Kaca:Bandha Kamardikan.pdf/86

Saka Wikisumber
Kaca iki wis divalidasi

BELAJAR MENCIPTA GEGURITAN 75


TENTANG BELAJAR MENCIPTA GEGURITAN

A. Pendahuluan

 Proses mencipta geguritan (bahasa Jawa) dengan puisi Indonesia modern (bahasa Indonesia) tidak jauh berbeda. Kecuali mengenai aspek: (1) penggarapan media (bahasa, kebahasaan, pembahasan), (2) penemuan dan pengungkapan roh kejawaan atau keindonesiaan sesuai dimaui penciptanya.
 Bahasa pada dasarnya adalah simbol dari pengertian-pengertian manusia dalam lingkungan etnis tertentu, terhadap segala sesuatu yang ditemukan dalam kehidupannya. Dengan demikian, bahasa adalah abstrak. Kebcradaannya pun hanya terletak di) alam pikiran manusia.
 Contohnya, jika kita menyebut (menulis) kata “ibu™, Jelas kata tersebut hukanlah wujud (realilas) scorang perempuan yang telah melahirkan anak. Kata “ibu” hanya dimaksudkan schagai penggambaran atau lambang (tanda pengenal) sesuai dengan kemampuan dan pemahaman yang bersangkutan terhadap materi tertentu (perempuan yang ...).
 Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Iebih banyak digunakan untuk alat komunikasi. Menyampaikan pesan pengertian dari pikiran dan perasaan kita kepada orang lain. Karena itulah, bahasa memiliki dua dimensi: (1) lisan, dan (2) tulisan. Bahasa lisan maupun tulisan juga memiliki dua makna, yaitu, (1) makna denotatif dan (2) makna konotatif. Makna denotatif (tersurat) adalah makna yang sudah dibakukan dan diakui masyarakat luas seperti terdapat dalam kamus, sedangkan makna konotatif (tersirat) adalah makna yang memungkinan dibangunnya makna baru bertautan dengan makna lain yang memiliki nilai rasa serta diluar makna baku.
 Dengan kondisi bahasa yang seperti itu, maka membuat puisi atau gegurilan, menurut Sapardi Djoko Damono, adalah kegiatan “mengotak-atik kata, bermain makna”. Menurut Michael Riffaterre dalam Semiotics of Poetry, puisi itu menyalakan suatu persoalan (momentum) dengan cara yang lidak Jangsung. Adapun yang disebut “cara tidak langsung™ itu adalah sebagai berikut.