul mlija sing liwat banjur mara nawakake dagangane. Bakul kuwi banjur njagang sepedha motore ing ngarep omahe Bu Karyo, lan ora let suwe ibu-ibu tangga liyane wis padha ngrubung, miling-miling blanjanan apa sing padha arep dituku.
“Mengko awan sida ora olehe arep praktek nggawe jajan?” pitakone Bu Temi sing pawakane lemu ireng nanging kendele ora lumrah iku.
“Ya sida no .... Arep dak jagakake kanggo camilan anakku, je,” semaure Bu Parman.
“Nek ngono mengko setengah sepuluh kumpul neng omahe Bu Karyo ya. Kabeh bahane rak wis cemepak ta?” sambunge Bu Santosa karo ndeleng marang Bu Karyo. [ 356 ]“Beres,” jawabe Bu Karyo. Dhuwit urunan sing diklumpukake wingi pancen wis diblanjakake ing pasar sore dening Bu Karyo. Dadi samangsa-mangsa bahane arep dibutuhake kabeh wis sumadya.
Pancen wong-wong kuwi kerep padha ngadani acara masak bareng-bareng. Ora kok nganti wong sak er-te apa maneh wong-wong sakam-pung, wong pancen adate iya mung wong papat kuwi wae, kanggo ngiseni wektu-wektu sing kosong neng ngomah merga wis ora ana kegiyatan liya maneh sawise nandangi pegaweyan rutin ngomah. Biasane nek ora gawe jajan, ya rujakan ana ing teras omahe Bu Karyo sing edhum merga kayom-yoman ing godhong-godhonge wit jambu iku. Lan yen tanggalane wis tekenan, mangka dhuwit blanja ya durung entuk sebrakan, biasane ya mung kari trima kumpul-kumpul ngrumpi bebarengan jagongan ngalor ngidul.
“Mosok ta Jeng, sasi ngarep njenengan iki sida arep pindhah, apa ora eman-eman ta ninggalake dalem kene?” pitakone Bu Temi nalika wis ana omahe Bu Karyo.
“Lha witikna ya arep kepriye maneh, bapake bocah-bocah wis menehi putusan ngono iku. Mumpung wulan ngarep iki rak ngepasi taun ajaran baru, dadi bocah-bocah kareben ora kangelan olehe golek sekolahan anyar,” wangsulane Bu Karyo karo ngudhak adhonan.
Anake Bu Karyo iku loro, sing mbarep lanang arep mlebu SMA, dene adhine wadon arep mlebu SMP.
“Nanging apa ora eman-eman ta Jeng, awake dhewe iki wis kadhung raket, gek njenengan ya wis wanuh tenan karo dhaerah kene. Pindhah omah kuwi sing angel rak asimilasi-ne iku lho karo tangga-tangga anyar,” wuwuse Bu Parman sing bola-bali kesenengane kuwi sok keminter ning kerep-kerepe malah sok kleru iku.
“Adaptasi, dudu asimilasi,” Bu Santosa nyaruwe.
Bu Parman mung nggleges wae, banjur muni, “Adaptasi, asimilasi, apresiasi, rak padha wae ta?”
“Iya, terus partisipasi kono pisan. Ya, beda ta,” wong telu komentar bareng, nuli uga banjur ngguyu bareng. Bu Parman pancen ajeg gawe gayenge jagongan kanthi sipate sing keminter tansah pengin nganggo istilah-istilah asal basa asing kaya ngono kuwi.
Sadurunge oleh Pak Karyo, Bu Karyo sing maune jenenge Ningsih iku, mujudake anak lurah sugih ing desane. Sasedulur mung loro, Ningsih karo adhine lanang. Uripe sarwa kecukupan kepara malah sarwa luwih-luwih. Saliyane duwe lemah bengkok, sawahe uga pirang-pirang hektar. Mula, maune Ningsih biasa urip mubra-mubru, sembarang panjaluke mesthi bisa kelakon, ora nate mikir dhuwit.
Sawise nikah karo Karyo, pegawe ing salah sawijining instansi pamarintah, Ningsih kanggo sauntara taun maune isih nunggal saomah karo wong tuwane, nganti anake mbarep umur telung taun, lagi banjur entuk [ 357 ]perumahan iku. Mula, kagawa saka kepingine enggal ajar mandhiri ngiras ngetutake bojo sing pindhah kantor, Ningsih pindhah menyang omah sing dipanggoni saiki iki.
Nalika wiwitan pindhahan rasane banget nyenengake. Sebab bareng isih awor wong tuwa kae rasane isih kaya durung temenan olehe omah-omah. Lan durung suwe manggon kono, terus wis keparingan anak ma-neh. Pas, wis, sing mbarep lanang, adhine wadon. Ningsih rumangsa begja kemayangan, nganti dheweke mrangguli sawijining bab sing dadi wadi tumrap bojone selawase iki.
Karyo, pranyata nduweni kareman sing ala, seneng nginum inuman haram, dhemen mendem. Dhuwit blanja dadi kerep kurang. Ningsih sing biasa cekel dhuwit turah-turah, kejaba saka pawewehe bojone uga saka wong tuwane, banjur dadi bingung olehe ngubetne. Pancen sadurunge pindhah omah, wong tuwane isih kerep menehi dhuwit marang Ningsih senajan wis omah-omah. Bareng saiki, bareng wis adoh karo wong tuwa, terus wis ora diwenehi maneh. Arep njaluk ya ora pantes, bisane ya mung kari njembarake ati wae.
Jejer wanodya sing setya tuhu marang guru-laki, dheweke ora madulake lelakone kuwi marang wong tuwane. Dikepriyea wae Karyo kuwi sisihane, dheweke kudu bisa mikul dhuwur mendhem jero marang kabeh tumindake sing lanang. Kaya Wara Sembadra sing tansah jembar panga-purane marang Raden Arjuna senajan bojone kuwi karem dolanan wano-dya. Kaya Dewi Sinta sing kanthi ati tatag njegur ing uleganing agni kanggo mbuktekake kasucene sawise digawa mlayu dening Dasamuka, uga kanggo nuduhake kasetyane marang Prabu Rama.
Nanging dadi wanita sing tansah ngupaya amrih bisa nutupi alane sing lanang ngono kuwi abot sanggane. Ekonomine sing ruwet marahi dheweke golek rekadaya ning jebul kanthi dalan sing kleru. Merga ora bisa golek kaya dhewe, utang-utang terus dadi dalan butulan. Durung maneh dheweke uga banjur katut-katut tangga kelu marang dolanan haram, sing jenenge togel. Embuh keneng apa, angger ngramesi nomer, iku kok kadhang-kadhang bener, marahi numani wae, nadyan yen di-etung-etung seprana-seprene iya kerep ora entuke.
Lan jenenge wae barang ala, ditutup-tutupi ya meksa konangan. En-tuk-entukane togel ora nyucuk kanggo nutupi utang, kepara tansaya ma-rahi kebulet utang. Ora ana dalan liya maneh kejaba njaluk tulung marang wong tuwane.
Sepisanan, dheweke isih bisa menehi alesan sing cetha marang wong tuwane bab ekonomine. Jarene samubarang rega mundhak, kadhang ora trima mundhak, ning salin rega. Bayare bojone ora nyucuk merga ora melu mundhak. Butuh kanggo wragad sekolahe anake uga akeh, kapeksa kudu utang kana-kene kanggo nyukupi lan bareng giliran nyaur, wis ora cekel dhuwit. [ 358 ]Amarga ora nemokake dalan sing becik kanggo metu saka reribet iki, Ningsih ora mung pisah pindho njaluk tulung wong tuwane. Kerep wae dheweke mulih menyang ndesa mung butuh njaluk dhuwit sing gunggunge ora sethithik. Senajan ora kabotan, nanging njalari tuwuh pitakonan tumrap wong tuwane sakloron. Sejatine keneng apa ta, Ningsih kuwi kok ora gelem blaka suta bab kahanane saiki iki?
Pancen wong lanang, nadyan ala ning wenang. Nadyan wis bola-bali dikandhani, tetep wae ora gelem nglereni. Bareng ngawruhi keda-deyan sing mesthi ndadekake kejot atine wong tuwa ngendi wae ing ndonya iki, lagi akhire bisa nggagas. Kadidene wong tuwa genah nduweni jejibahan sing abot. Saliyane nggedhekne uga menehi pendhidhikan sing murwat kanthi nyekolahake anak-anake. Nanging sing uga ora kalah wigati, yakuwi menehi tuladha sing bener. Unen-unen anak polah bapa pradhah ngana kae genah nek ora kleru, nanging kala-kala anane anak iku padha polah, rak merga bapake ora nggenah.
Anake mbarep, Rudi, lagi kelas loro SMP, wis nyoba ngincipi madat, narkoba, yaiku pil koplo. Ora nggumunake, lha wong wiwit cilik wis asring meruhi bapake pista minuman, ora merduli iku ana ing ngomah.
“Wis Pak, wis ora ana dalan liya kejaba kudu oncat saka kene. Urip ngene iki ora suwe saya morat-marit. Menawa njenengan isih nduwe krenteg nylametake bale somah iki, ndak jaluk njenengan kudu teges. Nek wis ora bisa, aku dakbali wae menyang ndesa sinambi ngajokake layang pegat!” Ningsih ngincim bojone.
“Ora usah ngono. Kepriye nek awake dhewe pindhah wae. Omah iki didol kanggo tuku omah liya. Panggonan anyar mbok manawa bisa menehi pepadhang, awake dhewe bisa uwal saka reribet iki,” usule Karyo.
Dinane wis ditentokake. Omah sing nate dadi pengeram-eram iku, sidane dilego, kudu enggal dikosongake. Truk sing ngangkut bekakas omah wis kebak. Tangga teparo kerepe padha arep melu nguntabake. Nanging pancen ora ana sing melu ngeterake, amarga Karyo menehi weruh menawa omahe iku adoh lan ora bisa usaha golek tumpakan kanggo ngangkut tangga-tanggane sing padha arep melu iku.
Esuk kuwi Ningsih lan Karyo pamitan karo tangga-teparone.
“Aja lali lho ya, mengko nek wis tekan kana menehi kabar. Eman-eman ta, nek nganti sesambungane awake dhewe nganti cunthel,” kandhane Bu Santosa.
“Iya-iya. Aja nganti njenengan kelangan kontrak!” semaute Bu Parman mantep.
“Kontak, Yu, dudu kontrak!” Bu Temi mbenerake kanthi anyel. Lambene diencepake.
Ningsih mesem karo manthuk. Dheweke nuli mlebu ing colt sing diiseni wong papat lan barang-barang liyane. [ 359 ]Truk lan colt ninggalake kompleks perumahan. Mlakune rindhik.Ningsih rumangsa lega dene bisa pindhah. Karo para tangga-tanggane sesambungane pancen wis raket. Kerep jagongan ngalor ngidul. Nanging seprana-seprene kuwi jebul ana sing ora dimangerteni dening para tangga-tanggane iku.
Pindhahe Ningsih pancen ora pindhah kaya sing dikandhakake. Sebab dhuwit saka pepayone anggone dodol omah kuwi, sawise dikurangi kanggo nyauri utange sing mrana-mrene, akhire ya wis ora nyucuk kanggo tuku omah maneh.
Ningsih sabrayat satemene mung arep bali mulih menyang omahe wong tuwane ing ndesa, lan tangga-tanggane kuwi sajake wis ora bakal entuk kabar maneh saka dheweke, amarga ancas tujuane Ningsih pancen sengaja nginggati wong-wong kuwi kanggo salawase. Ninggati uwong-uwong sing sasuwene iku wis ngajari ngambur-amburake dhuwit lan padha karem main togel.
Jaya Baya, No. 35, Minggu I, Mei 2009
Jroning urip iki akeh pilihan sing kena dipilah lan dipilih. Ratih isih mikir jero. Ana perang batin jroning anggane bakal nentokake pilihane.Yen pengin dadi wong sugih, bandha donya mubra-mubru, dalan wis tinarbuka ing sangarepe. Dene yen mung trima urip saanane, saben dina sawuwene iki urip kecingkrangan wae malah wis ngrasakake.
Ratih ora ngira yen saben dalan sing arep dipilih iku jebul ngemu eri bebondhotan. Yen nganti salah anggone jumangkah msthi bakal nandhang tatu-tatu. Kabeh ngemu resiko abot. Bu guru ayu sing isih prawan kuwi terus nggresah. nyawang menjaba liwat jendhela kamare. Weruh manuk-manuk emprit ing pang wit ringin, sing padha andum pangan karo kancane, banjur mabur sajak entheng, sajak tanpa sesanggan apa apa.
Manuk-manuk kuwi bisa ngumbara adoh cocog karo pilihan atine, pikire Ratih sing banjur mbaayangake kaendahaning urip sing bebas lan merdika. Yen dheweke ana jroning kahanan kaya kang dialami manuk-manuk kuwi, mesthi iya bakal bisa nentokake kanthi bebas apa kang dadi pilihane, tanpa ana wong liya kang wani ngaru-biru.
“Ratih, dakjaluk dina iki awakmu wis bisa nentokake pilihanmu. Aku selak ora kepenak karo Lik Wirya. Dheweke saben dina wis dienten-enteni pimpinane ngenani kesaguhanmu,” swarane Pak Prayoga Bapake saka s anjabane kamar mbuyarake lamunane Ratih.
Nadyan Ratih sejatine iya wis krungu, nanging dheweke isih meneng wae. isih ngetutake abure angen-angen sing ngumbara adoh. Pancen bakal makmur uripe yen gelem milih dalan sing dituduhake wong tuwane kuwi. Omah-omah karo pejabt kinurmat. Mobil mewah wis cumepak. Omah gedhe magrong-magrong susun telu wis kari ngenggoni. Yen butuh apa-apa ya mung kari aba.
“Iya Ndhuk, gatekna kandhane bapakmu iku. Uripmu bakal kinur-mat. Ora bakal kecingkrangan kaya ngene. dadi guru honorer sing gajine ora mingsra. Yen awakmu ghelem, mung kari tenguk-tenguk ana ngomah, kabeh kebutuhanmu wis bakal kecukupan,” ibune nyambung rembuge karo mbukak lawang kamare. [ 361 ]“Dinten menika kula dereng saged matur, Bu. Mbenjing-mbenjing kemawon, Bapak saha Ibu badhe kula aturi priksa,” wangsulane Ratih karo nyawang ibune sing ngerti-ngerti wis ngadeg ing ngarep lawang kamare.
“Iya, ning aja suwe-suwe, mesakake sing ngenten-enteni,” Ibune banjur kluntrung-kluntrung ngajak sing lanang supaya ngedohi, sajak menehi kalodhangan marang Ratih kanggo mikir-mikir.
Ratih bali tumlawung pangangen-angene. Yen dheweke milih dalan sing dituduhake wong tuwane, perkara bandha pancen wis ora perlu disumelangake temenan, ning apa iku wis dadi jaminan yen uripe ing tembe bakal bisa entuk kamulyan? Dheweke banget ora sarujuk yen ukurane uripmulya iku mung disawang saka perkara bandha-donya wae. Ukurane kamulyan sejati iku rak dumunung ana ing rasa sumelanging ati.
Sepisan maneh Ratih unjal ambegan landhung. Ngglethak ing dhipan nadyan ora ngantuk, ngrasakake sanggan uripe sing saya abot. Kudu milih dalan urip sing endi sing bisa nglantarake tapak-tapakke sikile tumuju marang gisiking gegayuhan.
Mendhung ireng nggembuteng sing wiwit mau gumampang ing langit sithik mbaka sethithik wiwit ceblok dadi udan. Ratih terus ngeyup ana took sangarepe sekolahane. Arep nasak ceblok udan, rasane kaya ora kuwat yen mengko kudu kadhemen. Bu Guru iku kaget sanalika bareng ana kijang ijo mandheg ing ngarep took sing dianggo ngeyup iku. maune ngira yen ana wong arep tumindak culika, ning bareng wong sing saka mobil iku mudhun, jebul Lik Wirya.
“Ratih, saiki aku butuh wangsulanmu awit wis dienteni pimpinanku. Yen awakmu saguh, awakmu wis ora perlu kluyuran golek upa nyang sekolahan, saben-saben kudu mulih kudanan kaya ngene iki,” kandhane Lik Wirya sawise sawatara suwene anggone lungguhan lan ngobrol karo Ratih ana ing papan kono.
Nanging, Ratih duwe panemu yen sing aran wong arep omah-omah kuwi kudu dipetung kanthi memet sadurunge. Awit ora mung kanggo sedina rong dina, nanging kanggo selawase. Sing aran katresnan kuwi larang regane. Ora bisa tinuku kanthi bandha donya. Drajad, pangkat, lan kalungguhan sing dhuwur durung mesthi yen payu diijolake katresnan. Mula, kanthi entheng, dheweke nuli mangsuli kandhane Lik Wirya iku, “Dinten menika kula dereng saged ngaturi wangsulan, Lik.”
“Ning pimpinanku butuh wangsulan sacepet-cepete. Dakenteni nganti suk Minggu. Nek awakmu durung wangsulan, tak anggep awakmu sanggup. Pimpinanku bakal dakajak dolan menyang omahe wong tuwamu saperlu nglamar awakmu.”
Sawise kandha kaya ngono iku, Lik Wirya banjur mak klepat, ninggalake Ratih. Dheweke nyedhaki mobile terus mbacutake laku. Sauntara iku Bu Guru kuwi bisane mung meneng. Yen digagas satemene [ 362 ]kekarepane Lik Wirya kuwi ya becik-becik wae. Nggolekake bojo ponakane. Lik Wirya sajake ora ekhlas yen keponakane sing kesinungan rupa ayu iku nyambutgawe rekasa. Dadi guru honorer sing gajine ora mingsra lan ora karuwan kapan bisane diangkat.
“Sampun radi terang, Bu, mangga enggal kondur. Mangke selak jawah malih wong mendhunge putih,” swarane Pak Sarman, kanca guru sing wiwit mau uga padha-padha ngeyup ing emperan toko kono, mbuyarake lamunane Ratih.
“O, inggih Pak, mangga. Kula nggih badhe mantuk,” sambunge Ratih sinambi nyingkirake rasa pangrasane.
Bareng weruh kanca-kancane guru sing padha ngeyup ing papan kono wis entek, Ratih uga banjur nglakokake sepedha motore alon-alon ninggalake toko iku. Senajan udane wis terang, nanging sadawane dalan dheweke isih ngrasakake hawa adhem kang tandhes balung sungsum.
Tekan ngomah sepedha motore langsung dijagang ana emperan sisih kiwa. Nanging, lagi wae dheweke kober ganti sandhangan, ndadak wong tuwane lanang wis nyedhaki karo sajak duka.
“Ratih, kanca-kancamu guru honorer wis padha diangkat. Esuk mau pengumumane. Awakmu kok ora katut, apa mbiyen ora melu pemberkasan?” swarane Pak Prayoga kkeprungu gumontang.
“Mboten Pak,” wangsulane Ratih cekak.
“Kok mboten kepriye, ta? Awakmu rak ya w is mlebu data base?”
“Sampun, nanging kula pancen mboten purun tumut pembekasan.”
