Kata Upasunda: „Kakanda sang Sunda! Djangan kakanda ganggu2 perempuan ini! Akan kuperisteri ini! Hendaklah dikawinkan dengan adinda oleh kakanda."
Demikianlah katanja bertukar-tukar utjapan. Tak ada jang mau melepaskan tangan sang Tilottama. Mereka bersama-sama maunja. Mangkin bertambah besar kebuasannja, lupa kepada tjinta persaudaraannja, apalagi telah terkuasai oleh minuman keras, tidak ingat kepada keharusan dharma. Mereka bersama-sama memegang gada. Dilepaskannjalah tangan sang Tilottama oleh mereka, berlagalah mereka dengan saudara sendiri, saling mentjari kelengahan, saling memukul, sama-sama besar kekuatannja, achirnja serang-menjerang dengan ,,danda", bersama-sama djatuh keduanja, berlumuran darah badannja. Bersama-sama mati lawan-lawan, djenasahnja terletak memandjang di tanah.
Mengetahui peristiwa itu, raksasa balanja semua berlari-lari pulang ke pātāla, takut kalau2 diserbu oleh para dewa.
Sepeninggal raksasa Sunda-Upasunda itu, kembalilah sang Tilottama, mempersembahkan kepada sanghjang Indera hal-ihwal raksasa itu.
Dianugerahilah sang Tilottama tetap tinggal ditempat dewa2, diberi kesenangan sebagai kesenangan bidadari.
Itulah halnja djangan sampai ditiru-tiru, membuang-buangkan njawa dengan sia2 karena nafsu kepada perempuan.