Kaca:Cerita Pendek Jawa Yogyakarta.pdf/15

Saka Wikisumber
Kaca iki wis divalidasi

untuk bangkit kembali setelah kurang lebih satu dekade kurang produktif[1]. Pada tahun 1950-an, cerita pendek Jawa mulai kembali ditulis melalui majalah berbahasa Jawa yang juga bermunculan seperti Waspada, Tjrita Tjekak, Djaja Baja, Mekar Sari, Praba, Kunthi, dsb.

Majalah Tjrita Tjekak adalah majalah khusus yang memuat cerita pendek Jawa bernama Trjita Tjekak, terbit di Surabaya (lihat Brata, 1983). Majalah bulanan tersebut khusus memuat cerita pendek Jawa, meskipun kadang-kadang di dalamnya dimuat guritan (puisi nodern) dan rubrik kritik yang diberi nama “Sorotan”. Majalah khusus cerita pendek Jawa berbahasa Jawa tersebut dipimpin oleh Soebagijo Ilham Notodidjojo, atau Soebagijo I.N. Setiap terbit, Tjrita Tjekak rata-rata memuat sepuluh buah cerita. Majalah Tjrita Tjekak tersebut diterbitkan dengan tujuan pokok untuk menghidupkan sastra dan bahasa Jawa. Cerpenis Jawa yang sering muncul dalam majalah Crita Cekak tersebut ialah Poerwadhie Atmodihardjo (juga kadang-kadang dengan nama samarannya: Sri Ningsih), Any Asmara (atau dengan nama samaran Aramsay), St. Iesmaniasita, Soebagijo I.N., Soekandar S.G., Tamsir A.S., Satim K., Ny. Nugroho, Esmiet, Isdito, Sudarmo K.D., Susilomurti, Senggono, dan beberapa pengarang lainnya. Soebagio Ilham Notodidjojo adalah pengarang yang paling sering muncul dengan nama samarannya antara lain Endang Werdiningsih, Setyawati, Anggadjali, Pak SIN, dan Adjisaka). Hal itu menunjukkan bahwa nasib majalah tersebut amat tergantung kepada Soebagijo I.N. (Prabowo dkk, 2010).

Majalah berbahasa Jawa kemudian melahirkan trend sastra majalah (Hutomo, 1975). Pengertian sastra majalah adalah sastra yang dimuat di media masa berupa majalah (dan surat kabar). Keadaan ini terjadi karena media massa berbentuk majalah dapat menjadi alternatif ajang ekspresi para pengarang sastra Jawa yang mulai kesulitan menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Setelah Indoensia merdeka, peranan Balai Pustaka (badan penerbitan ciptaan Belanda dan diteruskan oleh Pemerintah Republik Indonesia) mulai berkurang/surut. Keadaan itu dimungkinkan terjadi karena situasi ekonomi Pemerintah RI sedang dalam pembenahan setelah bebas dari penjajahan sekaligus ketika menjalani revolusi. Perhatian masyarakat (termasuk pengarang) tertuju kepada masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu, pada tahun-tahun tersebut, perkembangan satra Jawa (khususnya cerita pendek) kurang menggairahkan. Untuk mengantisipasi persoalan itu, kemudian majalah menjadi salah satu sarana yang efektif bagi penulisan sastra Jawa, baik itu yang berjenis novel (dimuat secara bersambung), puisi Jawa modern “geguritan”, esai, tembang macapat, maupun cerita pendek itu sendiri. Lebih-lebih setelah tahun 1950-an, yaitu pada dekade 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan 2000-an banyak

2

Cerita Pendek Jawa Yogyakarta Periode 2000-2010

  1. Oleh Tjitrasubono (1977:123) hanya terbit cerita pendek satu atau dua judul.