“Kok ngono iku karepmu piye?”
“Pak, ngendikanipun KKN menika kedah dipunhapus supados negarinipun kiyambak punika enggal saged uwal saking maneka warni krisis. Menawi kula tumut pemberkasan lumantar jalur honorer, rumaos kula rak inggih taksih mambet-mamber KKN, Pak.”
“Kok bisa ngono?”
“Inggih, lha wong kula dados guru honorer menika kemawon dereng tentu saged dipun tampi menawi Bapak mboten tepang sae kaliyan kepala sekolahipun. Pramila saking punika, kula badhe usaha lumantar jalur umum kemawon. Jalur ingkang fair lan bebas saking unsure KKN lan mboten wonten rekayasa.”
Pak Prayoga among bisa mlenggong bareng krungu kandhane Ratih sing kaya ngono kuwi. Rumangsane duwe anak wadon siji wae kok sajak kenceng banget anggone nggegem idealism-ne. samubarang gawe yen ora cocog karo karep lan pilihane ora gelem nandangi. Ora mung perkara jodho, nanging ing perkara gaweyan barang uga mengkono.
Dina Minggu esuk Lik Wirya karo Pak Drajad arep dolan menyang omahe Ratih saperlu njaluk wangsulan kang gumathok saka Bu Guru iku. Rong dina kepungkur wis ngabari Pak Parayoga lumantar telpun. [ 363 ]Wiwit tangi turu, Ratih wis bingung nyepakake ukara sing arep diwenehake menyang tamune mengko. Bapake sing nyoba takon langsung diwenehi katerangan yen dheweke ora saguh dadi bojone Pak Drajad, awit dheweke wis duwe pacar.
“Pilihan sing kleru, Ratih, yen awakmu nampik Pak Drajad lan ngeboti pacarmu sing mung dadi pengarang iku. Piye ta Ndhuk? Ndhuk… dituduhi dalan sing lurus, alus, tur kepenak diliwati kok malah milih dalan sing menggak-menggok lan kebak sandhungan.”
“Margi in gkang menggak-menggok saha kebak sandhungan ppunika menawi dipun langkungi badhe nuwuhaken raos pangati-ati, Pak. Benten kaliyan margi ingkang sampun alus tur lurus, kadhangkala malah saged njalari manungsa langkung gampil kesupen dhumateng bibit sekawitipun piyambak. Pramila Pak, margi pundi ingkang kula antepi inggih menika ingkang kula langkungi, sinaosa menika menggak-menggok lan kebak sandhungan.”
“Anak wadon siji wae ora ngerti subasita lan aturan. Dikandhani wong tuwa malah wani mangsuli sakecap padha sakecap.”
Nanging, durung nganti rampung anggone padha regejegan ing antarane anak lan bapak kuwi, Bu Prayoga ndadak wis bali saka pasar sinambi nggawa kabar anyar. Kabar sing wiwit esuk mau wis dadi warta mirunggan ing pasar lan dadi kembang lambe ing sadhengah papan.
Kanthi praupane abang mbrabak kebak rasa was sumelang, wong wadon setengah umur kuwi ngandharake kabar mau menyang anake wadon lan menyang bojone. Wingi sore jarene Pak Drajad dicekel polisi awit konangan anggone korupsi nganti milyaran. Lik Wirya sing dadi anak buahe melu dikatutake pisan awit uga wis melu keduman brekat ora kalal sing kutah iku.
Ratih rumangsa trenyuh bareng krungu kabar kuwi awit pak like pranyata uga katut-katut kesempyok ing prekara. Nanging uga banjur ana esem kang cumanthel ing latine awit rumangsa yen wis ora kleru milih dalaning urip sing diliwati. Dalaning urip sing bakal diantepi. Dalaning urip sing menggak-menggok kebak sandhungan, godha, lan coba. Nanging dalan iku dipercaya kadi dene dalaning uripe kang bisa nglantarake sikile tumapak marang gisiking gegayuhan.
Jaya Baya, No. 18, Minggu I, Januari 2009
Wagimun ngadeg nyat, terus mlebu senthong tengah. Pikirane sing goreh njalari ora bisa turu. Kaos sing cumanthel neng ndhuwur amben disaut banjur digawe pisan. Metu saka senthong papagan karo bojone sing lagi nggendhong anake lanang. Sajake bocah umur telung taun kuwi wis turu kepati merga pancen wis wengi.
“Arep nyang ngendi ta, Kang?”
“Metu dhiluk! Lawange kancingen ndhuwur wae, ora sah dipalang ben aku mengko ora usah bengok-bengok nyeluki kowe yen mulih.”
Wagimun dhewe banjur bablas metu tanpa nolah-noleh maneh. Pikirane sedina iki mau jan mumet tenan. Sakjane perkarane sepele mung trima dhuwit. Dhuwit lan dhuwit. Nanging carane ngatasi prekara sepele kuwi sing sajake ora kena dianggep sepele. Wengi iki dheweke kudu oleh cara kanggo uwal saka gubelaning prekara si dhuwit kuwi.
Karo panggah mlaku Wagimun ngenam pikirane. Coba ta bayangna, ngono kandhane atine Wagimun. Sing dijaluk bojone saben dina kuwi rak iya ora ana liya maneh kejaba dhuwit. Anake sing sih piyik urung ngerti gaweyan tangi turu sing ditakokake dhisik ya dhuwit. Malah mara tuwane sing wis rada pikun kae wae sing diapalake ya dhuwit. Kamangka wong kabeh mau njaluke dhuwit marang dheweke. Wagimun nganti gu-mun setaun. Kaya ngono kuwi ta pengaruhe dhuwit marang manungsa? Apa maneh bareng kelingan dhek ingine dredah karo si Murti, bojone.
“Mbok aja lawuh gereh terus ta Mur. Suwe-suwe dharah tinggiku kumat, lho!” kandhane Wagimun ngelikne sing wedok seminggu leh nge-dhepi gereh terus.
“Pokok dhuwite blanja kok imbuhi ya tak ganti lele!”
Plass! Wangsulane si Murti sing atos iku ya sik kober nyeseli tembung dhuwit. Wagimun nganti jibeg. Jane piya ta carane oleh dhuwit ki? Du-rung er-te ne Pak Sobri sing ngabani sumbangan kanggo mbangun pos rondha.
“Sak ikhlase mawon Pak Wagimun. Mbok Manawa sampeyan gadhah arta luwih mang sukakne sakniki nggih langkung sae.” [ 365 ]Wagimun ngeleg idu. Dhuwit jaga nggo tuku rokok kapeksa ucul saka sak. Sedheng er-te ne mulih malah wis oleh dhuwit dhisik. Alasane dhuwit kudu ndang nglumpuk amrih pos rondha uga cepet digarap. Dadi yen ana wong rondha, ana sing dianggo ngaso lan ngopi. Tujuane wong rondha mau pancen njaga keamanane kampung amrih ora dileboni maling. Nanging oleh mupakate akeh, sing padha rondha diwenehi ijole rokok sewengi limang ewu rupiyah. Dene malinge yen klakon isa mlebu kampung yen beja ya isa nggawa dhuwit luwih saka limang ewu. Nah.... Rak dhuwit maneh, iku. Dadi, wong apik karo wong elek kuwi sakjane tujuane padha-padha golek dhuwite.
Grobyaaaaakk!!
“Adhuuuuhh!” Wagimun jekangkangan neng pinggir ratan. Sirahe krasa ngelu sak sisih. Ning bareng kelingan karo tujuane sing arep golek cara kanggo luar saka panandhange, Wagimun banjur krasa entheng wae nalika ngadeg. Malah lakune tansaya digelak. Kareben ndang teka ngeng-gon, kok. Embuh jam pira Wagimun wis ora kober nelingne, sing baku dheweke wis teka kantor pusat neng Jakarta. Jenenge kantor apa Wagimun ya wis ra kober ndeleng. Sing penting Wagimun wis marem merga wis teka marang panggonan sing dituju.
“Pak Wagimun sampun kuwatir. Menika pemerintah pusat badhe maringi sing namine mesin pencetak uang utawi mesin sing kanggo nyithak dhuwit!” Wagimun ndomblong. Durung dhong karo karepe pegawe sing mentas kojah neng ngarepe kuwi. “Pak Wagimun ....”
“Eng ... gih ..., Pak. Kula ...!” Wagimun gragapan.
“Mengke mesin niki badhe didum rata saben KK angsal setunggal....”
“Nggih Pak kula pun ngertos. Lajeng carane nggunakake mesin niki pripun, Pak?” takone Wagimun karo ngiling-ilingi mesin cithakan dhuwit mau. Pegawe sing jenenge tibake Pak Andi mau ngawe pegawe loro ma-neh. Banjur wong loro mau mraktekake. Sawise meh telung jam Wagimun lagi isa lan apal sakabehe cara nglakokake mesin kuwi. Kringete dleweran nelesi kaose sing gambare singa lagi nyekel lembaran dhuwit atusan ewu.
“Pripun, Pak Wagimun sampun saged ta carane ngginakaken mesin menika?” takone Pak Andi karo mesem. Wagimun nggleges karo manthuk.... Eseme jan entheng tenan dirasakake. Pundhake barang rasane kaya ngleyang. Wagimun bakal luwar saka panandhange, klebu wong-wong sing bakale uga didumi mesin cithakan dhuwit.
“Matur nuwun Pak …, njenengan sampun maringi kula margi kangge ngluwari prekawis arta menika.”
Pak Andi manthuk-manthuk sajak rena penggalihe. Wagiman banjur pamitan mulih. [ 366 ]Esuk uthuk-uthuk Murti wis mbrabak raine. Lungguh sedheku ing ngarep pawonan. Wagimun sing wiwit mau api-api gumun weruh patrape sing wedok.
“Ana apa, esuk-esuk kok wis nesu?” takone sareh.
“Anyel aku, Kang!”
“Anyel keneng apa ta, kowe?”
“Coba Yu Siras kuwi. Adate tak tempili jagung sak senik ya mesthi oleh, lha kok saiki jare ora arep didol. Kamangka lak mentas panen eweh-eweh ta Yu Siras ki?” wadule si Murti.
“Sebabe apa?”
“Ya merga dhuwite saiki akeh iku, dadi saiki wis ora butuh dhuwit maneh,” wangsulane si Murti sing sengak njalari Wagimun ngowoh. Ndhak iya ta .... Mangka dhek wingine kae yen ana wong ora sir tuku malah dioyok-oyokake dhisik beteke selak butuh dhuwit.
Durung tutug wong loro olehe rembugan, saka kidul omah keprungu swarane wong umyeng. Wagimun mara klepat marani, jebul tekan kono wis akeh uwong. Pakdhe Ramidi malang kerik adhep-adhepan karo Mbah Jiwo.
“Pitikmu ki tak tuku. Leh ku tuku ki ya nganggo dhuwit, ora karo bata,” ngono kandhane Mbah Jiwo karo nudingi pitik jago neng njero kurungan. Wong Mbah Jiwo mono tukang adu jago, dadi weruh jagone Pakdhe Ramidi sing gedhe lan rosa, mara dienyang wae. Niiiing ….
“Aku ngerti Mbah, sampeyan nduwe dhuwit, nanging jago iki pancen ora arep tak dol. Merga aku urung butuh dhuwit. Dhuwitku isih akeh, kae lho ..., lehku nyithak dhek wingi sore wae durung tak blanjakake blas, kok!”
Sirahe Wagimun mara mak theng-theng krungu regejagane wong loro sing umyeg prekara dhuwit iku. Walah piye iki .... Tanggane padha binggung anggone nggunakake dhuwite. Merga saiki kabeh wis padha bisa nyithak dhuwit dhewe-dhewe. Ora perlu golek sebrakan, utangan apa maneh colongan. Ning yen ngono carane upama wong-wong iku klebu dheweke iku butuh uba rampe kanggo keperluan saben dina piye? Merga rumangsa ora butuh dhuwit njalari barang keduwekane ora perlu didol.
“Iki gara-garane Wagimun menyang Jakarta dhek ingi kae. Dadine malih kaya ngene iki,” cluluke Lik Kadiran saka kedohan. Wagimun tansaya kemepyur mripate. Nanging diempet merga dheweke kepengin eruh apa karepe Lik Kadiran kuwi.
“Karep sampeyan pripun ta, Lik?” takone Wagimun karo ngempet mumete.
“Deloken Lik mu kae. Berase entek, gulane entek, bumbone gusis. Barang dagangane ludhes digondhol maling!”
“Lho kok saged ...?” [ 367 ]Wagimun mlompong. Wong-wong liyane tansaya cedhak ngrubung Wagimun.
“Piye ora ..., wong Lik mu pancen wis ora butuh dhuwit. Dadi, karepe warung ditutup, dene sisa dagangane perlu arep digawe dhewe. Yen ana wong tuku, dikandhani yen ora dodolan maneh, mesthi wae wong-wong sing duwene dhuwit nanging ora duwe beras, ya klakon mbingungi. Nyekela dhuwit akeh yen ora kena digunakake nggo apa? Yen wis ngono nyang ngendi maneh parane wong luwe, yen ora nyolong!”
Mak theeeeng! Wagimun ambruk. Kelingan neng omahe dhuwite dielus-elus karo sing wedok. Ditata mening-mening diwadhahi kothakan. Puluhan ewon, atusan ewon, lan liyane didhewek-dhewekake amrih ora campur dadi siji. Anake lanang ya wis isa nata dhewe, malah diwadhahi kresek gedhi limang atusan kae. Mara tuwane malah luwih akeh maneh olehe nata. Jarene arep dienggo sendhen. Wong sugih lak sendhen dhuwit, tah! Ning, apa gunane sendhen dhuwit yen wetenge ngelih? Tanggateparo ora gelem adol asil panenan. Warung-warung padha tutup. Luwih giris maneh merga nglabuhi weteng luwe darbeke liyan dijarah. Yen ndhisik maling kuwi sing dijarah dhuwit, ning saiki malinge wis padha sugih dhuwit. Saben dina padha isa nyithak dhuwit dhewe. Saiki lek budhal nyolong sanguine glangsing, merga arep dienggo ngadhahi bangsane uyah, gula, beras lan panganan liyane.
“Kang ..., Kaaaang ..., eling ...” Wagimun kriyip-kriyip namatke sapa sing entas celuk-celuk. Bareng wis melek amba jebul Murti nangis ngguguk neng sandhinge.
“Nyang apa iki kok nangis?” takone bingung.
“Sokur, Le, kowe wis eling. Kowe mau tas disrempet cikare Lik Kurdi,” sing semaur jebul Mbah Jiwo. Lho ....
“Ning ya ora apa-apa, wong mung semaput ora ana sing tatu. Dadi karo Lik Kurdi terus diterna sisan nyang omahmu,” Mbah Jiwo kandha maneh. Wagimun banjur kelingan.
“Lho Mbah ..., Sampeyan mboten siyos tumbas jagone Pakdhe Ramidi wau nika ta?”
“Lho, jago gundhulmu mlonyoh iku. Apa kowe arep nggasakne aku ben aku dicekel Polisi?” wangsulane Mbah Jiwo karo ngalih.
Wagimun kukur-kukur sirahe sing isih krasa ngelu sesisih. Ndilalah anake lanang kok mlebu karo nggawa buntelan neng kresek gedhe.
“Apa sing kok gawa kuwi, Le?” Takone Wagimun sajak ora kanten.
“Aku diwenehi kaos karo Mas Arif,” wangsulane anake lanang nambahi Wagimun tansaya kemepyur mripate. Lho, kuwi kok kaos dudu dhuwit sing mau bengi diwadhahi kresek limang atusan kae?
Jaya Baya, No. 37, Minggu III, Mei 2009
“Pah ... Ipah ...” wadon setengah tuwa kuwi jelih-jelih saka sabrang ril nyeluki kancane. Swarane bantas nanging cekak awit sirahe kabotan sunggen njalari gulune dadi katon mengkeret.
Sing diundang noleh wae ora. Sajake pancen ora krungu. Lumrah wong pancen rada adoh. Ketara olehe ndheprok ngadhep dagangan sinambi sendhen cagak wesi emperan emplasemen tengah stasiun tanpa mingset. Tangane kiwa-tengen sraweyan genti-genten nggusahi laler sing nyoba nglimpe ngencoki sawernaning panganan dodolane.
“Dhasar budheg!” panggrundele sing celuk-celuk mau karo mengo nyawang pawongan ing sisihe.
“Tulung Yu, bengokna maneh luwih banter,” wong lanang pawakan mbambang, cilik-dhuwur-kuning, kuwi bisik-bisik ngreripih.
“Opahe apa?”
“Beres.”
Nanging lagi wae lambene bali menga, banjur kesaru gemonthange speker nywara pating kloneng aweh pratandha yen bakal ana sepur teka ing ril siji. Ora let suwe banjur keprungu bekose loko sajak krenggosan kekeselen. Penumpange pating jrabing ingak-inguk saka njeron cendhela sing kacane akeh-akehe wis ora wutuh maneh. Rambute modhal-madhul, rai racak katon reged nglengo memper gerbong sing ditumpaki, bobrok tur pesing. Sawetara penumpange mudhun saperlu ngolet ngeluk boyok sing kemeng sawise dienggo lungguh sedina muput saka Jakarta wiwit subuh mau. Lan, saiki wis manjing setengah pitu bengi. Kamangka tujuane isih adoh, Surabaya. Embuh, jam pira tekan nggone mengko.
“Tak bengokana nganti ndomble lambeku ya percumah, Run. Paranana dhewe kana. Kae Ipah wiwit ider.”
“Isin, Yu,” wangsulane Dirun, pawongan kang pawakane mbambang kuwi.
“Isin? Yen dhong lagi ngonokan wae ra isin.”
Dirun mlengeh. Sambunge, “Lha kowe ora mrana, Yu?” [ 369 ]“Gemang. Pilih nunggu kreta bisnis saka Bandung sing sedhela meneh mlebu. Kowe dhewe ngerti, Run, penumpang sepur ekonomi kaya kae biasane kanthong tipis. Tahu nyewu telu wae isih dinyang. Susuk satus-rong atus rupiyah kelakon dijaluk.”
Dirun banjur kepeksa klithih-klithih menyat nggoleki Ipah ing antarane kemriyege bakul asongan sing lagi nawakake dagangane sajroning gerbong sepur letheg Jakarta-Surabaya kang durung suwe parkir iku. Swarane pating crecet saut-sautan kaya emprit neba. Ana sing nganggo ukara miring nyrempet-nyrempet porno.
“Kopi panas, susu anget genduk-genduk.”
“Nasi, nasi. Nasi pecel ayam goring bebas flu burung.”
“Rokok-rokok, permen, lowong timbang ra ngemut ….”
“Koran, majalah. Berita hot pejabat selingkuh ketangkap basah.”
Bareng ketemu Ipah sing lagi ngedoli nasi wungkusan, dijawil. Najan tanpa ngomong sekecap dheweke ngerti apa karepe Dirun sing banjur ndhisiki mlaku ngedoh. Rada kesusu Ipah mudhun saka bordes. Lebar nitipake sunggen dagangane marang saweneh kanca pengasong, Ipah agahan nututi Dirun. Tekan ngarep WC Umum pojok stasiun jangkahe kandheg. Ana sing undang-undang.
