Menyang kontèn

Kaca:Serat Kandha Ringgit Tiyang Lampahan Mintaraga (Buku I).pdf/16

Saka Wikisumber
Kaca iki wis divalidasi

4

persaudaraan yang erat yang dipupuk oleh kasih, yang dengan segala puja dan puji menopang keagungan Sultan; semoga apa yang dikehendaki oleh Sri Sultan bisa terkabul, dan semoga tercapailah kemakmuran negara Ngayogyakarta ....)

Penerbitan dua buku berjudul Serat Kandha Ringgit Tiyang Lampahan Mintaraga (buku I) dan Serat Pocapan Ringgit Tiyang Lampahan Mintaraga (buku II) merupakan kelanjutan dari buku berjudul Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta (1984), yang naskahnya merupakan disertasi Soedarsono untuk mendapatkan gelar Doctor of Philosophy dalam bidang kebudayaan Asia Tenggara di The University of Michigan Amerika Serikat. Buku terakhir ini mengupas sejarah wayang wong, fungsi wayang wong sebagai ritus kenegaraan, analisa teks wayang wong, serta analisa karakter dalam wayang wong. Semula penulis berkeinginan untuk memasukkan Serat Kandha dan Serat Pocapan dengan cerita Mintaraga ini sebagai lampiran disertasi. Tetapi karena teks disertasi itu sendiri sudah mencapai 600 halaman, dan lampiran yang dimaksudkan itu akan mencapai 800 halaman, maka keinginan itu terpaksa dibatalkan, namun dengan harapan pada suatu ketika bisa terbit tersendiri. Dengan demikian, apabila sidang pembaca berkeinginan memahami seluk-beluk wayang wong gaya Yogyakarta secara lengkap, dianjurkan untuk membaca buku penulis berjudul Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta serta dua buku penerbitan yang baru ini.

Ada dua gaya wayang wong dalam tari Jawa, yaitu gaya Yogyakarta dan gaya Mangkunegaran Surakarta. Wayang wong gaya Yogyakarta sejak dicipta pada tahun c. 1758 sampai tahun 1939 di istana tetap berfungsi ritual kesuburan, baik untuk memperingati berdirinya keraton Yogyakarta, merayakan perkawinan agung putera-puteri Sultan, merayakan perkawinan antara Puteri Juliana dengan Pangeran Bernhard van Lippe Biesterfeld dari Belanda pada tahun 1938, menyambut kunjungan resmi Gupernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh ke keraton Yogyakarta pada tahun 1938,[1] serta pernah pula untuk menyambut kelahiran seorang puteri kerajaan Belanda Puteri Irene Emma Elizabeth pada tahun 1939.[2] Sedangkan wayang wong gaya Mangkunegaran Surakarta lebih berkembang sebagai pertunjukan sekuler.

  1. Soedarsono, op. cit., p. 31.
  2. Ibid., p. 21.