“Nok ....”
“Sampeyan napa niku, Dhe?” aloke Ipah marang wong tuwa sing turu slonjor ing kursi dawa ngisor akasia iku. Lampu plenthong 15 watt kang nggandhul pyan WC ora kuwawa madhangi papan lindhuk kono.
Wong lanang tuwa kuwi kruget-kruget njenggelek. Awake kuru, klelep kebungkus sandhangan sing kegedhen, lan wis ora wutuh maneh. Kajaba pating trembel tambalan uga akeh jithetane. Pener pundhak klambine kiwa-tengen diwenehi kenop loro. Sajake digawe saka pines sing pucuke diblengkukake dhimen ora nocok daging. Ndhuwur sak kiwa ditempleki tutup botol inuman gambar bintang. Kere dhegleng wangune.
“Dereng tilem ta, Dhe?”
“Awakku ndhrodhog je, Nok.”
Ipah njegreg. Dheweke tanggap. Omongane pepriman tuwa sing jeneng sarta asale ora karuwan kuwi, lan pancen ora penting dingerteni, tegese njejaluk kanthi alus. Awake gemeter merga wetenge perih keluwen. Para manol, kuli, bakul asongan, lan pengamen sing ditembungi biasane padha kamiwelasen banjur padha weweh dhuwit. Ipah dhewe uga kerep ngeklasake sega sawungkus dagangane kulakan wingi. Tau rekane ngemis marang calon penumpang sepur sing sajak dhompete kandel, gandane wangi. Jebul oleh-olehane mung pisuhan karo diplengosi kaya weruh kirik gudhigen.
Ipah jane ora mental. Nanging dheweke lagi arep ana perlu. Mula, kandhane sawise dilelimbang, “Disrantos sedhela nggih, Dhe ....” [ 370 ]“Kencan karo Dirun pa, Nok?”
“Kok ngerti?”
“Apa kowe ki lali. Aku ki rak camat wilayah kene. Wargaku sing nyambut gawe ana kene kabeh tak tulis jenenge. Apa keperluwane aku kudu ngerti,” ucape karo ngemek-emek bintang tutup gendul ing dhadhane.
Ipah nglungani tanpa ngomong sakecap. Yen ditanggapi mundhak kedlarung-dlarung. Endi sing edan, endi sing waras dadi worsuh. Jangkahe ngener saweneh gerbong tuwa kang ndhongkrok rada adoh sanjabane stasiun. Ngliwati bangunan gudhang kang surem katon sagrombol pengamen lagi padha mendem. Ambune alkohol nyegrak irung.
Maju sithik cedhak bengkel loko isih kebak nom-noman kang ketungkul dolanan neker manfaatake padhange lampu merkuri. Nekerneker mau diwadhahi cepuk, diseleh sawetara puluh langkah. Bocahbocah asal kampung kumuh sakitere stasiun kuwi mlayu urut mbaka siji marani cepuk banjur kanthi cepet njupuk neker srana dijepit nganggo driji tengah lan panudinge. Ipah sakawit ngungun. Nembe saploke gan-dheng karo Dirun dheweke mudheng, dolanan apa kuwi.
Sapungkure Ipah, pepriman kaliren kuwi rogoh-rogoh klanthongan clana ndudut potlot sarta buku. Wujude mung kertas-kertas suwekan sing dilim nganggo upa sisa pangane. Najan ora pakra nanging buku kuwi kebak cathetan paseksene saksuwene dheweke ngglandhang ana stasiun. Kalebu ing kono tinemu lelakone si Ipah sarta sawetara pawongan liyane kang mburu panguripan ana stasiun. Apa sing dialami, diweruhi, lan dirungu kabeh dieling-eling lan ditulis orek-orekan ngungkuli cekeran pitik. Sing bisa maca lan nyurasa ya mung dheweke dhewe.
Ipah, dheweke miwiti njingglengi bukune, minggat marga diwayuh jalaran gabug ora duwe bisa menehi turun. Dodol sunggen nguyak sepur kanggo nyambung urip. Rupa lumayan, rambut ketel dawa. Yen digelung tanpa ndadak disubal cemara wis gedhi kaya ban skuter. Sing paling ora nguwati bodhine. Nggitar.
Tekan kono olehe maca sigeg. Kalamenjinge cleguken. Grenenge karo ngadeg, “ Saupama aku dadi Kanjeng Bupati, dudu mung Camat, Ipah mesthi wis tak selir. Sapa sing wani elik-elik, bakal tak pecat. Dhasar aku kuwasa, mblegedhu pisan, ra pedhuli asil saka korupsi.” Leren sedhela ngencengi sabuk tali rafiane kegawa wetenge kang tambah kelet jalaran durung kelebon sega najan mung sak upa. Nuli bacute sinambi tudang-tuding mlaku wira-wiri sentheyoran, “Jaman saiki apa untunge laku jujur? Paling mung dipuk-puk baune, antuk acungan jempol sarta saklimah pangalembana, bagus, bagus ....”
Kandheg maneh, ketara mikir-mikir. Tangan kiwa malang kerik sing tengen nyekeli bathuk, gresahe, “Yen Ipah sida tak pek bojo, Dirun ke-priye?” Ah, sambunge karo ninju angin, “Gampang, dijebloske wae me[ 371 ]nyang buwen. Aku ngerti sapa Dirun kuwi. Wiwit cilik sregep nglatih driji-drijine njepit neker kaya bocah-bocah ra nggenah cedhak bengkel loko kae. Mbasan wis trampil saiki kasil dadi gembong copet. Anake gemrayah ana sadhengah papan. Ketoke alus klemak-klemek, nanging wengise ngungkuli ajag. Saben kurbane wani nglawan mesthi bakal dijongkongake saka ndhuwur sepur sing lagi mlayu banter ….”
Bali lungguh, gela-gelo kaya patrape bupati diadhep kambrat andhahane, kere ngengleng kuwi bali mbukaki bukune maneh. Weruh gambar wong-wongan loro lambene mrenges. “Iki Plenuk, oblo murahan. Dibayar rokok sak eler wae gelem. Jejere, genah si Nik, bukak warung wedangan cedhak titipan sepedha, dhemenane Polsuska Marijo ….”
Gagasane bali menyang Ipah. Beda karo Plenuk, Nik lan mbokmenawa wadon-wadon wengi liyane sing gelem nglakoni marga dibayar, Ipah nglanggati Dirun awit padha dene butuhe. Siji lan sijine padha olehe mangerteni posisine dhewe-dhewe. Kekarone sadhar yen dudu katresnan sing nggathukake. Nanging sesambungan kanthi lelandhesan rasa pangrasa diwasa kang tanpa nuntut apa-apa. Laku sedheng, jinah embuh apa istilah liyane sing trep kuwi dilakoni apa anane, ora neka-neka, apa maneh ndadekake rasa getun, keduwung sarta rasa dosa.
Kere tuwa kuwi nggresah. Mripate krasa arip, pandulune tambah sumrepet.
Lamat-lamat keprungu swarane jago kluruk. Dudu kluruke jago wiring kuning sing lagi kekeceh pletheking sorot srengenge ing bang wetan. Nanging kemruyuke cacing-cacing sajrone weteng kothong.
Bukune ora krasa ceblok saka tangane. Keser-keser kabur katut midite angin esuk, lan akhire dikukup dening para tukang sapu sing wiwit makarya, campur nyawiji karo uwuh-uwuh liyane ....
Isih repet-repet Plenuk wis mbanyaki gidro-gidro. Weruh sabregada Polisi teka numpak pikap patroli, pelanyahan stasiun kuwi mlayu salang tunjang. “Gropyokan,” jelihe. Wong-wong kang tanpa idhentitas kang isih nggloso ing emplasemen sakal padha njenggirat pating semburat. Krasa swasanane ora kaya sebaene, Dirun melu mencolot tanpa kober klambenan.
Ipah, karo isih stagenan mbenakake jarike sing mosak-masik, lon-lonan metu saka gerbong ndhongkrok kang dienggo dhekeman karo Dirun sawengi nutug. Clilang-clileng mripate weruh rada adoh sangarepe WC Umum kana ana rubung-rubung. Mara nyedhak, dheweke nyumurupi kere tuwa kuwi wis ora obah. Mati lungguh. Sawise dititi priksa, jisim kaku mau dening Polisi dilebokake kanthong mayit banjur diunggahake mobil patroli.
Ipah ngelap luh sing ngembun ing pojok mripate. Ana rasa kedu-wung. Upama mau bengi sesambate kere mau dipinangkani mbokmanawa [ 372 ]critane dadi beda. Sega sawungkus tumrape wong-wong kesrakat pranyata bisa dadi wates antarane urip lan mati.
Embuh kepriye bacute si mayit kasebut. Lupute dikubur tanpa tenger, ya nyemplung ing bak kadafer. Lowung, yen sasuwene iki uripe dianggep tanpa aji, samengko mbasan mati malah ana guna paedahe kanggo praktek kedhokteran.
Jaya Baya, No. 36, Minggu II, Mei 2009
Ing teras gedhong BRI Unit iku jebul uga wis akeh wong kang padha antri. Sarehne ing kene ora ana palungguhane, sidane trima lesehan ing jobin porselin. Wikan Pinardi kang ora uman palungguhan ing ruang tunggu, rekane ya arep ngenteni neng teras kono wae. Mulane bubar numpuk buku rekening lan kartu rekening slip-Q, banjur metu lan golek panggonan sing sela. Kapinujon ana papan sela ing cedhak pilar. Gage wae pensiunan PNS iku mapan lungguh kanthi sendhen pilar.
Sawise guneman abang-abang lambe karo pawongan ing sacedhake, wusana milih meneng ngumbar lamunan. Nyut, kelingan jaman isih dhines. Jaman isih dhines ora ana critane gajian ndadak antri suk-sukan ana BRI kaya saiki. Anak buahe sing kapasrahan minangka juru gaji, saben tanggal siji awan ajeg wis ngadhep karo masrahake dhuwit gaji ing njero amplop. Dheweke mung kari nandha tangani SPJ. Ah, wektu semana! Nanging saiki wis mungkur. Ora ana gunane tansah dieling-eling.
Bawane angin esuk kang sumilir, suwe-suwe Wikan Pinardi krasa arip. Bola-bali angop. Mripate krasa pedhes. Kanggo nyandhet rasa ngan-tuke, sire arep menyat lan mlaku-mlaku, nanging wurung, awit duma-dakan ana pawongan tuwa sing ujug-ujug wis lungguh ana sandhinge. Pawongan kasebut nganggo surban lan jubah putih kaya entrane pandhita ing kethoprak. Wikan kober mbatin, aja-aja iki gek wong ora waras?
“Ngga, waosan ngge tamba sepi,” ujare pawongan kasebut karo ngulungake buku kumel. Buku tanpa samak iku ditampani. Diiling ilingi. Buku-ne pancen wis lawas tenan. Lungset lan lencu. Kertase wis salin rupa. Kuning kucem. Ditulis nganggo aksara Jawa! Rahayune Wikan isih lanyah maca aksara Jawa. Jebule buku kasebut mujudake antologi crita cekak. Sarehne wis tanpa samak, ora kawruhan irah-irahane lan sapa sing ngarang.
Mbaka salembar buku kawuk kuwi dibukaki. Wusana ketarik karo salah sijining irah-irahan: Tragedi Ing Banjarjumput. Aneh, buku kang wis kawuk tur katulis mawa aksara Jawa, jebul nggunakake basa Jawa ngoko gagrag anyar. Malah akeh kecampuran basa trend jaman saiki. Dheweke tansaya ketarik. Mula banjur miwiti maca. [ 374 ]Bale Pasamuwan ing Kadhipaten Banjarjumput awan iku ketara regeng. Ora maido, awit ing dina iku Bale Pasamuwan kasebut kanggo ajange tetemonan para demang sak kadhipaten. Ngene iki arang kadadeyan. Tegese ora biasane para demang sak kadhipaten nglumpuk. Kathik padha nuduhake polatan sumringah ngemu kabungahan. Pancen ora aneh yen para demang iku katon bungah. Awit—kaya uleman sing ditampa—dina iku nedya dianakake sosialisasi bakal cuwere Dana Bebantu Mligi (DBM) sing cacahe ana satus seket ewu dhinar. Cacah semono kuwi, kabare sing seket dhinar bebantu saka Kadhipaten Banjarjumput, dene sing satus dhinar bebantu saka pusat Krajan Hastinapura.
Swara gumrenggeng dumadakan sirep, bebarengan karo jumedhule paraga loro lanang wadon menganggo sragam dhines kadhipaten. Salah siji saka paraga kasebut sing lanang nggawa map soklat. Sajak tatag semu anggeb, sing paraga lanang mara nyaket menyang salah sijining demang kang lungguh sila ing poncot ngarep.
“Tulung, cathetn andher iki ubengna!” prentahe tanpa ngajeni. Bubar ngulungke map nuli bali nyaketi paraga sijine. Sabanjure paraga loro ngayer karo ngiderake panyawange. Kala-kala guneman pating klesik. Sauntara iku para demang wiwit ngisi cathetan andher kanthi gegiliran. Demang kang ngisi paling pungkasan nuli masrahake map isi cathetan andher kasebut marang si paraga lanang.
“Durung jangkep! Isih kurang paraga siji sing durung tapak asma!” wuwuse si paraga lanang sawise naliti cathetan. Para demang rada ongkrep. Pating plinguk sajak nggoleki demang ngendi sing durung teka.
“Demang Kisma Sumawur dereng dhateng, Ndara!” ana sing cluluk. Lan pancen bener. Demang Kisma Sumawur, Ki Nalarengka durung ana katon. Pawongan kang diundang Ndara kasebut sakala nyureng. Alise tepung.
“Sembrana! Diulemi tabuh sanga yahmene malah rung teka! Kuwi jenenge nyepelekake. Kamangka adicara iki mengko nedya dibukak langsung dening Kanjeng Adhipati Dursasana piyambak!” ujare sereng, emo-sine munggah. Para demang ora ana sing cemuwit. Kabeh tumungkul. Ning meksa ana sing bisik-bisik, “He, sing ra teka Ki Nalarengka, kok sing didukani awake dhewe, ya?”
Lagi ngono, katungka pawongan teka nganggo sragam demang. Tekane kusung-kusung, kringete mruntus. Lagi manyuk, langsung laku dhodhok karo nyembah. Kabeh kang andher padha noleh. “Ki Na-larengka,” keprungu swara pating klesik.
“Punetn ndalem sewu Ndara Menggung. Lepat nyuwun sih pangakasami. Dhateng kula kasep, awit kapal ingkang narik kreta kula ing margi dadak larat,” ature Demang Nalarengka karo nyembah. [ 375 ]“Rasah gawe alesan neka-neka! Liya wektu aja dibaleni maneh! Nyoh, iki cathetan andher, iki gage diisi. Pasamuwan sedhela maneh bakal kawiwitan!” tumanggape Ndara Menggung. Demang Nalarengka agahan ngisi cathetan andher, nuli mapan sila ing papan sing sela.
Let sedhela, Kanjeng Adhipati Dursasana miyos. Miyose kadherekake para panggedhene kadhipaten. Katon ing antarane Tumenggung Dursilajuti, kang tinuding minangka pangarsa Proyek Dana Bebantu Mligi (DBM). Kanjeng Adhipati dalah para panggedhe iku nuli mapan lenggah ing sasana kang cumawis.
Pasamuwan nuli kawiwitan. Pranatacara maca racikane adicara. Wusana ndungkap tanggap sabda. Kanjeng Adhipati Dursasana jengkar tumuju mimbar. Nuli sesorah. Wosing gati, taun iki, Parentah Nagari Hastinapura lan Parentan Kadhipaten Banjarjumput ngudhunake dana sing kudu digunakake kanggo ngrenovasi Bale Kademangan. Cacahe satus seket ewu dhinar saben kademangan.
“Dana kasebut kudu tumanja tenan lan ora kena bocor. Kanggo ngawekani anane kabocoran, Badhan Panaliti Kahartaan Nagari tansah ngawasi. Mula aja sembrana. Nganti konangan sida diukum abot,” ngono antara liya dhawuh sesorahe Kanjeng Adhipati. Para demang ngru-ngokake kanthi tumemen lan kebak kawigaten.
Rampung sesorah Kanjeng Adhipati langsung jengkar ninggalake pasamuwan. Wondene adicara bacute penjelasan tehnik ngenani DBM dituntun langsung dening Tumenggung Dursilajuti. Tumenggung pawakan gedhe endhek weteng njadhun sirah plonthos nanging brengos kandel iku njlentrehake langkah-langkah sing kudu dilakoni. Yaiku wiwit ngajokake proposal, mbukak rekening ing Pantihartaka, blanja bakal wa-ngunan, nganti kuwajiban asok upeti marang panggedhe kang kawogan.
“Dana iku mokal bisane cuwer tanpa ana cawe-cawene para pangarsa kang kawogan,” mangkono ngendikane Tumenggung Dursilajuti. “Mulane kowe kabeh ya kudu mangerteni. Tuladhane, Tumenggung Srakaharta, kadidene Pangarsa Bageyan Rancangwangun kang kudu ngrekomendhasi proposal, ngersakake bageyan liman presen. Njur aku dhewe, minangka Pangarsane Proyek, sing kudu wira-wiri Banjarjumput—Hastinapura, ngu-rus ika, ngurus iki, mosok arep dicangar? Aku ya njaluk bageyan limang presen. Njur proposal kuwi, mosok arep kok garap dhewe? Aku yakin kowe kabeh ora jegos! Mulane proposale kudu ndandakake. Ditanggung apik lan bener! Nah, aku wis nglobi marang pakare, saben sak proposal njaluk karotengah presen. Dana Taktis, kanggo njagani pengeluaran tak terduga, kudu disedhiyani karotengah presen. Sing pungkasan ....,” Tu-menggung Dursilajuti ora banjur mbacutake gunem. Pandulune kasa-watake marang para demang kang ndongong ngenteni bacute rembug. Wusana (rada lirih), “Kanjeng Pangeran Drembakusuma, minangka [ 376 ]Penanggel Jawab Kendhalining Kawicaksanan Kadhipaten, ngersakake bageyan sepuluh preses.
Sakala iku banjur kaprungu swara gemrenggeng. Sauntara iku Demang Nalarengka epyoh ijir-ijir. Tinemune, dana sing ilang jalaran kanggo upeti lan liya-liyane nyandhak 23 presen utawa 34.500,00 dhinar! Cacah sing ora sethithik!
“Ndara Tumenggung, kepareng matur,” cluluke Demang Nalarengka dumadakan.
“Matur apa Demang Kisma Sumawur?”
“Ateges arta ingkang saget katanjakaken mangke kantun 115.500,00 dhinar?”
“Hiya, nanging lapuranmu ya kudu wutuh 150.000,00 dhinar padha karo proposal!”
“Wadhuh, punapa saget, Ndara?”
“Ya gene ora bisa?”
Demang ing Kademangan Kisma Sumawur iku katon bingung. Se-mono uga demang-demang liyane. Angen-angene sajak ora gaduk. Wong anggaran kalong sakprolimane kok lapurane kudu tetep wutuh. Kepriye genahe?
Weruh para demang sajak ora mudheng, Tumenggung Dursilajuti kepeksa njlentrehake.
“Rungokna dakkandhani! Peprincene kabutuhan bahan lan anggarane ing proposal mengko digawe standar, kepara dhuwur! Lha, kowe kabeh bisa ngakali kanthi blanja bahan kanthi kualitas, volume, lan rega sangisore sing ditemtokake ing proposal. Kanthi mangkono wangunan tetep maujud. Lha kowe kabeh isih isa netepi kuwajibanmu kaya sing daksebutake ing ngarep mau!”
“Punten ndalem sewu, Ndara, kula mboten sarujuk! Tumindak ingkang kados Paduka dhawuhaken kala wau sanget ngrugekaken nagari! Punika naminipun korupsi!” cumolot cluluke Demang Nalarengka. Sakala pasamuwan ongkrep. Tumenggung Dursilajuti ngrasa katampeg.
“Kena-kena wae kowe ora sarujuk! Nanging ya aja ngarep-arep DBM iki bisa mudhun ing kademanganmu! Awit aturan iki wis dadi kawi-caksanan!” pangancame Tumenggung Dursilajuti kanthi pasurnyan mangar-mangar.
“Mboten nampi inggih mboten napa-napa. Kawula ing Kademangan Kisma Sumawur taksis sagah mbangun Bale Kademangan kanthi swa-dana!” wangsulane Demang Nalarengka tetag lan gemagah. Banjur nyat, pamit mundur ninggalake pasamuwan tanpa ngenteni palilah. Swasana dadi nggekeng lan kaku!
Sapungkure Ki Demang, Tumenggung Dursilajuti ngawe ajudhane diajak nyisih. Banjur guneman klesak-klesik sajak menehi prentah. Embuh [ 377 ]prentah apa. Sing cetha, bubar nampa prentah, si ajudhan gage ninggalake Bale Pasamuwan kanthi kesusu-susu.
Watara srengenge manjer, pasamuwan rampung. Para demang bali sowang-sowang ing kademangane dhewe-dhewe. Ing angen-angene cumithak kadadeyan kang nembe mungkur. Yaiku prakara mbalelane Demang Nalarengka sarta wanti-wantine Tumenggung Dursilajuti amrih ora mbocorake asile sosialisasi marang sembarang pawongan.
Dadak ing tapel wates kutha, para demang iku dikagetake ketemune kreta kanthi penumpang sing wis dadi layon. Kreta kuwi genah kreta Kademangan Kisma Sumawur. Lan penumpange sing wis dadi layon ora liya Ki Demang Nalarengka dhewe, kang bocor jajane ketaman keris pusaka mandi!
Tragis, demang lugu kang sedhela mau kanthi tatag nulak kawicaksanane panggedhene sing dianggep sulaya, saiki wis koncatan nyawa ....
“Pak Wikan! Pak Wikan, nika pun ditimbali!” Ana wong nggugah dheweke. Byar, Wikan Pinardi tangi gragapan. Gandrik, jebul keturon! Banjur plingukan sajak ana sing digoleki. Antologi sing mentas dakwaca lan wong tuwa sing nyilihi mau neng endi ya? Pitakone jroning batin. Nanging ora ana apa-apa lan sapa-sapa, kejaba pawongan sing lungguh sandhinge lan sing mentas nggugah dheweke iku mau.
“Nika, njenengan pun ditimbali,” ujari si pawongan mbaleni.
“Wah, yen ngono aku mau ngimpi!” grenenge karo menyat. “Mesakake banget nasibe Demang Nalarengka! Ah, tujune mung neng impen, dudu kanyatan. Tur dumadine ora neng kene, ning neng alam wayang, neng Banjarjumput!”
“Pak Wikan Pinardi ...!” panguwuhe pegawe BRI bageyan teller luwih seru.
“Oh, inggih, Bu ...!”
Jaya Baya, No. 38, Minggu IV, Mei 2009
“Matur nuwun Dhik, untung sing nemokke sampeyan.” Tak dudut atusan ewu saeler, tak ulungke. “Iki kanggo jajan.”
Bocah limalasan taun iku gedheg njur nggeblas mancal sepedhane kang tanpa lampu miyak petenge wengi ninggal plataran omahku.
“Piye, Dhik? Wutuh?”
Bojoku mnathuk. “Isih Mas, mbok bocah mau susulen iki tak imbuhi satus. Nek panggah ora gelem, wenehna ibune wae.”
Rindhik lakuku ngetut mburi bocah lanang kuwi. Sengaja ora tak candhet merga aku kepengin ngerti omahe. Watara ana patang kiloan dheweke menggok gang mangiwa mandheg omah pinggir dhewe, nyendhekake sepedha ing tembok njur mlebu ngomah. Katitik saka carane mlebu, tanpa nganggo salam tanpa tolah-toleh, genah yen kuwi omahe dhewe. Aku mandheg sedhela nyawang omah kang katon surem iku, njur tak puter arahku, mulih.
Dina candhake sabubare sekolah aku mampir omah pinggir sawah kang cagak empere gripis kapangan rayap iku. Aku uluk salam, ora suwe ana wong wadon seket taunan metu njur manggakake mlebu. Praupane pucet sajak wedi. Aku mesem, “Bapak wonten?”
“Saweg dhateng sabin.”
“O inggih, sawen nembe wanci tandur, nggih. Sabine wonten pundi?”
“Namung buruh, Pak,” semaure isih panggah kaku, swarane rada gemeter.
“Ngaten Bu, kala wingi putra njenengan manggihaken dhompetipun tiyang estri kula, larene rak pun sanjang ta?”
“Dereng.”
Aku ngrogoh sak klambi ndudut amplop kang wis tak siapne njur tak seleh ing ndhuwur meja.
“Menika minangka tandha panuwun, damel jajane putra njenengan, sinten namine?”
“Triyono.” [ 379 ]“Menika namung tandha panuwun, sanes menapa-menapa menawi katandhing kajujuranipun. Niki wau larene dhateng pundi?”
“Wonten kamar.”
Wong wadon kuwi njur nyeluki anake, ning ora ana wangsulan. Diceluk maneh nganti ping pindho panggah wae. Wong wadon iku arep menyang memburi. Age-age ngadeg.
“Pun kersane,” aku njur pamitan mulih.
“Matur nuwun sanget, Pak. Matur nuwun.”
Bengi arep mapan turu, aku jagongan karo bojoku perkara bocah jujur iku.
“Sewu siji lho, Mas. Nemu dhompet isi dhuwit gelem mbalekake terus emoh disangoni ngono iku. Kira-kira ya mung Triyono kuw,” kandhane bojoku.
Terus keri-keri bojoku nduwe karep ngewang-ewangi nyekolahake Triyono, idhep-idhep ngrasakake ngopeni bocah merga ngancik limang taun omah-omah durung diparingi momongan. Aku dhewe ya mathuk.
Wis nem wulan anggonku ngrajut paseduluran karo keluwargane Triyono. Yen ana kalane tak sambangi karo nyangking oleh-oleh jajan, beras utawa gula. Kala-kala ninggali sanggu kanggo Triyono. Nyatane Mbok Bibit ya gelem nampani, lan nalika aku nembung kepengin ngrewangi nyekolahake Triyono, Mbok Bibit uga setuju, semono uga Pak Parju. Nalika tak gawakke TV Mbok Bibit prembak-prembik, seneng merga ora sah nangga yen arep ndelok sinetron. Yen kalane aku repot dulur-dulur kuwi padha teka saperlu rewang-rewang. Kerep wayah bubar sekolah tekan ngomah wis temata rapi, sega lan panganan wis cemepak ana meja. Pancen wis tak gawani kunci serep omahku. Mbok Bibit wis tak anggep kadi dene mbokku dhewe, semono uga Pak Parju lan Triyono, tak anggep kula-wargaku. Kena kanggo tamba sepine ati kang adoh saka sanak kadang iki.
Triyono. Bocah jujur kuwi dadi dalanku nemu sedulur. Ning ana siji kang tansah ngganjel ing pikiranku, deneya tekan saiki Triyono arang gelem guneman. Panggah anteng wae kaya dhek lagi sepisan ketemu kae. Ora ana ukara kang kawetu saliyane nggih, mboten, sampun, dereng. Yen kebeneran lungguh wong loro, aku lan Triyono, dheweke tansah katon rikuh kumudu ngalih. Yen dhong ngumpul-ngumpul ing omahku ora tau jenak, adate terus mulih ndhisiki ninggal pak lan mboke. Yen tak sambangi ajeg metu nglungani. Karo Triyono, aku durung bisa ngrasakake endahe paseduluran, kaya kang tak rasakake nalika kumpul Mbok Bibit lan Pak Parju. Rasane ana let anatarane aku lan Triyono, antarane Triyono lan bojoku. Wis makaping-kaping Mbok Bibit supaya ngandhani Triyono supaya ora sah sungkan lan rikuh, ning nyatane panggah wae. Tak coba nlesih neng kanca-kancane ing papan panggonane, Triyono kuwi jan-jane ya dudu bocah anteng. Malah yen pas bal-balan seneng nyrengeni kancane kang mung guder wae. [ 380 ]Takrasa pancen ana perkara kang disimpen Triyono ning perkara apa aku ora ngerti. Tak eling-eling lelakon kang wis kapungkur mbok Manawa aku duwe salah, ning ora ketemu. Ora marem tak jlimeti maneh siji mbaka siji, nganti mumet panggah wae buntet. Taktakoni bojoku, padha wae.
“Apa kira-kira Triyono kabotan karo paseduluran iki ya, Dhik?”
“Lha abote neng ngendi ta, Mas?”
“Isa wae Triyono rumangsa ora bebas, rumangsa nduwe utang nang awake dhewe, saiki sing ngontrol dudu wong tuwane thok, ning aku barang. Upama ngono tenan, apa kowe ra rumangsa kedosan wis njalari uripe bocah kuwi ora tentrem?”
Bojoku meneng, sajake ngakoni yen panemuku bener.
“Apa bocah kuwi nduwe masalah nang njaba kana ya, Mas?”
“Lha nek kowe takon aku, aku takon sapa?”
Bojoku mecucu maneh.
Sore tanggal enom bubar blanja, aku sakloron mampir. Pak Parju lagi lungguhan nang lincak pring ngisor sampiran klambi, sedal-sedul sinambi ngematke sidheme hawa sawise sedina muput kepanggang panase srengenge. Weruh aku teka njur ngadeg ngajak mlebu, dene bojoku bablas njujug pawon nyelehne gawan. Ora suwe Mbok Bibit metu karo njunjung lengser isi wedang telu, kopi loro lan teh siji. Sawise nyuguhake njur bali maneh menyang pawon, nggoreng tela apa gedhang kaya adate.
Wong telu jagongan nang ruwang tamu.
“Kula jan judheg tenan kok kalih thole niku,” kandhane Pak Parju nalika aku nyinggung perkara anake.
Mbok Bibit sing ngrungokake saka pawon nyaut, “Lha nggih ta, Pak. Bocah kok angel diatur, pun kula kandhani bola-bali kula ken sing biasa mawon kalih panjenengan, kok panggah mawon. Pun ditulung kok mboten matur nuwun.”
“Pun ta, mboten sah dipenggalih, namine nggih taksih lare,” bojoku kang semaur.
Watara seprapat jam jagongan ketungka tekane Triyono kang nganggo kaos werna kunir bosok kostum bal-balan timnas Landa lengkap sak sepatune.
“Le, kok gagah emen ta, kaya Nistelroy kae,” tak aruh-aruhi meng-kono bocahe mung mesem klincutan, malah jangkahe sansaya rikat, nyrunthul bablas menyang mburi.
“Tri, aduse kok seuwe emen ta?” Triyono ora semaur. Mbok Bibit njur memburi. Pake Triyono nyusul. [ 381 ]“Tri. Triyono! Kupingmu kuwi budheg ta?” Pak Parju wiwit muntab. Ora ana sauran. “Bocah kok saya gedhe saya ra kenek diurus,” bacute. Banjur mubengi omahe karo bengak-bengok nyeluk Triyono, ning panggah wae ora ana sauran. Aku nututi memburi, bojoku melu-melu ngubengi omah nggoleki Pak Parju kang lagi nesu karo anake. “Pun Pak. Sampun. Sabar riyin,” coba tak arih-arih.
“Bocahe wis ilang, wis ben minggat sisan kana!” Pak Parju isih pang-gah muntab. Wong-wong kuwi njur tak ajak bali menyang njero omah. Tak kandhani yen ora ana sing salah, Triyono ora salah lan aku ya ora rumangsa disalahi. Sawisa takrasa kahanan wis adhem maneh, aku njur pamitan. Pak Parju lan Mbok Bibit takweling, aku bakal rumangsa salah yen nganti Triyono disengeni, apa maneh nganti dipulasara.
Sesuke nalika teka saka sekolahan, Mbok Bibit wis nang ngomahku. Aku rada kaget weruh mripate sing bithu-bithu ketara yen mentas wae nangis. Bojoku enggal-enggal takon.
“Ana apa, Mbok, sajake kok ana masalah?”
“Nggih, kula badhe matur, ning mangke mawon njenengan dhahar rumiyin.”
Sawise jenak anggonku ngaso, njur tak ajak Mbok Bibit lungguhan nang kursi ruwang tamu.
“Sakderengipun, kula nyuwun duka, Pak, Bu. Kula badhe matur, menawi dhompet njenengan ingkang ical lan dipanggihne Triyono rumiyin nika, estune yatrane mboten jangkep, wong pun dipendhet Triyono ...,” pedhot-pedhot nggone crita Mbok Bibit karo luhe dleweran nelesi pipine. “Menika yatra ingkang dipun pendhet Triyono, kula wangsulaken,” bacute karo ngulungake dhuwit.
Bojoku nyekethem tangane Mbok Bibit kang nggegem dhuwit seket ewu kuwi.
“Halah Mbok, ra usah! Dhuwit semene wae, wenehna Triyono wae,” bojoku nahan tangane Mbok Bibit.
Aku melu nambahi, “Wis lah Mbok, gawanen maneh. Triyono kuwi bocah jujur, temen-temen jujur, nggawa dhuwit sakmene wae kok ndadak dibalekne, kamangka aku ya ora ngerti,” aku nyoba ngedhem-edhemi.
“Mboten, niki wau pun niyate Triono.”
Wong tuwa kuwi panggah ngengkel. Dhuwit kuwi panggah didle-sep dlesepne menyang gegemane bojoku nganti bojoku ora bisa swala.
Dheweke banjur crita menawa dhuwit kuwi duweke Triyono dhewe. Pitung sasi kepungkur Triyono nggadhuh wedhuse Pak Iwanto, seminggu kepungkur wedhus kuwi manak loro. Triyono kebageyan cempe siji. Mau bengi pas aku mampir omahe, Triyono metu ngedol cempene nyang Pak Iwanto, didhuwiti seket ewu. Ya dhuwit kuwi sing saiki digegem Mbok [ 382 ]Bibit. Dhuwit kanggo ngijoli dhuwitku kang dijupuk Triyono pitung sasi kepungkur, dhuwit kang kanggo tuku sepatu bal-balan. Luh kang dak ampet wiwit mau sidane ambrol, bojoku malah wis nangis ndhisiki jalaran keranta-ranta karo kedadeyan kuwi, jalaran trenyuh nyawang Mbok Bibit kang kasatan luh merga rumangsa kedosan merga ora nuruti nalika ndhisik anake nyuwun sepatu bal-balan.
Jaya Baya, No. 31, Minggu I, Apr. 2009
Dargo lungguh dhelek-dhelek ana emper omahe. Dina kuwi dhe-weke kapeksa pasa, ora udud. Krisis moneter ngontang-antingake nasibe. Sapa sing kudu disalahake ing mangsa lan kahanan sing kaya ngene iki. Ah, embuh! Dargo ora mudheng teori ekonomi utawa politik-poliyikan. Ngertine Dargo mung nyambut gawe, mblanja bojo, mblanja anake. Wis mung kuwi, liyane ora ana. Bareng saiki? Kabeh montang-manting kaya kuthuk kelangan babon.
Luwih nganyelake maneh, perusahaan papan nyambut gawene Dargo uga melu montang-manting. Kathik arep nyambut gawe wae ora ana sing ditandangi lan digarap.
“Yen ngeten niki njur pripun, Pak Direktur?” pitakone Dargo wektu iku.
“Lha, ya priye maneh. Order ora ana. Upama ana ya mung cilikcilikan. Bathine mepet banget. Jamane sarwa ngel, Pak Dargo. Aku uga judheg mikir kahanan iki. Kabeh barang wis ganti rega. Perusahaan iki suwe-suwe bisa bangkrut lan tutup, Pak Dargo.”
“Lajeng?”
“Ya wis. Tunggu wae kebijaksanaan sing bakal dirembug para ma-najer, kabag, lan direktur.”
Rapat ngrembug bab uripe perusahaan wis rampung, Dargo durung bisa ngerti, bab pikolehe anggone padha rapat. Dargo ngantu-antu. Dheweke wis judheg tenan. Saben dina katone menyang kantor, nanging yen ing kantor mung nganggur, Dargo rumangsa ora kepenak. Risi, pekewuh, tur wagu. Iki jenenge mangan gaji buta.
“Kula niki kedah pripun Pak Agus? Samenika mboten wonten peda-melan, kamangka kula kedah mangkat dhateng kantor mriki. Kula menika rak dhawah ewet ta, Pa Agus?” kandhane Dargo marang kepala bagiane.
“Rasah dipikir dhisik Pak Dargo. Sing wigati panjenengan tetep mangkat kantor dhisik. Perkara ora ana gaweyan aja digagas. Awit kahanane pancen kaya ngene kok. Arep ngapa?”
“Nanging perusahaan niki napa mboten rugi mbayari tiyang nganggur kados kula?” [ 384 ]“Kiraku kok ya ora. Saiki rak wis akeh efisiensi. Akeh kanca wis di-PHK. Kantor wis ora langganan koran maneh. Ora ana bonus. Ora entuk nganggo telpun metu. Kertas bekas ora oleh dibuwang, semono uga kar-dhus. Wis, pokoke Pak Dargo lerem dhisik wae. Manut karepe perusahaan.”
Pak Dargo sejatine rada mongkog atine. Kepriye wae dheweke du-rung di-PHK, kamangka kancane sing wis kena PHK akeh. Dheweke tambah mongkog merga kaya-kaya kabage lan direkture isih nggondhele dheweke.
“Piye Pak, kahanan perusahaan?” pitakone Karsinah, bojone Dargo nalika Dargo lagi wae nyetandarake montore.
“Manjur tenan!”
“Sip ta?”
“Karang Mbah Kenci, kok ya!”
“Kowe kok ngerti-ngertine yen Mbah Kenci kuwi dhukun ampuh?”
“Lha ya saka kanca-kanca kok, Pak.” “O .... Kira-kira aku bisa munggah pangkat ora, Bune?”
“Lha ya embuh yen kuwi. Nanging kantormu rak mendip-mendip ta, Pak. Apa ya isih ngurusi unggah-unggahan pangkat?”
“Mbok manawa.”
“Coba sesuk tak takokne.”
Temenan. Sore kuwi Karsinah menyang papan dununge Mbah Kenci. Kawit biyen Karsinah pancen ora dieterake sapa-sapa yen menyang omahe Mbah Kenci.
“Apa maneh ta, Ndhuk?” pitakone Mbah Kenci karo mesem nalika nemoni Karsinah.
“Anu Mbah, Mas Dargo niku kepengin munggah pangkat. Sak niki rak taksih staf ta, Mbah. Piyambake kepengin dados kabag nggentosi Pak Agus nika lho, Mbah.”
“O ..., kuwi ta? Gampang. Sarate kembang telon, menyan wangi, pitik jago wido, rokok Dji Sam Soe, karo dhuwit selawe ewu.”
“Namung niku ta, Mbah?”
“He he he ....”
“Kok nggujeng ta?”
“Isih ana liyane. Biasa rak ya wis mudheng ta?” Mbah Kenci nye-ngenges njawil janggute Karsinah.
“Simbah niku mesthi ngoten lho. Ora ngrumangsani anggone dadi wong tuwa.”
“Rasah kemayu. Wong kowe kuwi ora-a kemayu wis ayu kok, Ndhuk.” Mbah Kenci nyiwel wetenge Karsinah. Karsinah sansaya lelewa. Karsinah api-api nampel tangane Mbah Kenci, nanging mripate mlerok karo mesem ngujiwat. Mbah Kenci sansoro kobar kekarepane. [ 385 ]Dina candhake Dargo bisa munggah pangkat temenan. Pak Agus di-PHK. Saiki Pak Agus mbukak usaha dhewe ana ngomah, bakulan beras, lenga, lan gula. Bahan kang klebu sembako kuwi larise pol-polan ing warunge Pak Agus. Klebu Karsinah dhewe kerep blanja neng warung kono. Ngiras pantes mbuwang tilas. Kareben ora kawistara yen dheweke ngrewangi bojone ngrebut dhampare Pak Agus kanthi srana ngelmu padhukunan.
“Anggone blanja kok mung sethithik ta, Bu Dargo?”
“Lho nggih kados pundi malih ta, Pak Agus. Kantenan kawontenan kados ngaten kok.”
“Lho, Pak Dargo rak sampun dados kabag ta?”
“Kaleresan kemawon menika. Pak Agus malah bikak usaha ageng, bathinipun tentu nderbala ageng ta, Pak?”
“Ah, iki ya mung kepeneran wae kok. Oh iki ana bathen sethithik Bu Dargo. Diasta pisan ya?” Pak Agus ngulungake tas kresek ireng. Karsinah arep nampik ora kepenak. Kapinujon wektu kuwi Karsinah entuk giliran keri dhewe anggone tuku ana warunge Pak Agus. “Wis rasah prekewuh. Diasta wae.”
“Matur nuwun, Pak Agus.”
Nalika mentas wae nyelehake blanjan ndadak krungu swara wong uluk salam saka pekarangane Karsinah. Age-age Karsinah metu mbukak lawang ruwang tamu.
“lho, Pak Agus? Kersane?”
Atine Karsinah tab-taban. Aja-aja wewadine kewiyak.
“Anu, Bu, ya mung sanja wae. Pak Dargo durung kondur ta, Bu?”
“Dereng. Kondure rak jam sekawan ta, Pak?”
“Lha iya. Sapa ngerti dheweke wis kondur gasik.”
“Dereng. Kantenan nembe jam setunggal ngaten kok. Lha Pak Agus jam semanten kok pun mboten tengga wande?”
“Wis ditunggu ibune bocah-bocah. Ora, Bu. Jarene njenengan asring sowan Mbah Kenci, apa bener?”
Karsinah ora bisa wangsulan sanalika. Ora ngerti kudu wangsulan kepriye.
“Ing ... inggih, Pak Ahus.”
“He ... he ... he ....”
“Kados pundi ta, Pak Agus?” Karsinah isih api-api tambuh.
“Aku wis ngerti kabeh kang wis njenengan tindakake, Bu Dargo.” Dheg! Karsinah ora bisa kumecap sanalika. Cetha menawa wewadine wis kewiyak. Karsinah ora bisa selak. Karsinah tumungkul kanthi kebak rasa isin lan setengah getun. Ora wani mandeng nyawang mripate Pak Agus. [ 386 ]“He ... he ... he .... Ora sah wedi, Bu Dargo. Aku wis nrima kok. Aku ora arep nuntut apa-apa marang panjenengan. Amung siji panyu-wunku.”
“Dhuh ..., Pak Agus, kula nyuwun pangapunten. Lajeng menapa panyuwunipun Pak Agus menika? Menawi kula saged nyembadani temtu badhe kula lampahi.”
“Ora angel, aku nyuwun pan-jenengan gelem ngladeni aku. Kaya panjenengan ngladeni Mbah Kenci. Piye? Aku wis suwe lho ngesir panjenengan.” Kandha ngono Pak Agus karo ngelus lengene Karsinah. Karsinah ndhungkluk karo ngulu mesem kang disidhem. Ana rasa mongkog ing atine Karsinah. Dhasar Pak Agus wonge bagus tur resik pisan. Ora ana eleke, ngladeni dheweke waton kabeh wewadine iki ora kewiyak.
“Pak Agus niku kok sembrana ta?”
“Ah, wong ayu kuwi pancen pinter lelewa. Nggemesake, lho!” Pak Agus nyaketi lungguhe Karsinah. Tangane ngrangkul pundhake Karsinah. Karsinah ora obah ora mosik. Sing tumus ing atine wong loro mau mung kobare nafsu setan kang mongah-mongah.
Kadadean kuwi dumadi marambah-rambah. Miturut Karsinah, sisan gawe. Wis nyabrang kali paribahasane. Mentas ya klebus. Mbacut ya klebus. Sisan mbacut wae. Sing wigati bojone isih tetep nyambut gawe. Bisa tetep mblanja. Bathi maneh dheweke bisa tambah-tambah saka Pak Agus. Ngiras pantes bisa maremake kanepsone.
Kaya padatan, awan kuwi Pak Agus lan Karsinah padha lelumban ing donyaning asmara. Kekarone nangguh wayah awan meneri lungane bojone Karsinah ana ing kantore.
“Piye Bu Dargo, panjenengan rak ya marem ta sesambungan karo aku?”
“Panjenengan iku kok mesthi nyebut nganggo tetembungan Bu Dargo lho. Mbok sing mesra sethithik ta.” Karsinah teturon ana dhadhane Pak Agus.
“Apa ngene iki kurang mesra?” Pak Agus ngarasi rambute Karsinah. Dumadakan lawang ngarep didhodhog uwong.
“Bu, Bu ...!”
“Wadhuh semah kula wangsul, Pak Agus,” bisike Karsinah. Pak Agus age-age nganggo sandhangane. Sinusul kesusune Karsinah anggone keklamben.
“Braaak!”
Krungu swara lawang didhobrak saka njaba. Pak Agus njranthal mlumpat jendhela mburi. Karinah age-age nemoni bojone.
“Mas, lawange kok mbokjebol?”
“Rasah crigis, endi malinge dak ajare?!”
“Maling apa ta?” [ 387 ]“Maling dhapurmu kuwi! Dhasar wong wedok murahan! Obralan! Lowakan!” karo kandha ngono kuwi tangane Dargo kumlawe ngampleng Karsinah. Karsinah tiba glangsaran.
Ing njaban omah Pak Agus ora bisa apa-apa, awit wong kampung wis siyaga ngrangket dheweke. Ing kono Mbah Kenci ngadeg anteng karo mbanda tangan. Katon lambene mesem-mesem sajak kalegan atine.
“Bangsat kowe Mbah Kenci! Kowe kabeh sing ndurnani prakara iki! Awas kowe, Mbah!” Pak Agus bengok-bengok karo njola-njola ngluwari pangrangkete wong-wong kampung.
“He ... he .... Kabeh dumadi ya ora ucul saka pokalmu dhewe. Kowe ora gelem madeg karyawan maneh merga ngerti rong sasi maneh perusahaanmu tutup, banjur kalungguhanmu kawenehake Dargo. Pinter kowe, Gus. Nalika Dargo sengkut ing kantore, kowe sengkut ngunthuli bojone Dargo. He ... he .... Sing dadi Durno ora mung kowe, Gus. Na-nging aku ya wasis. Kowe lali Gus, ora ngoman-omani wong tuwa.”
Dhegh!
Ana swara kemlebug. Mbah Kenci ambruk. Ing kono Dargo njedhul miyak kumpulaning wong akeh karo nggawa penthung. Mbah Kenci ambruk merga digebug Dargo.
“Kabeh wis dadi Durno. Kabeh dadi culika! Penyakit!!”*
Djaka Lodang, No. 05, 3 Juli 2010
“Mbah badhe tindak pundi ..., dalem ndherek,” pitakone bocah wadon putrane Bu Asih, tangga omahku nalika aku lagi arep ngeslah pit montor tuwa.
“O ..., arep ndherek ta, Ndhuk? Rene, rene neng mburi kene, nggon-ceng simbah!”
Rindhik asu digitik bocah wadon sing nembe kelas V SD mau mlayu banjur nyengklak monotr pitku.
Ana rasa marem, ana rasa sengsem, ana rasa matur nuwun menyang Gusti dene ing umurku 70 taun iki isih bisa ngeslah montor lan nggoncengake bocah. Senajan bocah mau dudu apa-apaku. Mung anake tangga.
Wis tinakdirake dening Gusti aku ora duwe anak, apa maneh putu. Wis 10 taun iki aku purna minangka guru SD lan manggon ing desa Ceger, kompleks perumahan sing dibangun dening pengembang swasta.
Jenengku sing asli Winarsih. Ing perumahan iku ora ana sing nyebut meneh kajaba aku yen njupuk pensiunan ana ing sawijining bank. Saben dina dening bocah-bocah Ceger, aku disebut Embah, Embah Gabug amarga pancen ora duwe anak. Dening bapak-ibune bocah-bocah mau uga ana sing nyebut Embah, Embah Gabug. Aku dhewe seneng disebut Embah Gabug.
“Win ..., aku bener-bener tresna menyang kowe!” tembunge Agus ngrerepa menyang aku, ing pinggire Kali Kranji, sing ana samburine gedhong SGA, kira-kira jam telu sore sabubare sekolah. Mbuh wis pira wae Agus ngrerepa aku nganggo tembung tresna. Durung nate aku wangsulan saipit-ipita. Paling-paling mung mesem nglegani. Rasane abot lan angel arep wangsulan.
“Iya Gus ..., aku tresna kowe!” Nanging uga abot lan angel arep wangsulan, “Ora Gus ..., aku ora tresna kowe!”
Dak akoni seneng ngrungokake rerepane Agus, ora tau bosen, wang-sulanku panggah mesem. Sing kaya-kaya ndadekake penasarane Agus. Kaya-kaya Agus kepengin aku wangsulan iya apa ora. Wangsulan esem kaya-kaya durung ndadekake kemareman atine Agus. [ 389 ]Agus iki kanca sekolahku wiwit kelas 1 SGA. Wiwite kenal lagi acara Mapras (Masa Perkenalan Siswa). Wektu semono ing bengi penutupan, aku krasa sayah banget. Mangka wis jam 12 bengi, kos-kosanku rada ados saka sekolahan. Aku metu saka sekolahan metu lawang cedhak parkir sepedha. Bingung arep mulih karo sapa, arep mbecak ora nduwe dhuwit cukup, lagi mikir ngono ..., mak bedengus ana cowok nyedhaki aku.
“Arep kondur, apa Win?”
Lho, kok wis ngerti jenengku. Aku mung manthuk. Ndeleng klambine sing dinggo cowok kuwi uga isih kelas 1, kaya aku. Wong isih nganggo putih-putih, rambute dicukur semi plonthos.
“Aku, Agus ..., kelas 1A. Kowe Winarsih ta, sing atraksi pencak silat mau?”
Aku mung manthuk.
“Kos-kosane rak Karangkobar ta, kowe? Neng Gang I, aku neng Gang III, ayo yen kersa takterake. Iki wis bengi ..., ora patut cah wadon mlaku dhewe!”
Sidane bengi iku aku melu Agus mulih menyang kos-kosan. Aku dhewe kelairan desa Talagening, Bobotsari, Purbalingga. Agus kelairan Winduaji, Petuguran, Brebes.
Agus, kanggoku mujudake kanca sing apik. Wiwit kenal nganti nem sasi aku dadi siswa SGA akeh kawigatene marang aku. Rasa tresnane marang aku wiwitane kanthi ditulis ana ing majalah dhindhing arupa geguritan-geguritan. Suwe-suwe geguritan-geguritan sing cacahe ora kurang saka 15 lembar diwenehake aku sawijining esuk nalika mlaku bareng menyang sekolahan.
“Win, iki geguritan-geguritan mau,”
Aku uga manthuk lan mesem nglegani.
Geguritan-geguritan arupa tembung-tembung sing muja lan muji kembang mawar. Muja lan muji manuk kepodhang kang mencok ana telenging atine Agus. Sarta abure kupu kang kekitrang kepengin ngencup madune kembang pepujane. Aku pancen seneng maca geguritan-geguritan mau. Jane kepengin gawe geguritan kanggo ngimbangi geguritane Agus. Nanging saeba isinku yen nganti kanca-kanca ngerti sejatine Agus tresna marang aku.
“Njur kepriye yen kowe wis ngerti, Win, apa kowe ngimbangi tres-naku?”
Aku mung manthuk karo mesem. Kaya ngono wola-wali yen sabensaben ana kalodhangan sapatemon Agus mesthi ngomong, “aku tresna kowe Win!” Nganti kelas 2 SGA, Agus lan aku isih asring sapatemon, lan aku isih asring krungu, “aku tresna kowe, Win!” Sepisan wae aku ora tau ngomong “iya”, wangsulanku ajeg manthuk lan mesem.
“Win ..., aku bener-bener tresna marang kowe!” Tembunge Agus ngrerepa menyang aku, ing pinggire Kali Kranji, sing ana samburine [ 390 ]gedhong SGA, kira-kira jam telu sore sabubare sekolah. Sapatemon iku mujudake sapatemon kang pungkasan aku karo Agus. Dina candhane ana warta yen Agus tiwas amarga kacilakan bis nalika mulih menyang desa kelairane Winduaji, Petuguran, Brebes. Aku mung nangis nganti njendhul mripatku. Telung dina aku ora sekolah amarga turu ana omahe wong tuwane Agus, minangka tandha tresnaku.
Nalika kelas telu, aku duwe guru anyar nembe diangkat, tamatan IKIP Yogya. Asmane Pak Agus Dwi Asmara, B.A. Satleraman pasuryane meh kaya Agus. Bedane Agus almarhum rambute disisir nengen, bareng Pak Agus, guruku, remane disisir memburi. Pak Agus Dwi Asmara, B.A. ngasta Basa Jawa. Malah ndherek regu karawitan sing latihane saben Selasa sore. Wiwit kelas siji aku wis melu latihan karawitan, latihan tari Jawa, kajaba latihan pencak silat, ulah raga sing minangka hobiku. Aku lan Pak Agus dadi sering ketemu.
“Wiwin daleme pundi?” pitakone Pak Agus sawijining sore rampung latihan karawitan.
“Anu, Karangkobar, Gang I, Bapak dalemipun pundi?” wangsulanku dak wanek-wanekake.
“Ora ..., Kangmasku sing daleme uga Karangkobar, Gang I, tau crita jare omahe kanggo kos-kosan putri siswa SGA ..., apa sliramu?” ngendikane Pak Agus karo nyedhaki aku.
“Kasinggihan Pak .... Dados Bapak rayinipun Pak Agus Dwi Anggono, ta?
Pak Agus ora wangsulan mung manthuk lan mesem, satleraman eseme kaya eseme Agus almarhum.
“Bapak dalemipun pundi?” pitakonku sepisan meneh kepengin ngerti daleme Pak Agus. Pak Agus ora cepet wangsulan malah paningale tajem nyawang aku. Aku rada kacipuhan.
“Nuwun sewu, Bapak dalemipun pundi?” Midhanget pitakonku Pak Agus kaget.
“Oh , oh, ya ..., omahku, aku durung duwe omah, isih nunut numpang yayuku, ana ing Kalibenda, cedhak kreteg Kali Kranji,” karo ngendika panyawange Pak Agus isih tumuju marang awakku. Sore iku Pak Agus ngagem clana soklat, kemeja putih tipis, sandhalan jepit. Senengane yen latihan karawitan ngasta slenthem.
“Oh ..., dalemipun Ibu Agus Asmarani, guru SMP 3, kidul nika?”
“He-eh, iya ..., aku, Mas Gono lan Yayu Rani, tunggal bapa lan biyung,” ngono wangsulane Pak Agus karo mesem, lan wis ora nyawang aku maneh. Tumungkul, astane mbenakake krag kemejane sing rada mendhuwur sethithik.
Latihan karawitan sing dilatih Pak Darma, staf TU, lumaku kanthi rancag, meh saben seminggu sepisan, Selasa sore. Telung sasi ana ing [ 391 ]kelas 3, kanca-kanca sing latihan, kelebu sing kelas 1 lan kelas 2 wis padha lancar nuthuk gangsa sanajan mung Ladrang Puspa Warna lan Ladrang Asmarandana. AKu kadhang-kadhang ya nyekel kenong, mligine yen lagi srepegan lan sampak amarga sing kajibah nuthuk kenong bocah kelas 1 durung patia trampil.
Amarga akehe kegiatan, mbaka sethithik aku bisa nglunturake rasa pangrasa wewayangane almarhum Agus. Apa maneh bareng asring latihan karawitan bareng karo Pak Agus Dwi Asmara. Tumplaking panga-ngen-angen sarta rasa pangrasa amarga asring ketemu antarane aku lan Pak Agus nuwuhake prentuling rasa kang seje. Dudu rasa antarane murid lan guru, nanging rasa antarane priya lan wanita. Aku rumangsa, Pak Agus minangka gantine Agus almarhum. Pak Agus dhewe, rumangsa yen aku minangka gantine Dyah Winarni, kanca kuliyahe ana IKIP kang seda ketabrak bis nalika nyabrang prapatan Wirobrajan.
Acara pepisahan siswa SGA wiwit jam pitu wis katon regeng. Aula SGA sing ukurane 9 x 40 m, rinengga reroncen kekembangan maneka warna, antara liya saka Bupati, Kepala Insarpralub, saka SMA 01 lan 02 Kota, sing kabeh ngucapake selamat “Wisuda” Lulusan SGA angkatanku. SGA panggonanku sekolah mujudake sekolah sing kawentar, amarga asring ngenekake acara gebyar seni, ora mung ing kota nanging uga menyang njaban kota, malah tau sepisan oleh undhangan Panggung Seni ing Tokyo kanthi sponsor salah sijining pabrik sepedha montor ing Jepang.
Sadurunge acara puncak wisuda, wiwit jam 07.30 dianakake panggung seni sumbangan saka SD-SD sing kanggo praktek siswa SGA. Aku dhewe kang uga dadi pelatih tari ing SD 04 Soka, panggonane praktek, nampilake tari Turangga Seta karo Bandabaya.
Jam 09.00 acara wisuda siswa SGA lulusan angkatanku diwiwiti. Rencanane sing dadi MC Pak Agus, nanging nganti jam sanga kurang limang menit, Pak Agus durung katon, banjur sing dadi MC Bu Aminah, guru BP. Aku olehe thingak-thinguk nggoleki Pak Agus nganti gulune ngelu.
“Gek ana apa, Pak Agus durung katon, mangka wingi ngendika yen arep tindak gasik ...?” ngono batinku wiwit goreh.
Acara sepisan, pembukaan, nomer loro sambutan saka Pak Bupati sing kepareng rawuh.
“Donyaning pendhidhikan iki banget pentinge tumrap panguripan. Awit saka iku, aku mung weling menyang para lulusan SGA, supaya besuk dadiya guru sing dhisiplin, bisa ditiru lan dituladhani dening muride. Aja kendhat anggone sinau, olehe nambah kawruh. Ngertiya, guru iku tugas sing mulya. Sapa wonge sing dadi pemimpin donya iki [ 392 ]ora diwulang dening guru dhisik? Mligine guru SD. Guru iku sumbering ilmu, moral dan budi daya ...!”
Rampung pidhato Pak Bupati, olehe sing keplok ambata rubuh. Malah dening MC, Bu Aminah, Pak Bupati langsung supaya kepareng misuda para lulusan SGA. Rampung wisuda diselingi hiburan Tari Gambir Anom. Rampung tari, ndonga, dipimpin dening Pak Drs. Sumrah, guru agama SGA.
“Saderengipun adicara dipuntutup, keparenga kula ngaturaken warta dhuhkita keluwarga ageng SGA!” Para undhangan lan para siswa padha cingak lan padha meneng kabeh nalika Bu Aminah maca pengumuman. Olehe maca meh ora sida, amarga Bu Aminah mewek-mewek arep nangis.
“Inggih menika ..., Pak Agus sampun seda ..., amargi nalika badhe tindak dhateng sekolah sepedhanipun dipun tabrak trek, wonten celak Pasar Wage, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!”
Swasana ing SGA Kota dadi geger, meh kabeh murid padha nangis, mligine murid-murid putri. Sebab, Pak Agus, kejaba guru mudha, uga disenengi murid-muride, apik olehe mulang lan gampang ditampa. Jan meh oga gampang nesu.
Aku dhewe, krungu kabar iku langsung ora eling apa-apa. Pande-lengku dadi kepyur-kepyur, kuning-kuning, kunang-kunang, terus makpet, peteng, semaput. Ngerti-ngerti wis ana ing kamar omah kos-kosanku, Karangkobar.
Sawise diangkat dadi guru SD, aku langsung kuliyah ana ing IKIP swasta sing kuliyahe sore. Telung taun lulus sarmud. Arep kuliyah sarjana (S1), ing kuthaku durung ana, mula aku kuliyah ana ing Jogja, sing kuliyahe saben Setu sore lan Ahad esuk. Wewayangane Pak Agus saya dina saya tipis, malah bisa diarani ilang nalika aku ketemu karo Pak Agus Djatmiko, salah sijine dhosen swasta.
“Bu ..., piye nek Bu Wiwin dadi bojoku?” pitakon mau wis liwat sapatemon kang mbuh wis ping pira. Pungkasane aku gelem dadi sisihane Pak Agus Djatmiko, sing wektu semono dhudha pegat. Pak Agus Djatmiko iki asli Muntilan dadi salah sijine dhosen Kopertis ing kuthaku. Sadurunge aku gelem dadi sisihane, Pak Agus Djatmika nanting aku, “Win ..., kowe gelem nampa aku apa anane?”
“Ehe, iya ..., Mas. Aku bisa nampa Mas Agus apa anane!”
Aku banjur dirangkul, kenceng, kenceng banget. Mangka wektu semono lagi sapatemon ana ing sawijining terminal bis. Nyatane nganti umurku sewidak taun, aku bisa urip bebarengan karo Pak Agus, dhudha pegat amarga ditinggal slingkuh karo rewange, sing luwih enom lan luwih nggantheng, tinimbang Pak, eh, Mas Agus Djatmiko, senajan mung sopire tilas bojone. Sing cetha, tumeka aku pensiun, Mas Agus malah durung [ 393 ]pensiun. Mas Agus Djatmiko seda nalika umurku 65 taun. Ora diparingi dening Gusti Allah turun, anak. Ora liya amarga aku lan Mas Agus senajan wis bebojoan tetep prawan lan jaka. Mligine Mas Agus Djatmiko ora kuwawa ngambah suwarganing donya.
“Embah Gabug, Embah Gabug, Embah Gabug?” kandhane bocah wadon kelas 5, anake tanggaku, tangane acung-acung menyang arahe bakul bakso, Jalan Masjid, langgananku. Bocah sing wis dak anggep putuku dhewe iki, seneng banget menyang bakso.*
Djaka Lodang, No. 52, 29 Mei 2010
Wis telung dina iki pelukis Ambrusius nginep ing Venesia. Kutha teluk sing dibangun ing sandhuwuring banyu segara, kang dadi salah sawijining pangeram-eram saka jaman Romawi. Kejaba kepengin nglukis sesawangan teluk kang endah, lan bangunan-bangunan ngemu sejarah, Ambrusius uga kepengin ndherek misa ing Minggu ing greja tuwa, kang omah loncenge kanggo nyusuh atusan manuk dara.
Ambrusius lagi wae ngrampungake gambar sketsa greja tuwa Venesia iku, nalika ana prawan rambut brintik ngajak mesem, karo mundhuk-mundhuk nyedhak ing sisihe Ambrusius.
“Kangmas saking Indonesia?” pitakone mau grapyak, nganggo bahasa Indonesia logat Maluku.
“Kok Diajeng, priksa?” pitakone Ambrusius.
“Nitik saking lambang garuda ing topi baret panjenengan.”
Ambrusius mesem. Pancen topi baret ireng kang dipasangi lambang manuk garuda, iku prasasat dadi seragam wajiben, saben-saben Ambru-sius lunga menyang njaban rangkah. Uga emblem abang putih kang cumanthel ing gulon klambine kang rada lungset.
“Kula ugi saking Indonesia, Kangmas! Kula Frederika Tahitoe! Asma Kangmas, sinten?”
“Ambrusius Daryinta! Kula saking Ngayogya, Jeng Rika?”
“Oh, saking kitha gudheg! Kula saking Maluku, Mas. Wetawis enem kilo meter saking kitha Ambon.”
“Jeng Rika rawuh minangka turis?”
“Boten! Sampun meh kalih taun Rika nyambut damel wonten mriki. Jagi kafe alit kagunganipun paman. Punika lho, kafe sakcelakipun dhermaga prahu gondhola, ingkang tendhanipun ijem.”
“Ingkang celak toko souvenir?”
“Leres! Mangga ta, Mas Ambrus mampir! Nglukisipun rak sampun rampung, ta? Mangke dalu malem Minggu, lho!”
“Nanging kula mboten ngopi, Jeng Rika!” [ 395 ]“Sampun kuwatos! Mangke Rika aturi the nasgithel, karemanipun priyayi Jogja. Gratis! Rika remen sanget, pinanggih sedherek satanah wutah rah, Mas.”
“Wadhuh, sampun tigang dinten kula mboten nyruput teh, Jeng. Kaleresan!”
Wong sakloron banjur mlaku runtung-runtung tumuju kafe. Manuk-manuk dara pating bleber, sajak melu sigrak mrepegi rembulan kang arep ndhadhari. Angin teluk Venesia tumiyup rada banter, nyempyokake rasa kekes ing awak. Perahu-perahu godhola katon padha lunjak-lunjak katiup ombak segara. Srengenge wis angslup, ing wayah sore sing langite abang mbranang.
“Jam pinten kafe Jeng Rika, tutup?”
“Menawi malem Minggu ngaten wetawis jam sanga, Mas Ambrus. Dinten biasa jam pitu. Amargi sasampunipun jam pitu, teluk menika sepi. Kejawi setunggal kalih tiyang ingkang sami mancing.”
“Jeng Rika sare wonten kafe?”
“Dalu menika inggih! Kaleres paman mboten saget mapag. Kejawi menika Rika ugi badhe ndherek missa wonten greja antik menika.”
“Sampun dangu Jeng Rika bikak kafe?”
“Dereng setunggal taun! Paman bikak kafe supados Rika gadhah kesibukan. Mboten nglangut kemutan papi, mami, lan adhik Rika ingkang sampun mboten wonten. Dados korban ontran-ontran ing Maluku, Mas Ambrus.”
Ambrusius kaget. Nanging Rika wis kebajut njranthal, age-age mbu-kak pintu kafe, banjur nyeret kursi penjalin loro. Sawise ngacarani Ambru-sius supaya lungguh, Rika banjur upleg nyiapke teh nasgithel.
“Mas Ambrus sare wonten pundi? Wonten teluk riki, punapa wonten Hotel Siranda ing dharat?” pitakone Rika karo ngladekake teh, lan banjur lungguh adu arep karo Ambrusius.
“Wonten penginepan alit celak pabrik gelas tiup, objek wisata Venesia punika lho, Jeng.”
“Oh, punika pancen penginepan para seniman, Mas! Kacriyos William Skakespeare ingkang ngarang buku Sudagar Venesia, nate nginep wonten riku.”
“Nyuwun sewu Jeng! Dados papi, mami, lan adhik Jeng Rika, punika sami dados kurban prastawa Maluku?” Frederika Tahitoe sanalika ndhingkluk.
“Sorry Jeng! Menawi kula ngungkat-ungkat ingkang sampun keda-dosan!”
“Boten menapa, Mas! Nanging tehipun enggal dipun unjuk. Katiup angin teluk Venesia, mangke cepet adhem.”
Ambrusius nyruput teh saclegukan. Banjur ngetokake rokok, kepengin kebal-kebul kaya padatan. [ 396 ]“Papi Rika seda, jangganipun katigas samurai, Mas! Mami seda dipun ideg-ideg, sasampunipun dipun cecamah rame-rame. Dene adhik Rika seda dipun tembak. Karana sampun lola, Rika lajeng ndherek paman ingkang sampun dangu migrasi dhateng Itali.”
Ambrusius njegreg, melu trenyuh.
“Kenging menapa sesami umat ingkang gadhah keyakinan agami kok saget udreg-udregan, ngantos nimbulaken banjir rah, Mas Ambrus? Malah wonten ingkang merjaya sesami.”
“Gusti Ingkang Maha Asih tamtu mboten nate paring prentah kados mekaten, Jeng Rika.”
“Kenging menapa tiyang ingkang benten agami gampil predondi, Mas Ambrus?”
“Amargi umumipun tiyang menika gadhah sikap fanatik. Saengga gampil mitenah, lan kirang saget ngurmati keyakinan tiyang sanes.”
“Kenging punapa tiyang gampil fanatik, Mas Ambrus?”
“Amargi sikap dogmatis! Kathah tiyang anggenipun nampi ajaran agami naming dipun leg mentah-mentah, tanpa kamenepaken wonten salebeting batos, tanpa linambaran sikap kritis, Jeng Rika.”
“Kenging punapa tiyang menika gampil nggadhahi sikap dogmatis?”
“Karane kirang pendhidhikan, Jeng Rika.”
“Nanging kok kathah tokoh agama ingkang pendhidhikanipun inggil, malah dados provokator ing prastawa Maluku?”
“Tiyang ingkang pendhidhikanipun inggil punika dereng tamtu pinter, punapa malih wicaksana, Jeng Rika. Kejawi punika, sedaya tiyang kasinungan nafsu lan ego, ingkang mboten gampil dipun kendhalekaken!”
Frederika Tahitoe unjal ambegan. Ambrusius nyruput teh, banjur ngebulake asep rokok. Saka sawijining toko souvenir, swaraning lagu-lagu klasik lamat-lamat ngumandhang.
“Dalu punika Mas Ambrus taksih sare wonten riki?”
Lho, inggih. Kula kepengin ndherek misa wonten riki, Jeng.”
“Menawi mekaten kita sesarengan, Mas! Supados Rika boten keranta-ranta, tebih saking tanah wutah rah.”
“Jam pinten kula papag, Jeng?”
“Prayoginipun sampun ngantos kesiangan, Mas. Mindhak boten pikantuk kursi. Grejanipun namung alit.”
“Sauger Jeng Rika janji, badhe ndherek misa kanthi raos pasrah ing Ngarsa Dalem Gusti. Boten tansah emut ingkang sampun kapundhut.”
“Mugi-mugi, Mas!” wangsulane Rika karo nganpet tumetesing luh.
Pelukis Ambrusius nggecek tegesan rokok ing asbak, karo unjal ambegan. Mripate melu kembeng-kembeng, nalika nyumurupi prawan kurban ontran-ontran kang kabuncang tekan Venesia iku, pranyata ora bisa nahan runtuhing luh. [ 397 ]Angin teluk tumiyup tansaya kekes, bareng swara gebyar-gebyuring ombak segara nabraki tembok dhermaga. Ing brang wetan langit katon semburat kuning, pratandha rembulan arep ndhadhari.
Ambrusius nyawang tanpa kedhep, nalika ana prawan Itali loro mlebu menyang kafe. Pawakane dhuwur-dhuwur, nganggo clana jean wates dhengkul. Dhadhane mentheg-mentheg kabuntel kaos rada ngampret. Frederika Tahitoe age-age mrepegi tamune, karo mesem, senadyan mripate isih katon mbrabakabang.*
Djaka Lodang, No. 01, 5 Juni 2010
Mulih saka rewang nggone Lik Ijah, Yu Sarinem nyalini sega iber-iber karo gumremeng. “Wah, le ewuh dikayang lho Pakne, sing nyumbang akeh banget, wong olehe nyebar ulem ya pol.”
Karja, bojone sing lagi saka sawah, mangsuli, “O, lha ya lumrah ta mbokne, wong marung jega jangan luwih maprah-maprah, lengganane sing jajan ya akeh, dadi ya ora mokal yen sing nyumbang akeh.”
“Kowe kuwi jare rewang, kok wis mulih mbokne?”
“We lha...iki apa, dikon ngulihi sega (iber-iber) sing padha rewang. Kene, kowe ki gek madhang pisan pakne, wong aku ya njur arep bali,” kandhane Yu sarinem. Sawise njupukake ajang bojone, Sarinem njur gage bali rewang neng nggone Lik Ijah sing supitan.
Iah mono randha enom, biye bojone guru SD, ngajal telung taun kepungkur, jarene dhokter gagal ginjal. Ditinggali anak lanang siji lulus SD sing saiki disupitake. Wiwit isih sing lanang biyen, Ijah ora mung seneng dadi wadon sing bisane mung nyadhong bojo, ning ubet, emoh nganggur. Anak cilik disambi-sambi bakulan gula teh lan kebutuhan pawon didhep ana ngomah. Bareng anake wis rada gedhe, banjur reka-reka dodol bubur, sega jangan pendhak esuk, sing jebulane laris. Saiki wis randha, apa maneh, rumangsa tanggung jawab dhewe marang anake, ya senajan ditinggali pensiyun, ning nyambut gawene saya sengkut.
Dhasar omahe ngadhepke dalan gedhe, mula ora tanggung-tanggung olehe marung sega digedhekake. Saiki yasa bangku-bangku dawa lan lincak dawa sedhiyan kanggo wong jajan sing ngiras ana kono. Saiki dagangane tambah wedang, ya teh, ya kopi, ya jjeruk. Semono uga lawuhe ana endhog, iwak pitik, iwak banyu, ngolahe uga pirang-pirang werna.
Warunge Ijah dadi laris lan kondhang merga masakane mirasa, dhasar sing dodol ulate bening lan grapyak sumanak. Saiki sing jajan kebak-kebak, uga banjur dadi ndheg-ndhegane para sopir sing kepingin ngisi weteng. Ing ngarep warung jentrek mobil sing diparkir.
Warunge ijah terkenal kanthi sebutan “Mbok Randha”. Sebutan mau, Ijah dhewe ora ngerti. Ijah tansah mbudi daya gawe enak lan kepenake [ 399 ]sing padha langganan jajan. Malah sing wis kulina, ngebon wae ya dilayani kanthi apa mesthine. Esthining ati ben warunge tetep rame saka akeh lenganane. Bathi sithik, ning lancer. Yen jam pitu bengi tutup, kena dipesthekake yen dagangane entek. Ijah ndelokke uripe Yu Sariyem sing anake lagi sumega kuwi krasa welas, mula nalika esuk tuku bubur ditakoni karo Ijah, “Esuk iki kongkon uwong ora Dhe?”
“Esuk iki durung ana wong kongkpon gaweyan,” wangsulane Sarinem blaka.
“Ana apa ta, Lik Ijah?” Sarinem nerang.
“Ngene lho, Dhe, nek sampeyan ki gelem, mbok ngrewangi aku wae. Ning ya kuwi saka esuk tekan sore tutup.”
“Mengko manganmu sabrayat ana kene, kaya nek jajan ngiras kae. Deene, sasene mengko isih takrukun sedina limang ewu. Ya mung sithik, Dhe. Ning sampeyan rak wis ra mikir laden. Dhe Karya lan anak-anakmu piye?”
“Yan gene Lik Jah, aku takrembugan dhisik karo bapakne. Nek aku mono gelem lan seneng wae. Manehe, nek aku sabrayat wis mbok ingoni, dhuwit entuke buruh-buruh bapakne rak kena kanggo tuku apa-apa,” kandhane Sarinem bungah.
“Ya wis ngono wae ya dhe, nek dhe Karya entuk, ya terus wae rene nyambut gawe.” Sarinem mulih kanthi ati bungah, dhasare ngerti aten-atene ijah sing apikan, polos, lan lugu.
Bardi, najan mung anak lanang siji ning didhidhik nyambut gawe ngrewangi karepotane embokne. Warunge Ijah saya rame, apa maneh bareng saiki sarinem ngrewangi ana kono, panganan camilan tambah pepak kayata: mendhoan, tahu susur, combro, cemplon, klenyem, lan isih ana maneh.
Saiki gaweane Ijah mundhak entheng, tur ngingoni wong sabrayat ya ora krasa. Sasat mung katut kono, tur isih entuk bathi akeh. Jare ya pancen ngono kuwi wong bakul ratengan, kepepete ora entek (wudhu) ning marahi lemu. Lengganan sopir-sopir akeh sing esuk sore ajeg andhok ana kono. Kejaba enak, sinambi ngresepi awangan endah, ya bakule si randha kempling sing sumanak murah esem.
Ing antarane sopir-sopir iku ana sing getol tenan nyedhaki ijah kepara mepeti. Sardula jenenge. Dheweke juragan dhele sing yen setor nganti kwintal-kwintalan. Kerep banget warunge Ijah ditinggali, jare dikon nggawe peyek supaya dagangane luwih pepak. Sakawit, Ijah ya mung seneng wae lan ora lali matur nuwun awit ngerti nyatane paweweh mau rak mung ora mingsra, tumrape juragan, sing dagangan akeh lan gedhe.
Kejaba kuwi, Pak Sardula ya tetep nukokake oleh-oleh rupa buah-buahan. Jare kanggo bardi, anake. Saking kerepe, Ijah sok rumangsa kewuhan, kaya kepotangan budi. Mula, kanggo males, Ijah tetep [ 400 ]mbungkusake lawuh-lawuh kanggo ngomah keluwargane Pak Sardula. Olehe menehake karo kandha.
“Iki Mas, tahu tempe lan rempela bacem kanggo lawuh mbakyu lan bocah-bocah neng ndalem.”
“Mbak wis ta dhik Ijah ora sah. Ngomah ray a wis gawe lawuh,” wangsulane Sardula rekane arep nolak. Ning Ijah semu meksa.
Awit wong kuwi yen mung seneng terus diwenehi ketoke kok saru. E, yak ala wanci gentenan ngewehi. Dadi, neng ati rasane penak, jeneng ora banget kedunungan. Sardula saya krasan andhok ing warunge Ijah, rasane kok kaya wis dianggep batih. Emane, sikape Ijah sing nyumadulur njalari ati lanange Sardula sing pamncen thukmis iku kumat. Kerep wae Sardula clometan guyon parikena, ning Ijah ora nggape lan ya ora krasa. Tangkepe tetep apik lan sumanak kayadene marang para kabeh langganan sing andhok ing warunge.
Wancine wis jam pitu kliwat. Mbokdhe sarinem rampung asah-asah njur pamit mulih. Dina iku dagangane laris klaretan lan Ijah ya wis kesel. Rekane arep tutup warung. Mung wae ing njaba keprungu panggerenge trek mandheg. Batine Ijah ora seneng. “Ah… yah mene arep ngapa, wong ya wis ra duwe apa-apa, panganan wis entek guris.”
Tanpa kula nuwun, wong sing seka njaba mlebu. Ijah rada kaget ning ya mung sedhela bareng ngerti yen Sardula.
“Wis ora duwe apa-apa kok, Mas, entek-entekan. Iki aku malah wis arep tutup,” sing dijak omong malah mapan lungguh karo ngguyu mlengeh.
“Beneran, dhik, yen arep tutup, aku takleren neng kene sedhela. Entek panganane ya ra papa, janji isih sing duwe warung. Jajan larang ya ra papa, peneran dina iki aku nggawa dhuwit akeh...iki dhik...nya!”
Karo ngulungake dhuwit, tangane kiwa sempat njawil janggute Ijah. Ijah kaget mundur karo kandha, “Dhuwit apa kuwi, Mas?”
“Ya dhuwit tenant a, dhik. Wis kuwi peken kabeh, ning aku...”
Sardula nyedhak karo arep ngrangkul Ijah. Tangane diduwa kasar, nglungani karo kandha, “Sampeyan arep ngapa Mas? aku dudu wanita lanyah, sing doyan dhuwit, soroh awak lan ajine dhiri. Aku golek dhuwit srana bebakulan bukak warung.” Krungu tembung pedhes kaya ngono mau, Sardula ora gigrik, ning malah nubruk Ijah njur diruket kenceng.
Ijah kaget kepati, ora kejarag mbengok ngundang anake, “Bardi..Bardi... iki Le, simbok tulungana. Bardi sing lagi sinau, krungu panjelihe embokne semparet mlayu marani. Weruh embokne udreg-udregan dikekep wong lanang, Bardi bengok-bengok ngundang Pak Dhe Sura lan Lik Siman sing omahe kulon lan wetane warunge Ijah. Wong loro sing tekane mlayu isih krenggosan, ning Sardula wis ngeculake mangsane sing bangga, lungguh dhelog-dhelog ing dhingklik. Dene Ijah wis ana pojok warung cedhak anake. Cahyane pucet, kringete gumrobyos. [ 401 ]Weruh wong dha teka sing arep tetulung, Ijah bali kekuwatane banjur theng-thengan karo nuding-nuding Sardula tembunge, “Niku ta Kang Sura, Lik Siman! tiyamng niku ajeng ngrudhappeksa kula, ajeng seneng, ning kula mboten purun. Niku mang takoni wonge?” krungu Lik Ijah nyenthe-nyenthe, regudug wong padha teka ing warunge, saya nambahi Sardula kepojok lan ora wani obah.
“Inggih napa, Pak?” pitakone Pak Sura lan Lik Siman meh bareng.
Disekseni wong akeh, Sardula manthuk karo mamngsuli lirih, “Enggih.” Pak Sura numpangi gunem, “Ha sakniki pripun? Samppeyan kleru lan luput.
“Inggih kula nyuwun pangapunten kalih Dhik Ijah, lan kula janji boten badhe tumindak malih,” sumaguhe Sardula.
Pak Sura ganti ngawasake Ijah karo takon, “Piye sampeyan, Lik Ijah?”
“Inggih, kula apura Dhe Sura, Kula ajeng ngomong sakedhik kalih Pak Sardula niku.”
“He, Pak Sardula, wong wadon niku ampun digebyah-uyah, sing padha asine. Wong niku watake beda-beda. Kados kula niku randha...ning kula boten wong gampangan kapilut dhuwit soroh raga. Kula sanes wanita sing kendho tapihe. Kula boten purun disewa, dituku, saudhon, saurupan kados barang. Jeneng sampeyan mpun ngarani Sardula sing tegese macan. Ning sampeyan ampun galak kalih wong wadon sing dudu wajibe. Pripun nek sampeyan ganti jeneng mawon kajenge boten galak kados macan.nek kalih wong wedok?” kandhane Ijah teteh. Wong-wong sing krungu padha ngguyu pating cekikik. Sardula ndhungkluk isin.
Ora ngira babar pisan yen sore wengi iku dheweke bakal kewirangan ana ing warunge Lik Ijah. Randha kempling sing ketoke lomah-lemeh, mersanak, murah esem iku jebul wingit, galak, lan giras, ora gampang dicekel.
Salawase iki durung tau Sardula methuki wadon sing bakuh lan kukuh kaya tugu wsi. Racake wong wadon, luwih-luwih sing kekurangan, semrinthil yen dietek-eteki dhuwit atakan senajan lirune masrahake aji-ning dhiri. Mangka wong lanang mono nganti kena dienggo tetembungan sing unine, “ Keh-akehe wong lanang gedhe gorohe,” senajan iku mung mujudake tetembungan, ning kena digerba yen akeh kakung sing seneng goroh tinimbang putri.
Sardula isih ndhingkluk dirubung wong akeh, banget anggone isin lan kewirangan. Let sedhela Pak Sura kandha, “Wis ngene wae Pak Sar-dula, sampeyan njaluk digawa, dilapurake polisi, apa njaluk diajar wong semene iki.”
Krungu pitakon iku, Sardula mlorot lungguhe saka ndhingkluk neng jogan ketok yen wedi banget, karo nyembah-nyembah dheweke kandha, “Ampun Pak, ampun Mas, ampun sedaya mawon lan ugi Dhik Ijah, kula [ 402 ]estu kapok boten badhe malih-malih, kula nyuwun pangapunten. Weruh patrape Sardula sing mlupuh-mlupuh njaluk pangapura mau, wong-wong sing mau pating cekikik njur meneng, ganti thukul welase. Kabeh isih meneng wae. Wusana Pak Sura kandha, “Yoh, Pak Sardula, kowe takapura ora taklaporaake polisi lan ya ora takpulasara. Ning kowe kudu nulis surat lan janji disekseni wong semene iki, yen ora bakal tak baleni.”
“Enggih,..enggih,..Pak,” wangsulane sardula kedher.
Pak Sura ngulungi kertas salembar dikon nulis lan tandha tangan. Bubar iku banjur wong-wong kabeh sing nyekseni. Sawise rampung, klunuh-klunuh Sardula dikon metu saka warung, marani truke kebak ing rasa wirang.
Djaka Lodang, No. 35, 30 Januari 2010
Sapa wonge sing ora marem. Ing wektu aku nyedhaki mangsa pensiun, anak telu wis cemanthol kabeh. Tegese, wis padha nyambut gawe maton. Arepa mung trima dadi PNS sing gajine pas-pasan. Ning rak kena dicakot-cakot alot. Tegese, kena dinikmati nganti tuwa. Lan sing luwih agawe marem, bocah telu kuwi mbiyen mlebune PNS kanthi liwat seleksi murni. Tegese, ngganggo tes tanpa ndadak nganggo nyogok. Ora umuk, anakku cacah telu najan kabeh wadon nanging utege encer-encer.
Mbarepe, si Retno, dadi guru SMP. Wis omah-omah lan duwe anak siji. Dhinese neng tangga kecamatan. Nanging ya klebu cedhak wae. Mula mangkat mulih dhines nglajo. Ya anakku mbarep iki sing bakal takkon mbangkoni omah sing saiki dak enggone sakluwarga. Dadi ora perlu yasa omah dhewe.
Sing nomer loro, Sita, dadi staf pengajar ing LP-MBK Malang. Ing kene ketemu jodhone, padha-padha staf pengajar. Pinaringan anak siji lan banjur yasa omah dhewe ana dhaerah Sukun cedhak maratuwane.
Lha sing ragil, si Intan Pramesti, sing sanajan uga wis nyambut gawe, nanging durung ketemu jodhone. Kamangka yen dibandhing karo mbakyu-mbakyune, rupane paling ayu, gek ya paling pinter. Jane ora kok ora payu. Wong ya bola-bali pacaran. Mbok manawa merga durung jodhone, saenggo anggone pacaran pijer pedhot.
“Ngapa ta In, kok kowe ki pijer gonta-ganti pacar? Risi aku ngru-ngokake rerasanane tangga,” panyendhuku nalika anggone pacaran putus maneh.
“Witikna pancen dereng cocog, dospundi malih? Tinimbang putus sasampunipun resmi jejodhowan rak aluwung putus sakmenika,” wangsulane dheplomatis. Aku ora bisa ngunggahi.
Durung paja-paja entuk jodho, dadak mara-mara sawijining wektu kandha yen arep njupuk perumahan.
“Bikakan enggal, Pak. Gek kalebet mirah. Nggih najan radi mlebet ning celak kitha. Celak kaliyan papan dhines kula,” ujare aweh katrangan. [ 404 ]“Kowe ki jan aneh kok, In. Bojo wae durung duwe, kok malah mikir arep njupuk perumahan,” pamaidoku.
“Ah, Bapak. Pados bojo niku gampil. Sing rekaos niku pados jodho. Nggih kaliyan ngrantos angsal jodho, yasa griya rumiyin rak mboten napanapa,” maneh-maneh ujare dheplomatis.
Aku lan ibune kapeksa nuruti kekarepane. Sarta saguh mbiyantu uang muka-ne. Dene rencanane, cicilane nganti lunas sumadya ditanggung Intan dhewe. Sawise entuk pasarujukanku, Intan wiwit ngurus pendhaftarane, milih lokasi lan pungkasan ngurus transaksi neng BTN. Let sesasi, perumahane wiwit dibangun. Manggon neng Blok F, Nomer 7. Rong sasi candhake omah kasebut wis dadi. Cilik, prasaja nanging cekli.
Nah, ya sawise perumahane Intan dadi iki, aku njur kerep turu neng kene. Rasane ora mentala ngejarake omah iku teurs-terusan suwung. Sauntara Intan dhewe durung saguh manggoni yen isih ijen. Njur nganti kapan? Lha iki, sing gawe kodhengku. Mung aku pracaya banget marang kaagungan lan adiling Gusti Allah. Pokoke, sing jenenge jodho, pati, lan rejeki iku pancen urusane Gusti. Embuh kapan kono, Intan mesthi ketemu jodhone.
Nalika anyaran nunggoni omahe Intan, rasane sepi. Kajabe sepi, kapeksa ndhudha, uga merga durung duwe tangga. Jeneh, najan omahe akeh sing wis rampung dibangun lan antarane omah siji lan sijine empetempetan tunggal tembok, ning durung kabeh dienggoni. Tegese isih suwung. Malah akeh wae sing rampunge luwih dhisik ya tetep suwung. Jebul jare Pak Gito, penjaga malam, kuwi duweke wong sugih-sugih sing niyat dienggo investasi, dienggo dagangan. Njur lokasine perumahan sing kepara mlebu rada adoh karo ratan gedhe, nambahi swasana sansaya samun.
Ning suwe-suwe aku kok ya krasan. Nek maune anggonku turu neng kene mung seminggu kaping pindho, lan padatan esuk umun-umun wis mulih merga kudu dhines, sawise aku pensiun malih meh saben bengi. Mulihku sok-sok ya awan. Malah tau ndina, tegese ora mulih. Nah, ya wektu iku aku nrenjuhi kahanan sing dakrasa aneh.
Wektu kuwi aku kebeneran ngepel jobin teras. Wayahe kira-kira jam sanga esuk. Lagi asyik, ndadak dikagetake swara montor. Spontan aku ngawasake. Jebul sing numpak saweneh remaja lanang wadon kirakira umur 18 taun apa 20 taun ngono. Najan mung sabrebetan, jaragan ora padha nganggo helem, aku bisa niteni rupane. Bocahe lanang pawakan krempeng, rambute brintik. Dene wadone kulit kuning, semog, rambute lurus ngrembyak sabahu, rupane ayu. Sing dijujug omah blok E, nomer 13. Yen karo omahe Intan neng Blok F, nomer 7 iki, prenahe ing sebrang gang, kepering ngiwa. Najan rada adoh, ning ya isih cetha nalika nom-noman kasebut markir montore neng teras, mbukak lawang lan banjur mlebu ngomah. [ 405 ]Sakwit aku ngira, bocah kasebut kakang adhi, anake sing nduweni omah. Dadi aku ya ora sujana. Aku mbacutake anggonku ngepel nganti rampung lan ora nggatekake maneh. Nembe watara sak jam, kalane aku lagi sarapan mie instan neng ruwang tengah, lagi bocah loro kasebut ninggalake omah.
Dadak let telung dina, wayahe uga jam sanga esuk. Wektu semana aku lagi nyapu njrambah. Ana sepedha montor meneh mlebu gang ngarep omah. Sing numpak remaja lanang wadon. Aku isih eling, bocahe wadon ya sing wingenane kae. Aku titen awake sing semog, kuning ayu lan rambute sing ngrembyak sebahu. Dene bocahe lanang seje. Sing iki wis rada diwasa. Tegese ora klebu remaja maneh.
Kaya wingenane, sing dijujug uga omah ing gang E nomer 13. Sawise njagang montore, uga banjur mbukak lawang lan mlebu ngomah. Sajroning sajam iku padha ngapa, aku ora ngerti. Mung pangiraku sakawit manawa bocah kasebut kakang adhi, wiwit luntur. Malah tuwuh sujanaku. Aja-aja bocah kasebut tumindak ora nggenah? Rak jaman saiki kerep kadadeyan bocah umur SMA dha ngompreng?
Rasa sujanaku tak lairake marang Pak Gito, penjaga malam. Ngepasi aku sanja menyang omahe saperlu mbayar iuran keamanan.
“Pak Git, nuwun sewu. Griya Blok E/13, ngajeng kula nika kagungane sinten?”
“O, nika. Nek mboten kitu kagunganipun tiyang Sendang. Ning saemut kula dikontrakaken. Ning duka kok ngantos sepriki dereng dienggeni,” wangsulane Pak Gito. Banjur pitakon, “Enten napa, Pak?”
Aku mesem. “Ah, mboten enten napa-napa. Namung anu ..., salebeting seminggu niki kok kula ngonangi enten lare umur-umuran SMA sajodho mlebet ngriku watawis jam sanga enjing,” aku aweh katrangan.
“Mbokmanawi yogane sing ngontrak kalih kancane?”
“Saged ugi. Ning wong lare jaler estri, gek teng lebet ngantos dangu. Kula kuwatos gek-gek tumindak mboten nggenah.”
Pak Gito katon kuwatir. Arep kepriye-kepriyea wae, keamanan ing kompleks perumahan kene rak dadi tanggung jawabe. Kalebu aja nganti ana tumindak maksiyat sing bisa ngucemake citrane perumahan.
“Matur nuwun wartanipun, Pak. Kula badhe nyobi nylidhiki,” ujare Pak Gito.
Pak Gito iku sejatine dudu warga perumahan. Omahe neng kampung, kaprenah sabrang dalan kang nyidhat antarane kampung lan perumahan. Wonge wis setengah tuwa, ning isih katon kiyeng. Ora maido, tarah pakaryan pokoke minangka tukang becak. Uripe rada sekeng. Ya jalaran kuwi, dening Pak Erwandi, pemboronge perumahan iki, dipasrahi mi-nangka jaga malem. Maune gajine dibayar dening perusahaan. Ning sabanjure dijalukake iuran warga perumahan. Minangka jaga malem, [ 406 ]pancen tugase sing ajeg ya wayah wengi. Yen awan mbecak. Ora aneh yen ora mangerteni apa sing dumadi ing perumahan ing wanci awan.
Minggu iki aku ora turu neng perumahan. Awit ana tanggaku caket sing duwe gawe lan aku dijaluki tulung supaya rewang. Dadine meh seminggu omahe Intan tak suwungake. Marang Pak Gito aku meling supaya yen bengi lampune teras diurubake. Kunci lawang ngarep dak titipake marang dheweke.
Dina Jemuah sore aku bali menyang perumahan maneh.
“Pak Gito, pun siyos nylidhiki griya ngajeng kula?” pitakontku ma-rang Pak Gito nalika aku njupuk kunci.
“Wadhuh, sepuntene, Pak. Dereng kober. Lha dos pundi, bidhal enjing wangsul sonten. Nanging wanci dalu nate kula inguk. Mboten enten napa-napa. Griya kasebat ajeg petengan,” wangsulane Pak Gito nglumohi kaluputane.
“Mboten napa-napa, Pak. Nggih mugi-mugi sujana kula sadangune niki lepat,” tumanggapku. Aku banjur bali menyang perumahan sawise nampa kunci.
Sadurunge mbukak lawang, aku nliti omah nomer E/13 kuwi. Nyoba nginjen menjero liwat cendhela. Nanging ora katon apa-apa wong ka-lingan slambu. Liwat bolongan kunci ya tetep ora katon apa-apa. Sing katon mung peteng. Sidane omah kasebut tak tinggal. Aku bali menyang omahe Intan sing dak tunggu. Sawise mbukak lawang, lampu enggal tak urubke. Jero omah dadi padhang.
Dina sesuke, nalika swasana perumahan wis sepi, aku mbaleni omah sing dak sujanani kuwi. Nginjen saka cendhela kepalang slambu, sidane nginjen bolongan kunci. Najan mung remeng-remeng, nanging mripatku wis bisa ndeleng. Ora beda karo omahe Intan, sing katon ya ruwang tamu sing ciyut. Ruwang tamu kuwi digelari karpet ijo. Lumrah, ora anasing aneh. Mripatku dak permanakake. Lho, neng poncot kae kok kaya ana gendul? Cacahe ora mung siji. Manut wujude memper gendul wadhah miras. Hiya, bener. Kae cetha gendul minuman keras!
Wah, yen mengkono bener pethekku. Bocah-bocah sing mrene kuwi padha omben-ombenan. Ora mokal sawise kuwi tumindak sing luwih saru! Tumindak kuwi ora kena dibacut-bacutake. Kudu ana upaya nyandhet!
Gembleng niyatku, pengin nglaporake apa sing dak weruhi kasebut marang pak RT lan Pak Gito. Mung emane, aku ora bisa nemoni saiki. Soale yen esuk ngene iki Pak RT cetha wis budhal nyambut gawe. Tarah piyambake kuwi pegawe Pemkab. Dene Pak Gito ya genah wis budhal mbecak. Kepeksa pepenginanku lapur tak srantekake nganti mengko sore.
Aku bali menyang omahe Intan. Nyandhak sapu, niyat nyapu jobin. Sepasar ora kesaponan, bleduge kok ya wis kandel. Lagi nyandhak sapu, kupingku nangkep panggerenge sepedha montor. Gegancangan aku [ 407 ]mengarep. Lha, rak tenan! Sing liwat bocah wadon dhek anu kae. Bongcengan telu. Sing nyetir cah lanang rambute brintik pawakan ceking, sing dak konangi sepisanan kae. Wedoke neng tengah. Dene lanang sijine, bocah liya maneh. Sing dijujug omah E/13! Kaya sing uwis-uwis, sawise njagag montore neng teras, nuli mbukak lawang. Bocah telu lanang loro wadon siji mlebu ngomah!
Atiku notol pengin nyandhet bocah-bocah kasebut aja nganti tumindak maksiyat. Ning yen ijen rasane ora kepenak. Yen ana mbadakalane, salah-salah dianggo bancakan. Rak kojur! Arep ngajak warga perumahan liyane, yen awan ngene iki padha mergawe. Priye ya? Nyut, kelingan. Perumahan kene rak ora sepira adoh karo Kantor Desa. Ya gene ora lapur perangkat wae? Kanthi pepunton iku, aku gage nyandhak HP, ngu-bungi telkom njaluk nomer telpune kantor desa kene. Sedhela wis sam-bung. Aku nglapurake apa sing dak weruhi. Lapuranku direspon becik, lan disaguhi enggal ngirim petugas.
Seprapat jam candhake, petugas sing dikirim teka. Wong loro sragam dril. Embuh jabatane. Kamituwa apa Carik, apa malah Kadhese dhewe.
“Pundi griya sing sampeyan lapurake wau?” pitakone salah sijine sing rada tuwa. Aku nuding omah E/13. Ora katalumpen, perangkat desa iku gegancangan tumuju omah E/13. Aku ngetutburi.
Tekan ngarep omah mandheg sedhela, sajak neling-nelingake. Aku ya melu neling-nelingake. Lamat-lamat keprungu swara sing nyujanani. Wusana tanpa ndadak aba kula nuwun utawa nothok lawang, prangkat desa loro mau ndhobrak lawang. Mesthi wae lawang sing mung saka triplek iku jebol. Astaghfirullahal ‘adzim ..., apa sing katon? Bener pethekku, cah telu lagi padha pista miras! Lan ndeleng sandhangane bocahe wadon awut-awutan, cetha ora mung pista miras thok! Mesthi pista liyane!
Bocah telu diglandhang menyang kantor desa tanpa swala. Aku ora melu, dadi ora ngerti priye proses sabanjure. Mung sesuke entuk kabar, jare sawise ditarap menyangkantor desa, langsung dikirim menyang kan-tor pulisi. Lakon bacute kepriye, aku ora ngerti. Mung merga kadadeyan kasebut, aku usul marang Pak RT. Usulku, supaya warga perumahan kene ngangkat Satpam, sing tugase njaga regol. Sahenggo ora sadhengah uwong bisa blunas-blunus, mlebu-metu saenake dhewe. Kanthi mangkono tu-mindak maksiyat (kaya sing wis kadhung klakon) bisa dicegah.*
Djaka Lodang, No. 04, 26 Juni 2010
[ 408 ]
Sudarsono S.G.
Kulanuwun…! Ana swara uluk salam ing ruwang tamu. “Mangga….”
sumaurku saka ruang kerjaku, ruangan cilik cedhak kamar tidur. Ya ing ruangan sing mung ana meja tulis lan mesin tik portable, meja computer, lan computer lawas, lemari cilik, lan rak buku, telepon parallel saka ruang tengah. Ruangan kanthi jendhela kupu tarung madhep kebonan cilik iringan ngomah ditata peni tanaman hias dening sisihanku. Gawe resep pandulu keyupan wit pace ora pati dhuwur. Ruangan sing kerep menehi idhe anggnku gawe karangan, mligine sing gegayutan kao alam mistis. Kaya dene jagading lelembut, alaming lelembut lan sapanunggale sing dimot ing udyana basa Jawa.
Ketikan ing computer sawetara dak endheg lan dak-save supaya ora ilang. Mangka lagi mlebu ing alenia wigati. Komputer dakpateni lan klithih-klithih metu menyang ruang tamu nemoni tamu sing teane ing wayah nanggung, wanci bar luhur wancine wong setengah tuwa kaya aku iki ngaso turu awan. Tamu sarimbit sapantaraku kuwi dak acarani mlebu, bage-binage banjur ngandharake wosing gati. Aku njinggleng ngrungokake critane, dudutane cekak cukupe dhewekan mlekotho aku supaya bisa mrantasi gawe. Radha nratab lan tidha-tidha nata ati, pikirku apa aku bisa mrantasi karya karana babagan kuwi dudu bageyanku. Gaweyanku mung ngarang, iku wae ya mung samben kalaning nganggur, pikiran lagi mood. Lagi ora mbiyantu kegiatan cateringe sisihanku.
“Kula mpun pitados sewu persen kalih Pak Dar… jeneh kula jeneh kula nggih pandhemen lan pengagum crita mistise njenengan. Kula mpun yakin mboten onten pengarang mistis kok mboten saged ngusir othokonggrok dhemit kaya niku… kecicil,” guneme tamu mau karo njenthikake drijine. Amarga reputasi pengarang crita lelembut lan nuhoni kepercayan sing gedhe mau aku kapeksa nyaguhi. “Inggih sampun ngenjang dalu bibar maghrib kula mang pethuk ngriki. Kula nyobi nayuh trawangan seeking ngriki.” Tamuku mau bali kanthi rasa yakin. Lhadalah aku dipeksa “ngusir dhemit” sing ngganggu katentremane kluwargane tamuku mau. [ 409 ]Mangka sing jenenge ketemu barang alusan kaya kuwi blass aku durung nate, mung bisa ngrasakake “kehadirane”.
Ringkesane, aku wis tekan daleme Pak Ramidi juragan sembako sing omahe magrong-magrong, nanging pancen ana kesan singup. Ben katon ngyakinake, aku nyandhang cara metaraman sarwa ireng wiwit jarit surjan lan blangkon. Nganggo sarwa ireng ngene iki aku luwih pedhe. Aku ngiteri omah gedhong kuwi, mlebu kamar mbaka siji nganti tekan gudhang. Metu plataran saka ngarep tekan mburi. Ing saben panggonan sing marakake githokku mengkirig, aku mandheg nyumet hioswa ganda kayu cendhana karo umak-umik sabisaku. Nyuwung pitulung marang Gusti Allah lumantar kang kawah, adhi ari-ari, sedulur papat lima paner. Banjur ngidung pangruwatan pangkur gedhong kuning tilarane Sunan Kalijaga. Dak ajab kanthi alus supaya danyang sing nunggu omah iku ora ngganggu laku sikara, sukur gelem sumingkir adoh.
Ora gantalan wektu suwe Pak Ramidi sakeluarga mertamu maneh ing ngomahku, nganti rong mobil. Mbenthoyot nggawakake sembako lan uba rampene, lan isih ninggali amplop cuup kandel. Senajan aku banget pekewuh lan wola-wali daktolak, dheweke tetep meksa. Ngancam bakal medhot tali seduluran yen aku ora gelem nampani. Wiwit kuwi banjur dlidir wong padha teka ing omahku kanthi keperluan maneka warna. Kenal jenengku merga saka kekengseme maca karangan lelembutku lan takon alamatku marang redaksi, banjur merlokake nggoleki. Ketambahan kabar gethok tular sing disebarake Pak Ramidi. Malah saiki aku diceluk “Mbah” kanthi sebutan Ki Sapu Jagad. Rak tambah gendheng ta wongwong kuwi, kapan olehe mbancaki ngelih jeneng sakepenake dhewe. Jaragan cincing-cincing klebus, kaabeh mau kudu daktampa kanthi legawa.
Modhalku sabenere mung gathuk wani, menehi wewarah sing maton. Dakjupuk saka buku-buku koleksiku lan nyecep kawruh saka pakar kabudayan. Umak-umik donga Jawa campur Arab sabisaku, ethok-ethok menehi rajah lan rapalan. Penampilan kudu meyakinkan: kuwi mau kanggo nglegakake atine sing lagi nandhang reribet, butuh solusi. Nanging tenan…aku ora nate masang tarip, kabeh padha menehi sakekhlase. Ana sing nggawakake rokok, gula, kopi, teh, sembako. Sok ya pakean sapengadeg, sarung peci. Malah ana sing luwih kenthir maneh… Sawertara pasienku sing wis kasil daktulung masangake iklan koloman macak fotoku sing nganggo “kejawen” irengan ing laying kabar lan majalah. Aku ora mbayar. Ditambahi ukara-ukara, “Ki Sapujagad siap membantu menuntaskan problem keluarga Anda. Jodoh, asmara, pengasihan, pelarisan, puter guling, pasang susuk, asmak, dll.” Blaaik iki ngene, nggambar wong, apa njlomprongake aku?!
Kanggo ngawekani kabeh mau, aku kapeksa mbayari sekretaris nyantrik kanggo mbiyantu sekretarisku nemoni tamu. Kewalahan nangani [ 410 ]bidhang paranormal iki, aku banjur nyoba sahabipraya karo paranormalparanormal asli minangka rekanan bukak praktek ing ngomahku. Nanging, ngertine para pasienku, kabeh mau sing nangani mung aku. Ya wis mangga-mangga wae, endi apike laah. Ora nganti setaun, aku ganti profesi minangka “paranormal”, aku bisa nuku omah sebelahku, marga tanggaku mau pindhah luar Jawa. Ppapan anyar kuwi khusus praktek bersama. Tamuku saya akeh kanthi maneka warna masalah. Klebu para pejabat pemerintahan lan angkatan. Umume wong-wong mau padha kebingungan merga polah pokale dhewe.
Saka lelakon ada-ada dadi paranormal karbitan iki, aku dadi tambah pengalaman lan terkenal, nanging hubungan kekeluargaanku karo sisihanku lan anak putu dadi rada renggang. Senajan anak-anakku wadon telu wis mentas lan wis yasa omah dhewe-dhewe, asring tilik aku lan ibune. Saiki rumangsa dikiwakake, malah sisihanku wiwit ndemo arang caturan. Wiwit nulaki pesenan catering, luwih seneng pindhah-pindhah nunggoni putune, njalari aku sering turu ijenan ing ngomah. Mangan lan ngombe kurang kerumat, kapeksa metu jajan ing warung. Malah ora bisa nulis utawa ngetik karangan maneh, ruwang kerjaku mbiyen nganggur. Aku kangen gawe crita cekak, crita sambung, crita rakyat, utamane jagading lan alaming lelembut maneh. Nanging, wektuku saiki prasasat mepet kesita kahanan.
Prastawa sing gawe nggliyeng lan mumetku, nalika sawijining wektu aku nampa pasien randha sugih, isih enom lan ayu. Duwe masalah dauberuber jaka lan dhudha sugih, nanging wis tuwa. Dheweke bingung merga ora ketarik karo lelorone, malah karo si dhudha kuwi, dheweke kipakipa gila, Dene, si jaka tansah mburok ngoyak, malah ngancam keslametane. Dheweke pasrah marang aku kepriye supaya bisa uwal saka lelorone, lan usaha garmene luwih ngrembaka.
Bali aji pas-pus lan kebul ngiringi dongaku….Rahayune panyuwunku marang Gusti diijabahi Kabul, Si Randha ayu mau bisa uwal saka bebaya, teka nggawa oleh-oleh sing gawe kodhengku. Lha piye coba, saikine dheweke njalk pangayoman marang aku ora wujud japa mantra, nanging njaluk aku supaya dadia bojone. Ora peduli sanajan dimaru. Mbuh ora urus sing baku tekade mung kudu dadi bojo enomku, senajan mure sepantaran anakku sing nomer loro. “Kula mpun mantep…Pak Dar minangka guru laki kula…titik”.
Mangka umurku saiki wis luwih saka seketan taun, kaya ngapa surake tangga lan kanca…. Ki Sapujagad ngalap papsiene merga randha enom tur ayu, sugih durung duwe anak… Ki Sapujagad dhukun delap, malah bisa disebut “samber nggelap”. Trataaban rasa kuwatir lan kodhengku, nalika dakkandhani, daktuturi tharik-tharik, dheweke malah njupuk peso penes cilik landhep ing meja praktekku, peso iku piranti kanggo ngrajang [ 411 ]menyan, diagar-agarake arep dicublesake ing dhadhane sing mungal menthe mrusuh kuwi. Lhadalah… bisa ana gegeran rajapati lan kena urusan dieret-eret, dikecrek polisi, yen lelakon iki nganti dumadi.Luwih kucem maneh, bakal asmane Ki Sapujagad ing jagading perparanormalan. Mangka aku wis diangkat dening para kanca paranormal secara aklamasi minangka ketua perhimpunan paranormal kutha Semarang.
“Sabar…sabar ndhuk cah ayu”, wenehana aku wektu seminggu bae kanggo ngeningake piker.” karepku ngarih-arih.
Nanging jawabane isih tetep adreng karo isih nekem peso, “Nggih sumangga…ning jawabanipun Pak Dar kalih kula naming yeesss. Yen mboten, Dewi mung kantun namii.” Randha ayu kuwi pamitan karo isih manger-mangar, janji bakal teka seminggu maneh. Nalika prastawa iki kanthi jujur dakcritakake marang sisihanku saperlu njaluk pertimbangan, dheweke malah njempling mampro-mampro keprungu dening tangga teparo. “Wis, yen pancen karepmu kaya kuwi…rak sah muter golek alesan cem-macem, padune wis bosen, wong lanang ae kok, kaya ora ngerti jerohane. Puluh begjaku wis dakbekteni puluhan taun…huuu gombal mukiya… Wis rabiya kana… saiki aku patenana ae!”
Wengi sing kanggone mesra merga arang ketunggon bojo, malih kaya neraka. tangise ngglolo ungkep-ungkep ngirirngi metuku saka kamar. Dheleg-dheleg lungguh ijen ing ngisor wit pelem plataran ngarep. Tumlawung ngenam rasa sarwa ewuh. Rasa kecepit kana kene padha ngancam njaluk mati. Ah tibane dadi paranormal malah tambah susah lungkrah. Enak dadi penulis, pengarang luwih rilek lan santai. Katur kagem para sutresna Jaka Lodhang paringana Ki Sapujagad suluh kalidamar. Kabar saka andika daktunggu aja nganti seminggu. Matur nuwun.
Djaka Lodang, No. 39, 27 Februari 2010
PENUTUP
Cerita Pendek Jawa terus mengalami dinamika pada periode 20002010. Pada periode tersebut, para pengarang yang telah muncul pada
periode-periode sebelumnya masih terus berkarya pada periode 20002010. Di samping itu, para pengarang baru juga terus bermunculan mengisi peluang kreativitas penulisan cerita pendek Jawa dengan tema-tema yang lebih kontekstual dengan zamannya. Cerita pendek pendek Jawa merupakan salah satu jenis karya sastra yang banyak ditulis oleh parang Jawa. Pertumbuhan dan perkembangannya memberikan sumbangan besar bagi hidupnya sastra Jawa. Keberadaannya telah memberikan andil bagi lahirnya para pengarang baru (di samping pengarang lama tetap bertahan).
Kehadiran para pengarang baru dan tetap bertahannya beberapa pengarang lama pada periode 2000-2010 tidak dapat dilepaskan dari peran majalah berbahasa Jawa. Munculnya majalah-majalah berbahasa Jawa sangat mendukung apresiasi masyarakat terhadap keberadaan cerita pendek Jawa. Lewat majalah/koran berbahasa Jawa, banyak pengarang baru bermunculan dalam sastra Jawa. Majalah berbahasa Jawa sangat besar kontribusinya bagi penerusan cerita pendek Jawa. Namun, pada periode 2000-2010, kesempatan untuk eksis bagi pengarang baru melalui majalah berbahasa Jawa semakin berkurang dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Pada periode 2000-2010, beberapa majalah Jawa yang potensial melahirkan pengarang baru satu persatu mati. Kelahiran majalah-majalah berbahasa Jawa tersebut kemudian melahirkan trend sastra majalah. Sastra majalah adalah sastra yang dimuat di media masa berupa majalah (dan surat kabar). Media massa berbentuk majalah dapat menjadi alternatif ajang ekspresi para pengarang sastra Jawa yang mulai kesulitan menerbitkan karyanya dalam bentuk buku.
Hampir seluruh pengarang sastra Jawa modern melakukan kerja rangkap. Pengarang sastra Jawa modern tidak hanya bekerja sebagai pengarang sastra melainkan juga bekerja dalam berbagai lapangan pekerjaan. Di antara mereka ada yang menjadi guru, menjadi pegawai administrasi di kantor polisi, dan ada pula yang menjadi wartawan. Oleh [ 414 ]karena itu, cerita-cerita pendek Jawa yang dihasilkan oleh para pengarang memiliki topik yang berbeda-beda sesuai dengan profesinya. Kepengarangan cerita pendek Jawa dekade 2000-2010 menunjukkan sebuah gambaran tentang pasang-surutnya keberadaan sastra Jawa. Sebagai salah satu jenis karya sastra, cerita pendek telah menjadi sebuah “saksi” bagi perjalanan kebudayaan dan kesastraan.
Cerita pendek Jawa periode 2000-2010 tidak pernah berhenti ditulis oleh pengarang Jawa. Para penulis cerita pendek Jawa kebanyakan memublikasikan karya-karyanya lewat media massa berbahasa Jawa. Penelitian ini tentu masih banyak hal yang tidak memuaskan semua pihak karena berbagai keterbatasan yang dihasilkan. Berbagai masukan sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut tentang cerita pendek Jawa di Yogyakarta perlu untuk dilanjutkan.
[ 415 ]
Hutomo, Suripan. 1975. Telaah Kesusasteraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat
- Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Prabowo dkk., Dhanu Priyo. 2010. Ensiklopedi Sastra Jawa. Yogyakarta:
- Balai Bahasa Yogyakarta.
Tjitrosubono dkk., Sundari. 1977. “Sastra Jawa Modern”. Proyek
- Penelitian Bahasa dan Sastra Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. [ Cover ]Kaca:Cerita Pendek Jawa Yogyakarta.pdf/430
- ↑ Oleh Tjitrasubono (1977:123) hanya terbit cerita pendek satu atau dua judul.